Setelah serangkaian pemeriksaan, terapi, obat, serta stimulus otot yang dilakukan oleh Abdi selama beberapa setelah ia sadar, maka dokter sudah membolehkan pria itu pulang. Bukan main senangnya hati Luisa saat mengetahui suaminya boleh pulang. Dokter mengatakan baru saja, di jam sembilan malam saat beliau visit.Tidak mungkin keluar dari rumah sakit malam hari karena loket kasir mengurus administrasi pembiyaan rawat inap pasien, sudah tutup. Buka lagi besok pagi jam delapan."Kita pulang ke mana?" tanya Abdi pada Luisa. "Kita pulang ke rumah sewa dulu yang gak jauh dari rumah sakit, Kang. Sambil nanti menunggu Papa mencari rumah sewa di Jakarta," jawab Luisa senang. Suaminya sudah mau membuka suara bertanya padanya. Sebuah kemajuan yang diluar prediksi. "Di Jakarta juga sewa?" tanya Abdi bingung. Luisa mengangguk. Ia tahu suaminya belum bisa mengingat semuanya dan ia pun tidak mau memaksa. "Rumah papa dijual. Jadinya kita sewa," kata Luisa lagi. Sambil membetulkan letak bantal suam
Di lain tempat, betapa terkejutnya Pak Ramdan, saat ia menjenguk Adis dan keadaan putrinya itu sangat jauh dari kata baik. Rambut Adis yang panjang, kini sudah dipotong pendek. Lebih tepatnya dipotong asal dan hasilnya sangat menyedihkan. Pria itu dapat menebak bahwa yang melakukan jhalmiji pada putrinya adalah sesama napi di dalam sel. Pria tua itu hanya bisa mengelus dada iba."Adis mau keluar dari sini, Pak. Bantu Adis, Pak. Adis gak mau dipenjara, Pak. Adis mau pulang, mau tidur di rumah. Di sini jorok, dingin, makanannya juga gak enak. Adis mau pulang, Pak. Cepet telepon Rana, bilang dia harus bebaskan Adis kalau masih mau dianggap anak oleh Bapak. Kalau Bapak gak ancam, Rana gak akan mau nolongin!" Pak Ramdan hanya bisa menghela napas."Tadi waktu Bapak di jalan, suami Rana telepon. Katanya akan kirim pengacara untuk kasus kamu karena mereka gak ada uang segitu banyak," kata Pak Ramdan nelangsa."Lalu Bapak percaya?" tanya Adis."Bapak bisa apa kalau mereka bilang gitu? Bapak ga
Apa yang dilakukan Pak Ramdan? Tentu saja ia sedang merencanakan sesuatu untuk Nyai Larsih. Ia merasa dukun santet itu sudah keterlaluan padanya yang tengah susah, untuk ia ia harus memberikan efek jera pada wanita tua itu. Malam harinya, Pak Ramdan membawa bensin dan korek. Karena jalan menuju rumah Nyai Larsih sepi, maka ia tidak terlalu khawatir. Pria itu sudah hapal sekali seluk beluk rumah. Dengan memakai topeng, Pak Ramdan membawa bensin, lalu menyiramkan ke sekeliling rumah dukun Nyai.Tentu saja yang ia lakukan aman dan tidak berisik, karena ia tidak memakai sandal. Ia lakukan dengan sangat halus. Hanya jalan menuju pintu belakang yang tidak ia siram bensin. Ia menyiramkan di beberapa titik rumah yang ia anggap tempat Nyai Larsih bisa melarikan diri. Krak!Suara korek api ia nyalakan. Lalu ia lemparkan ke tanah yang sudah ia berikan bensin. "Kebakaran, kebakaran!" Teriaknya. Tentu saja Nyai Larsih yang tengah tidur, langsung melompat untuk melihat keadaan di luar rumah. W
ak Darmono akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta bersama-sama setelah mempertimbangkan banyak hal. Membiarkan istrinya dan putrinya pulang berdua, sementara dia bersama Abdi juga hanya tinggal berdua, membuat Pak Darmono membayangkan situasi yang akan dihadapi pasti sangat sulit. Pak Darmono tidak setelaten itu jika harus mengurus Abdi sekaligus menyiapkan semua keperluannya. Selain itu, dia juga memikirkan putrinya yang bisa saja kembali drop sementara sang istri belum tentu bisa cekatan memberikan Luisa perawatan.Di sana, tepatnya di kawasan pasar Minggu, terdapat rumah yang akan ditempati mereka nantinya. Pak Darmono sudah menghubungi temannya untuk menyewa rumah tersebut. Sehingga setibanya nanti di Jakarta, mereka tidak bingung harus tinggal di rumah yang mana.Saat Pak Darmono menjelaskan itu semua pada putrinya, betapa dia merasa senang. Meski niat awalnya untuk menenangkan diri, setelah tahu jika mereka akan pergi bersama-sama, Luisa merasa mungkin ini akan menjadi kes
Pagi itu Luisa segera mencari tahu keberadaan Abdi begitu terbangun dari tidurnya. Setiap sudut ruangan dicarinya dengan perasaan panik sebab pria itu tak ditemukan. Hanya saja ada satu kamar dengan pintu tertutup yang belum Luisa periksa, dia berharap suaminya ada di sana.Luisa segera mendekati pintu kamar tersebut. Perlahan tangannya mencoba menarik handle pintu tapi ternyata pintu terkunci dari dalam. Dia ingin memaksa membukanya hanya untuk memastikan. Namun, gerakannya terhenti oleh Nisa yang tiba-tiba menghampirinya."Kang Abdi tidur di kamar itu, Non," ucap Nisa seperti tahu apa yang sedang Luisa cari."Syukurlah." Luisa menghela napas lega."Kang Abdi masih menolak tidur bareng, Non?" tanya Nisa kemudian.Luisa mengangguk lemah. Dia segera beranjak tanpa berbicara lagi."Non mau ke mana?" tanya Nisa menghentikan langkah Luisa."Kembali ke kamar. Mungkin perlu waktu untuk mendekati Kang Abdi, jadi aku akan membiarkan dia sendiri dulu.""Sabar, ya, Non.""Tidak apa-apa, Nis. In
Syabil menemani Jelita jalan pagi. Tentu saja Rinai ikut. Ketiganya menjadi canggung. Sebenarnya yang sedikit canggung adalah Syabil karena ia tidak ingin Rinai ikut. Meskipun mereka sudah putus, tetapi ia ingin tetap menjaga perasaan gadis itu. Ia tidak ingin Rinai semakin membencinya dengan begitu menjaga jarak dengannya, sedangkan dengan Jelita begitu luwes."Kalian ini bukannya sudah putus?" tanya Jelita saat mereka tengah beristirahat di kursi taman. Syabil yang tengah berjalan mondar-mandir di depan Jelita, langsung menghentikan langkahnya."Non, saya dan Rinai saat ini dalam keadaan kerja. Jadi tidak etis rasanya kalau menanyakan hal pribadi," jawab Syabil sambil menggerakkan matanya. Ia khawatir Jelita akan kembali cemburu karena cerita Rinai dan pemuda itu berharap, Rinai tidak melebih-lebihkan apalagi sampai mengarang kebohongan."Gak papa, kalian cukup jawab saja. Yang nanya juga aku, bos kalian. Kalian gak akan aku pecat saat menjawab," balas Jelita santai."Iya, Non, suda
Jelita adalah anak dari Juragan Andri yang memang sudah terlatih menghadapi situasi genting. Ia berani dan juga percaya diri. Ia juga sudah ditempa untuk bisa melanjutkan bisnis papanya suatu saat. Termasuk pada situasi genting seperti ini, saat ia harus berhadapan dengan empat lelaki kekar yang menampilkan wajah tidak bersahabat."Kami tidak bisa lama. Sebaiknya Mbak Jelita ikut kami sekarang ke kantor polisi.""Oke, gak papa. Saya siap, Pak. Saya ikut Bapak-bapak, apa saya boleh diantar ajudan saya?" tanya Jelita sambil menatap mata salah satu dari empat petugas itu. Sikapnya tenang dan tidak panik, karena ia memang tidak terlibat dalam urusan papanya. "Mbak boleh diantar oleh ajudan, tetapi anggota kami ada juga di mobil yang membawa Mbak." "Baik, Pak, silakan!" Jelita bangun dari duduknya. Dengan gerakan kepala, wanita itu meminta Syabil yang menemaninya, sedangkan Udin yang ditelepon Yadi, saat itu juga datang, tetap berjaga di rumah bersama Yadi. "Kami butuh alamat Pak Andri,
“To-tolong!”Kaki Nisa bergetar hebat. Nyaris tak mampu menopang tubuhnya sendiri andai wanita itu tak perpegangan pada meja yang ada di dekatnya. “Ini— sakit sekali,” erang Nisa nyaris menangis sambil menyentuh perutnya yang terasa nyeri luar biasa.Niat hati hendak mengambil air wudu untuk menjalankan sholat isya berjamaah dengan suaminya yang telah menunggu di kamar, Nisa lagi-lagi justru mengalami kontraksi.Jika sebelum-sebelumnya kontraksi yang dia alami sakitnya timbul tenggelam, berbeda dengan kali ini. Sakitnya benar-benar tak bisa di deskripsikan. Saking sakitnya, wanita itu bahkan sampai tak punya tenaga lagi untuk meminta bantuan.Nisa menangis. Mencoba menggapai apa pun agar tak jatuh, sampai tak sengaja menjatuhkan vas bunga yang sebelumnya terpajang rapi di atas meja.“Ya Tuhan! Nisa!”Pak Darmono yang baru saja keluar dari kamar karena mendengar suara gaduh, langsung terpekik kaget melihat Nisa yang kesakitan. Pun pecahan vas yang untungnya tidak mengenai kaki