"Itu kopi boyband Korea yang kata Pak Asep haram, bukan?" tanya Bian tiba-tiba. Kalista yang sejak tadi sibuk curi-curi pandang ke Bian seketika gelagapan dan langsung memaksa dirinya untuk bersikap tenang.
"Kopi ini? Haram apanya? Pak Asep siapa pula?" Kalista menunjuk pada botol-botol yang sudah ia taruh di jok belakang."Pak Asep yang suka membersihkan ruang kerja kita."Kalista merasa geli ketika Bian menyebutkan kata kita pada obrolannya."Iya. Haram kalau dicampur dagingmu."Bian terbahak lagi. Bian selalu terheran-heran dengan sahutan Kalista. Kalista diam-diam ikut tersenyum, karena bisa menyaksikan Bian yang tertawa lepas. Ada rasa yang membuncah di dadanya ketika melihat lubakan manis kecil di pipi Bian."Han, Kak Bian kalau tersenyum, manisnya kurang ajar. Lesung pipinya itu barang mahal," ucap Kalista kepada Jihan, suatu hari di jam istirahat di masa sekolah dulu.Kalista masing ingat, bagaimana berjuangKalista sibuk dengan kamera ponsel miliknya ketika menemukan objek yang tidak hanya menarik perhatian, tapi juga membuat hatinya lebih tenang setelah sibuk bersedih akibat nostalgia dadakan yang tak diundang. Kalista tersenyum cerah tatkala menemukan bunga-bunga berwarna ungu beraneka jenis. Ada pansy, fuchsia, wisteria, dan hydrangea. Tanpa Kalista ketahui bila di sisi bangunan lain, Bian dan Rikki, si arsitek perancang bangunan villa yang awalnya direncanakan sebagai hadiah untuk Jihan, sekarang malah beralih fungsi untuk perempuan lain, sedang mengobrol serius. "Wanita yang kau ajak itu bernama Kalista? Siapa dia? Jangan katakan kalau dia selingkuhanmu?" "Bukan. Dia bukan selingkuhanku." "Lalu apa? Siapa dia? Dia jelas bukan keluargamu." Rikki sangat dekat dengan seluruh anggota keluarga Bian. Dan Rikki tidak pernah melihat sosok Kalista sebelumnya. Bian lupa kalau Rikki tidak harus mengetahui soal Kalista. Harusnya, Bia
"Tapi Jihan... ""Kal, kau tentu masih ingat bagaimana Jihan malah memintaku untuk sama mencintaimu seperti aku mencintainya?" sela Bian yang sekarang ibu jarinya menyapu permukaan ranumnya Kalista. "Tapi aku tetap tidak enak bila kita begitu terang-terangan. Apalagi ayah dan ibumu meminta agar aku lebih pandai memposisikan diri.""Makanya kita diam-diam saja. Villa ini akan kita kunjungi bila nantinya butuh waktu berdua." tangan Bian menyentuh hangat sisi leher Kalista. "Tidak, Bi. Aku tidak bisa. Jihan... ""Kal, dengarkan aku baik-baik." Bian terus menyela. Tatapannya intens menyapu ranum Kalista yang terbuka sedikit."Kau butuh seseorang untuk mengobati lukamu yang ditorehkan Nevan. Aku butuh keturunan. Awalnya memang kerja sama. Namun setelah ku pikir-pikir, bukankah jauh lebih indah bila kita memiliki anak dalam hubungan yang saling mengasihi?"Entah bisikan darimana, anggukan itu diberikan Kalista. Bian tersenyu
"Mas, tadi aku ke kantor, tapi kau tidak ada. Apa kau pergi bersama Kalista? Soalnya dia juga tidak ada." Jihan tampak mencari-cari orang lain di belakang suaminya yang baru datang. "Tadi ada meeting mendadak. Aku pergi sendirian. Kalista tadi sempat ku antar ke Indoapril. Setelah itu aku tidak tahu lagi. Dia belum pulang memangnya?" Bian melepas dasi dan jasnya dibantu Jihan. "Tumben Kalista tidak mengabari kemana. Ditelepon juga tidak diangkat."Bian tahu mengapa Kalista tidak menjawab panggilan Kalista. Tadi Bian sempat mengantarnya sampai ke dalam kamar. Dia langsung menuju tempat tidur saking lelahnya."Tunggu saja kabarnya. Pasti nanti dia akan menghubungimu.""Kalista tidak ada menghubungimu, Mas? Coba cek ponselmu sekarang. Barangkali dia ada mengirim chat."Bian tersenyum simpul menyaksikan sang istri yang begitu mengkhawatirkan Kalista. Istrinya memang baik hati. "Sayang, Kalista tidak akan pernah menghubung
Kalista tidak menduga sebelumnya bila seorang Bian yang dulu begitu dikaguminya, rupanya mampu membuat ia dan Jihan terjebak dalam situasi yang tidak mengenakan seperti ini. Kalista dulu pernah berkata, jika seseorang yang kita kagumi atau idolakan, jika sudah sedekat nadi, maka kesannya tidak akan seindah seperti saat kita kagumi dari jauh.Nyatanya, meski daya tarik Bian masih mampu membuat orang-orang disekitar terpesona dan kagum, orang itu tetaplah manusia yang memiliki dua sisi. Berlaku adil? Bisakah Bian melakukannya jika untuk kejadian hari ini saja, Bian harus berbohong? Mau tak mau, Kalista pun harus berbohong pula agar Jihan tidak sedih. Sumpah demi Tuhan, Kalista jauh tidak tega melihat sahabatnya terluka. Dengan helaan napas kasar, Kalista mencari-cari ponselnya di tas yang belum ia keluarkan sejak pulang dari villa. Kalista menggigit bibirnya lembut ketika menatap layar ponselnya yang memberitahu jumlah panggil
Jihan dan Kalista tertawa terbahak-bahak setelah meninggalkan Bian sendirian di kamar Kalista. Kalista sendiri malah diajak Jihan untuk tidur di kamarnya. Mereka baru saja menghukum Bian di kasur. Bian ditinggalkan dalam keadaan kedua tangan diikat rantai yang dikaitkan ke gagang pintu. Bian telak salah paham dan pasrah, karena kedua istrinya bersatu menghukumnya. Bian saja yang terlalu pervert. Ia malah berpikir jorok bila kedua istrinya akan melayaninya bersama. Harusnya Bian tahu bila sebinal-binalnya Kalista dan semalas-malasnya Jihan di tempat tidur, tentu mereka tidak akan berpikiran sampai mau main bertiga. Bian saja yang terlalu nakal. Bian membenci pikiran negatifnya. Semenjak melakukannya sekali dengan Kalista, Bian merasakan sesuatu yang berbeda dari pola gairahnya. Hal itu pula yang membuatnya tampak bodoh di mata kedua istrinya. Terpaksa malam itu, Bian tidur sendirian dengan kedua tangan dirantai. Jihan dan Kalista sepert
"Kalian tidak sarapan dulu?" Jihan baru saja menata makanan di meja. Bian dan Kalista yang baru turun dari kamar mereka di lantai dua tampak terburu-buru ingin menuju keluar. "Ah, sorry, Sayang!" Bian memeluk Jihan dan mengecupi wajahnya,"ada hal mendesak pagi ini. Makanya aku terburu-buru. Aku akan sarapan nanti saja.""Mas, setidaknya bawa bekal. Tunggu aku siapkan sebentar.""Tidak perlu. Aku terburu-buru." Bian sudah berbalik menghadap luar dengan kedua tangan yang mengisyaratkan enggan menunggu Jihan membuatkan bekal. "Han, siapkan bekalnya. Biar ku bantu," sahut Kalista yang membuat Bian membalikkan badan lagi. Kemudian ia melihat kedua istrinya sibuk memasukkan makanan di dua kotak bekal berbeda. "Kami pergi dulu. Maaf tidak bisa menemanimu sarapan. Bagaimana kalau kita makan siang bersama di luar nanti?""Boleh. Nanti aku kabari tempatnya.""Siap," ucap Kalisha yang sekarang melambaikan tangan untuk Jihan yang
Jihan dan Kalista usai memenuhi janji makan siang berdua. Kalista harus pergi lebih dulu, karena harus masuk kerja kembali. Kalista bersyukur, karena Jihan dilihatnya banyak tertawa ketika mengobrol sambil makan siang tadi. Ketika Jihan ingin beranjak, seseorang memanggilnya. Jihan tersenyum ketika sangat mengenali pemuda gagah yang sekarang ikut duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Kalista.“Rikki, apa kabar? Lumayan lama tak bertemu. Ke mana saja selama ini?”“Biasalah. Ada beberapa project yang deadlinenya nyaris bersamaan. Oh iya, bulan lalu, baru saja aku menyelesaikan satu design paling memuaskan yang aku punya. Sebuah villa di daerah Golden Hill. Kau pasti mengetahui itu. Sekali lagi, aku sangat tersentuh dengan kebaikanmu. Kau malah memberikan villa itu untuk wanita yang tadi makan bersamamu. Dia kerabat jauhmu, bukan?”Jihan menatap heran pada Rikki. Villa? Saudara jauh? Apa maksud Rikki?“Bian dan aku mendiskusikan
"Val, jangan-jangan mereka salah Kalista. Kalista yang mereka maksud pasti tante-tante kaya raya yang perhiasannya berlian dan tasnya bermerk," bisik Kalista pada Liam yang juga tampak tidak mengerti situasi. "Tapi mereka apa mungkin salah Liam? Mereka tadi menyebut apa setelah Nyonya Kalista membooking seluruh kedai untuk malam ini? Bersama Tuan Liam, juga boleh masuk. So?""Nanti bagaimana caranya aku membayar? Aku belum gajian." Kalista ingin menangis. Pasti memalukan kalau tiba-tiba ia ditagih bill. "Telepon saja Bian. Kau istrinya, bukan? Suruh dia yang membayar." Usulan Liam terdengar masuk akal. Hanya saja Kalista teringat bila Bian ada kemungkinan marah gara-gara tidak suka saat dirinya pulang bersama Liam nanti. "Val, kau saja yang bayar dulu bagaimana? Nanti aku ganti. Janji." Liam tidak sempat menyahut saat dua cangkir es krim dihidangkan di meja mereka. Liam membelalak saat melihat sajian es krim di hadapannya. S