"Maaf," lirih Alira.
Semakin mempercepat degup jantung Adam menatap dalam.
"Maaf? untuk apa?" lirih Adam.
Memejamkan dalam mata Alira, masih menundukkan kepalanya. Berusaha untuk tegar di atas kondisinya yang gemetar, berusaha untuk kuat melawan hasrat yang tak ingin kehilangan.
"Tenang Ra, tenang, percaya sama Allah, percaya, percaya ini yang terbaik untuk kamu dan juga Adam," batin Alira, segera menarik nafasnya panjang, sesaat sebelum menegakkan kepalanya.
Beradu pandang dengan sorot mata sendu Adam, terlihat begitu terluka kembali melemahkan ya.
"Ya Allah... kenapa susah sekali?" batinnya lagi, semakin sendu dan juga pilu. Berusaha keras untuk menahan buliran bening di balik kelopak matanya yang telah berkaca-kaca, mencoba bersuara.
"Aku...,"
Mengerutkan kening Adam, merasa begitu tak sabar, di sela rasa khawatirn
"Minum dulu," Kata Satria, mengangsurkan sebotol air mineral dingin kepada istrinya, yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi mendekatinya.Terlihat sedikit berantakan, dengan wajah basah dan juga kunciran rambut yang tak lagi rapi, hanya terdiam menerima air pemberiannya.Tanpa suara, segera menenggak dengan tak sabar, hingga menandaskan setengah botol dan tersenggal."Pelan pelan Ra," kata Satria, tak mengalihkan pandangannya, menatap bibir istrinya yang bergetar menahan tangis."Mau makan?" tawarnya, sesaat setelah Alira menandaskan dengan sempurna air pemberiannya."Nggak mau,""Yah... sayang sekali,"Mengerutkan kening Alira, menyeka air matanya yang hampir menitik.Membiarkan suaminya itu mengusap sisa air mata di pipinya, mencubit pipinya gemas."Aku sudah pesan banyak makanan untuk kamu, sebentar lagi juga datang," jawab Satria.Bersamaan deng
Suasana mendung yang menggantung, sedikit menyembunyikan sinar mentari sore yang hendak pulang ke peraduan. Meninggalkan tempatnya menuju senja sebelum menemui gelapnya malam.Terlihat sedan hitam yang di kendarai Satria, melaju dengan begitu pelan cenderung merambat, akibat jalanan kota yang begitu macet, beberapa kali berhenti karena padatnya lalu lintas di jam pulang bekerja."Sopirnya Papa kemana Mas?" tanya Alira, yang sedang duduk di kursi depan di samping kemudi, mengalihkan pandangan suaminya."Pulang, nganterin Papa ke kafe baru teman Papa,""Mas bisa nyetir sendiri? harusnya kita tadi naik taksi saja Mas,""Bisa, buktinya ini bisa,""Nggak pusing? Mas juga belum makan,""Ya ini kan lagi cari makan, di depan sana, setelah perempatan ada restoran enak, kamu pasti suka," jawab Satria, menunjuk ke arah depan, yang terlihat begitu padat menghentikan laju mobilnya."Tapi ini m
"Maaf ya," suara serak Satria, masih terbaring di atas ranjang, mengalihkan pandangan istrinya beradu pandang."Aku bantu Ibu masak dulu Mas, menyiapkan makan malam," jawab Alira, berusaha mengontrol suasana hatinya yang tak karuan, segera beranjak duduk tak menjawab permintaan maaf suaminya."Rapikan dulu rambut dan baju kamu,"Menganggukkan kepala Alira, segera turun dari ranjang mendekati meja rias, tak bisa melupakan jamahan Satria yang terus saja terngiang di kepalanya.Sebelum menyisir rambutnya perlahan di depan cermin meja rias, sesaat setelah merapikan bajunya, sudah mengancingkan dua kancing atasnya yang sempat dibuka oleh suaminya."Mikirin apa?" tanya Satria, tiba-tiba saja memeluknya dari belakang menyentakkan nya.Hingga membuat tubuhnya kembali meremang, membeku seketika menghentikan sisirannya menggeleng pelan."Terimakasi
Petir menggelegar, memecah kesunyian menambah dinginnya malam tanpa sang bintang dan juga rembulan yang bersembunyi.Terlihat mobil Satria, melaju dengan kecepatan sedang, menembus derasnya hujan berusaha untuk fokus ke depan.Sudah melewati gapura tinggi di pintu utama bertuliskan nama perumahan tempat tinggal orang tuanya, terus saja mengulum senyum di bibirnya, beberapa kali memperhatikan istrinya yang terdiam balik meliriknya."Wah... hujan hujan begini enaknya ngapain ya Ra," suara Satria, mengedarkan pandangannya menggoda."Minum teh hangat mungkin Mas, biar nggak kedinginan," sahut Alira.Menciptakan kekehan di bibir Satria, karena jawaban istrinya yang sama sekali tak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya."Habis minum teh hangat terus ngapain?""Makan pisang goreng,""Terus?"Tak menga
Waktu bergulir semakin malam, menyisakan tetesan air hujan yang hampir berhenti, menambah dinginnya malam yang cukup sunyi di kediaman Papa Bagaskara.Tepat di pukul 20:00, terlihat Alira, mengayunkan langkahnya gontai, baru menyelesaikan obrolannya bersama dengan Papa Bagaskara, menaiki anak tangga hendak menuju kamar suaminya di lantai dua."Papa minta maaf atas sikap Satria, yang mungkin saja angkuh dan juga buruk sewaktu awal menikah dulu Ra," kata Papa Bagaskara, beberapa saat lalu, setelah kepergian suaminya masuk ke dalam kamar menjadi pembuka obrolannya."Papa jangan minta maaf, saya juga salah Pa, sudah mau menerima dan menandatangani surat perjanjian," jawabnya menggeleng pelan."Jadi bukan sepenuhnya kesalahan Mas Satria." lanjut Alira.Beradu pandang dengan sorot mata sendu Papa mertuanya yang menyiratkan luka, akibat dari rasa kecewa, mengetahui dalamnya isi dari rum
Malam semakin larut, tepat di saat jam dinding yang menggantung di kediaman Papa Bagaskara sudah akan menunjuk ke angka sepuluh. Lebih tepatnya di pukul 21:35.Terlihat Alira, baru membuka pintu kamar suaminya, sebelum menjatuhkan pandangannya, ke arah Satria yang telah memejamkan mata di atas ranjang di bawah selimut yang hanya menutupi sampai di atas lutut.Lebih memilih untuk mendekati suaminya terlebih dahulu, membenarkan posisi selimut yang di pakai Satria agar bisa menutupi sampai ke dada. Sebelum nantinya pergi ke kamar mandi, untuk mencuci wajah dan juga menggosok giginya sebelum tidur."Pa...pakai selimutnya yang benar Mas," kata Alira terbata, merasa tersentak dengan gerakan tangan Satria yang menangkap punggung tangannya membuka mata."Aku nggak butuh selimut,""Nanti masuk angin,""Makanya sini, tidur sini dan peluk aku, biar akunya nggak masuk an
Mentari kembali mengintip, membawa sinar hangatnya di pagi hari, terlihat begitu cerah tanpa sedikitpun awan mendung yang menghalangi.Secerah suasana hati Satria saat ini, tak bisa menghentikan senyuman di bibirnya, sudah membuka matanya, menatap lekat istrinya yang masih tertidur di sampingnya.Menjadikan salah satu tangannya sebagai tumpuan, tidur menyamping, sambil membelai lembut dahi dan juga pipi istrinya yang terlelap."Ah," desis Alira memekik, sewaktu sebelum subuh tadi, hendak beranjak bangun menuju kamar mandi. Namun harus tertahan akibat rasa sakit yang dirasakannya membangunkan Satria."Kenapa?""Sakit," lirih Alira meringis."Apanya?" pertanyaan bodoh yang di tanyakan Satria, akibat dirinya yang belum sadar sepenuhnya beranjak duduk dari tidurnya."Ini," Ragu Alira, menggerakkan kepalanya ke arah daerah sensitifnya.
"Selamat Pagi Pak," sapa beberapa pegawai, menyambut kedatangan Satria, yang sedang mengayunkan langkah masuk ke dalam loby, saling berbisik.Memperhatikan Alira yang sedang menundukkan kepala, berusaha untuk tak terganggu dengan pandangan para pegawai yang tak mengetahui status pernikahannya dengan Satria. Tak melepaskan gandengan tangan suaminya."Kenapa nunduk terus?"Menggelengkan kepala Alira, tak ingin mengungkapkan rasa tak nyaman yang sedang dirasakannya, lebih memilih untuk diam.Tetap berjalan menuju pintu lift khusus karyawan, hendak melepaskan gandengan tangan suaminya."Kenapa di lepas?" sergah Satria, semakin mengeratkan gandengan tangannya mengalihkan pandangan istrinya."Lift Mas disana," seraya menunjuk ke arah lift khusus petinggi, yang ada di sisi barat lift khusus karyawan."Aku ingin naik lift ini, aku antar kamu samp