Syabil binngung karena Jelita belum terlihat turun dari kamarnya sejak pagi. Ini sudah jam sembilan. Biasanya Jelita suka berdiri di balkon kamar sambil menghirup udara pagi, tetapi sampai siang, ia tidak melihat Jelita. Ponsel wanita itu pun tidak aktif sejak semalam ia menanyakan kabarnya. Tentu saja Syabil penasaran karena tidak biasanya Jelita bersikap aneh seperti ini."Mbok Nah, Non Jelita belum ada turun ya?" tanya Syabil setengah berbisik. Pria itu pura-pura mengambil air es dari dalam kulkas."Belum, sejak tadi Mbak Rinai saja yang diminta bolak-balik ambil makanan. Kata Non Rinai agak pucat." Syabil mulai cemas. Apa yang terjadi pada Jelita? Apa ini berkaitan dengan kehamilan wanita itu? Syabil bergumam dalam hati."Oh, gitu, suruh Rinai aja Non Jelita ke dokter, Mbok. Kalau memang lagi sakit, jangan dibiarkan lama. Saya kalau bilangin hak gak enak karena saya lelaki.""Iya, Mbok sih maklum karena emang Non Jelita lagi hamil anak cinta satu malam." Syabil tersenyum samar. "
Keduanya sampai di rumah sakit. Jelita tidur sepanjang jalan setelah mereka berdebat. Syabil mengetahui kenapa Jelita tidur dengan pulas, pasti karena semalaman wanita itu tidak tidur. Merajuk padanya karena bicara pada Rinai. Ditambah ada adegan pelukan yang dilakukan Rinai, semakin cemburu dan kesallah Jelita. Wanita memang selalu seperti itu. Seringkali menyimpulkan sendiri tanpa mau mengonfirmasi. Batin Syabil.. Ia menyentuh kenig Jelita, menyingkirkan anak rambut yang menempel di sana. Pemuda itu membukakan pintu mobil, lalu melepas seatbelt, barulah Jelita terbangun. "Ayo, turun! Periksa dulu!" Jelita menggosok kedua matanya. "Aku bilang tadi kan pulang aja.""Nggak, harus periksa dulu. Sejak di sini belum ada ke dokter kandungan kan? Ayo, jangan pake bantah! Makanya jangan aneh-aneh segala ngambek dan gak tidur. Pokoknya kudu nurut saya." Jelita terpaksa turun dari mobil. Syabil menuntun wanita tanpa make up itu menuju bagian pendaftaran. Setelah data diri diisi, Jelita dudu
Pukul delapan malam, Jelita dan Syabil baru saja sampai rumah. Selain main ke pantai dan Seaworld, Syabil juga mengajak Jelita nonton pertunjukan lumba-lumba di Gelanggang Samudra. Apakah pakai uang Syabil? Tentu saja tidak semuanya. Ada yang menggunakan uang Jelita da nada juga dengan uang Syabil. Jelita paham bahwa Syabil tidak memiliki banyak uang untuk sekedar jalan-jalan have fun.Rinai menyambut keduanya dengan wajah yang sulit diartikan. Antara heran dan juga cemburu, tetapi ia ingat perkataan Yadi tadi sore, bahwa Syabil dan Jelita sudah dekat karena Syabil yang menemani majikannya itu operasi di luar negeri.“Malam, Nyonya, apa Nyonya butuh sesuatu sebelum istirahat?” tanya Rinai sopan, tanpa berani menoleh pada Syabil yang mengantar Jelita sampai ke depan pintu kamar.“Aku capek banget hari ini, Nai,” jawab Jelita dengan senyum. Ia ingat perkataan Syabil, bahwa bersikap biasa saja dengan Rinai, karena Rinai sudah bagian dari masa lalu pemuda itu dan tidak boleh memusu
Levi menatap gedung-gedung bertingkat di luar sana. Semua sibuk hilir mudik dengan semua kesibukan dan urusan masing-masing, sementara Bu Hera menatap anak semata wayangnya itu dengan perasaan campur aduk. "Ini sudah malam, apa kamu belum ngantuk?" tanya Bu Hera pada Levi. Pria dewasa itu menghela napas. "Saya gak bisa tidur, Mom. Bagaimana Rana?" tanya Levi."Rana sudah diantar pulang oleh Pak Samsul sore ini. Rana pulang ke Jakarta untuk pemulihan. Bapaknya mungkin akan membantu menjaga serta merawat Rana untuk beberapa hari ke depan," jawab Bu Hera masih dengan kesedihan mendalam."Jika kita semua balik ke Jakarta, lalu makam bayi saya?" tanya Levi seakan tidak tega meninggalkan putrinya sendirian di kota orang."Mama akan bicara pada dokter dan aparat lingkungan setempat. Jika boleh, makam Mehra akan kita pindahkan di Jakarta. Di samping makan papa kamu." Levi mengangguk. Hal itu memang yang ia inginkan. Putrinya berada satu kota dengannya meskipun sudah beda alam."Rana apa sud
Tubuh Rana bergerak gelisah saat suara ponsel berdering berkali-kali. Wanita itu membuka mata, lalu meraih ponsel di atas nakas dengan malas. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Rana langsung saja menggeser layar terima."Halo, siapa?""Halo, Rana, ini Bapak. Mbak Adis kamu sudah ditemukan.""Alhamdulillah." Rana yang tadinya lemas, mendadak membuka mata dengan lebar. "Tapi kondisinya tidak baik dan perlu perawatan intensif dan ekslusif. Dokter menyarankan kakak kamu dirawat ke kamar VIP yang per malam biayanya empat juta dua ratus ribu rupiah. Mungkin akan menghabiskan waktu tujuh hari di rumah sakit, di luar obat. Bapak butuh lima puluh juta untuk kakak kamu. Kirim sekarang ya, karena Bapak sudah ada di kasir.""Pak, lima puluh juta uang dari mana? Saya gak ada. Baru kehilangan bayi. Bapak malah minta uang banyak sekali. Saya baru kirim empat juta kemarin, sekarang sudah minta lagi. Bapak tega sekali pada saya. Saya di sini pembantu, Pak. Saya baru kehilangan bayi, Bapak gak ada uc
"Mbok, apa Mbok tahu hubungan Syabil dan Nyonya Jelita?" tanya Rinai saat membantu Mbok Nah mencuci piring. "Tentu saja majikan dan ajudan, tapi mungkin dengan Syabil lebih dekat dibanding yang lain, kenapa? Mbok baru tahu kamu mantan Syabil dari Udin. Maksud Udin kali aja kalian bisa balikan, ternyata kayaknya gak bisa ya." Mbok Nah memberikan komentar. Rinai hanya bisa tersenyum pedih menanggapi ucapan Mbok Nah."Saya pun berharap bisa balikan sama Syabil, Mbok. Makanya mau aja pas Udin nawarin kerja di sini jadi asisten Nyonya Jelita, tapi kayaknya saya doang yang berharap, Syabilnya biasa aja. Mungkin bosan juga kali ya, Mbok.""Mungkin Syabil juga udah ada yang lain. Tapi bisa juga lagi dalam mode bosan. Kenapa gak biarkan Syabil tenang dulu? Kalian sama-sama introspeksi. Biarkan Syabil mungkin lagi fokus sama urusan pekerjaannya dengan juragan dan Non Jelita. Apalagi juragan lagi sakit. Lusa katanya mau dibawa balik ke Indonesia, tapi ke Jakarta. Bisa jadi, Non Jelita pun ke sa
Nisa segera bangun dari tempat duduknya saat mendapati jari tangan Abdi melakukan pergerakan. Wanita itu segera mendekati kakaknya tersebut untuk memastikan. Matanya berbinar begitu melihat pergerakan untuk yang kedua kalinya."Kang? Kang?" Nisa terus memanggil kakaknya sebab dia belum membuka mata.Matanya kembali memastikan pergerakan tangan Abdi. Untuk ke sekian kalinya, Nisa yakin jika itu pertanda bahwa sang kakak sudah sadarkan diri.Tak mau menyimpan kabar ini sendiri, wanita muda itu segera mencari keberadaan suaminya. Bahkan, dia melupakan untuk memberi tahu dokter lebih dulu. Begitu keluar dari ruangan, baru saja Nisa berjalan beberapa langkah, di ujung lorong suaminya tengah berjalan ke arahnya. Nisa segera berlari untuk mendekat."Kang, Kang Abdi …," ucap Nisa dengan napas tersengal-sengal."Ada apa? Kenapa dengan Abdi?" Pak Darmono bertanya dengan panik."Kang Abdi sudah sadar," jawab Nisa seraya tersenyum lebar.Pak Darmono tertegun untuk beberapa saat. Bersamaan dengan
"Apa kamu ingat namamu?" Kini giliran Pak Darmono yang bertanya.Abdi terdiam beberapa saat. Semua mata tertuju padanya penuh harap. Namun, lagi-lagi pria itu menggeleng.Luisa semakin ketakutan. Dia ingin sekali memeluk pria itu untuk mengurai kerinduan, tapi tentu saja tak bisa dilakukan karena suaminya tampak hilang ingatan. Luisa mencoba menahan diri sambil berpikir."Apa tidak sebaiknya kita panggil dokter lagi, Pa?" Luisa berbicara pada ayahnya."Baiklah. Biar Papa panggil dokter lagi."Luisa mengangguk. Nisa yang sejak tadi tak banyak bicara segera mendekati putri suaminya. Dengan penuh kasih, dia mengusap bahu wanita itu, mencoba menenangkan. Di sisi lain dia pun merasa terpukul melihat keadaan kakaknya yang sudah sadar tapi tak ingat apa-apa.Tak lama dari itu Pak Darmono kembali bersama dokter. Dia menjelaskan pada dokter tersebut keadaan Abdi yang tak ingat siapa pun di antara mereka, bahkan pria itu tak mengingat apa yang terjadi padanya.Dokter kembali memeriksa. Dia menc