"Terima takdir kamu Ra, terima kenyataan,"
"Terima semuanya, kamu harus menjadi istri yang baik Ra, kamu harus bisa berbakti,"
"Lupakan Adam, lupakan Adam, lupakan Adam,"
Batin Alira, yang sedang mengiris kentang menjadi persegi kecil-kecil, hendak membuat menu sambal goreng kentang dan juga hati.
Berusaha berdiri tegak di atas kakinya yang sedikit gemetar, akibat rasa tertekan yang sedang di rasakannya mencoba mensugesti otak dan juga hatinya sendiri.
Namun nihil, karena semakin dirinya berkata lupakan, bayangan Adam semakin terlihat jelas, kembali mengingat memory kebersamaannya dengan Adam, bagaimana sikap lembut Adam, bagaimana manisnya senyum Adam, dan bagaimana hangatnya pelukan Adam.
Selama enam tahun belakangan, membuatnya begitu bahagia, merasa di cintai sepenuh hati.
Hingga membuatnya begitu bersyukur, merasa sangat beruntung menjadi satu-satunya
"Gimana Alira?" tanya Satria, sedang berdiri tak jauh dari Dokter Manda, wanita berparas cantik dan juga masih muda dengan usianya yang baru menginjak 27 tahun. Baru menyelesaikan pemeriksaan."Baik, tekanan darahnya juga normal. Nggak ada masalah Kak,"Menciptakan helaan nafas di bibir Bu Rani dan juga Pak Herman merasa lega."Tapi kenapa bisa pingsan? coba kamu periksa lagi Man," titah Satria, masih tak percaya ingin lebih memastikan lagi bahwa istrinya itu baik baik saja."Aku nggak papa Mas," sahut Alira."Itu matanya sembab begitu, lagi stres ya? banyak pikiran?" tanya Dokter Manda, menciptakan seulas senyum kikuk di bibir Alira sebagai jawaban."Apa yang kamu rasakan tadi pas mau pingsan?""Pusing, mungkin karena pikiran lagi kemana-mana Dok, terus mata rasanya gelap dan nggak sadar,""Sering seperti itu?"Meng
Pagi telah menjelang, menunjukkan sinarnya yang begitu hangat dan masih mengintip, tak menembus kaca jendela Alira yang tertutup gorden.Tepat di pukul 06:00, terlihat Alira, baru membuka matanya perlahan, merasakan hawa panas di atas perutnya yang terasa berat membangunkannya.Sebelum terdiam, dengan rasa terkejutnya, menatap Satria yang tengah tertidur pulas merangkul perutnya."Panas," gumamnya pelan, sedikit menggeser posisi tubuhnya, untuk bisa menyentuh kening suaminya yang sedang demam menatap lekat.Kembali mengingat kalimat dan permintaan Satria tadi malam, benar-benar membuatnya gugup, tak mampu mengendalikan degup jantungnya yang tak karuan. Akibat rasa takutnya yang meninggi, merasa tak siap menyerahkan diri."Aku ingin kita menjadi suami istri yang sebenarnya,""Apa maksud Mas?""Kamu ngerti apa maksudku Ra,"Melemaskan tubuh Alira, sama sekali tak bisa membayangkan apa yang di inginkan suaminya.
"Obat terampuh," lirih Satria, sesaat setelah melepaskan ciumannya mengulaskan senyumnya.Sebelum terkejut, dengan sentakan tangan Alira yang terlihat begitu kesal, melepaskan pelukannya dan turun dengan begitu cepatnya menjauhinya.Hingga membuatnya terdiam, dengan sorot mata tajamnya, segera beranjak duduk dan mencekal tangan Istrinya. Yang sudah berdiri, hendak meninggalkannya keluar kamar."Kenapa? marah?" tanya Satria, dengan deru nafasnya yang memburu, akibat rasa terkejut dan juga hasratnya yang tak tersalurkan dengan sempurna.Bersitatap dengan sorot mata kesal istrinya, yang membisu menatapnya tak kalah tajam."Mas mengingkarinya lagi Mas!""Apanya?" jawab Satria balik bertanya. Berusaha keras untuk tenang tak melepaskan cekalan tangannya."Mas sendiri yang bilang satu bulan lagi bukan? kenapa sekarang seperti ini?""Apanya yang s
Semilirnya angin, terasa begitu sepoi membelai kulit, bersama dengan sinar mentari yang masih hangat, begitu bersahabat belum menunjukkan teriknya.Tepat di pukul 08.30, terlihat Alira, baru turun dari pintu mobil yang di buka oleh supir pribadi Papa Bagaskara, tepat di pelataran di depan pintu loby, membuatnya merasa tak nyaman mengedarkan pandangan.Memperhatikan tatapan heran beberapa karyawan yang mungkin saja tak mengetahui hubungannya dengan Satria."Kenapa?" tanya Satria, sesaat setelah turun dari pintu mobil yang lainnya menghampirinya."Nggak papa," jawabnya cepat.Berusaha menutupi rasa tak nyamannya, terlebih lagi menutupi rasa sakit dan juga nyeri di hatinya, saat memikirkan Adam, lelaki yang di cintainya namun tak di gariskan untuk hidup bersamanya.Sama sekali tak mengetahui cara untuk mengakhiri hubungan, mungkin lebih tepatnya sama sekali tak
"Maaf," lirih Alira.Semakin mempercepat degup jantung Adam menatap dalam."Maaf? untuk apa?" lirih Adam.Memejamkan dalam mata Alira, masih menundukkan kepalanya. Berusaha untuk tegar di atas kondisinya yang gemetar, berusaha untuk kuat melawan hasrat yang tak ingin kehilangan."Tenang Ra, tenang, percaya sama Allah, percaya, percaya ini yang terbaik untuk kamu dan juga Adam," batin Alira, segera menarik nafasnya panjang, sesaat sebelum menegakkan kepalanya.Beradu pandang dengan sorot mata sendu Adam, terlihat begitu terluka kembali melemahkan ya."Ya Allah... kenapa susah sekali?" batinnya lagi, semakin sendu dan juga pilu. Berusaha keras untuk menahan buliran bening di balik kelopak matanya yang telah berkaca-kaca, mencoba bersuara."Aku...,"Mengerutkan kening Adam, merasa begitu tak sabar, di sela rasa khawatirn
"Minum dulu," Kata Satria, mengangsurkan sebotol air mineral dingin kepada istrinya, yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi mendekatinya.Terlihat sedikit berantakan, dengan wajah basah dan juga kunciran rambut yang tak lagi rapi, hanya terdiam menerima air pemberiannya.Tanpa suara, segera menenggak dengan tak sabar, hingga menandaskan setengah botol dan tersenggal."Pelan pelan Ra," kata Satria, tak mengalihkan pandangannya, menatap bibir istrinya yang bergetar menahan tangis."Mau makan?" tawarnya, sesaat setelah Alira menandaskan dengan sempurna air pemberiannya."Nggak mau,""Yah... sayang sekali,"Mengerutkan kening Alira, menyeka air matanya yang hampir menitik.Membiarkan suaminya itu mengusap sisa air mata di pipinya, mencubit pipinya gemas."Aku sudah pesan banyak makanan untuk kamu, sebentar lagi juga datang," jawab Satria.Bersamaan deng
Suasana mendung yang menggantung, sedikit menyembunyikan sinar mentari sore yang hendak pulang ke peraduan. Meninggalkan tempatnya menuju senja sebelum menemui gelapnya malam.Terlihat sedan hitam yang di kendarai Satria, melaju dengan begitu pelan cenderung merambat, akibat jalanan kota yang begitu macet, beberapa kali berhenti karena padatnya lalu lintas di jam pulang bekerja."Sopirnya Papa kemana Mas?" tanya Alira, yang sedang duduk di kursi depan di samping kemudi, mengalihkan pandangan suaminya."Pulang, nganterin Papa ke kafe baru teman Papa,""Mas bisa nyetir sendiri? harusnya kita tadi naik taksi saja Mas,""Bisa, buktinya ini bisa,""Nggak pusing? Mas juga belum makan,""Ya ini kan lagi cari makan, di depan sana, setelah perempatan ada restoran enak, kamu pasti suka," jawab Satria, menunjuk ke arah depan, yang terlihat begitu padat menghentikan laju mobilnya."Tapi ini m
"Maaf ya," suara serak Satria, masih terbaring di atas ranjang, mengalihkan pandangan istrinya beradu pandang."Aku bantu Ibu masak dulu Mas, menyiapkan makan malam," jawab Alira, berusaha mengontrol suasana hatinya yang tak karuan, segera beranjak duduk tak menjawab permintaan maaf suaminya."Rapikan dulu rambut dan baju kamu,"Menganggukkan kepala Alira, segera turun dari ranjang mendekati meja rias, tak bisa melupakan jamahan Satria yang terus saja terngiang di kepalanya.Sebelum menyisir rambutnya perlahan di depan cermin meja rias, sesaat setelah merapikan bajunya, sudah mengancingkan dua kancing atasnya yang sempat dibuka oleh suaminya."Mikirin apa?" tanya Satria, tiba-tiba saja memeluknya dari belakang menyentakkan nya.Hingga membuat tubuhnya kembali meremang, membeku seketika menghentikan sisirannya menggeleng pelan."Terimakasi