Sementara itu di kamarnya di lantai dua, Satria masih terdiam, menarik nafasnya panjang menengadahkan kepalanya masih bersandar.
Berusaha berpikir, sambil memejamkan matanya dalam, mencari cara untuk memisahkan istrinya dengan Adam.
Sebelum menegakkan kepalanya cepat, berusaha menerka kelemahan Alira, ingin menghubungi seseorang yang sangat di hormati dan juga di takuti istrinya.
"Ibu, ya ibu, mungkin Ibu bisa membantuku sekarang," gumam Satria.
Segera meraih ponselnya yang ada di atas ranjang, ingin menghubungi ibu mertuanya.
Hanya menunggu beberapa detik sebelum...
"Assalamualaiku Bu," salam Satria, sesaat setelah panggilan teleponnya tersambung.
"Waalaikum salam Satria," Jawab Bu Rani dari dalam ponsel, menciptakan seulas senyum di bibir Satria menyandarkan kepalanya.
"Gimana keadaan kamu Sat? Ibu sama Ayah minta m
Siang kian menjelang, namun belum terlalu terik, karena waktu baru menunjuk ke pukul sepuluh.Di jalanan perumahan yang terlihat sepi, hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang, terlihat mobil hitam Adam, melaju dengan kecepatan sedang sebelum berbelok ke halaman rumah berlantai satu yang terlihat cukup luas dan sangat asri.Dengan berbagai macam bunga dan tumbuhan yang menghiasi, tertata begitu rapi di sekitar pagar dinding gerbang yang sudah terbuka.Menampakkan raut wajahnya yang di buat biasa saja, menyembunyikan rasa kecewanya, tak ingin memperlihatkannya kepada orang tuanya."Assalamualaikum," ucap Adam, sesaat setelah masuk ke dalam pintu utama yang tak terkunci.Sebelum mengulaskan senyum di bibirnya, melihat Mamanya yang tergopoh baru keluar dari dapur menemuinya."Waalaikum salam," jawab Mama Mayang, sebelum terdiam, menyadari ada yang kurang.
Semilirnya angin di siang hari, Mambawa teriknya mentari yang tak lagi bersahabat menyengat kulit.Terlihat Alira, duduk bersebelahan dengan suaminya Satria di atas meja makan, belum memulai acara makan siangnya bersama dengan kedua orang tua dan juga Aksa, adiknya."Mau makan apa Mas?" tanya Alira, seraya mengambil piring kosong yang ada di depan suaminya, mengalihkan pandangan Ibunya yang masih diam setelah menenggak setengah gelas air mineral."Ambilkan ayam kecap ini Ra, suami kamu kan sukanya itu," sahut Bu Rani."Ayam kecap ya Mas?" tanya Alira."Iya, yang banyak," jawab Satria."Jangan banyak-banyak Mas, nanti yang lainnya nggak kebagian," spontan Alira, sebelum terkekeh mendengar sahutan Ayahnya."Di dapur masih banyak Ra, nggak kebagian gimana? iya kan Bu?" kata Ayah Pras."Iya, kasih yang banyak Ra, biar cep
Semilirnya angin di siang hari, tepat di pukul dua dengan cuaca yang sangat cerah. Terlihat Alira, menghentikan laju motornya di dalam halaman kafe dan sejajar dengan deretan motor yang lainnya.Merasa begitu tak sabar, dengan degup jantungnya yang semakin tak karuan, bersiap untuk melepas rindu, bertemu dengan kekasih hatinya, lelaki yang begitu di cintainya namun terus saja di sakitinya.Sebelum terdiam, dengan deru nafasnya yang tersenggal setelah berlari dari halaman parkir ke pintu utama kafe, menatap sayang Adam yang sedang menikmati secangkir kopi di atas meja menyadari keberadaannya.Tanpa senyum di bibir untuknya, tanpa tatapan hangat sama seperti biasanya, sungguh sangat sangat menyakiti hatinya."Apa kabar Dam?" tanya Alira, sudah berdiri di depan kekasihnya, memainkan tali tasnya yang ada di atas pinggang.Merasa begitu kikuk, tak bisa sesantai biasanya, hingga mencip
Suasana jalanan yang tak terlalu sepi, dengan beberapa kendaraan bermotor yang berlalu lalang menembus jalanan komplek perumahan tempat kediaman orang tua Alira.Termasuk Alira sendiri, yang sedang mengendarai motor maticnya dengan kecepatan rendah, tak bisa melupakan kalimat Adam yang terus saja terngiang di kepalanya."Kita akhiri saja semuanya Ra! jangan menyakitiku lagi dengan harapan kosong yang kamu berikan!"Semakin menambah isakan tangisannya, beberapa kali mengusap air matanya."Waktu kamu tinggal besok, coba kamu tanya pada hati kamu sendiri, pikirkan apa resiko jika kamu bercerai! apa resiko jika kamu bertahan dengan pernikahan kamu, timbang semuanya Ra, dan putuskan semuanya,""Bagaimana caraku untuk menimbang Dam, Ibu, Ayah, kamu, sama sama aku sayang, kalian punya tempat tersendiri di hatiku. Sungguh, aku sangat mencintai kamu Dam, aku sangat menci
"Aku ingin bercerai Yah, aku bisa kan bercerai dengan Mas Satria? enam bulan sudah cukup kan untuk membayar lunas hutang Budi Ayah? aku ingin bercerai Yah, aku ingin bercerai...," jawab Alira, dengan sorot mata mengibanya.Sesaat setelah melepaskan pelukannya, semakin menyentakkan hati Ayah dan juga Ibunya beradu pandang. Secara bergantian, terlihat begitu pilu, di kuasai oleh perasaan sendu.Bersamaan dengan Satria yang mengeraskan rahangnya, dengan degup jantungnya yang tak karuan mengepalkan tangan mendengar permintaan istrinya."Ya Allah Ra, Instighfar Nak... kamu menikah itu bukan untuk main main! bagaimana bisa! kamu bicara seperti itu?" sahut Bu Rani, dengan degup jantungnya yang tak karuan, sama sekali tak menyukai kalimat putrinya."Bagaimana bisa Ra? kamu ingin bercerai dengan Satria? terus apa yang akan kamu lakukan setelah bercerai? menikah dengan Adam? apa kamu masih ada hubungan dengan Adam? tolong jangan bilang iya R
Lima belas menit sudah Alira terisak dan tergugu di dada suaminya, waktu yang cukup lama, guna untuk sekedar mengurai rasa sesak, hingga mencapai kata sedikit tenang dengan tangisannya yang mulai berkurang."Kamu minum dulu ya?" kata Satria, setelah membisu, hanya membelai lembut puncak kepala dan punggung istrinya memberikan kenyamanan.Melepaskan pelukannya, tak beradu pandang dengan Alira yang membisu menundukkan kepala, segera mengayunkan langkahnya untuk menuang air putih yang ada di dalam teko ke dalam gelas yang tadi di pakainya di atas nakas."Kamu minum dulu Ra, tenangin diri kamu," kata Satria, dengan begitu lembutnya, mengalihkan pandangan istrinya."Ayo," lanjut Satria, karena istrinya yang terdiam, tak kunjung mengambil alih gelas pemberiannya menatapnya sendu."Mau minum pakai tanganku?""Terimakasih," jawab Alira akhirnya, mengambil alih segelas air pemberian suaminya menciptakan seulas senyum di bibir Satria.Segera me
Semilirnya angin, masuk ke dalam jendela kamar Alira yang terbuka, tanpa gorden yang menutupi membebaskan masuknya sinar mentari di sore hari.Terlihat Satria, duduk di tepi ranjang mengulum senyum di bibirnya, memperhatikan Alira yang sedang menikmati ayam geprek tanpa nasi di atas piring."Kenapa senyum-senyum?" tanya Alira, masih dengan wajahnya yang murung, melebarkan senyum suaminya."Enak nggak?""Enak, mau? itu masih ada satu," jawab Alira, menunjuk banyaknya makanan yang mengantri di atas nakas, dengan telunjuknya yang penuh dengan sisa sambal mengunyah makanannya."Aku mau itu,""Mana?""Yang ada di tangan kamu," jawab Satria mengedikkan dagunya."Kan bekas aku,""Ya nggak papa, kita makan bareng-bareng lagi sama seperti ketoprak kemarin," jawab Satria, tak membuat Alira bersuara, hanya mengulurkan piring yang di
Senja hendak berganti malam, bersama dengan derasnya air hujan, membasahi halaman rumah Alira yang tertutup Rapat.Setelah lima belas menit berlalu, setelah adzan Maghrib berkumandang, terlihat Alira, duduk terpekur di atas sajadahnya, tak ada lagi air mata, hanya rasa sesak yang melanda baru menyelesaikan sholatnya.Berdzikir dengan matanya yang terpejam, guna untuk menenangkan hatinya yang tak karuan, menenangkan jiwanya yang sedang lara.Tok tok tok Suara ketukan pintu di kamarnya, membuka matanya mengalihkan pandangannya."Suami kamu belum pulang juga Ra, di luar hujannya deras, coba kamu telepon dia ada di mana," kata Bu Rani, sesaat setelah membuka pintu kamar beradu pandang.Dengan Alira yang membisu, tak menjawab pertanyaan ibunya, tak mengetahui kepergian Satria yang tak pamit kepadanya."Nanti juga pulang sendiri Bu, Ma