Semilirnya angin di sore hari, membelai lembut tanaman di taman mini Papa Bagaskara yang ada di samping rumah. Taman kesayangan Mama dari Satria, tampak begitu indah dan tertata.
Terlihat Papa Bagaskara, bersenandung ria dengan suaranya yang terdengar lirih. Sedang menyirami indahnya bunga berbagai macam warna.
"Lihat ini Ma, Bunga kamu nggak ada yang layu kan. Semuanya tumbuh subur, sama seperti cinta Papa ke kamu," gumamnya terkekeh sendiri.
"Jadi Mama jangan marah, meskipun nggak setiap harinya Papa bisa menyiram, tapi kan ada Asih yang merawat tanaman Mama jadi bisa seperti ini." Gumamnya lagi, masih mengendalikan slang biru di tangannya, menyirami semua bunga kesayangan mendiang istrinya.
"Pak, Bapak," suara Bi Asih, yang tergesa, setengah berlari mengalihkan pandangan Papa Bagaskara.
"Ponselnya bunyi," mengangsurkan ponsel keluaran terbaru ke depan majikannya.
Suara tawa Azkia, terdengar menggelegar memenuhi kamarnya. Namun begitu memilukan sebelum terdiam, menghentikan tawa di bibirnya memperhatikan ponselnya yang telah hancur berserakan di atas lantai.Salah satu benda pemberian Satria, ponsel keluaran terbaru beberapa tahun silam, bagaimana bisa sekarang hancur tak berbentuk seperti itu menitikan air matanya.Hendak beranjak berdiri, dengan bibirnya yang bergetar mengayunkan langkahnya perlahan mendekati kepingan ponsel penuh dengan kenangan."Ponselku rusak Sat, bagaimana ini Sat?" gumamnya lirih, dengan tangisannya yang terisak, memperhatikan pecahan ponsel yang baru di ambilnya.Untuk di dekapnya di dalam dada, kembali mengingat manisnya senyuman Satria saat memberikan hadiah ponsel itu kepadanya."Semua ini gara gara Alira Sat! gara gara wanita itu! berani sekali dia hamil anak kamu Sat, berani sekali dia mengandung anak kamu,"
Hangatnya sinar di pagi hari, bersama dengan semilirnya angin yang berhembus sepoi. Menggoyangkan sedikit dedaunan yang tumbuh di depan gedung rumah sakit tempat Alira memeriksakan kandungan.Bersama dengan Satria, yang sedang berdiri sedikit mencondongkan badannya, sembari menggenggam erat tangan istrinya yang tengah berbaring di atas ranjang di samping layar usg.Menanti tindakan Dokter yang sedang memeriksa kondisi kehamilan istrinya. Begitu sangat berdebar, dengan degup jantungnya yang bertalu tak karuan menikmati kebahagiaan.Sudah berada didalam sebuah ruangan bercat putih, terus saja menatap lekat layar USG memperhatikan tiap gambar yang tersaji di depannya dengan berbagai macam tulisan kecil di atasnya.Sama sekali tak mengetahui maksud dari arti semuanya, segera menjatuhkan pandangannya, tepat di lingkaran sebesar biji kacang polong yang ada di dalam sebuah kantung kehamilan.
Langit mendung di siang hari, hingga menyembunyikan terangnya sinar dari sang mentari di balik gelapnya mendung yang bergelayut.Menemani perjalanan Alira, Satria dan juga Papa Bagaskara, sudah melewati gerbang utama perumahan di kediaman kedua orang tua Alira mengedarkan pandangan Satria.Menikmati rintiknya hujan yang belum terlalu deras, dengan suasana mobil yang begitu hening akibat semua penumpang yang membisu tak ada yang bersuara."Kok tiba tiba lapar begini ya Mas," suara Alira, memecah keheningan mengalihkan pandangan suami dan juga mertuanya."Lapar?" sahut Satria, melirik sesaat jam tangan di pergelangannya, "Sudah jam dua belas Ra, waktunya makan siang memang,""Sebentar lagi sampai Ra, tahan dulu ya, apa kita cari tempat makan di sekitaran sini," sela Papa Bagaskara, mengedarkan pandangannya mencari tempat makan yang tak di temukan nya."Masih bi
"Azkia," batin Satria, menerima pesan dari mantan kekasihnya.Hingga mengingatkannya akan urusan yang belum di selesaikan dengan mantan kekasihnya itu, mengenai kalung dan juga kedatangan Azkia ke apartemennya beberapa hari yang lalu.(Apa kabar Sat?)Pesan singkat Azkia, mengalihkan pandangan Satria, menatap istrinya yang sedang menikmati sarapan di kursi makan di hadapannya."Mas yakin nggak mau makan?" tanya Alira tiba tiba.Menyentakkan Satria yang sedari tadi memandangnya. "Ha?""Kenapa lihatin aku terus sih? lapar ya? ingin makan?" kembali menyuapkan sesendok nasi dan juga lauk ke dalam mulutnya sendiri menggelengkan kepala Satria."Masih kenyang," jawab Satria"Mau aku suapin nggak?" sesaat setelah menelan makanannya, sembari mengangsurkan sesendok nasi ke depan Satria membuka mulut suaminya.
Kondisi perut yang ingin di isi, namun harus di tahan oleh Satria yang ingin menikmati makan bersama dengan istrinya, sedang mengayunkan langkahnya.Melewati lorong dengan beberapa pintu ruangan di samping kanan dan kiri, hendak menuju ruangan keuangan."Ra," panggil Satria, sesaat setelah membuka pintu ruangan istrinya mengedarkan pandangannya.Tak mendapati seorang pun di dalamnya, tak ada istrinya maupun Anton atasan dari Alira.Membuatnya terdiam, sembari merogoh ponselnya yang ada di dalam kantong jas kerjanya ingin menghubungi istrinya."Yah, mati," gumamnya, tak bisa menyalakan layar ponselnya.Menggerutu sendiri, melupakan ponselnya yang minta di cas sedari tadi, namun di acuhkan nya demi untuk bisa menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin.Hendak mengayunkan langkahnya kembali keluar ruangan, namun harus tertahan mendengar suar
Brakkkkkk.Suara pintu mobil yang di buka Alira, terdorong kasar hingga menutup dengan begitu keras mengejutkannya, "Ya Allah!"Tak terkecuali Rani, baru saja masuk ke dalam mobil tersentak kaget."Azkia?" batin Alira, masih dengan degup jantungnya yang tak karuan, sisa dari rasa terkejutnya, semakin tekejut dengan keberadaan Azkia yang tersenyum tipis, menatapnya sinis."Hai," sapa Azkia.Mengalihkan pandangan Alira, beradu pandang dengan Rani yang terdiam kembali turun dari mobil mendekatinya."Hai," balas Alira, harus bisa tenang tak boleh terlihat gugup, membalas senyuman Azkia."Siapa Ra?" tanya Rani, sangat tak menyukai sikap kasar wanita yang ada di depannya menatap dingin."Ini?" menunjuk Azkia."Teman kamu?"Menggelengkan kepala Alira. "Bukan
"Makan dimana?""Di Sunlight kafe," memejamkan matanya."Sama siapa? kok nggak bilang kalau makan di luar?" sudah duduk di samping istrinya."Lupa Mas,"Tak mengetahui Satria yang terdiam, memperhatikan sisa warna merah dari bekas tamparan Azkia di pipinya, menyentuh pipinya."Ini kenapa merah begini?" tanya Satria.Membuka mata istrinya, dengan tatapan tajam menghujamnya mengerutkan keningnya. "Kenapa?" memundurkan kepalanya."Kok tatapannya begitu? masih lapar ya? ingin makan aku?" kelakar Satria terkekeh sendiri.Sembari membantu istrinya untuk bangun, dan mengulaskan senyum di bibirnya menerima pelukan Alira yang masih membisu membenamkan wajah di bahunya."Makan sama siapa tadi di kafe?" membelai lembut punggung istrinya."Sama teman kuliah dulu," melingkarkan tangannya d
"Sat," lirih Azkia, dengan degup jantungnya yang tak karuan, sangat mengenal kilatan di mata mantan kekasihnya, menatap sayu."Kamu merindukanku?" suara Satria akhirnya, setelah terdiam beberapa saat menatap tajam.Sama sekali tak bisa mengendalikan deru nafasnya yang sedari tadi memburu, menganggukkan kepala Azkia.Hingga membuatnya ingin sekali tertawa, tergelak kalau perlu, demi untuk bisa menertawakan wanita yang ada di depannya. Mantan kekasih yang pernah sangat di cintainya, namun sudah menghianati nya, menusukkan belati tepat di hatinya.Dan kini dengan mantapnya menggangguk saat dirinya bertanya apa masih merindukannya?"Kamu masih mencintaiku?" tanya Satria lagi, sedikit bisa mengurangi kilatan di matanya, harus bisa mengendalikan emosinya."Aku masih mencintaimu Sat, sangat," menatap sayu menunjukkan kesungguhan."Seberapa besar
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"