Kalista langsung ditangani di IGD. Ketika dalam perjalanan, Kalista sudah tak sadarkan diri dan membuat Liam memacu mobil dalam kecepatan tinggi.
Selama masih diperiksa, Likha dan Melisa turut datang ke rumah sakit. Tak lama setelahnya, dokter yang memeriksa Kalista keluar dari IGD."Anda suaminya, bukan?" tunjuk dokter pada Liam yang langsung disambut dengan lirikan bingung Likha dan Melisa. Belum sempat mereka menyanggah si dokter, beliau langsung mengatakan perkembangan pasien yang baru ia periksa."Perut pasien keram, karena kelelahan. Istrinya sedang hamil, kenapa diajak lari sore, Pak?"Liam membelalak. Apalagi Melisa dan Likha yang sama-sama menyebut kata HAH, karena sama kagetnya."Hamil, dok?" tanya Liam sekali lagi memastikan."Iya. Sudah lima belas minggu. Untung tidak terjadi apa-apa. Istrinya jangan sampai kelelahan saja," ucap si dokter lagi dengan begitu santainya. Padahal ketiga wali pasien di hadapannya seda"Maaf, Val. Tidak jadi diet. Hehe."Liam merasa tidak nyaman hanya dengan mendengar suara tawa yang dipaksa baik-baik saja tersebut. Namun Liam turut tersenyum seperti biasa. Liam yakin bila Kalista mampu melewati cobaan di hidupnya meski jiwanya merangkak kelelahan. "Kalau kau diet, aku akan marah besar." Kalista memandang langit yang begitu cerah siang itu. "Ibu ada rewang ke kampung sebelah. Likha ada wawancara kerja. Makanya cuma aku yang menjemput. Tidak masalah, kan?" ujar Liam. "Tidak apa-apa. Justru lebih enak ketika kau yang menjemput. Soalnya ada tempat yang ingin ku datangi." Kalista memasang seatbelt dan Liam merendahkan sandaran jok Kalista agar wanita itu bisa lebih nyaman. "Val, apa yang kau... ""Aku siap jadi supirmu sekarang. Jadi kemana tujuan kita, Tuan Putri?""Aku ingin melihat pantai. Boleh, tidak?" tanya Kalista seraya terkekeh. Liam pun meluncurkan mobilnya. Liam juga menawari Kalista untuk mampir membeli makanan dan minuman yang nanti akan ia nikmati di
"Serius, Pak? Rumah ini saya tempati gratis?" Kalista menganga tak percaya.Sepulang dari pantai bersama Liam, bukannya istirahat di rumah, malah memohon kepada Liam agar diantar ke kantor dengan alasan ingin meminta izin untuk besok. Ia harus mencari rumah atau sekadar kost-kostan untuk didiami. Namun Pak Kano, atasannya malah menawarkan Kalista untuk mendiami sebuah rumah kosong yang katanya dulu pernah ditinggali oleh mendiang istrinya. Jadi daripada kosong, Pak Kano menawarkan rumah itu secara gratis. "Tapi Pak, masa gratis? Saya bayar sewa per bulan ya, Pak? Saya tidak enak kalau harus gratis.""Tidak perlu. Saya ikhlas meminjamkan rumahnya untukmu. Lagipula kau hanya perlu merawat rumahnya dengan benar. Itu sudah amanat dari mendiang istriku. Kami tidak punya anak, makanya daripada rumah itu kosong lebih lama lagi, saya tawarkan saja untukmu.""Saya benar-benar tidak enak jadinya." Kalista pun meminta sekali lagi untuk membayar se
Hari ini, Kalista akan pindahan. Semua barang yang dibutuhkan, sudah dikeluarkan dan tinggal menunggu truk pindahan saja. "Kak, katanya Kak Liam ke sini. Mengapa belum datang sampai sekarang?" Likha awalnya tidak begitu bersemangat membantu Kalista mengeluarkan barang, tapi setelah tahu bila Liam ikut membantu pindahan hari itu, Likha langsung semangat empat lima. "Tidak tahu. Padahal katanya sudah hampir tiba," sahut Kalista. "Kal, apakah semuanya sudah beres? Tidak ada barang yang ketinggalan?" Sang ibu membawa sedikit perkakas dapur untuk dibawa. Padahal Kalista sudah memberitahu ibunya untuk tidak khawatir soal hal tersebut. Namun ibunya tetap keras kepala agar Kalista membawanya. Kalista pun hanya bisa mengiyakan agar tidak kecewa. "Wah, sepertinya kalian sedang sibuk!""Ada yang ingin pergi?"Dua orang ibu-ibu yang memang merupakan tetangga mereka, menegur. Mereka kebetulan lewat dan melihat perkakas yang sudah berserak
Kalista terkekeh sendiri saat memasuki toilet rumah sewanya. Toilet duduk dengan sebuah meja lipat dan di sisinya terdapat rak kecil berisi beberapa buah buku. Buang air besarnya waktu itu menjadi serasa bermanfaat, karena tidak dilalui dengan bengong semata menatap kemasan belakang botol sabun cuci tangan. Ia bisa buang hajat sambil membaca karya Agatha Christie. Belum pas satu hari Kalista pindah, banyak hal yang membuatnya terkagum-kagum pada rumah tersebut. Awalnya Kalista pikir, karena banyak pohon, maka hawanya akan horor. Ternyata ketika malam tiba seperti sekarang, lampu yang menyala begitu terang benderang. Kalista tidak merasakan hawa takut lagi meski duduk santai di hammock sembari memandangi bulan dan bintang. Kalista juga tidak perlu khawatir dengan gigitan nyamuk. Bunga lavender rupanya tumbuh di empat buah pot yang juga berdampingan dengan bunga marigold. Di samping marigold, terdapat tanaman lidah mertua yang pernah populer di kalangan i
"Bestie, Bestie. Aku bukan bestie-mu lagi," celetuk Liam sedikit julid sembari menyetir menuju rumah Kalista. Sesampainya di rumah Kalista, gerbangnya ternyata tidak dikunci. Liam juga menemukan pintu depan terbuka lebar. "Kalista!" panggil Liam. Liam mendengar sahutan Kalista dari belakang. Liam masuk dan melihat Kalista sudah selesai menyantap lontong sayurnya. "Wah, cepat sekali kau makan! Ku pikir kau akan menungguku." Liam duduk di hadapan Kalista dan langsung membuka bungkus lontong sayurnya. "Val, lontong sayurnya enak. Di mana kau membelinya?" tanya Kalista sembari memberinya sendok. "Di dekat SMP Negeri 1 New City. Lumayan tadi diberi porsi agak banyak, karena kata ibu yang dagang, aku ganteng."Kalista tertawa mendengar kenarsisan Liam. Kalista mengambil dompet seraya menanyakan harga lontong sayurnya. Ia bermaksud mengganti uang Liam. "Ah, tidak usah! Aku membelikannya untuk Shooky. Untuk apa
Lydia turun dari mobil dengan langkah jumawa. Wajahnya penuh kebanggaan saat menatap rumah megah yang kini ditempati putra dan menantu kesayangannya. Wanita itu telah lega sepenuhnya, karena akhirnya di sisa usianya, dirinya bisa meninggalkan Nevan dengan tenang bila tutup usia kelak. Sekarang Nevan sudah memiliki pasangan yang dinilai sangat baik oleh Lydia. Lydia pun melangkah masuk dan disambut oleh pelayan. Meski di rumah itu tidak ada Nevan dan Nanda, dirinya melenggang masuk seakan-akan dialah sang pemilik rumah. Para pelayan juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena Lydia adalah ibu dari Tuan mereka.Lydia bersantai di area swimming pool sambil menikmati kue manis dan minuman segar. "Eh, ibu! Kapan datang?" Nevan mendatanginya setelah baru pulang bekerja. Nevan mencium punggung tangan Lydia dan ikut duduk di kursi santai di sampingnya. "Dua jam yang lalu mungkin. Ibu betah sekali di rumahmu. Bagaimana ini? Apa Nanda keberatan kalau ibu iku
"Kak, Kak Liam tidak ada mampir?" tanya Likha saat mereka sudah bersiap memulai makan malam. "Tidak ada. Kenapa? Kau rindu? Telepon saja. Bukannya kau punya nomornya?" ucap Kalista yang sedang membuat nasi ke piring. "Malu, Kak. Soalnya selama ini yang akrab dengan Kak Liam adalah kakak. Bukan Likha. Takut canggung saja jadinya," sahut Likha. "Likha, kau benar-benar menyukai Liam atau sekadar mengagumi saja? Kalau ibu boleh memberi saran, jangan suka pada Liam." Ucapan Melisa terdengar serius. Kalista mengendikkan bahu saat melihat reaksi Likha yang kecewa, karena rupanya tidak mendapat restu. "Apa Likha boleh tahu alasannya? Apa karena ibu lebih berharap kakak yang bersama Kak Liam?" Sontak saja Kalista terkejut dengan dugaan Likha. Ia dan Liam akhir-akhir ini memang sangat dekat. Namun itu semua murni karena mereka berteman. Likha sepertinya salah paham. "Tidak. Ibu juga tidak setuju bila Liam dan kakakmu ada hubungan leb
Hah? Nevan menyimpan foto Kalista di jurnal pribadinya? Heol, Kalista merinding sekarang! Apa maksud Nevan melakukan itu? Kalista saja sudah menghapus semua potretnya Nevan. Bahkan Kalista sudah membakar semua foto pernikahannya dengan Nevan dengan tujuan supaya move on-nya lebih totalitas. Kalista jadi bertanya-tanya, apa tujuan Nevan masih menyimpan fotonya? Apa jangan-jangan Nevan ingin mengirimkan santet kepadanya? Astaga! Mengapa Kalista malah berpikiran aneh-aneh? Jika pemikirannya salah, maka Kalista sudah berprasangka buruk pada Nevan. Kalista segera mengelus perutnya sebagai pengingat agar dirinya lebih berpikir positif dalam segala hal. Ia tidak mau segala pemikiran negatifnya dirasakan oleh Shooky. "Maaf, aku tidak bermaksud menyerangmu. Aku hanya murni ingin berdiskusi. Kita pernah bertemu sebelumnya, bukan, di Euforia World? Kau sedang bersama Liam saat itu. Aku melihat fotomu di jurnal pribadi Nevan. Aku langsung tering
Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Val!""Sayang!""Vallent!"Kalista berdecak kesal karena suaminya dipanggil-panggil tidak ada sahutan. "Liam Benedicta! Kau dimana?!" Kalista menggerutu. Liam tidak ada kelihatan batang hidungnya sama sekali. Maka, Kalista pun dengan tertatih turun dari tempat tidur. Ketika tungkainya menginjak permukaan lantai dan ia mencoba berdiri, Kalista nyaris terseok. Untung saja ia memegangi header ranjang untuk menstabilkan kedua kakinya terlebih dahulu. Setelah ia tegak berdiri, barulah Kalista mencoba berjalan, meski harus meringis kesakitan akibat ibadah sucinya dengan Liam. "Sayang, kau mau kemana?" tanya Liam yang baru muncul dengan badan penuh keringat. Sepertinya Liam baru pulang dari lari pagi di sekitar pantai. Liam juga hanya mengenakan kaos tanpa lengan agak ketat dan celana pendek longgarnya. Liam langsung menghampiri Kalista dan memapahnya yang terlihat kesulitan berjalan. "Sakit sekali ya, Sayang?" tanya Liam yang malah membuat Kalista ingin mencubit hidung sang suami. "
Jihan sadar jika yang ia lakukan sekarang bukan mimpi.Napasnya dan Bian terengah. Jihan malu bukan main karena bisa-bisanya berpikir kalau ia hanya di dalam mimpi. Tanpa menunggu lagi, Jihan pun dengan cepat turun dari tempat tidur tanpa menoleh ke arah Bian yang langsung kaget dengan perubahan sikap Jihan. Namun, karena terlalu terburu-buru, kaki Jihan tersandung sesuatu dan membuatnya mengaduh kesakitan. "Jihan, mana yang sakit?!" tanya Bian yang sudah sigap duduk bersimpuh di depan kaki Jihan. Bian meraih kaki yang diusap-usap oleh Jihan, kemudian sekali lagi bertanya, bagian mana yang sakit sambil mendongak ke atas untuk melihat ke wajah Jihan. Jihan langsung berjalan mundur dengan gugup sambil berusaha menutupi rasa malunya.Bian yang sadar kalau Jihan sekarang kembali takut, akhirnya lebih dulu mengucap maaf. "Maaf." Bian pun berdiri dan berbalik menjauhi Jihan. Bian berusaha membuka pintu kamarnya
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu
"Drewnya ketiduran sejak tadi. Maaf baru memberitahumu sekarang karena aku tidak tega menghentikan ceritamu."Jihan yang tadinya hanya ingin menghela napas sejenak, langsung urung melanjutkan dongeng yang dikarangnya secara ototidak. Syukurlah, Drew sudah tidur pikirnya. Baiklah. Sekarang saatnya kembali ke rumah Bian. Jihan pun berbalik arah dan diikuti Bian. Sepanjang perjalanan ketika menuju rumah utama adalah siksaan yang menyesakkan untuk mereka berdua. Karena Jihan yang tidak menyahut, makanya Bian juga jadi ragu untuk kembali membuka obrolan. Hingga mereka tiba di rumah utama, Jihan menyerahkan stroller kepada Bian karena Jihan ingin pamit. "Memangnya kau mau kemana?" "Pulang," jawab Jihan singkat. "Mengapa jadi pulang? Nanti kalau Drew rewel lagi bagaimana?" Bian terdengar seperti merengek. Antara memang khawatir kalau Drew menangis seperti tadi dan juga ia ingin sekalian modus. Ehem. "Kau ayahnya, bukan? Jadi kau harus bisa mengurusnya sendiri."Bian ingin protes. Namu
Sesuai persetujuan, Drew dibawa Bian ke kediamannya selama Liam dan Kalista berbulan madu. Bian yang sudah merasa menjadi ayah, tentu sangat yakin apabila ia bisa mengasuh Drew dengan baik. Ketika Drew dibawa ke rumah yang pasca perceraian Bian dan Jihan, jarang disinggahi sang tuan, kontan saja, kehadiran tuan besar dan tuan kecil disambut sangat antusias oleh para pekerja di rumah Bian. Bian juga sudah menyiapkan berbagai macam perlengkapan yang menunjang dirinya untuk mengasuh bayi berusia tiga bulan tersebut. Bian tersenyum-senyum sendiri melihat kamarnya yang semenjak menjadi duda, suasananya sepi. Sekarang dipenuhi perabotan lucu, seperti box tidur untuk Drew, gelantungan bintang bulan berkelap kelip yang diletakkan di atas box bayi Drew. Bahkan Bian juga membeli banyak mainan meski itu belum cukup usia untuk dimainkan oleh Drew. "Oke, Kal. Oke. Aku sudah mengerti caranya, bahkan bila Jihan tidak membantu pun, aku bisa. Apa kau ingat kalau aku rut
Selain Kalista yang berbahagia hari itu, Jihan pun demikian. Apalagi ketika ia diberi izin untuk menggendong Drew, nama yang sudah diberikan oleh Bian hari itu. Melisa sempat protes meski hanya berbisik pada Kalista apabila nama sang cucu susah disebut. Melisa padahal ingin menamai sang cucu dengan nama lokal saja. Namun, Melisa baru ingat jika pada cucunya mengalir darah seorang Bian Qais Liandra, yang tentunya kita semua tahu bahwa ia bukanlah pria sembarangan. Apalagi bila Melisa melihat Nicholas dan Margareth, dirinya saja seketika minder mendadak. Melisa juga mengingat kalau Kalista pernah menceritakan tentang seseorang yang disebut-sebut sebagai Kakek Aiden, yang katanya sebagai sosok yang membuat Bian bisa seperti sekarang. Jadi terima saja lah. Seorang Melisa bisa apa? Yang penting cucunya sehat, anaknya sehat, dan berharap tidak ada masalah lagi yang menimpa keluarga mereka. "Wajahnya tidak mirip Bian sama sekali," celetuk Margareth y