Suasana mendung yang menggantung, sedikit menyembunyikan sinar mentari sore yang hendak pulang ke peraduan. Meninggalkan tempatnya menuju senja sebelum menemui gelapnya malam.
Terlihat sedan hitam yang di kendarai Satria, melaju dengan begitu pelan cenderung merambat, akibat jalanan kota yang begitu macet, beberapa kali berhenti karena padatnya lalu lintas di jam pulang bekerja."Sopirnya Papa kemana Mas?" tanya Alira, yang sedang duduk di kursi depan di samping kemudi, mengalihkan pandangan suaminya."Pulang, nganterin Papa ke kafe baru teman Papa,""Mas bisa nyetir sendiri? harusnya kita tadi naik taksi saja Mas,""Bisa, buktinya ini bisa,""Nggak pusing? Mas juga belum makan,""Ya ini kan lagi cari makan, di depan sana, setelah perempatan ada restoran enak, kamu pasti suka," jawab Satria, menunjuk ke arah depan, yang terlihat begitu padat menghentikan laju mobilnya."Tapi ini m"Maaf ya," suara serak Satria, masih terbaring di atas ranjang, mengalihkan pandangan istrinya beradu pandang."Aku bantu Ibu masak dulu Mas, menyiapkan makan malam," jawab Alira, berusaha mengontrol suasana hatinya yang tak karuan, segera beranjak duduk tak menjawab permintaan maaf suaminya."Rapikan dulu rambut dan baju kamu,"Menganggukkan kepala Alira, segera turun dari ranjang mendekati meja rias, tak bisa melupakan jamahan Satria yang terus saja terngiang di kepalanya.Sebelum menyisir rambutnya perlahan di depan cermin meja rias, sesaat setelah merapikan bajunya, sudah mengancingkan dua kancing atasnya yang sempat dibuka oleh suaminya."Mikirin apa?" tanya Satria, tiba-tiba saja memeluknya dari belakang menyentakkan nya.Hingga membuat tubuhnya kembali meremang, membeku seketika menghentikan sisirannya menggeleng pelan."Terimakasi
Petir menggelegar, memecah kesunyian menambah dinginnya malam tanpa sang bintang dan juga rembulan yang bersembunyi.Terlihat mobil Satria, melaju dengan kecepatan sedang, menembus derasnya hujan berusaha untuk fokus ke depan.Sudah melewati gapura tinggi di pintu utama bertuliskan nama perumahan tempat tinggal orang tuanya, terus saja mengulum senyum di bibirnya, beberapa kali memperhatikan istrinya yang terdiam balik meliriknya."Wah... hujan hujan begini enaknya ngapain ya Ra," suara Satria, mengedarkan pandangannya menggoda."Minum teh hangat mungkin Mas, biar nggak kedinginan," sahut Alira.Menciptakan kekehan di bibir Satria, karena jawaban istrinya yang sama sekali tak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya."Habis minum teh hangat terus ngapain?""Makan pisang goreng,""Terus?"Tak menga
Waktu bergulir semakin malam, menyisakan tetesan air hujan yang hampir berhenti, menambah dinginnya malam yang cukup sunyi di kediaman Papa Bagaskara.Tepat di pukul 20:00, terlihat Alira, mengayunkan langkahnya gontai, baru menyelesaikan obrolannya bersama dengan Papa Bagaskara, menaiki anak tangga hendak menuju kamar suaminya di lantai dua."Papa minta maaf atas sikap Satria, yang mungkin saja angkuh dan juga buruk sewaktu awal menikah dulu Ra," kata Papa Bagaskara, beberapa saat lalu, setelah kepergian suaminya masuk ke dalam kamar menjadi pembuka obrolannya."Papa jangan minta maaf, saya juga salah Pa, sudah mau menerima dan menandatangani surat perjanjian," jawabnya menggeleng pelan."Jadi bukan sepenuhnya kesalahan Mas Satria." lanjut Alira.Beradu pandang dengan sorot mata sendu Papa mertuanya yang menyiratkan luka, akibat dari rasa kecewa, mengetahui dalamnya isi dari rum
Malam semakin larut, tepat di saat jam dinding yang menggantung di kediaman Papa Bagaskara sudah akan menunjuk ke angka sepuluh. Lebih tepatnya di pukul 21:35.Terlihat Alira, baru membuka pintu kamar suaminya, sebelum menjatuhkan pandangannya, ke arah Satria yang telah memejamkan mata di atas ranjang di bawah selimut yang hanya menutupi sampai di atas lutut.Lebih memilih untuk mendekati suaminya terlebih dahulu, membenarkan posisi selimut yang di pakai Satria agar bisa menutupi sampai ke dada. Sebelum nantinya pergi ke kamar mandi, untuk mencuci wajah dan juga menggosok giginya sebelum tidur."Pa...pakai selimutnya yang benar Mas," kata Alira terbata, merasa tersentak dengan gerakan tangan Satria yang menangkap punggung tangannya membuka mata."Aku nggak butuh selimut,""Nanti masuk angin,""Makanya sini, tidur sini dan peluk aku, biar akunya nggak masuk an
Mentari kembali mengintip, membawa sinar hangatnya di pagi hari, terlihat begitu cerah tanpa sedikitpun awan mendung yang menghalangi.Secerah suasana hati Satria saat ini, tak bisa menghentikan senyuman di bibirnya, sudah membuka matanya, menatap lekat istrinya yang masih tertidur di sampingnya.Menjadikan salah satu tangannya sebagai tumpuan, tidur menyamping, sambil membelai lembut dahi dan juga pipi istrinya yang terlelap."Ah," desis Alira memekik, sewaktu sebelum subuh tadi, hendak beranjak bangun menuju kamar mandi. Namun harus tertahan akibat rasa sakit yang dirasakannya membangunkan Satria."Kenapa?""Sakit," lirih Alira meringis."Apanya?" pertanyaan bodoh yang di tanyakan Satria, akibat dirinya yang belum sadar sepenuhnya beranjak duduk dari tidurnya."Ini," Ragu Alira, menggerakkan kepalanya ke arah daerah sensitifnya.
"Selamat Pagi Pak," sapa beberapa pegawai, menyambut kedatangan Satria, yang sedang mengayunkan langkah masuk ke dalam loby, saling berbisik.Memperhatikan Alira yang sedang menundukkan kepala, berusaha untuk tak terganggu dengan pandangan para pegawai yang tak mengetahui status pernikahannya dengan Satria. Tak melepaskan gandengan tangan suaminya."Kenapa nunduk terus?"Menggelengkan kepala Alira, tak ingin mengungkapkan rasa tak nyaman yang sedang dirasakannya, lebih memilih untuk diam.Tetap berjalan menuju pintu lift khusus karyawan, hendak melepaskan gandengan tangan suaminya."Kenapa di lepas?" sergah Satria, semakin mengeratkan gandengan tangannya mengalihkan pandangan istrinya."Lift Mas disana," seraya menunjuk ke arah lift khusus petinggi, yang ada di sisi barat lift khusus karyawan."Aku ingin naik lift ini, aku antar kamu samp
"Titip Alira," lirih Adam, dengan sisa deru nafasnya yang masih memburu menelan salivanya pelan.Mengacuhkan luka lebam yang menghiasi wajah tampannya, dengan pandangan menerawangnya duduk bersandar di tepi meja sofa menekuk salah satu kakinya menyandarkan kepalanya."Sayangi dia, jangan pernah kamu menyakitinya,"Semakin sesak dan menyeruak, menghimpit keras hati dan juga perasaannya yang telah patah. Mengalihkan pandangannya ke arah Satria yang membisu.Sama sama duduk bersandar menekuk salah satu kaki di tepi meja kerja, tak jauh dari dirinya menatapnya diam."Alira punya sakit lambung, jadi kamu pastikan jangan sampai dia telat makan. Terlebih saat dia sedang sedih, pastikan dia tetap makan," lirihnya lagi bersitatap.Menahan buliran bening di balik kelopak matanya yang sedikit berkaca-kaca, segera membuang pandangannya ke sembarang arah, menjatuhkan kepa
"Obatnya mana Mas?" tanya Alira, masih duduk di atas sofa di ruangan suaminya, menyuapkan sesendok nasi dan juga lauk terakhir ke dalam mulut Satria.Makan bersama, menyuapi suaminya yang ingin di manja, tak ingin makan sendiri."Ada di tas," tak mengalihkan pandangan dari layar laptopnya yang menyala, sedang membaca laporan di dalamnya."Istirahat dulu Mas, bilangnya pusing,""Nanggung Ra, sebentar lagi selesai," jawab Satria, baru menelan makanan yang ada di mulutnya. Sebelum mengalihkan pandangan ke arah Alira yang berdiri."Habiskan makanan kamu dulu," setelah melirik ke arah makanan istrinya yang tinggal setengah. Tak menghentikan langkah istrinya.Yang sudah membuka resleting utama tas kerjanya merogoh kedalamnya."Iya nanti, setelah Mas minum obat," ."Di resleting kecil, bukan di situ,"Ta
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"