Suasana jalanan yang tak terlalu sepi, dengan beberapa kendaraan bermotor yang berlalu lalang menembus jalanan komplek perumahan tempat kediaman orang tua Alira.
Termasuk Alira sendiri, yang sedang mengendarai motor maticnya dengan kecepatan rendah, tak bisa melupakan kalimat Adam yang terus saja terngiang di kepalanya.
"Kita akhiri saja semuanya Ra! jangan menyakitiku lagi dengan harapan kosong yang kamu berikan!"
Semakin menambah isakan tangisannya, beberapa kali mengusap air matanya.
"Waktu kamu tinggal besok, coba kamu tanya pada hati kamu sendiri, pikirkan apa resiko jika kamu bercerai! apa resiko jika kamu bertahan dengan pernikahan kamu, timbang semuanya Ra, dan putuskan semuanya,"
"Bagaimana caraku untuk menimbang Dam, Ibu, Ayah, kamu, sama sama aku sayang, kalian punya tempat tersendiri di hatiku. Sungguh, aku sangat mencintai kamu Dam, aku sangat menci
"Aku ingin bercerai Yah, aku bisa kan bercerai dengan Mas Satria? enam bulan sudah cukup kan untuk membayar lunas hutang Budi Ayah? aku ingin bercerai Yah, aku ingin bercerai...," jawab Alira, dengan sorot mata mengibanya.Sesaat setelah melepaskan pelukannya, semakin menyentakkan hati Ayah dan juga Ibunya beradu pandang. Secara bergantian, terlihat begitu pilu, di kuasai oleh perasaan sendu.Bersamaan dengan Satria yang mengeraskan rahangnya, dengan degup jantungnya yang tak karuan mengepalkan tangan mendengar permintaan istrinya."Ya Allah Ra, Instighfar Nak... kamu menikah itu bukan untuk main main! bagaimana bisa! kamu bicara seperti itu?" sahut Bu Rani, dengan degup jantungnya yang tak karuan, sama sekali tak menyukai kalimat putrinya."Bagaimana bisa Ra? kamu ingin bercerai dengan Satria? terus apa yang akan kamu lakukan setelah bercerai? menikah dengan Adam? apa kamu masih ada hubungan dengan Adam? tolong jangan bilang iya R
Lima belas menit sudah Alira terisak dan tergugu di dada suaminya, waktu yang cukup lama, guna untuk sekedar mengurai rasa sesak, hingga mencapai kata sedikit tenang dengan tangisannya yang mulai berkurang."Kamu minum dulu ya?" kata Satria, setelah membisu, hanya membelai lembut puncak kepala dan punggung istrinya memberikan kenyamanan.Melepaskan pelukannya, tak beradu pandang dengan Alira yang membisu menundukkan kepala, segera mengayunkan langkahnya untuk menuang air putih yang ada di dalam teko ke dalam gelas yang tadi di pakainya di atas nakas."Kamu minum dulu Ra, tenangin diri kamu," kata Satria, dengan begitu lembutnya, mengalihkan pandangan istrinya."Ayo," lanjut Satria, karena istrinya yang terdiam, tak kunjung mengambil alih gelas pemberiannya menatapnya sendu."Mau minum pakai tanganku?""Terimakasih," jawab Alira akhirnya, mengambil alih segelas air pemberian suaminya menciptakan seulas senyum di bibir Satria.Segera me
Semilirnya angin, masuk ke dalam jendela kamar Alira yang terbuka, tanpa gorden yang menutupi membebaskan masuknya sinar mentari di sore hari.Terlihat Satria, duduk di tepi ranjang mengulum senyum di bibirnya, memperhatikan Alira yang sedang menikmati ayam geprek tanpa nasi di atas piring."Kenapa senyum-senyum?" tanya Alira, masih dengan wajahnya yang murung, melebarkan senyum suaminya."Enak nggak?""Enak, mau? itu masih ada satu," jawab Alira, menunjuk banyaknya makanan yang mengantri di atas nakas, dengan telunjuknya yang penuh dengan sisa sambal mengunyah makanannya."Aku mau itu,""Mana?""Yang ada di tangan kamu," jawab Satria mengedikkan dagunya."Kan bekas aku,""Ya nggak papa, kita makan bareng-bareng lagi sama seperti ketoprak kemarin," jawab Satria, tak membuat Alira bersuara, hanya mengulurkan piring yang di
Senja hendak berganti malam, bersama dengan derasnya air hujan, membasahi halaman rumah Alira yang tertutup Rapat.Setelah lima belas menit berlalu, setelah adzan Maghrib berkumandang, terlihat Alira, duduk terpekur di atas sajadahnya, tak ada lagi air mata, hanya rasa sesak yang melanda baru menyelesaikan sholatnya.Berdzikir dengan matanya yang terpejam, guna untuk menenangkan hatinya yang tak karuan, menenangkan jiwanya yang sedang lara.Tok tok tok Suara ketukan pintu di kamarnya, membuka matanya mengalihkan pandangannya."Suami kamu belum pulang juga Ra, di luar hujannya deras, coba kamu telepon dia ada di mana," kata Bu Rani, sesaat setelah membuka pintu kamar beradu pandang.Dengan Alira yang membisu, tak menjawab pertanyaan ibunya, tak mengetahui kepergian Satria yang tak pamit kepadanya."Nanti juga pulang sendiri Bu, Ma
"Terima takdir kamu Ra, terima kenyataan,""Terima semuanya, kamu harus menjadi istri yang baik Ra, kamu harus bisa berbakti,""Lupakan Adam, lupakan Adam, lupakan Adam,"Batin Alira, yang sedang mengiris kentang menjadi persegi kecil-kecil, hendak membuat menu sambal goreng kentang dan juga hati.Berusaha berdiri tegak di atas kakinya yang sedikit gemetar, akibat rasa tertekan yang sedang di rasakannya mencoba mensugesti otak dan juga hatinya sendiri.Namun nihil, karena semakin dirinya berkata lupakan, bayangan Adam semakin terlihat jelas, kembali mengingat memory kebersamaannya dengan Adam, bagaimana sikap lembut Adam, bagaimana manisnya senyum Adam, dan bagaimana hangatnya pelukan Adam.Selama enam tahun belakangan, membuatnya begitu bahagia, merasa di cintai sepenuh hati.Hingga membuatnya begitu bersyukur, merasa sangat beruntung menjadi satu-satunya
"Gimana Alira?" tanya Satria, sedang berdiri tak jauh dari Dokter Manda, wanita berparas cantik dan juga masih muda dengan usianya yang baru menginjak 27 tahun. Baru menyelesaikan pemeriksaan."Baik, tekanan darahnya juga normal. Nggak ada masalah Kak,"Menciptakan helaan nafas di bibir Bu Rani dan juga Pak Herman merasa lega."Tapi kenapa bisa pingsan? coba kamu periksa lagi Man," titah Satria, masih tak percaya ingin lebih memastikan lagi bahwa istrinya itu baik baik saja."Aku nggak papa Mas," sahut Alira."Itu matanya sembab begitu, lagi stres ya? banyak pikiran?" tanya Dokter Manda, menciptakan seulas senyum kikuk di bibir Alira sebagai jawaban."Apa yang kamu rasakan tadi pas mau pingsan?""Pusing, mungkin karena pikiran lagi kemana-mana Dok, terus mata rasanya gelap dan nggak sadar,""Sering seperti itu?"Meng
Pagi telah menjelang, menunjukkan sinarnya yang begitu hangat dan masih mengintip, tak menembus kaca jendela Alira yang tertutup gorden.Tepat di pukul 06:00, terlihat Alira, baru membuka matanya perlahan, merasakan hawa panas di atas perutnya yang terasa berat membangunkannya.Sebelum terdiam, dengan rasa terkejutnya, menatap Satria yang tengah tertidur pulas merangkul perutnya."Panas," gumamnya pelan, sedikit menggeser posisi tubuhnya, untuk bisa menyentuh kening suaminya yang sedang demam menatap lekat.Kembali mengingat kalimat dan permintaan Satria tadi malam, benar-benar membuatnya gugup, tak mampu mengendalikan degup jantungnya yang tak karuan. Akibat rasa takutnya yang meninggi, merasa tak siap menyerahkan diri."Aku ingin kita menjadi suami istri yang sebenarnya,""Apa maksud Mas?""Kamu ngerti apa maksudku Ra,"Melemaskan tubuh Alira, sama sekali tak bisa membayangkan apa yang di inginkan suaminya.
"Obat terampuh," lirih Satria, sesaat setelah melepaskan ciumannya mengulaskan senyumnya.Sebelum terkejut, dengan sentakan tangan Alira yang terlihat begitu kesal, melepaskan pelukannya dan turun dengan begitu cepatnya menjauhinya.Hingga membuatnya terdiam, dengan sorot mata tajamnya, segera beranjak duduk dan mencekal tangan Istrinya. Yang sudah berdiri, hendak meninggalkannya keluar kamar."Kenapa? marah?" tanya Satria, dengan deru nafasnya yang memburu, akibat rasa terkejut dan juga hasratnya yang tak tersalurkan dengan sempurna.Bersitatap dengan sorot mata kesal istrinya, yang membisu menatapnya tak kalah tajam."Mas mengingkarinya lagi Mas!""Apanya?" jawab Satria balik bertanya. Berusaha keras untuk tenang tak melepaskan cekalan tangannya."Mas sendiri yang bilang satu bulan lagi bukan? kenapa sekarang seperti ini?""Apanya yang s