ak Darmono akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta bersama-sama setelah mempertimbangkan banyak hal. Membiarkan istrinya dan putrinya pulang berdua, sementara dia bersama Abdi juga hanya tinggal berdua, membuat Pak Darmono membayangkan situasi yang akan dihadapi pasti sangat sulit. Pak Darmono tidak setelaten itu jika harus mengurus Abdi sekaligus menyiapkan semua keperluannya. Selain itu, dia juga memikirkan putrinya yang bisa saja kembali drop sementara sang istri belum tentu bisa cekatan memberikan Luisa perawatan.Di sana, tepatnya di kawasan pasar Minggu, terdapat rumah yang akan ditempati mereka nantinya. Pak Darmono sudah menghubungi temannya untuk menyewa rumah tersebut. Sehingga setibanya nanti di Jakarta, mereka tidak bingung harus tinggal di rumah yang mana.Saat Pak Darmono menjelaskan itu semua pada putrinya, betapa dia merasa senang. Meski niat awalnya untuk menenangkan diri, setelah tahu jika mereka akan pergi bersama-sama, Luisa merasa mungkin ini akan menjadi kes
Pagi itu Luisa segera mencari tahu keberadaan Abdi begitu terbangun dari tidurnya. Setiap sudut ruangan dicarinya dengan perasaan panik sebab pria itu tak ditemukan. Hanya saja ada satu kamar dengan pintu tertutup yang belum Luisa periksa, dia berharap suaminya ada di sana.Luisa segera mendekati pintu kamar tersebut. Perlahan tangannya mencoba menarik handle pintu tapi ternyata pintu terkunci dari dalam. Dia ingin memaksa membukanya hanya untuk memastikan. Namun, gerakannya terhenti oleh Nisa yang tiba-tiba menghampirinya."Kang Abdi tidur di kamar itu, Non," ucap Nisa seperti tahu apa yang sedang Luisa cari."Syukurlah." Luisa menghela napas lega."Kang Abdi masih menolak tidur bareng, Non?" tanya Nisa kemudian.Luisa mengangguk lemah. Dia segera beranjak tanpa berbicara lagi."Non mau ke mana?" tanya Nisa menghentikan langkah Luisa."Kembali ke kamar. Mungkin perlu waktu untuk mendekati Kang Abdi, jadi aku akan membiarkan dia sendiri dulu.""Sabar, ya, Non.""Tidak apa-apa, Nis. In
Syabil menemani Jelita jalan pagi. Tentu saja Rinai ikut. Ketiganya menjadi canggung. Sebenarnya yang sedikit canggung adalah Syabil karena ia tidak ingin Rinai ikut. Meskipun mereka sudah putus, tetapi ia ingin tetap menjaga perasaan gadis itu. Ia tidak ingin Rinai semakin membencinya dengan begitu menjaga jarak dengannya, sedangkan dengan Jelita begitu luwes."Kalian ini bukannya sudah putus?" tanya Jelita saat mereka tengah beristirahat di kursi taman. Syabil yang tengah berjalan mondar-mandir di depan Jelita, langsung menghentikan langkahnya."Non, saya dan Rinai saat ini dalam keadaan kerja. Jadi tidak etis rasanya kalau menanyakan hal pribadi," jawab Syabil sambil menggerakkan matanya. Ia khawatir Jelita akan kembali cemburu karena cerita Rinai dan pemuda itu berharap, Rinai tidak melebih-lebihkan apalagi sampai mengarang kebohongan."Gak papa, kalian cukup jawab saja. Yang nanya juga aku, bos kalian. Kalian gak akan aku pecat saat menjawab," balas Jelita santai."Iya, Non, suda
Jelita adalah anak dari Juragan Andri yang memang sudah terlatih menghadapi situasi genting. Ia berani dan juga percaya diri. Ia juga sudah ditempa untuk bisa melanjutkan bisnis papanya suatu saat. Termasuk pada situasi genting seperti ini, saat ia harus berhadapan dengan empat lelaki kekar yang menampilkan wajah tidak bersahabat."Kami tidak bisa lama. Sebaiknya Mbak Jelita ikut kami sekarang ke kantor polisi.""Oke, gak papa. Saya siap, Pak. Saya ikut Bapak-bapak, apa saya boleh diantar ajudan saya?" tanya Jelita sambil menatap mata salah satu dari empat petugas itu. Sikapnya tenang dan tidak panik, karena ia memang tidak terlibat dalam urusan papanya. "Mbak boleh diantar oleh ajudan, tetapi anggota kami ada juga di mobil yang membawa Mbak." "Baik, Pak, silakan!" Jelita bangun dari duduknya. Dengan gerakan kepala, wanita itu meminta Syabil yang menemaninya, sedangkan Udin yang ditelepon Yadi, saat itu juga datang, tetap berjaga di rumah bersama Yadi. "Kami butuh alamat Pak Andri,
“To-tolong!”Kaki Nisa bergetar hebat. Nyaris tak mampu menopang tubuhnya sendiri andai wanita itu tak perpegangan pada meja yang ada di dekatnya. “Ini— sakit sekali,” erang Nisa nyaris menangis sambil menyentuh perutnya yang terasa nyeri luar biasa.Niat hati hendak mengambil air wudu untuk menjalankan sholat isya berjamaah dengan suaminya yang telah menunggu di kamar, Nisa lagi-lagi justru mengalami kontraksi.Jika sebelum-sebelumnya kontraksi yang dia alami sakitnya timbul tenggelam, berbeda dengan kali ini. Sakitnya benar-benar tak bisa di deskripsikan. Saking sakitnya, wanita itu bahkan sampai tak punya tenaga lagi untuk meminta bantuan.Nisa menangis. Mencoba menggapai apa pun agar tak jatuh, sampai tak sengaja menjatuhkan vas bunga yang sebelumnya terpajang rapi di atas meja.“Ya Tuhan! Nisa!”Pak Darmono yang baru saja keluar dari kamar karena mendengar suara gaduh, langsung terpekik kaget melihat Nisa yang kesakitan. Pun pecahan vas yang untungnya tidak mengenai kaki
Luisa benar-benar sedang mempertanyakan kewarasannya sendiri sekarang. Seolah belum cukup bertindak gila dengan menerobos kamar Abdi dan hanya mengenakan gaun tipis yang nyaris tak bisa menyembunyikan apa pun, padahal tahu jika ingatan Abdi belum kembali. Entah keberanian dari mana, Luisa mencuri ciuman dari suaminya sendiri.Luisa tahu, apa yang dia lakukan agaknya sudah berlebihan. Apalagi Abdi yang masih menganggapnya orang asing. Oleh karena itulah, pada detik saat bibir mereka akhirnya bertemu.. Luisa sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan dia terima. Luisa siap jika Abdi mungkin akan mendorongnya hingga terjatuh ke lantai. Tak apa, pikir wanita itu. Sudah tanggung begini. Mumpung dirinya berani. Sebab di masa depan, belum tentu Luisa berani melakukannya lagi.Saat benak wanita itu sibuk mengira-ngira segala kemungkinan terburuk atas tindakan nekatnya malam ini, Luisa justru dibuat terpekik kaget saat Abdi tiba-tiba membalas ciumannya dengan begitu lembut dan menghany
Luisa tengah memasak untuk makan siang. Ia sengaja masak lebih pagi, karena hari ini adiknya pulang ke rumah. Nisa melahirkan secara normal kemarin dan hari ini sudah bisa pulang. Sayur bening daun katuk dan ikan goreng untuk Nisa, sedangkan untuk papanya dan suaminya ditambahkan sambal goreng kentang hati ayam. Tidak lupa pastinya buah pepaya untuk dikonsumsi satu rumah.Luisa menatap masakannya yang sudah matang. Ia puas karena semakin mahir memasak. Sengaja ia abadikan, lalu dijadikan status. Dahulu, saat ia masih menjadi nyonya Edmun dan anak kesayangan Bapak Darmono, jangankan memasak air, menyalakan kompor pun tidak bisa. Sekarang, masak bisa, ganti tabung gas dua kilo setengah bisa. Ganti bola lampu juga berani, semua pekerjaan rumah tangga dapat ia lakukan dengan hampir sempurna."Apa lauknya sudah matang?" tanya Abdi yang tiba-tiba masuk ke dapur. Luisa yang tengah mencuci piring, langsung menoleh sekilas, lalu kembali lagi pada cucian piringnya."Sudah, Kakang mau makan?" ta
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Nisa dan adik bayi akhirnya telah diperbolehkan pulang. Luisa menyambut kedatangan anggota baru keluarga Darmono itu dengan antusias.“Kenapa sih keras kepala sekali?” Luisa hanya nyengir saat mendengar omelan Pak Darmono. Sudah menduga dari awal jika akan begini respon yang diberikan oleh sang ayah jika dirinya bersikeras datang ke rumah sakit tempat Nisa di rawat meski telah dilarang. Luisa hanya malas bertemu dengan Abdi yang saat ini sangat mengesalkan dirinya, sehingga ia memilih menyusul papa dan juga ibu sambungnya.“Sudah dibilang nanti juga sudah pulang, kamu bisa lihat keadaan ibu dan si adik bayi di rumah sampai kamu bosan, malah tetap datang ke sini,” gerutu Pria paruh baya itu seraya mengemasi barang-barang Nisa untuk dimasukkan ke dalam tas. “Justru karena di rumah membosankan makanya aku menyusul ke sini, Pa.”Pak Darmono mendelik mendengarnya. Luisa yang menyadari itu lagi-lagi terkekeh pelan. Memilih untuk