Sebuah mobil berwarna hitam metalik mendarat sempurna di halaman rumah Aruni. Kedatangannya begitu menyita perhatian semua orang yang berada di sana. Sebaliknya penghuni kendaraan mewah tersebut tak kalah terkejut melihat barisan manusia tengah menyemut area halaman termasuk teras, hingga menuju ruang tamu.“Sayang, ini ‘kah yang dimaksud acara tujuh bulanan? Mas kira hanya rombongan jamaah ibu-ibu pengajian. Tapi … ini di luar dugaan Mas,”Gelombang rasa gugup kentara menyerbu Darren dalam hitungan sepersekian detik. Darren biasa menghadapi klien bahkan orang-orang penting berasal dari berbagai kalangan.Namun saat bertemu makhluk ras terkuat di dunia, para ibu-ibu seketika Darren menciut menjadi butiran debu. Sewaktu dulu saat ia bertemu dengan para tamu Aruni yang notabenenya berasal dari para ibu-ibu, Darren seolah ditempatkan sebagai terdakwa yang diinterogasi. Merasa melihat perubahan gelagat sang suami Nuha melepas ikatan sabuk pengamannya sendiri dan meraih tangan suaminya. “
Di penghujung dalu saat semua orang terlelap tidur, Salwa masih terjaga. Suara hembusan angin yang menggoyangkan dream catcher mengambil alih separuh pikirannya. Jendela kamar memang sedikit terbuka sehingga dengan leluasa angin menyelinap melewati vitrase yang tersibak. Tanpa seijinnya bayangan pemuda itu tiba-tiba memenuhi kepalanya, entah sebagai apa. Salwa tak pernah sedekat itu dengan seorang lawan jenis kendati dengan temannya sekalipun. Ia acapkali membangun benteng marsose kala berhadapan dengan mereka. Mungkin karena beberapa pertemuan dengannya yang menempatkan mereka seolah dekat dan akrab satu sama lain. Sebuah tindakan resiprokal. Saling tolong menolong. Selain itu yang membuat mereka semakin dekat ialah fakta tentang penyakit Daniel yang berhasil mengguncang simpati Salwa. Salwa pun mulai merasa nyaman berkomunikasi dengannya, entah sebagai apa. Mungkin sebagai seorang kakak atau lebih. Namun semua perasaan yang mulai tumbuh seketika luluh lantak ketika pertemuan sor
Pemandangan pertama kali yang Anggara lihat ialah Bagas tengah digiring oleh dua orang security berwajah sangar dalam kondisi setengah sadar. Bau alkohol menyeruak dari tubuhnya.Anggara pun segera meraih satu tangan besar sang ayah ke pundaknya, memapahnya menuju taxi yang tengah menunggunya. Setelah mengamankan Bagas, barulah Anggara masuk ke dalam kelab lagi untuk membayar ganti rugi akibat kekacauan yang diperbuat oleh ayahnya.“Berapa?” tanya Anggara pada seorang manajer yang tengah menghitung jumlah properti kelab yang rusak; kursi, botol minuman dan meja kaca yang pecah belah.“Total semua dua belas juta rupiah,” jawab sang manajer kelab malam, menjumlahkan nominal angka pada layar mesin penghitung.“Bisa kurang?”Anggara menengok dompet kulitnya. Hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna merah. Tujuh puluh persen gajinya sebagai sekretaris Darren Dash ia tabungkan dalam bentuk deposito dan cicilan sebuah rumah. Ia hanya menyimpan uang ala kadarnya untuk biaya hidup sehari-ha
Siapa sangka kehadiran Darren Dash di kolam tempat pemancingan ikan mampu mengundang atensi warga sekitar. Mereka terkagum-kagum melihat sosok lelaki yang berwajah sedikit berbeda dengan mereka dan berpenampilan ala turis, mengenakan kaos oblong putih dengan celana tiga perempat berbahan denim hitam dan memakai topi bertuliskan NY serta memakai sandal karet, ikut bergabung bersama para warga yang gemar menghabiskan waktu mereka dengan memancing sebagai hobi. Darren Dash biasa menemani ayahnya memancing di kolam halaman rumahnya sehingga kemampuan memancingnya tak bisa diragukan lagi. Entah faktor keberuntungan yang selalu membuatnya berhasil memancing. Ia memperoleh tangkapan ikan berukuran dua kilo gram sebanyak sepuluh buah. Sebuah usaha yang tak mengkhianati hasil. Alwi sampai cengo melihat kemampuan Darren Dash. Apalagi ia hanya gigit jari karena hanya mendapat ikan kecil yang belum siap dipanen. Dengan bersungut-sungut Alwi melepas kepergian ikan kecil kembali ke habitatnya. Pa
Setiba di kediaman ke dua orang tuanya, Darren merasa aneh melihat sikap Nuha yang dingin mendadak. Apalagi yang membuatnya mood swing. Terkadang ia kewalahan menyikapi istrinya yang tengah hamil. Nuha akan seringkali sensitif, mudah marah dan melankolis tanpa alasan yang jelas.Nuha turun dari dalam mobil dengan wajah yang ditekuk. Melenggang begitu saja, mengabaikan suaminya yang kerepotan membongkar muatan dari dalam bagasi. Mungkin Nuha letih selama dalam perjalanan. Darren merasa lega, Nuha tak lagi ketiduran ketika berada di dalam mobil. Tak terbayang Darren harus mengangkat tubuh Nuha yang begitu berat semenjak kehamilannya.Darren mengeluarkan satu buah koper berwarna merah muda berukuran medium dan tas berbahan kain berisi beberapa kontainer makanan berjumlah lima buah dari dalam bagasi. Semua makanan adalah oleh-oleh yang dibawa dari kampung mama mertuanya. Sengaja, Aruni membuatnya. Dua kontainer berisi laksa dan tiga kontainer berisi asinan bogor. Asinan bogor dibuat khusu
Di sebuah rumah kontrakan sederhana yang biasa sepi, kini sudah tiga hari terasa lebih hangat bahkan sedikit memanas. Bagas tinggal di rumah Anggara selama tiga hari dengan berbagai alasan. Anggara dengan tangan terbuka menyambut kehadiran sosok ayah yang selama ini menjauh darinya. Kendati ia tahu ayahnya yang oportunis hanya menjadikannya semacam pelarian ketika ia tengah bermasalah dengan istrinya.Di ruang tamu berukuran empat kali empat meter, dua buah sofa tergolek berhadap-hadapan, di mana di tengahnya meja bundar berdiameter kurang lebih tiga puluh centi meter berada, tampak Bagas dan Anggara tengah duduk bersebrangan.Anggara tengah duduk sembari mengancingkan kemejanya, bersiap-siap berangkat ke kantor. Bagas tengah duduk bersilang kaki masih memakai piyama tidurnya.“Apa kata dunia, seorang sekretaris di perusahaan JD Group hanya mampu tinggal di rumah kontrakan sepetak? Ini tak lebih dari kandang burung! Apakah gajimu sedikit hah?”Bagas mengedarkan pandangannya sembari wa
Hari minggu itu kota hujan menggeliat. Semua orang begitu semangat menyambut hari libur dengan penuh sukacita. Sebagian besar penghuni perumahan elit di sana menghabiskan waktunya dengan berolahraga, jogging, bersepeda dan pergi ke gym. Pasangan muda yang memiliki anak balita memilih bermain ke kawasan taman di mana tersedia wahana permainan untuk anak-anak.Para remaja lebih memilih bersepeda bersama komunitas, tertawa dan menikmati kebersamaan mereka di sepanjang jalan yang dipagari pohon-pohon ketapang kencana yang hijau nan asri. Pohon tersebut banyak tumbuh di sana sengaja ditanam sebab memiliki fungsi menyerap polusi udara dan melindungi pejalan kaki dari terik matahari. Bentuk pohonnya yang mirip payung sangat cocok untuk tempat berteduh.Seperti halnya mereka, keluarga Jonathan memiliki cara tersendiri menikmati minggu yang indah. Darren mengajak Nuha berjalan kaki menuju taman yang terdekat. Usia kandungan Nuha sudah mencapai sembilan bulan sehingga ia mulai bergerak aktif se
“Langit! Slow down! Daripada celaka, lebih baik kita menepi sejenak! Hujan sangat deras. Bahaya jika kita meneruskan perjalanan.” Tania sesekali menengok arlojinya dengan gelisah. Seharusnya ia sudah tiba di Jakarta karena kedatangan neneknya dari Belanda. Namun karena ia memiliki banyak urusan di kota Bogor akhirnya ia pulang terlambat. Tania sedang mengurus surat-surat jual beli aset tanah di kota Bogor yang ia miliki untuk masa depan yang mana sudah ditata rapi olehnya, ketika ia masih menjalin hubungan dengan Darren Dash. Meskipun ia disibukkan oleh kuliah dan karirnya selama di Belanda, ia tetap memikirkan masa depannya bersama kekasihnya waktu itu. Diam-diam ia membeli tanah sebagai investasi kelak untuk masa depannya di sana. Namun rencana hanyalah tinggal rencana sebab kuasa sang pencipta di luar dugaan manusia. Untuk menghapus jejak bayangan mantan kekasihnya, ia memilih menuntaskan semua urusannya di kota hujan dengan menjual asetnya dan memilih menetap di Jakarta serta me