"Obatnya mana Mas?" tanya Alira, masih duduk di atas sofa di ruangan suaminya, menyuapkan sesendok nasi dan juga lauk terakhir ke dalam mulut Satria.
Makan bersama, menyuapi suaminya yang ingin di manja, tak ingin makan sendiri.
"Ada di tas," tak mengalihkan pandangan dari layar laptopnya yang menyala, sedang membaca laporan di dalamnya.
"Istirahat dulu Mas, bilangnya pusing,"
"Nanggung Ra, sebentar lagi selesai," jawab Satria, baru menelan makanan yang ada di mulutnya. Sebelum mengalihkan pandangan ke arah Alira yang berdiri.
"Habiskan makanan kamu dulu," setelah melirik ke arah makanan istrinya yang tinggal setengah. Tak menghentikan langkah istrinya.
Yang sudah membuka resleting utama tas kerjanya merogoh kedalamnya.
"Iya nanti, setelah Mas minum obat," .
"Di resleting kecil, bukan di situ,"
Ta
"Satria," suara wanita menyela.Mengalihkan pandangan kompak Satria dan juga Alira, merasa tersentak dengan kedatangan Azkia yang tak pernah di sangka.Sebelum mengalihkan kembali pandangan keduanya saling beradu pandang."Ini kenapa wajah kamu?" lanjut Azkia, dengan nadanya yang terdengar khawatir, duduk di kursi kosong di samping mantan kekasihnya mengalihkan kembali pandangan Satria.Yang tersentak, menjauhkan kepalanya spontan mengindari sentuhan tangan Azkia di wajah tampannya."Yang," lirih Azkia, mengacuhkan Alira yang terdiam, memasang wajah memelasnya."Jaga sikap kamu Az! hilangkan panggilan itu," dingin Satria, melirik sejenak Alira, menjauhkan duduknya.Hendak mengisi kembali piring kosong milik istrinya, mengacuhkan mantan kekasihnya yang telah menyakitinya, dengan begitu sangat dalam menghianati nya."Ma
Kerlipnya bintang, bersinar begitu cerahnya bersama dengan sang rembulan yang berbetuk sabit menghiasi gelapnya malam.Terlihat Satria, mengendarai mobilnya dengan gelisah, membagi konsentrasinya antara stir di tangannya berusaha mengubungi istrinya yang tak mau mengangkat panggilan teleponnya."Alira... Astaga! kenapa nggak di angkat sih!" gumamnya mendesis bingung, merasa frustasi dengan situasi yang terjadi.Saat istrinya menghilang begitu saja, tak ada lagi di dalam restoran setelah di tinggalkannya pergi beberapa menit.Hanya untuk membantu Azkia keluar dari restoran, merasa kasihan dengan kalimat banyak lelaki yang merendahkan, tak menghargai mantan kekasihnya yang di pandang hina cenderung di lecehkan."Lebih baik kamu pulang sekarang, kamu bawa mobil kan?" kata Satria, beberapa saat yang lalu, melepaskan rengkuhan tangannya di bahu Azkia di luar restoran.
Kumpulan bintang di atas langit di gelapnya malam, saling bersaing menunjukkan sinarnya. Dalam menerangi malam yang semakin larut.Tepat di pukul 21:30, sebuah taksi melesat dengan kecepatan sedang, membawa dua orang yang saling diam, duduk di kursi belakang dan juga kursi depan samping kemudi.Setelah Alira kekeh dengan keputusannya, tetap tak ingin menaiki mobil Satria untuk pulang ke rumah, hingga suaminya itu memutuskan untuk ikut pulang bersama dirinya."Sudah malam Ra, kita naik mobil saja ya?" pinta Satria, beberapa saat yang lalu, namun tak merubah keputusan istrinya, masih berdiri di tepi jalan mencari keberadaan taksi."Oke, kita naik taksi sekarang," lanjut Satria, tepat di saat Istrinya itu akan membuka pintu belakang taksi mengalihkan pandangan Alira.Yang sedang merasa malas untuk berbicara maupun berdekatan dengannya, masih mendiamkannya. Segera berganti posisi, le
"Nggak perlu di siapkan makanku," kata Satria, ikut turun dari ranjang mengalihkan pandangan istrinya."Mas mau ke mana?""Tidur." mengayunkan langkahnya keluar dari kamar dan...BRAKKKMenutup pintu kamar sedikit keras, memejamkan sejenak mata Alira yang masih berdiri memperhatikan."Tidak tidak,""Jangan seperti itu Sat,"Menggelengkan kepalanya cepat, sama sekali tak ingin melakukan itu, marah hanya karena istrinya yang belum bisa mencintainya membuyarkan khayalannya.Sebelum mengalihkan kembali pandangannya, tersenyum kikuk mendengar pertanyaan istrinya."Kenapa geleng geleng begitu?" mengerutkan kening memperhatikan sikap anehnya."Nggak papa, aku mau makan,"Menganggukkan pelan kepala Alira, hendak mengayunkan langkahnya. Da
Suara bel yang berbunyi di pintu utama apartemen Satria di pagi hari, mengalihkan pandangan Alira, yang sedang menikmati sarapan bersama dengan suaminya di meja makan."Asisten rumah tangga mungkin Ra," kata Satria.Mengingat kembali jadwal kedatangan asisten rumah tangga yang di mintanya dari yayasan, menganggukan kepala istrinya."Biar aku yang buka," Segera berdiri dari duduknya, hendak mengayunkan langkahnya menuju pintu utama.Sebelum mengulaskan senyum di bibirnya, beradu pandang dengan asisten rumah tangga yang tersenyum mengangguk ramah."Selamat pagi Bu, saya Bi Ijah, asisten rumah tangga yang di kirim yayasan Nusa," wanita berusia sekitar empat puluh tahunan, tersenyum dengan begitu ramahnya."Silahkan masuk Bi," jawab Alira mempersilahkan.Kembali menganggukkan sopan kepala Bi Ijah, ikut mengayunkan langkah masuk ke dalam mengi
Derap langkah kaki Alira, setengah berlari dari arah kantin hendak menuju ke ruangan suaminya.Sambil membawa satu box pizza di tangan kanannya, terlihat begitu tergesa, dengan deru nafasnya yang memburu dan juga tersenggal.Merasa begitu takut, bercampur dengan perasaannya yang gelisah, karena kedatangan Mama Mayang yang begitu tiba-tiba."Aku harus keruangan Mas Satria dulu Dam," ucap Alira, sewaktu di kantin beberapa saat yang lalu.Mencoba untuk menguasai degup jantungnya yang berpacu sangat cepat, menelan salivanya pelan mengangkat pizza yang ada di tangannya."Aku harus memberikan ini untuk Mas Satria, dan juga," lanjutnya menggantung, melihat sorot mata tajam mantan kekasihnya yang terlihat kesal tak ingin terpengaruh."Aku juga harus bilang sama Mas Satria, aku nggak ingin Mas Satria salah paham." Membuat dadanya semakin berkecamuk hebat, akibat peran
"Kalian bertengkar Ra? ada masalah apa?" selidik Mama Mayang, menatap lekat Alira yang menundukkan kepala.Sebelum mengalihkan pandangannya, mendengar suara lelaki yang menyapanya menyela pembicaraan."Selamat siang Tante Mayang," sela Satria.Mempercepat degup jantung Alira, bersamaan dengan Adam yang terdiam menatapnya tajam."Selamat siang," jawab Mama Mayang, sesaat sebelum mengulaskan senyum ramahnya, menutupi rasa bingungnya tak mengenal Satria.Yang mengulurkan tangan ke depannya memperkenalkan diri."Saya Satria,""Mayang," menyambut uluran tangan Satria sudah berdiri."Kenal saya?" melepaskan jabatan tangannya menuntut jawaban."Mamanya Adam?"Hingga menciptakan kembali seulas senyum di bibir Mama Mayang mengangguk pelan membenarkan, "Teman kerjanya Adam ya?" terka Ma
Semilirnya angin, berhembus sepoi di sore hari. Membelai lembut kunciran rambut Alira yang sedang duduk termangu di atas kursi panjang di sebuah taman tepat di pukul 15.00.Dengan pandangan menerawangnya, demi untuk menenangkan suasana hatinya yang berkecamuk tak karuan, lebih memilih untuk mencari udara segar sesuai dengan saran dari suaminya. Tak ingin berlama lama di kantor semakin menyesakkan perasaannya yang terluka."Coklat atau vanila?" suara Satria, sesaat setelah berdiri di depan istrinya, mengangsurkan dua cone es krim besar mengalihkan pandangan Alira."Coklat atau vanila?" tanyanya lagi, mengulaskan senyum di bibirnya menatap sayang."Coklat," menerima pemberian Satria mengulaskan senyum tipisnya. "Makasih Mas,""Sama sama Sayang," dengan suaranya yang di buat sesensual mungkin, berbisik lirih di telinga istrinya yang tersenyum, hendak menikmati es krim pemberiannya.
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"