Semilirnya angin, berhembus sepoi di sore hari. Membelai lembut kunciran rambut Alira yang sedang duduk termangu di atas kursi panjang di sebuah taman tepat di pukul 15.00.
Dengan pandangan menerawangnya, demi untuk menenangkan suasana hatinya yang berkecamuk tak karuan, lebih memilih untuk mencari udara segar sesuai dengan saran dari suaminya. Tak ingin berlama lama di kantor semakin menyesakkan perasaannya yang terluka.
"Coklat atau vanila?" suara Satria, sesaat setelah berdiri di depan istrinya, mengangsurkan dua cone es krim besar mengalihkan pandangan Alira.
"Coklat atau vanila?" tanyanya lagi, mengulaskan senyum di bibirnya menatap sayang.
"Coklat," menerima pemberian Satria mengulaskan senyum tipisnya. "Makasih Mas,"
"Sama sama Sayang," dengan suaranya yang di buat sesensual mungkin, berbisik lirih di telinga istrinya yang tersenyum, hendak menikmati es krim pemberiannya.<
Semilirnya angin di malam hari, tak begitu dingin menusuk kulit. Di temani oleh banyaknya taburan bintang yang berserakan, saling menunjukkan kilauan sinar menyejukkan mata.Terlihat Alira, sudah berada di dalam apartemennya. Hanya memakai daster bermotif bunga yang membuatnya nyaman, sedang berkutat di dalam dapurnya hendak menyiapkan makan malam untuk dirinya dan juga suaminya.Sendirian, tanpa Bi Ijah yang membantunya, karena asisten rumah tangga barunya itu yang sedang izin keluar, untuk membeli sesuatu."Masak apa?" suara Satria, tiba tiba saja memeluk istrinya dari belakang, mengalihkan pandangan Alira yang tersentak, sedang mengiris sayuran hingga berjingkat."Kaget tahu nggak Mas," protes Alira, tak merubah posisinya, menciptakan kekehan di bibir suaminya."Masak apa?" tanya Satria lagi, menanyakan pertanyaan yang sama berbisik lirih tepat di telinga istrinya.&nbs
"Pelan-pelan," lirih Satria, sesaat setelah memberikan teh hangat buatannya, duduk di tepi ranjang di depan Alira.Tak mengalihkan pandangannya dari istrinya yang terdiam, menikmati teh hangat perlahan."Kita ke dokter ya?" tawar Satria, menggelengkan kepala Alira menolak."Hanya masuk angin Mas, nggak perlu ke Dokter,""Yakin?""Yakin," jawab Alira, kembali menikmati teh hangat buatan suaminya, menganggukkan kepalanya."Nggak usah kerja ya kamu? istirahat saja di sini," pinta Satria.Mengalihkan kembali pandangan istrinya, masih menyeruput teh hangat perlahan. "Disini sendiri?""Kan ada Bi Ijah, kamu harus tidur, istirahat. Kalau butuh sesuatu tinggal bilang ke Bi Ijah.""Mas kerja?""Iya, ada meeting nanti jam sepuluh." Jawab Satria, menganggukkan kepalanya pelan menyeka sud
"Dari mana kamu dapat kalung itu?" tanya Alira, dengan suaranya yang tercekat mencoba mencerna semuanya."A S, Azkia Satria, menurutmu dari mana lagi aku dapatkan kalung ini?" semakin melebarkan senyumnya mengepalkan tangan Alira."Kamu tahukan sekarang,""Keluar!" potong Alira, mengedikkan kepalanya menatap tajam.Sudah tak ingin lagi bermain main dengan wanita yang ada di depannya, memperburuk suasana hatinya yang cemburu."Silahkan keluar sekarang," lanjutnya lagi, segera mengayunkan langkahnya. Hendak membuka pintu utama mengusir Azkia."Aku ingin ketemu sama Satria.""Dan aku nggak mengizinkan kamu untuk bertemu suamiku!" masih menahan pintunya yang terbuka. "Keluar sekarang! kamu masih punya harga diri kan? setidaknya sedikit saja, tunjukkan kalau kamu wanita yang masih punya sisa martabat.""Apa maksud kamu?" t
Sinar mentari masih terasa begitu terik menyengat kulit, meskipun posisi sang Surya yang telah sedikit bergeser, tepat di pukul satu masih di dalam unit apartemen Satria.Terlihat si empunya, sedang berdiri dengan perasaannya yang begitu gelisah, memperhatikan Dokter Manda putri dari Dokter pribadi Papa Bagaskara.Sedang memeriksa Alira yang masih belum sadar juga dari pingsannya."Kok masih belum bangun juga ya Man?" tanya Satria."Sabar Kak," mendekatkan minyak kayu putih ke arah hidung Alira baru menyelesaikan tensi di lengan Alira. "Tensinya rendah,""Dia belum makan Man," sahut Satria, mengayunkan langkahnya cepat, ingin duduk di atas ranjang di samping istrinya dan di seberang Dokter Manda."Belum makan? sama sekali?""Tadi sih sempat sarapan, tapi keluar semuanya. Alira muntah dan nggak makan lagi sampai sekarang,"
Sinar mentari masih terasa begitu terik menyengat kulit, meskipun posisi sang Surya yang telah sedikit bergeser, tepat di pukul satu masih di dalam unit apartemen Satria.Terlihat si empunya, sedang berdiri dengan perasaannya yang begitu gelisah, memperhatikan Dokter Manda putri dari Dokter pribadi Papa Bagaskara.Sedang memeriksa Alira yang masih belum sadar juga dari pingsannya."Kok masih belum bangun juga ya Man?" tanya Satria."Sabar Kak," mendekatkan minyak kayu putih ke arah hidung Alira baru menyelesaikan tensi di lengan Alira. "Tensinya rendah,""Dia belum makan Man," sahut Satria, mengayunkan langkahnya cepat, ingin duduk di atas ranjang di samping istrinya dan di seberang Dokter Manda."Belum makan? sama sekali?""Tadi sih sempat sarapan, tapi keluar semuanya. Alira muntah dan nggak makan lagi sampai sekarang,"
Semilirnya angin di sore hari, membelai lembut tanaman di taman mini Papa Bagaskara yang ada di samping rumah. Taman kesayangan Mama dari Satria, tampak begitu indah dan tertata.Terlihat Papa Bagaskara, bersenandung ria dengan suaranya yang terdengar lirih. Sedang menyirami indahnya bunga berbagai macam warna."Lihat ini Ma, Bunga kamu nggak ada yang layu kan. Semuanya tumbuh subur, sama seperti cinta Papa ke kamu," gumamnya terkekeh sendiri."Jadi Mama jangan marah, meskipun nggak setiap harinya Papa bisa menyiram, tapi kan ada Asih yang merawat tanaman Mama jadi bisa seperti ini." Gumamnya lagi, masih mengendalikan slang biru di tangannya, menyirami semua bunga kesayangan mendiang istrinya."Pak, Bapak," suara Bi Asih, yang tergesa, setengah berlari mengalihkan pandangan Papa Bagaskara."Ponselnya bunyi," mengangsurkan ponsel keluaran terbaru ke depan majikannya.
Suara tawa Azkia, terdengar menggelegar memenuhi kamarnya. Namun begitu memilukan sebelum terdiam, menghentikan tawa di bibirnya memperhatikan ponselnya yang telah hancur berserakan di atas lantai.Salah satu benda pemberian Satria, ponsel keluaran terbaru beberapa tahun silam, bagaimana bisa sekarang hancur tak berbentuk seperti itu menitikan air matanya.Hendak beranjak berdiri, dengan bibirnya yang bergetar mengayunkan langkahnya perlahan mendekati kepingan ponsel penuh dengan kenangan."Ponselku rusak Sat, bagaimana ini Sat?" gumamnya lirih, dengan tangisannya yang terisak, memperhatikan pecahan ponsel yang baru di ambilnya.Untuk di dekapnya di dalam dada, kembali mengingat manisnya senyuman Satria saat memberikan hadiah ponsel itu kepadanya."Semua ini gara gara Alira Sat! gara gara wanita itu! berani sekali dia hamil anak kamu Sat, berani sekali dia mengandung anak kamu,"
Hangatnya sinar di pagi hari, bersama dengan semilirnya angin yang berhembus sepoi. Menggoyangkan sedikit dedaunan yang tumbuh di depan gedung rumah sakit tempat Alira memeriksakan kandungan.Bersama dengan Satria, yang sedang berdiri sedikit mencondongkan badannya, sembari menggenggam erat tangan istrinya yang tengah berbaring di atas ranjang di samping layar usg.Menanti tindakan Dokter yang sedang memeriksa kondisi kehamilan istrinya. Begitu sangat berdebar, dengan degup jantungnya yang bertalu tak karuan menikmati kebahagiaan.Sudah berada didalam sebuah ruangan bercat putih, terus saja menatap lekat layar USG memperhatikan tiap gambar yang tersaji di depannya dengan berbagai macam tulisan kecil di atasnya.Sama sekali tak mengetahui maksud dari arti semuanya, segera menjatuhkan pandangannya, tepat di lingkaran sebesar biji kacang polong yang ada di dalam sebuah kantung kehamilan.
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"