Waktu bergulir semakin malam, menyisakan tetesan air hujan yang hampir berhenti, menambah dinginnya malam yang cukup sunyi di kediaman Papa Bagaskara.
Tepat di pukul 20:00, terlihat Alira, mengayunkan langkahnya gontai, baru menyelesaikan obrolannya bersama dengan Papa Bagaskara, menaiki anak tangga hendak menuju kamar suaminya di lantai dua.
"Papa minta maaf atas sikap Satria, yang mungkin saja angkuh dan juga buruk sewaktu awal menikah dulu Ra," kata Papa Bagaskara, beberapa saat lalu, setelah kepergian suaminya masuk ke dalam kamar menjadi pembuka obrolannya.
"Papa jangan minta maaf, saya juga salah Pa, sudah mau menerima dan menandatangani surat perjanjian," jawabnya menggeleng pelan.
"Jadi bukan sepenuhnya kesalahan Mas Satria." lanjut Alira.
Beradu pandang dengan sorot mata sendu Papa mertuanya yang menyiratkan luka, akibat dari rasa kecewa, mengetahui dalamnya isi dari rum
Malam semakin larut, tepat di saat jam dinding yang menggantung di kediaman Papa Bagaskara sudah akan menunjuk ke angka sepuluh. Lebih tepatnya di pukul 21:35.Terlihat Alira, baru membuka pintu kamar suaminya, sebelum menjatuhkan pandangannya, ke arah Satria yang telah memejamkan mata di atas ranjang di bawah selimut yang hanya menutupi sampai di atas lutut.Lebih memilih untuk mendekati suaminya terlebih dahulu, membenarkan posisi selimut yang di pakai Satria agar bisa menutupi sampai ke dada. Sebelum nantinya pergi ke kamar mandi, untuk mencuci wajah dan juga menggosok giginya sebelum tidur."Pa...pakai selimutnya yang benar Mas," kata Alira terbata, merasa tersentak dengan gerakan tangan Satria yang menangkap punggung tangannya membuka mata."Aku nggak butuh selimut,""Nanti masuk angin,""Makanya sini, tidur sini dan peluk aku, biar akunya nggak masuk an
Mentari kembali mengintip, membawa sinar hangatnya di pagi hari, terlihat begitu cerah tanpa sedikitpun awan mendung yang menghalangi.Secerah suasana hati Satria saat ini, tak bisa menghentikan senyuman di bibirnya, sudah membuka matanya, menatap lekat istrinya yang masih tertidur di sampingnya.Menjadikan salah satu tangannya sebagai tumpuan, tidur menyamping, sambil membelai lembut dahi dan juga pipi istrinya yang terlelap."Ah," desis Alira memekik, sewaktu sebelum subuh tadi, hendak beranjak bangun menuju kamar mandi. Namun harus tertahan akibat rasa sakit yang dirasakannya membangunkan Satria."Kenapa?""Sakit," lirih Alira meringis."Apanya?" pertanyaan bodoh yang di tanyakan Satria, akibat dirinya yang belum sadar sepenuhnya beranjak duduk dari tidurnya."Ini," Ragu Alira, menggerakkan kepalanya ke arah daerah sensitifnya.
"Selamat Pagi Pak," sapa beberapa pegawai, menyambut kedatangan Satria, yang sedang mengayunkan langkah masuk ke dalam loby, saling berbisik.Memperhatikan Alira yang sedang menundukkan kepala, berusaha untuk tak terganggu dengan pandangan para pegawai yang tak mengetahui status pernikahannya dengan Satria. Tak melepaskan gandengan tangan suaminya."Kenapa nunduk terus?"Menggelengkan kepala Alira, tak ingin mengungkapkan rasa tak nyaman yang sedang dirasakannya, lebih memilih untuk diam.Tetap berjalan menuju pintu lift khusus karyawan, hendak melepaskan gandengan tangan suaminya."Kenapa di lepas?" sergah Satria, semakin mengeratkan gandengan tangannya mengalihkan pandangan istrinya."Lift Mas disana," seraya menunjuk ke arah lift khusus petinggi, yang ada di sisi barat lift khusus karyawan."Aku ingin naik lift ini, aku antar kamu samp
"Titip Alira," lirih Adam, dengan sisa deru nafasnya yang masih memburu menelan salivanya pelan.Mengacuhkan luka lebam yang menghiasi wajah tampannya, dengan pandangan menerawangnya duduk bersandar di tepi meja sofa menekuk salah satu kakinya menyandarkan kepalanya."Sayangi dia, jangan pernah kamu menyakitinya,"Semakin sesak dan menyeruak, menghimpit keras hati dan juga perasaannya yang telah patah. Mengalihkan pandangannya ke arah Satria yang membisu.Sama sama duduk bersandar menekuk salah satu kaki di tepi meja kerja, tak jauh dari dirinya menatapnya diam."Alira punya sakit lambung, jadi kamu pastikan jangan sampai dia telat makan. Terlebih saat dia sedang sedih, pastikan dia tetap makan," lirihnya lagi bersitatap.Menahan buliran bening di balik kelopak matanya yang sedikit berkaca-kaca, segera membuang pandangannya ke sembarang arah, menjatuhkan kepa
"Obatnya mana Mas?" tanya Alira, masih duduk di atas sofa di ruangan suaminya, menyuapkan sesendok nasi dan juga lauk terakhir ke dalam mulut Satria.Makan bersama, menyuapi suaminya yang ingin di manja, tak ingin makan sendiri."Ada di tas," tak mengalihkan pandangan dari layar laptopnya yang menyala, sedang membaca laporan di dalamnya."Istirahat dulu Mas, bilangnya pusing,""Nanggung Ra, sebentar lagi selesai," jawab Satria, baru menelan makanan yang ada di mulutnya. Sebelum mengalihkan pandangan ke arah Alira yang berdiri."Habiskan makanan kamu dulu," setelah melirik ke arah makanan istrinya yang tinggal setengah. Tak menghentikan langkah istrinya.Yang sudah membuka resleting utama tas kerjanya merogoh kedalamnya."Iya nanti, setelah Mas minum obat," ."Di resleting kecil, bukan di situ,"Ta
"Satria," suara wanita menyela.Mengalihkan pandangan kompak Satria dan juga Alira, merasa tersentak dengan kedatangan Azkia yang tak pernah di sangka.Sebelum mengalihkan kembali pandangan keduanya saling beradu pandang."Ini kenapa wajah kamu?" lanjut Azkia, dengan nadanya yang terdengar khawatir, duduk di kursi kosong di samping mantan kekasihnya mengalihkan kembali pandangan Satria.Yang tersentak, menjauhkan kepalanya spontan mengindari sentuhan tangan Azkia di wajah tampannya."Yang," lirih Azkia, mengacuhkan Alira yang terdiam, memasang wajah memelasnya."Jaga sikap kamu Az! hilangkan panggilan itu," dingin Satria, melirik sejenak Alira, menjauhkan duduknya.Hendak mengisi kembali piring kosong milik istrinya, mengacuhkan mantan kekasihnya yang telah menyakitinya, dengan begitu sangat dalam menghianati nya."Ma
Kerlipnya bintang, bersinar begitu cerahnya bersama dengan sang rembulan yang berbetuk sabit menghiasi gelapnya malam.Terlihat Satria, mengendarai mobilnya dengan gelisah, membagi konsentrasinya antara stir di tangannya berusaha mengubungi istrinya yang tak mau mengangkat panggilan teleponnya."Alira... Astaga! kenapa nggak di angkat sih!" gumamnya mendesis bingung, merasa frustasi dengan situasi yang terjadi.Saat istrinya menghilang begitu saja, tak ada lagi di dalam restoran setelah di tinggalkannya pergi beberapa menit.Hanya untuk membantu Azkia keluar dari restoran, merasa kasihan dengan kalimat banyak lelaki yang merendahkan, tak menghargai mantan kekasihnya yang di pandang hina cenderung di lecehkan."Lebih baik kamu pulang sekarang, kamu bawa mobil kan?" kata Satria, beberapa saat yang lalu, melepaskan rengkuhan tangannya di bahu Azkia di luar restoran.
Kumpulan bintang di atas langit di gelapnya malam, saling bersaing menunjukkan sinarnya. Dalam menerangi malam yang semakin larut.Tepat di pukul 21:30, sebuah taksi melesat dengan kecepatan sedang, membawa dua orang yang saling diam, duduk di kursi belakang dan juga kursi depan samping kemudi.Setelah Alira kekeh dengan keputusannya, tetap tak ingin menaiki mobil Satria untuk pulang ke rumah, hingga suaminya itu memutuskan untuk ikut pulang bersama dirinya."Sudah malam Ra, kita naik mobil saja ya?" pinta Satria, beberapa saat yang lalu, namun tak merubah keputusan istrinya, masih berdiri di tepi jalan mencari keberadaan taksi."Oke, kita naik taksi sekarang," lanjut Satria, tepat di saat Istrinya itu akan membuka pintu belakang taksi mengalihkan pandangan Alira.Yang sedang merasa malas untuk berbicara maupun berdekatan dengannya, masih mendiamkannya. Segera berganti posisi, le