"Kurang ajar. Mengapa kau makin ke sini makin seksi dan tampan?"
Laki-laki di layar ponsel Kalista terbahak.("Kau juga makin cantik.")"Heh, Val. Jangan berbohong. Mulut laki-laki memang tidak bisa dipercaya."Liam tertawa lagi.("Tapi aku serius, aku rindu. Kapan kita kembali bertemu? Apa kau tidak rindu dengan orang seksi dan tampan ini?")Liam mengusap-ngusap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis."Idih, aku menyesal memujimu! Besok aku sudah kembali bekerja."Liam menghela napas kecewa.("Semenjak kau bekerja menjadi editor, kita tidak pernah bertemu lagi. Bahkan saat akhir pekan, kau juga tidak ada di rumah. Aku malah mengobrol dengan adik dan ibumu.")Kalista tertawa kencang sekarang,"Kata Likha, kau malah diajak ibu ke rapat warga di balai desa, ya?"("Ya. Aku dikerubungi ibu-ibu di sana. Mereka meminta tanda tangan dan foto bersama. Bahkan ada yang terang-terangan mengenalkanBaru saja Jihan dan Bian menginjak ruang depan usai tiba di rumah, Bian sudah menerjangnya dengan pertanyaan soal kebenaran dari perkataan Nevan. Jihan jelas terbungkam. Tiada kalimat pembelaan yang bisa ia putarbalikan demi menyelamatkan diri. Bian gusar, tapi tidak sampai mencecar sang istri yang sedang hamil. "Dengarkan aku, Mas. Aku melakukannya, karena cemburu. Apa lagi? Lagipula itu sudah lama, Mas. Kau bahas lagi sekarang? Ku pikir kau sudah abai pada Kalista. Nyatanya feelingku benar, jika kau masih diam-diam merindukannya.""Jangan menyerangku balik dan melebar ke mana-mana. Sekarang katakan padaku, kebohongan apa lagi yang kau perbuat? Aku selalu mempercayaimu lebih dari apapun. Kau malah membuat Kalista dan aku berseteru hingga Kalista membenciku pada akhirnya." Bian sampai terengah, karena rasanya terlalu sesak. "Mas, stop! Kau sudah berjanji padaku untuk tidak membahas itu lagi. Kita sudah sepakat untuk menutupnya setelah perceraia
Kalista langsung ditangani di IGD. Ketika dalam perjalanan, Kalista sudah tak sadarkan diri dan membuat Liam memacu mobil dalam kecepatan tinggi. Selama masih diperiksa, Likha dan Melisa turut datang ke rumah sakit. Tak lama setelahnya, dokter yang memeriksa Kalista keluar dari IGD. "Anda suaminya, bukan?" tunjuk dokter pada Liam yang langsung disambut dengan lirikan bingung Likha dan Melisa. Belum sempat mereka menyanggah si dokter, beliau langsung mengatakan perkembangan pasien yang baru ia periksa. "Perut pasien keram, karena kelelahan. Istrinya sedang hamil, kenapa diajak lari sore, Pak?"Liam membelalak. Apalagi Melisa dan Likha yang sama-sama menyebut kata HAH, karena sama kagetnya. "Hamil, dok?" tanya Liam sekali lagi memastikan. "Iya. Sudah lima belas minggu. Untung tidak terjadi apa-apa. Istrinya jangan sampai kelelahan saja," ucap si dokter lagi dengan begitu santainya. Padahal ketiga wali pasien di hadapannya seda
"Maaf, Val. Tidak jadi diet. Hehe."Liam merasa tidak nyaman hanya dengan mendengar suara tawa yang dipaksa baik-baik saja tersebut. Namun Liam turut tersenyum seperti biasa. Liam yakin bila Kalista mampu melewati cobaan di hidupnya meski jiwanya merangkak kelelahan. "Kalau kau diet, aku akan marah besar." Kalista memandang langit yang begitu cerah siang itu. "Ibu ada rewang ke kampung sebelah. Likha ada wawancara kerja. Makanya cuma aku yang menjemput. Tidak masalah, kan?" ujar Liam. "Tidak apa-apa. Justru lebih enak ketika kau yang menjemput. Soalnya ada tempat yang ingin ku datangi." Kalista memasang seatbelt dan Liam merendahkan sandaran jok Kalista agar wanita itu bisa lebih nyaman. "Val, apa yang kau... ""Aku siap jadi supirmu sekarang. Jadi kemana tujuan kita, Tuan Putri?""Aku ingin melihat pantai. Boleh, tidak?" tanya Kalista seraya terkekeh. Liam pun meluncurkan mobilnya. Liam juga menawari Kalista untuk mampir membeli makanan dan minuman yang nanti akan ia nikmati di
"Serius, Pak? Rumah ini saya tempati gratis?" Kalista menganga tak percaya.Sepulang dari pantai bersama Liam, bukannya istirahat di rumah, malah memohon kepada Liam agar diantar ke kantor dengan alasan ingin meminta izin untuk besok. Ia harus mencari rumah atau sekadar kost-kostan untuk didiami. Namun Pak Kano, atasannya malah menawarkan Kalista untuk mendiami sebuah rumah kosong yang katanya dulu pernah ditinggali oleh mendiang istrinya. Jadi daripada kosong, Pak Kano menawarkan rumah itu secara gratis. "Tapi Pak, masa gratis? Saya bayar sewa per bulan ya, Pak? Saya tidak enak kalau harus gratis.""Tidak perlu. Saya ikhlas meminjamkan rumahnya untukmu. Lagipula kau hanya perlu merawat rumahnya dengan benar. Itu sudah amanat dari mendiang istriku. Kami tidak punya anak, makanya daripada rumah itu kosong lebih lama lagi, saya tawarkan saja untukmu.""Saya benar-benar tidak enak jadinya." Kalista pun meminta sekali lagi untuk membayar se
Hari ini, Kalista akan pindahan. Semua barang yang dibutuhkan, sudah dikeluarkan dan tinggal menunggu truk pindahan saja. "Kak, katanya Kak Liam ke sini. Mengapa belum datang sampai sekarang?" Likha awalnya tidak begitu bersemangat membantu Kalista mengeluarkan barang, tapi setelah tahu bila Liam ikut membantu pindahan hari itu, Likha langsung semangat empat lima. "Tidak tahu. Padahal katanya sudah hampir tiba," sahut Kalista. "Kal, apakah semuanya sudah beres? Tidak ada barang yang ketinggalan?" Sang ibu membawa sedikit perkakas dapur untuk dibawa. Padahal Kalista sudah memberitahu ibunya untuk tidak khawatir soal hal tersebut. Namun ibunya tetap keras kepala agar Kalista membawanya. Kalista pun hanya bisa mengiyakan agar tidak kecewa. "Wah, sepertinya kalian sedang sibuk!""Ada yang ingin pergi?"Dua orang ibu-ibu yang memang merupakan tetangga mereka, menegur. Mereka kebetulan lewat dan melihat perkakas yang sudah berserak
Kalista terkekeh sendiri saat memasuki toilet rumah sewanya. Toilet duduk dengan sebuah meja lipat dan di sisinya terdapat rak kecil berisi beberapa buah buku. Buang air besarnya waktu itu menjadi serasa bermanfaat, karena tidak dilalui dengan bengong semata menatap kemasan belakang botol sabun cuci tangan. Ia bisa buang hajat sambil membaca karya Agatha Christie. Belum pas satu hari Kalista pindah, banyak hal yang membuatnya terkagum-kagum pada rumah tersebut. Awalnya Kalista pikir, karena banyak pohon, maka hawanya akan horor. Ternyata ketika malam tiba seperti sekarang, lampu yang menyala begitu terang benderang. Kalista tidak merasakan hawa takut lagi meski duduk santai di hammock sembari memandangi bulan dan bintang. Kalista juga tidak perlu khawatir dengan gigitan nyamuk. Bunga lavender rupanya tumbuh di empat buah pot yang juga berdampingan dengan bunga marigold. Di samping marigold, terdapat tanaman lidah mertua yang pernah populer di kalangan i
"Bestie, Bestie. Aku bukan bestie-mu lagi," celetuk Liam sedikit julid sembari menyetir menuju rumah Kalista. Sesampainya di rumah Kalista, gerbangnya ternyata tidak dikunci. Liam juga menemukan pintu depan terbuka lebar. "Kalista!" panggil Liam. Liam mendengar sahutan Kalista dari belakang. Liam masuk dan melihat Kalista sudah selesai menyantap lontong sayurnya. "Wah, cepat sekali kau makan! Ku pikir kau akan menungguku." Liam duduk di hadapan Kalista dan langsung membuka bungkus lontong sayurnya. "Val, lontong sayurnya enak. Di mana kau membelinya?" tanya Kalista sembari memberinya sendok. "Di dekat SMP Negeri 1 New City. Lumayan tadi diberi porsi agak banyak, karena kata ibu yang dagang, aku ganteng."Kalista tertawa mendengar kenarsisan Liam. Kalista mengambil dompet seraya menanyakan harga lontong sayurnya. Ia bermaksud mengganti uang Liam. "Ah, tidak usah! Aku membelikannya untuk Shooky. Untuk apa
Lydia turun dari mobil dengan langkah jumawa. Wajahnya penuh kebanggaan saat menatap rumah megah yang kini ditempati putra dan menantu kesayangannya. Wanita itu telah lega sepenuhnya, karena akhirnya di sisa usianya, dirinya bisa meninggalkan Nevan dengan tenang bila tutup usia kelak. Sekarang Nevan sudah memiliki pasangan yang dinilai sangat baik oleh Lydia. Lydia pun melangkah masuk dan disambut oleh pelayan. Meski di rumah itu tidak ada Nevan dan Nanda, dirinya melenggang masuk seakan-akan dialah sang pemilik rumah. Para pelayan juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena Lydia adalah ibu dari Tuan mereka.Lydia bersantai di area swimming pool sambil menikmati kue manis dan minuman segar. "Eh, ibu! Kapan datang?" Nevan mendatanginya setelah baru pulang bekerja. Nevan mencium punggung tangan Lydia dan ikut duduk di kursi santai di sampingnya. "Dua jam yang lalu mungkin. Ibu betah sekali di rumahmu. Bagaimana ini? Apa Nanda keberatan kalau ibu iku