Apa yang dilakukan Pak Ramdan? Tentu saja ia sedang merencanakan sesuatu untuk Nyai Larsih. Ia merasa dukun santet itu sudah keterlaluan padanya yang tengah susah, untuk ia ia harus memberikan efek jera pada wanita tua itu. Malam harinya, Pak Ramdan membawa bensin dan korek. Karena jalan menuju rumah Nyai Larsih sepi, maka ia tidak terlalu khawatir. Pria itu sudah hapal sekali seluk beluk rumah. Dengan memakai topeng, Pak Ramdan membawa bensin, lalu menyiramkan ke sekeliling rumah dukun Nyai.Tentu saja yang ia lakukan aman dan tidak berisik, karena ia tidak memakai sandal. Ia lakukan dengan sangat halus. Hanya jalan menuju pintu belakang yang tidak ia siram bensin. Ia menyiramkan di beberapa titik rumah yang ia anggap tempat Nyai Larsih bisa melarikan diri. Krak!Suara korek api ia nyalakan. Lalu ia lemparkan ke tanah yang sudah ia berikan bensin. "Kebakaran, kebakaran!" Teriaknya. Tentu saja Nyai Larsih yang tengah tidur, langsung melompat untuk melihat keadaan di luar rumah. W
ak Darmono akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta bersama-sama setelah mempertimbangkan banyak hal. Membiarkan istrinya dan putrinya pulang berdua, sementara dia bersama Abdi juga hanya tinggal berdua, membuat Pak Darmono membayangkan situasi yang akan dihadapi pasti sangat sulit. Pak Darmono tidak setelaten itu jika harus mengurus Abdi sekaligus menyiapkan semua keperluannya. Selain itu, dia juga memikirkan putrinya yang bisa saja kembali drop sementara sang istri belum tentu bisa cekatan memberikan Luisa perawatan.Di sana, tepatnya di kawasan pasar Minggu, terdapat rumah yang akan ditempati mereka nantinya. Pak Darmono sudah menghubungi temannya untuk menyewa rumah tersebut. Sehingga setibanya nanti di Jakarta, mereka tidak bingung harus tinggal di rumah yang mana.Saat Pak Darmono menjelaskan itu semua pada putrinya, betapa dia merasa senang. Meski niat awalnya untuk menenangkan diri, setelah tahu jika mereka akan pergi bersama-sama, Luisa merasa mungkin ini akan menjadi kes
Pagi itu Luisa segera mencari tahu keberadaan Abdi begitu terbangun dari tidurnya. Setiap sudut ruangan dicarinya dengan perasaan panik sebab pria itu tak ditemukan. Hanya saja ada satu kamar dengan pintu tertutup yang belum Luisa periksa, dia berharap suaminya ada di sana.Luisa segera mendekati pintu kamar tersebut. Perlahan tangannya mencoba menarik handle pintu tapi ternyata pintu terkunci dari dalam. Dia ingin memaksa membukanya hanya untuk memastikan. Namun, gerakannya terhenti oleh Nisa yang tiba-tiba menghampirinya."Kang Abdi tidur di kamar itu, Non," ucap Nisa seperti tahu apa yang sedang Luisa cari."Syukurlah." Luisa menghela napas lega."Kang Abdi masih menolak tidur bareng, Non?" tanya Nisa kemudian.Luisa mengangguk lemah. Dia segera beranjak tanpa berbicara lagi."Non mau ke mana?" tanya Nisa menghentikan langkah Luisa."Kembali ke kamar. Mungkin perlu waktu untuk mendekati Kang Abdi, jadi aku akan membiarkan dia sendiri dulu.""Sabar, ya, Non.""Tidak apa-apa, Nis. In
Syabil menemani Jelita jalan pagi. Tentu saja Rinai ikut. Ketiganya menjadi canggung. Sebenarnya yang sedikit canggung adalah Syabil karena ia tidak ingin Rinai ikut. Meskipun mereka sudah putus, tetapi ia ingin tetap menjaga perasaan gadis itu. Ia tidak ingin Rinai semakin membencinya dengan begitu menjaga jarak dengannya, sedangkan dengan Jelita begitu luwes."Kalian ini bukannya sudah putus?" tanya Jelita saat mereka tengah beristirahat di kursi taman. Syabil yang tengah berjalan mondar-mandir di depan Jelita, langsung menghentikan langkahnya."Non, saya dan Rinai saat ini dalam keadaan kerja. Jadi tidak etis rasanya kalau menanyakan hal pribadi," jawab Syabil sambil menggerakkan matanya. Ia khawatir Jelita akan kembali cemburu karena cerita Rinai dan pemuda itu berharap, Rinai tidak melebih-lebihkan apalagi sampai mengarang kebohongan."Gak papa, kalian cukup jawab saja. Yang nanya juga aku, bos kalian. Kalian gak akan aku pecat saat menjawab," balas Jelita santai."Iya, Non, suda
Jelita adalah anak dari Juragan Andri yang memang sudah terlatih menghadapi situasi genting. Ia berani dan juga percaya diri. Ia juga sudah ditempa untuk bisa melanjutkan bisnis papanya suatu saat. Termasuk pada situasi genting seperti ini, saat ia harus berhadapan dengan empat lelaki kekar yang menampilkan wajah tidak bersahabat."Kami tidak bisa lama. Sebaiknya Mbak Jelita ikut kami sekarang ke kantor polisi.""Oke, gak papa. Saya siap, Pak. Saya ikut Bapak-bapak, apa saya boleh diantar ajudan saya?" tanya Jelita sambil menatap mata salah satu dari empat petugas itu. Sikapnya tenang dan tidak panik, karena ia memang tidak terlibat dalam urusan papanya. "Mbak boleh diantar oleh ajudan, tetapi anggota kami ada juga di mobil yang membawa Mbak." "Baik, Pak, silakan!" Jelita bangun dari duduknya. Dengan gerakan kepala, wanita itu meminta Syabil yang menemaninya, sedangkan Udin yang ditelepon Yadi, saat itu juga datang, tetap berjaga di rumah bersama Yadi. "Kami butuh alamat Pak Andri,
“To-tolong!”Kaki Nisa bergetar hebat. Nyaris tak mampu menopang tubuhnya sendiri andai wanita itu tak perpegangan pada meja yang ada di dekatnya. “Ini— sakit sekali,” erang Nisa nyaris menangis sambil menyentuh perutnya yang terasa nyeri luar biasa.Niat hati hendak mengambil air wudu untuk menjalankan sholat isya berjamaah dengan suaminya yang telah menunggu di kamar, Nisa lagi-lagi justru mengalami kontraksi.Jika sebelum-sebelumnya kontraksi yang dia alami sakitnya timbul tenggelam, berbeda dengan kali ini. Sakitnya benar-benar tak bisa di deskripsikan. Saking sakitnya, wanita itu bahkan sampai tak punya tenaga lagi untuk meminta bantuan.Nisa menangis. Mencoba menggapai apa pun agar tak jatuh, sampai tak sengaja menjatuhkan vas bunga yang sebelumnya terpajang rapi di atas meja.“Ya Tuhan! Nisa!”Pak Darmono yang baru saja keluar dari kamar karena mendengar suara gaduh, langsung terpekik kaget melihat Nisa yang kesakitan. Pun pecahan vas yang untungnya tidak mengenai kaki
Luisa benar-benar sedang mempertanyakan kewarasannya sendiri sekarang. Seolah belum cukup bertindak gila dengan menerobos kamar Abdi dan hanya mengenakan gaun tipis yang nyaris tak bisa menyembunyikan apa pun, padahal tahu jika ingatan Abdi belum kembali. Entah keberanian dari mana, Luisa mencuri ciuman dari suaminya sendiri.Luisa tahu, apa yang dia lakukan agaknya sudah berlebihan. Apalagi Abdi yang masih menganggapnya orang asing. Oleh karena itulah, pada detik saat bibir mereka akhirnya bertemu.. Luisa sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan dia terima. Luisa siap jika Abdi mungkin akan mendorongnya hingga terjatuh ke lantai. Tak apa, pikir wanita itu. Sudah tanggung begini. Mumpung dirinya berani. Sebab di masa depan, belum tentu Luisa berani melakukannya lagi.Saat benak wanita itu sibuk mengira-ngira segala kemungkinan terburuk atas tindakan nekatnya malam ini, Luisa justru dibuat terpekik kaget saat Abdi tiba-tiba membalas ciumannya dengan begitu lembut dan menghany
Luisa tengah memasak untuk makan siang. Ia sengaja masak lebih pagi, karena hari ini adiknya pulang ke rumah. Nisa melahirkan secara normal kemarin dan hari ini sudah bisa pulang. Sayur bening daun katuk dan ikan goreng untuk Nisa, sedangkan untuk papanya dan suaminya ditambahkan sambal goreng kentang hati ayam. Tidak lupa pastinya buah pepaya untuk dikonsumsi satu rumah.Luisa menatap masakannya yang sudah matang. Ia puas karena semakin mahir memasak. Sengaja ia abadikan, lalu dijadikan status. Dahulu, saat ia masih menjadi nyonya Edmun dan anak kesayangan Bapak Darmono, jangankan memasak air, menyalakan kompor pun tidak bisa. Sekarang, masak bisa, ganti tabung gas dua kilo setengah bisa. Ganti bola lampu juga berani, semua pekerjaan rumah tangga dapat ia lakukan dengan hampir sempurna."Apa lauknya sudah matang?" tanya Abdi yang tiba-tiba masuk ke dapur. Luisa yang tengah mencuci piring, langsung menoleh sekilas, lalu kembali lagi pada cucian piringnya."Sudah, Kakang mau makan?" ta
"Ma, Kevin gak bersalah, Ma. Wanita itu memfitnah Kevin. Kevin gak tahu apa-apa soal Dion dan Kevin gak kenal wanita itu!" Kevin terus merengek pada mamanya dari balik jeruji besi. "Mama justru bingung sama kamu. Kalau kamu gak kenal, kenapa wanita bernama Elsa itu punya semua buktinya? Dia sampai punya struk pembayaran hotel, villa, bukti chat ponsel, bukti transfer, dan rekaman suara kamu berencana mencelakai lelaki bernama Dion. Mama gak bisa bantu kamu, Kevin. Mama harap kamu bertaubat! Pantas Tuhan tidak ijinkan Mama berbesan dengan Bu Rana, ternyata emang anak Mama yang gak pantas bersanding dengan putri mereka.""Mama, semua itu fitnah! Mama harus percaya Kevin." Namun yang dilakukan wanita adalah segera beranjak dari penjara. Tujuannya hari ini adalah pergi ke rumah orang tua Elsa. Ya, ia harus mendengar cerita tentang Elsa dan juga Kevin.Bu Dian terheran-heran melihat kedatangan seorang wanita yang tidak ie kenal."Ibu siapa ya?" tanya Bu Dian yang saat ini sedang menimang
Dewasa(21+) Romi dan Mutia sudah tiba di Bali. Tiket honeymoon pemberian Elsa tentu saja saja tidak akan dilewatkan oleh keduanya. Ya, Elsa-lah yang memberikan Romi tiket bulan madu sebagai hadiah pernikahan kedua suaminya. Sampai kapan pun Elsa merasa tidak akan bisa membalas semua kebaikan dan juga ketulusan suaminya. Pemuda yang menjadi tersangka atas skandal yang ia susun bersama kekasihnya Kevin. Sebuah foto dikirimkan Mutia pada Elsa sebagai informasi bahwa mereka sudah sampai di kamar pengantin yang dipesan oleh Elsa. Selamat berbulan madu. Itulah pesan yang dibalas oleh Elsa. Mutia memperlihatkan balasan pesan pada suaminya. “Aa yakin kalau Mbak Elsa baik-baik saja? kenapa diterima hadiah bulan madu seminggu ini. Mahal banget loh,. Padahal papa juga mau kasih tiket bulan madu, tapi udah keduluan Mbak Elsa,” kata Mutia tisak enak hati. Romi tersenyum hangat, lalu menarik Mutia dalam pelukannya. “Ing
“Kamu ini, Pa, gak dapat ibunya, tetap saja terobsesi dengan keluarganya. Anak sendiri masih muda, cantik kaya, malah dapatnya suami orang. Nambah anaknya pula.” Rana terus menggerutu di kursi orang tua pengantin. Wanita itu masih tidak ikhlas jika putrinya menikah dengan Romi; anak dari wanita yang dahulunya digilai suaminya. Ditambah posisi Romi saat ini masih istri dari Elsa yang baru tiga puluh dua hari yang lalu melahirkan, tentu saja pernikahan yang seperti terburu-buru ini mengundang banyak gosip di luaran sana. “Ma, anaknya saling suka, kok. Kenapa kita harus gak setuju? Romi itu anak baik. Solatnya rajin dan juga pintar. Dia belum lulus aja udah dapat kerjaan. Pernikahannya dengan Elsa itu kecelakaan, bukan seperti pernikahan lainnya. Mama gak perlu khawatir, anak perempuan kita pasti senang dan bahagia bisa menikah dengan pujaan hatinya.” Levi tersenyum pada para tamu undangan yang sedang berjalan ke arahnya untuk bersalaman. Di seberang kursi orang tua ada L
"Selamat Pak Romi, bayinya lelaki dan lahir dengan selamat, meskipun baru delapan bulan di dalam perut.""Alhamdulillah, apa saya bisa melihat istri saya, Dok? Istri saya beneran gak papa?""Nggak papa, Pak, semuanya sehat selamat. Lagi disiapkan dulu untuk pindah kamar ya. Bayinya juga dibersihkan dulu, baru nanti bisa diazankan.""Berat badannya berapa, Dok?" tanya Bu Diana menyela."Beratnya tiga kilogram lebih dua ons. Panjangnya empat puluh sembilan. Normal semua dan tampan." Romi tersenyum senang sambil menoleh pada mertuanya. "Alhamdulillah, terima kasih banyak, Dok." Semua orang yang ada di sana ikut senang dengan kabar yang diberikan dokter, termasuk Luisa dan suaminya. Meski mereka tahu yang lahir bukanlah cucu dari benih anak mereka, tetapi mereka tidak keberatan dan tetap menerima Elsa. "Selamat Romi, terima kasih sudah menjaga Elsa dengan baik. Bunda gak sangka anak lelaki Bunda bisa hebat sekali seperti ini," ucap Luisa sembari memeluk putranya. Romi terharu, hingga ad
"Mama gak habis pikir sama kamu, Elsa. Apa maksud kamu membiarkan Romi menikahi gadis bernama Mutia? Romi itu suami kamu. Dia peduli sama kamu, Elsa. Kamu hamil dan dia juga sayang sama anak kamu!" Bu Diana hampir menangis saat mengetahui kabar bahwa Romi baru saja melamar gadis bernama Mutia. "Gak adil buat Romi, Ma. Sampai saat ini saya gak tahu bagaimana saya di masa lalu. Saya juga gak ngerti hubungan saya dan Romi seperti apa. Ternyata Romi punya wanita yang ia suka, begitu juga sebaliknya. Romi terlalu baik, Ma. Gak mungkin Elsa tega mengambil Romi. Setelah anak ini lahir, Elsa akan melepas Romi. Ini sudah keputusan Elsa. Romi pun setuju. Mama gak usah khawatir, Elsa gak papa. Elsa udah anggap Romi itu adik Elsa. Benar dia sayang Elsa, tapi sebagai kakak, bukan pasangan karena Romi menyukai dan mencintai Mutia. Bulan depan mereka akan menikah, dua Minggu menjelang saya HPL, semoga saja berjalan lancar." Bu Dian memijat keningnya. Ia tidak bisa begitu saja merubah keputusan putr
"Mbak Elsa mau tinggal di sini?" Romi menatap Elsa tidak percaya."Iya, mau di sini saja nginep lagi. Rumah bunda kamu adem." Romi merapikan baju kemeja yang hari ini ia pakai ke kampus. Pemuda itu tidak keberatan saat istrinya membantu mengancingkan beberapa kancing kemeja bagian bawah. "Saya mau kuliah.""Iya, yang bilang kamu mau konser itu siapa? Kuliah aja. Aku mau di sini. Ini kan rumah suamiku." Elsa memegang kedua pipi Romi sambil tersenyum."Boleh? Kalau gak boleh, aku cium, nih!" pemuda itu tidak punya pilihan selain setuju. Elsa tertawa, lalu mengambil tas ransel Romi untuk dibawa ke depan."Aku tunggu di ruang makan ya." Romi menatap pintu yang tertutup kembali. Tidak ada debat di jantungnya, seperti bila ia berdekatan dengan Mutia. Murni sikapnya pada Elsa adalah bentuk perhatiannya sebagai suami. Ditambah Elsa yang sedang amnesia bersikap begitu baik, maka tidak ada alasan baginya untuk membalas sikap buruk Elsa sebelum kejadian kecelakaan itu. Gegas ia menyemprotkan p
"Halo, Bun, assalamualaikum." Elsa menyapa sembari mencium punggung tangan ibu mertuanya yang berkurang lebar. Luisa, hari ini ia kedatangan tamu spesial. "Wa'alaykumussalam." Luisa memperhatikan wajah putra dan juga menantunya bergantian."Kalian sudah makan?" "Sudah, Bunda, saya makan makanan di klinik tadi. Boleh duduk ya, Ma." "Oh, iya, duduk aja!" Luisa sedikit canggung. Ia tidak suka dengan Elsa, itu sudah jelas, tetapi Elsa yang malam ini datang ke rumahnya adalah Elsa yang tengah amnesia. "Mau minum apa?" Romi menurunkan ranselnya."Mau air putih saja. Apa saya boleh ambil sendiri ke dalam? Saya mau lihat-lihat rumah mertua." Elsa tersenyum lebar. Sekali lagi Luisa menatap Romi dengan penuh tanda tanya. Putranya itu hanya tersenyum tanpa berkata apapun ."Ada di sebelah kanan." Luisa menunjuk dapurnya. Elsa berjalan melewati mertuanya dengan sedikit membungkuk sopan. "Kenapa dia?" tanya Luisa tanpa suara pada Romi."Lagi bener," jawab Romi juga tanpa suara. Pemuda itu men
"Gadis yang kemarin pacar Romi?" Elsa menaruh kembali gelas yang hampir saja menyentuh bibirnya. "Bukan, Ma, hanya dekat saja." Elsa meneruskan minum susu ibu hamil."Masih muda. Teman kampus?" Elsa mengangguk."Kayaknya suka Romi." Elsa tersenyum."Iya, kelihatan kok. Kalau tidak suka, mana mungkin berani ke sini hanya ingin tahu kenapa pesannya tidak dibalas." "Lalu kamu?" Bu Dian penasaran dengan raut wajah putrinya."Biasa saja. Tidak cemburu juga. Kehidupan Romi di luar sana bukan sepenuhnya menjadi urusan Elsa. Apalagi masalah hati. Elsa kira, mungkin akan bisa terus menjadi istri Romi, tetapi karena Elsa hamil dan Romi sebenarnya punya kekasih, lebih baik kami berpisah, Ma. Elsa gak papa.""Nak, k-kamu harus tarik ucapan kamu tadi," ujar Bu Dian terkejut. Elsa menggelengkan kepala."Kami masih bisa silaturahmi seperti saudara, Ma. Mama jangan khawatir." Elsa bangun dari duduknya sambil membawa piring kue berisi brownies.Bu Dian hanya bisa menatap kasihan pada putrinya. Nasib
"Jadi kalian pacaran?" tanya Elsa pada Romi dan Mutia. "Kami teman, Mbak," jawab Mutia jujur. "Lalu, ada apa ke sini? Apa kamu belum tahu bahwa Romi sudah menikah?" tanya Elsa tanpa memutus pandangannya terhadap Mutia."Sudah tahu, hanya A Romi udah gak ke kampus dua hari. Saya kira sakit. Wa saya gak dibalas, hanya dibaca saja." Elsa tersenyum pada suaminya. "Karena dia sedang menjaga saya. Jangan sungkan, kalian bicara saja, saya gak mau ganggu. Saya mau istirahat.""Biar saya bantu, Mbak," ujar Romi sudah berdiri untuk memapah Elsa."Aku belum jompo." Elsa mencebik, lalu berjalan masuk ke kamar.Kini, Romi dan Mutia ada di taman belakang. Mutia canggung berduaan saja dengan Romi di rumah mertua lelaki itu."Jadi, apa yang membawa kamu sampai di sini? Kamu nekat sekali," kata Romi sambil menggaruk rambutnya yang tidak terlalu gatal. "Mutia hanya ingin tahu kabar A Romi. Karena pesan Mutia gak dibalas.""Aku gak papa, Mutia. Terima kasih atas perhatian kamu. Sekarang aku masih su