Dengan gamis hitam, dan kerudung instan merk lokal warna abu tua, tak lupa kaus kaki, yang kupakai dengan secepat kilat, aku segera melangkah ke ruang tamu, untuk menemui Tante Narti yang entah kenapa bisa berada di sini.
Bukankah Tante Narti sekeluarga menetap di luar Jawa? Ah, aku lupa, mereka orang kaya, yang bisa kapan saja berkunjung ke tanah kelahiran mereka, tanpa terkendala biaya.Saat sampai di ruang tamu, orang pertama yang terlihat di mataku adalah Irsyad, aku mematung, mencoba mengkondisikan netra yang tidak juga beralih dari memandangnya, laki-laki yang merupakan anak tunggal dari Om Andri dan Tante Narti itu tengah sibuk dengan ponselnya.Laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa bulan dariku itu memakai pakaian serba hitam ala idol Korea, celana panjang hitam, kaos polos hitam, lengkap dengan blazer selutut warna abu tua, ditambah kacamata yang semakin menambah tingkat ketampanannya.Andai Leni melihatnya, mungkin dia akan sangat heboh, jingkrak-jingkrak, lalu pingsan, satu-satunya sahabatku di masa putih abu-abu, yang tingkahnya persis seperti ijat dalam film kartun si botak kembar.Aku tersenyum mengingat kekonyolan Leni, mataku yang sejak tadi belum juga berpindah arah pandang, tanpa sengaja bertemu dengan arah pandang Irsyad yang tiba-tiba mendongak lalu tatapannya tepat ke arahku, hanya tiga detik, lalu Irsyad dengan cepat kembali menunduk.Berganti Tante Narti yang menoleh kebelakang, menatapku yang tanpa beliau sadari aku telah berdiri di belakangnya sejak tadi.Aku tersenyum, lalu segera mendekat, mencium punggung tangan beliau, lagi-lagi seperti waktu pertama kali kami bertemu, Tante Narti menarik tanganku dengan lembut, lalu memelukku dengan erat, kulihat Ibu mertua yang sejak tadi duduk disamping Tante Narti tersenyum, senyum yang sama sekali belum pernah aku lihat sejak tinggal disini."Tante Narti bagaimana kabarnya?" ucapku dalam pelukan Tante Narti."Enggak usah tanya kabar Tante, Tante justru yang khawatir sama keadaan kamu disini, kamu baik-baik saja, kan, Ma?" bisik Tante Narti ditelinga kananku."Alhamdulillah, Tante. Najma baik-baik saja, kok,""Tante ada kabar buruk, nanti Tante ceritain kalau Yune sudah tidur, Tante nginep semalam disini, nanti Tante tidur sama kamu, ya? Hendra lagi dinas, kan?" kali ini Tante tidak lagi berbisik, karena Ibu mertua baru saja pergi ke arah dapur, mungkin mengambil camilan untuk disuguhkan, Yune adalah sebutan Tante Narti untuk Ibu mertua, yang berarti kakak perempuan.Aku hanya mengangguk pelan, meskipun muncul penasaran dari ucapan Tante Narti barusan, Kabar buruk apa yang Tante Narti bawa? Sekarang jaman digital, bukankah dengan benda pipih bernama handphone kita sudah bisa berbagi kabar, sepenting apakah kabar buruk itu hingga Tante Narti bela-belain terbang kemari hanya untuk menyampaikan kabar itu padaku?Aku menepis segala tanda tanya yang muncul di kepala, dan sontak tersenyum dengan pemikiranku yang kepedean, Tante Narti dan Irsyad pasti ada urusan penting di Jawa, lalu kabar buruk yang entah apa itu mungkin kebetulan beliau dengar, lalu disampaikan padaku sekalian mampir kesini, dirumah kakaknya Tante Narti, Bapak mertuaku."Om Andri enggak ikut, Tan?" tanyaku baru ingat akan ketidakhadiran Om Andri."Ikut, tadi di masjid tidak sengaja bertemu sama temannya, masih ngobrol di sana, tadi kamu kenapa mukena bisa nyantol di gerbang, terus lari-lari kayak orang ketakutan?"Aku membelalak mendengar pertanyaan Tante Narti, berarti mobil yang tadi berhenti depan gerbang? Dan laki-laki bermasker hitam yang membantuku melepas lilitan mukena dipintu gerbang? Irsyad?Aish.Sontak aku menutup mata dengan tangan kiriku, sudah pasti karena aku malu, pantesan tadi Irsyad memanggilku, mungkin karena heran dengan tingkahku, orang mau bertamu tapi pintu gerbang malah aku tutup lalu gembok, kemudian lari terbirit-birit kayak habis ketemu hantu."Kebelet itu tadi, Dek Nar. Perutnya kebanyakan di isi makanan pedas," celetuk Ibu mertua yang muncul dengan membawa nampan berisi camilan.Irsyad yang masih berkutat dengan ponselnya, tiba-tiba kudengar dia tertawa pelan, mungkin ada hal lucu di gadget yang dari tadi dipegangnya.Tante Narti pun ikut tertawa, lalu kembali memelukku yang masih berdiri menahan malu.*"Sudah ijin Mas Hendra, Nduk?" tanya Ibu mertua yang selama ini tidak pernah memanggilku seperti itu dan dengan nada selembut itu, apakah beliau sedang pencitraan didepan adik iparnya? Ah, aku segera menepis prasangka buruk, aku baru satu bulan tinggal bersamanya, mungkin ada sisi lain dari ibu mertua yang belum aku tau."Belum, Bu." jawabku kemudian."Sudah, aku saja yang telpon Hendra, Yu, sebentar," sahut Tante Narti sembari mengambil ponselnya, mencari kontak Mas Hendra lalu memanggilnya.tak lama panggilan tersambung, dan Tante Narti menyampaikan keinginannya yang ingin mengajakku pergi ke pasar malam yang berada di lapangan desa sebelah."Ya sudah, ini kunci pintu rumah sama gerbang bawa, kunci dari luar, Dek Nar," ucap Ibu mertua setelah mendengar percakapan Tante Narti dan Mas Hendra yang mengijinkan aku ikut bersama Tante Narti, sembari menyerahkan kunci rumah pada Tante Narti."Gus Yoto enggak pulang, Yu?""Gus-mu itu habis subuh baru pulang, tidur sebentar, lanjut ngajar, setiap hari ,ya, seperti itu," jelas Ibu Mertua terkekeh menceritakan kebiasaan Bapak mertua.Waktu hampir pukul sepuluh malam, angin malam di musim kemarau ini terasa sangat dingin, tanganku yang tengah menyetir motor seperti akan kesemutan, sudah lama aku tidak keluar malam dengan mengendarai motor, Tante Narti berada di belakangku, yang dengan rapat melingkarkan tangannya di perutku, mungkin takut karena aku bonceng dengan motor.Tadinya Tante Narti mengajakku naik mobil saja, namun aku tolak dengan alasan jalanan di desa akan lebih mudah dilalui jika naik motor.Padahal alasan utamaku, aku tidak bisa jika harus semobil dengan Irsyad, Meskipun dibersamai dengan Tante Narti dan Om Andri.Status ku sebagai istri Mas Hendra membuatku harus menjaga betul posisiku agar tidak terjerumus, meskipun pernikahan ini tidak aku inginkan akibat ulah bejat Mas Hendra waktu itu."Sama motor dibelakang, Pak" ucapku pada tukang parkir, sembari memberikan uang sepuluh ribu."Syad, tunggu disitu aja sama Papa, nanti biar Mama mudah nyari kamu," ucap Tante Narti pada putranya, sambil menunjuk salah satu warung kopi yang berada didekat tempat parkir.Aku yang telah menerima karcis parkir, segera digandeng oleh Tante Narti yang netranya tampak berbinar melihat gemerlap pasar malam yang ramai pengunjung itu."Tanganmu dingin banget, Ma," aku hanya tersenyum mendengar ucapan Tante Narti."Tunggu disini sebentar!" Perintah Tante yang sontak melepas gandengan, lalu berlari kecil menuju warung kopi diseberang jalan, yang disana Irsyad tengah duduk dengan Om Andri.Aku segera membalikkan badan, tidak mau lagi lepas kendali menatap yang bukan mahram.Sambil menunggu Tante Narti yang mungkin membeli minuman hangat di warung kopi, aku menggosok kedua telapak tanganku, berharap bisa mengusir dingin yang hinggap, sembari menatap lalu lalang pengunjung yang rata-rata dari kalangan emak-emak dan anak-anak."Sudah, Ayo!" ujar Tante Narti dari arah belakang, dan aku yang baru saja menganggukkan kepala sebagai respon ajakan Tante Narti barusan, dibuat kaget oleh blazer abu tua yang Tante Narti pakaikan di pundak ku.Aku segera melepasnya, sebab aku tau siapa pemiliknya, dan memberikan kembali pada Tante Narti."Terima kasih, Tan, tapi aku sudah enggak kedinginan," tuturku sopan, sembari meletakkan blazer dengan aroma parfum yang harumnya sangat menyengat itu pada tangan kiri Tante Narti, lalu dengan segera kedua tanganku menggandeng lengan kanannya, dan mengajaknya masuk ke area lapangan tempat pasar malam.Setelah puas menjajal segala jenis wahana permainan, menonton atraksi pemotor di tong edan, dan uji nyali masuk rumah hantu, kini aku dan Tante Narti duduk di kursi panjang yang disiapkan untuk pengunjung di tepi lapangan, sembari menikmati sosis bakar yang aku beli namun di bayar oleh Tante Narti."Kamu siap mendengar kabar buruk yang Tante bilang tadi, Ma?""Kabar buruk apa memangnya, Tante?""Tentang Hendra,""Ada apa dengan Mas Hendra, Tan?""Istrinya Hendra sebenarnya bukan hanya kamu, tapi hanya kamu yang sah secara negara, sebelum kamu Hendra sudah menikah dengan dua wanita sekaligus secara agama, dan kabarnya lagi, baru-baru ini Hendra menikah lagi dengan seorang gadis seumuran kamu, kawin siri juga, itu baru yang dinikahi, karena menurut sumber yang Tante percaya, Hendra kedapatan menzinai setiap wanita yang menemaninya minum miras di warung remang-remang langganannya, yang terletak di salah satu desa yang terkenal seluruh wanitanya adalah kupu-kupu malam, selain tukang zina, Hendra juga pemabuk berat, Ma!"Bersambung..Oleh : Seema ZuhdaResponku?Entah kenapa, mendengar apa yang baru saja Tante Narti bilang, aku sama sekali tidak merasakan sakit hati, tidak ada air mata kesedihan, bahkan aku dengan lahap melanjutkan makan sosis bakar yang tinggal satu gigitan, lalu membuang tusuknya.Aku menarik nafas kasar, teringat kembali kejadian waktu itu, ketika aku dan Mas Hendra belum ada ikatan halal, dan aku dipaksa menjadi objek pemuas nafsunya, dengan ancaman jahat yang sudah direncanakan sedemikian rupa.Tante Narti memandangku dengan air muka heran, aku yang hanya tersenyum menatap ke arah bintang, sepertinya membuat Tante Narti semakin kebingungan dengan tingkahku."Tante memberitahu semua itu bukan bermaksud membuat kamu sedih atau apapun itu, Tante hanya tidak mau kamu menanggung derita, Nduk. Fakta bahwa Hendra adalah pria buruk membuat Tante tidak terima jika kamu harus seumur hidup bersama dengannya, apa jadinya kamu dimasa depan, bukan hanya kamu, suatu saat anak-anak kamu pu
"Mas, aku mau ikut kamu, enggak apa-apa aku ngontrak yang penting dekat sama kamu, biar aku bisa masak buat kamu, biar setiap hari kamu pulangnya ke Aku, biar aku bisa melayani kamu sepenuhnya," pintaku pada Mas Hendra, mencoba bersikap manis kepada suami sendiri, berusaha berperan baik sebagai seorang istri. Mas Hendra baru saja pulang, seperti biasa, setiap sabtu malam Mas Hendra pulang, dan aku yang telah diberitahu Tante Narti tentang rahasia besar Mas Hendra yang memiliki banyak Istri dan suka gonta-ganti wanita untuk diajak zina. Belum lagi tentang Mas Hendra yang suka minum-minum, menjadikanku harus benar-benar memperhatikan Mas Hendra.Bukan karena cemburu, atau karena tidak mau dimadu maupun menjadi madu, tapi karena aku adalah Istri Mas Hendra, meskipun bukan satu-satunya, tapi sebagai Istri aku ingin suamiku kembali ke jalan yang lurus, aku ingin Mas Hendra sadar dan tobat nasuha dari kebiasaan buruknya."Enggak perlu, kamu disini saja temani Ibu, kamu mau ikut aku karena
POV IRSYADKata orang, laki-laki itu semakin dewasa semakin susah mengeluarkan air mata, meskipun dikuasai luka sedemikian rupa, ia tidak akan menangis, karena sejatinya laki-laki itu qawwam, pemimpin, yang mengayomi, yang melindungi, menangis akan menampakkan sisi lemah laki-laki.Aku setuju dengan pendapat itu, meskipun kini air mata tidak hentinya mengalir deras membasahi pipi, dan mata masih setia menatap nanar rumah yang ditinggali Najma, ada rasa sakit dalam sepi malam ini, nyeri di dada karena wanita yang aku suka bernasib buruk karena menikah dengan pria buruk seperti Mas Hendra.Andai bukan Mas Hendra, meskipun bukan denganku juga, setidaknya lelaki yang bukan menjadi ujian berat untuk hidupnya, dia wanita, apakah akan baik-baik saja jika terus menerus menanggung derita?"Syad, sudah nunggu lama?" Aku menoleh ke arah suara, Beni yang tadi aku suruh kesini untuk menemaniku, akhirnya datang juga."Maaf, Bro. baru tutup toko, pas baca pesanmu juga tadi aku lagi antri di pom bens
Sebuah kekerasan dalam rumah tangga nyatanya bukan hanya wacana semata, puluhan pukulan dari tangan seorang suami kini benar-benar mendarat di tubuhku, ngilu sekujur badan, dan satu hal yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku, kini aku merasakannya, yakni mimisan.Darah segar yang tak berhenti keluar dari lubang hidungku, membuatku tersenyum miris, muncul tanya dalam kepala, akankah aku mampu menyerahkan seumur hidupku bersama pria seperti Mas Hendra? Apa yang akan aku dapat jika aku bertahan? Dan apakah dosa besar jika aku menyerah?Inginku menjadi wasilah hidayah untuk Mas Hendra, namun sepertinya keinginanku mustahil tercapai, terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan nyaliku yang lemah.Seperti saat ini, lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Setiap tuduhan, umpatan, dan pukulan dari Mas Hendra, aku tidak punya nyali setitik pun untuk melawan, hanya air mata yang tanpa malu-malu keluar, dan tak hentinya mengalir membasahi pipi."Maaf" ucap Mas Hendra sangat pelan, hampir tak terd
Menikah di usia muda adalah impianku, apalagi berjodoh dengan Aparatur Negara, seorang lelaki berprofesi TNI AD bernama Hendra, berkulit sawo matang khas mas-mas Jawa, dengan tubuh proporsional, dan wajah bersih berseri layaknya mentari pagi. Ah, maha baik Allah yang telah menciptakanku dari tulang rusuk manusia sesempurna Mas Hendra.[Dek Najma, lagi apa?] Sebuah pesan WhatsApp dari orang yang baru saja kuceritakan, Mas Hendra.[Ini baru pulang habis ngantar Hanan ngaji, Mas.] Balasku, Hanan adalah adikku yang ketiga, sedangkan yang kedua bernama Kiara.[Biasanya Ibu yang ngantar?][Iya, Ibu sama Ayah lagi keluar kota, dolan ke rumahnya Pakde, sekalian mau ngasih tau tentang pernikahan kita,][Sendirian di rumah berarti?][Iya,][Mas jemput, ya? Ibuku pengen kamu main ke rumah,] Aku melotot melihat pesan Mas Hendra, entah kenapa, bukannya senang justru gelisah beradu takut yang kini menguasai hati. Mungkin karena bertentangan dengan prinsip yang lahir dari pengetahuanku sebagai mak
Sontak aku berdiri, melepaskan diri dari sosok yang membuat aku terkejut setengah mati, aku hanya bisa menatap tajam lelaki yang berbuat lancang padaku barusan, mulutku seakan kaku, selalu saja begitu, meskipun dada bergemuruh ingin meluapkan api amarah, namun mulut rapat terkunci.Sosok yang tadinya aku sangat merasa beruntung bisa berjodoh dengannya, tapi semakin kesini Allah seperti sedang menunjukkan bagaimana Mas Hendra yang sebenarnya, ekpektasi rumah tangga ideal nan harmonis itu seketika runtuh oleh kenyataan."Kenapa, Dek? tadi aku ketuk pintu berkali-kali enggak ada respon, pintu tidak terkunci jadi aku masuk, manggil kamu berulangkali juga enggak ada jawaban, terus aku lihat pintu kamar kamu terbuka, lihat kamu sesenggukan aku enggak tega, jadi aku peluk kamu dari belakang, siapa tau bisa bikin kamu tenang. Ayolah, jangan sok suci, sok agamis kamu, Dek! Seminggu lagi kita nikah!" gertak Mas Hendra dengan suara tinggi, Mas Hendra tampak marah melihat tatapan nyalang mataku.
Aku segera menutup bercak darah yang terlihat sangat jelas di bad cover berwarna putih dengan motif bunga mawar itu dengan selimut, dan berusaha mengatur diri dari rasa panik yang tiba-tiba hinggap, mencoba tertawa pada Kiara untuk mengusir berbagai kemungkinan yang Kiara pikirkan."Mbak lagi haid, Ra," ucapku dengan senyum terpaksa untuk menutupi kebohongan."Mbak enggak usah bohong, ya? Kalau aku yang ngomong gitu mungkin orang akan langsung percaya, karena aku jorok, mageran, berbeda dengan Mbak Najma yang bukan tipe pemalas, selalu tau kapan harus ganti pembalut, dan menurut pengalamanku, nih, ya, Mbak! Sebagai adikmu, aku tidak pernah sekalipun melihat Mbak lagi haid trus bocor kayak gitu, jelas banget kalau Mbak lagi bohong," bukan Kiara jika tidak blak-blakan kayak gini, adikku ini sangat tau bagaimana aku.Aku terdiam, cemas mulai menyapa diri, aku tau benar jika Kiara tidak pernah bisa dibohongi, namun untuk kebohongan yang aku tutupi saat ini bukan kebohongan biasa, aib luar
"Saya terima nikahnya Haiba Najma Tsakiba Binti Qomaruddin dengan mas kawin uang dua ratus dua puluh dua ribu dua ratus rupiah dan seperangkat alat salat dibayar tunai!"Mendengar kalimat ijab dengan satu tarikan napas yang terucap dari lisan Mas Hendra, rasanya seperti mendengar petir di musim hujan yang disertai gemuruh angin, gelap dan mencekam, seperti suasana hatiku saat ini.Mencoba tersenyum dengan pantulan diriku di cermin rias, gaun pengantin berwarna putih, dengan kerudung senada menutup dada, hiasan melati di kepala, dan juga make up super tipis tanpa peran pensil alis, tanpa bulu mata palsu, dan tanpa perona wajah, persis seperti yang aku impikan, hanya saja impianku dulu tentunya menjadi pengantin dengan senyum bahagia, bukan dengan senyum terpaksa untuk sembunyikan derita."Lihatlah manusia itu Ya Allah, dia memberikan mahar seperangkat alat salat, namun dia bahkan tidak suka mendengar kata salat, apakah aku sekuat itu dalam pandangan-Mu? Buk
Sebuah kekerasan dalam rumah tangga nyatanya bukan hanya wacana semata, puluhan pukulan dari tangan seorang suami kini benar-benar mendarat di tubuhku, ngilu sekujur badan, dan satu hal yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku, kini aku merasakannya, yakni mimisan.Darah segar yang tak berhenti keluar dari lubang hidungku, membuatku tersenyum miris, muncul tanya dalam kepala, akankah aku mampu menyerahkan seumur hidupku bersama pria seperti Mas Hendra? Apa yang akan aku dapat jika aku bertahan? Dan apakah dosa besar jika aku menyerah?Inginku menjadi wasilah hidayah untuk Mas Hendra, namun sepertinya keinginanku mustahil tercapai, terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan nyaliku yang lemah.Seperti saat ini, lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Setiap tuduhan, umpatan, dan pukulan dari Mas Hendra, aku tidak punya nyali setitik pun untuk melawan, hanya air mata yang tanpa malu-malu keluar, dan tak hentinya mengalir membasahi pipi."Maaf" ucap Mas Hendra sangat pelan, hampir tak terd
POV IRSYADKata orang, laki-laki itu semakin dewasa semakin susah mengeluarkan air mata, meskipun dikuasai luka sedemikian rupa, ia tidak akan menangis, karena sejatinya laki-laki itu qawwam, pemimpin, yang mengayomi, yang melindungi, menangis akan menampakkan sisi lemah laki-laki.Aku setuju dengan pendapat itu, meskipun kini air mata tidak hentinya mengalir deras membasahi pipi, dan mata masih setia menatap nanar rumah yang ditinggali Najma, ada rasa sakit dalam sepi malam ini, nyeri di dada karena wanita yang aku suka bernasib buruk karena menikah dengan pria buruk seperti Mas Hendra.Andai bukan Mas Hendra, meskipun bukan denganku juga, setidaknya lelaki yang bukan menjadi ujian berat untuk hidupnya, dia wanita, apakah akan baik-baik saja jika terus menerus menanggung derita?"Syad, sudah nunggu lama?" Aku menoleh ke arah suara, Beni yang tadi aku suruh kesini untuk menemaniku, akhirnya datang juga."Maaf, Bro. baru tutup toko, pas baca pesanmu juga tadi aku lagi antri di pom bens
"Mas, aku mau ikut kamu, enggak apa-apa aku ngontrak yang penting dekat sama kamu, biar aku bisa masak buat kamu, biar setiap hari kamu pulangnya ke Aku, biar aku bisa melayani kamu sepenuhnya," pintaku pada Mas Hendra, mencoba bersikap manis kepada suami sendiri, berusaha berperan baik sebagai seorang istri. Mas Hendra baru saja pulang, seperti biasa, setiap sabtu malam Mas Hendra pulang, dan aku yang telah diberitahu Tante Narti tentang rahasia besar Mas Hendra yang memiliki banyak Istri dan suka gonta-ganti wanita untuk diajak zina. Belum lagi tentang Mas Hendra yang suka minum-minum, menjadikanku harus benar-benar memperhatikan Mas Hendra.Bukan karena cemburu, atau karena tidak mau dimadu maupun menjadi madu, tapi karena aku adalah Istri Mas Hendra, meskipun bukan satu-satunya, tapi sebagai Istri aku ingin suamiku kembali ke jalan yang lurus, aku ingin Mas Hendra sadar dan tobat nasuha dari kebiasaan buruknya."Enggak perlu, kamu disini saja temani Ibu, kamu mau ikut aku karena
Responku?Entah kenapa, mendengar apa yang baru saja Tante Narti bilang, aku sama sekali tidak merasakan sakit hati, tidak ada air mata kesedihan, bahkan aku dengan lahap melanjutkan makan sosis bakar yang tinggal satu gigitan, lalu membuang tusuknya.Aku menarik nafas kasar, teringat kembali kejadian waktu itu, ketika aku dan Mas Hendra belum ada ikatan halal, dan aku dipaksa menjadi objek pemuas nafsunya, dengan ancaman jahat yang sudah direncanakan sedemikian rupa.Tante Narti memandangku dengan air muka heran, aku yang hanya tersenyum menatap ke arah bintang, sepertinya membuat Tante Narti semakin kebingungan dengan tingkahku."Tante memberitahu semua itu bukan bermaksud membuat kamu sedih atau apapun itu, Tante hanya tidak mau kamu menanggung derita, Nduk. Fakta bahwa Hendra adalah pria buruk membuat Tante tidak terima jika kamu harus seumur hidup bersama dengannya, apa jadinya kamu dimasa depan, bukan hanya kamu, suatu saat anak-anak kamu pu
Dengan gamis hitam, dan kerudung instan merk lokal warna abu tua, tak lupa kaus kaki, yang kupakai dengan secepat kilat, aku segera melangkah ke ruang tamu, untuk menemui Tante Narti yang entah kenapa bisa berada di sini.Bukankah Tante Narti sekeluarga menetap di luar Jawa? Ah, aku lupa, mereka orang kaya, yang bisa kapan saja berkunjung ke tanah kelahiran mereka, tanpa terkendala biaya.Saat sampai di ruang tamu, orang pertama yang terlihat di mataku adalah Irsyad, aku mematung, mencoba mengkondisikan netra yang tidak juga beralih dari memandangnya, laki-laki yang merupakan anak tunggal dari Om Andri dan Tante Narti itu tengah sibuk dengan ponselnya.Laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa bulan dariku itu memakai pakaian serba hitam ala idol Korea, celana panjang hitam, kaos polos hitam, lengkap dengan blazer selutut warna abu tua, ditambah kacamata yang semakin menambah tingkat ketampanannya.Andai Leni melihatnya, mungkin dia akan sangat heboh, jingkrak-jingkrak, lalu pingsan, s
Menjadi istri dari anak tunggal Pak Wiyoto dan Bu Lasmi, Bapak dan Ibu mertuaku, kini aku tinggal seatap dengan keduanya, setelah satu bulan lalu sah menjadi istri dari putra mereka, Mas Hendra.Mas Hendra dengan kesibukannya sebagai seorang Dandim di Kodim kabupaten, yang hanya seminggu sekali pulang ke rumah, hingga keinginanku untuk kembali menempuh pendidikan di perguruan tinggi masih urung aku sampaikan pada Mas Hendra.Sabtu malam, setiap Mas Hendra pulang, aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara, aku hanya ditugaskan untuk melayani nafsunya, setelah itu Mas Hendra akan tidur, dan ketika tengah malam, Mas Hendra terbangun dari tidur, aku kembali menjadi budak nafsunya, tanpa peduli denganku yang masih terlelap, setelahnya ia mandi, lalu pergi lagi untuk kembali ke tempat dinasnya.Seperti malam menjelang pagi kali ini, aku yang masih terbungkus selimut, menatap lelaki yang usianya terpaut empat belas tahun denganku, Mas Hendra dengan
POV IRSYAD[Maaf, Syad. Kamu terlambat,]Sebuah pesan balasan dari Najma yang masih belum aku mengerti maksudnya, segera aku tepis berbagai kemungkinan buruk yang tengah berkecamuk memenuhi rongga kepala, mencoba tersenyum untuk menyakinkan diri bahwa jawaban yang menyenangkan hati pasti akan terjadi.[Terlambat?][Kata orang, tidak ada kata terlambat untuk niat baik, Ma,] Balasku dengan tangan gemetar, keringat dingin pun tiba-tiba saja muncul bersamaan dengan rasa takut akan kehilangan wanita bernama Najma, apalagi ketika pesan yang aku kirim terlihat centang abu-abu satu.Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil jaket dan juga helm, dalam perjalanan menyusuri jalanan di penghujung malam ibu kota, aku kembali disuguhi bayangan wajah dengan senyum terindah. Najma, seorang wanita yang menjadi cinta pertamaku, degup jantung yang selalu lebih cepat iramanya setiap aku tanpa sengaja selalu melihatnya kala itu, dan suatu
"Saya terima nikahnya Haiba Najma Tsakiba Binti Qomaruddin dengan mas kawin uang dua ratus dua puluh dua ribu dua ratus rupiah dan seperangkat alat salat dibayar tunai!"Mendengar kalimat ijab dengan satu tarikan napas yang terucap dari lisan Mas Hendra, rasanya seperti mendengar petir di musim hujan yang disertai gemuruh angin, gelap dan mencekam, seperti suasana hatiku saat ini.Mencoba tersenyum dengan pantulan diriku di cermin rias, gaun pengantin berwarna putih, dengan kerudung senada menutup dada, hiasan melati di kepala, dan juga make up super tipis tanpa peran pensil alis, tanpa bulu mata palsu, dan tanpa perona wajah, persis seperti yang aku impikan, hanya saja impianku dulu tentunya menjadi pengantin dengan senyum bahagia, bukan dengan senyum terpaksa untuk sembunyikan derita."Lihatlah manusia itu Ya Allah, dia memberikan mahar seperangkat alat salat, namun dia bahkan tidak suka mendengar kata salat, apakah aku sekuat itu dalam pandangan-Mu? Buk
Aku segera menutup bercak darah yang terlihat sangat jelas di bad cover berwarna putih dengan motif bunga mawar itu dengan selimut, dan berusaha mengatur diri dari rasa panik yang tiba-tiba hinggap, mencoba tertawa pada Kiara untuk mengusir berbagai kemungkinan yang Kiara pikirkan."Mbak lagi haid, Ra," ucapku dengan senyum terpaksa untuk menutupi kebohongan."Mbak enggak usah bohong, ya? Kalau aku yang ngomong gitu mungkin orang akan langsung percaya, karena aku jorok, mageran, berbeda dengan Mbak Najma yang bukan tipe pemalas, selalu tau kapan harus ganti pembalut, dan menurut pengalamanku, nih, ya, Mbak! Sebagai adikmu, aku tidak pernah sekalipun melihat Mbak lagi haid trus bocor kayak gitu, jelas banget kalau Mbak lagi bohong," bukan Kiara jika tidak blak-blakan kayak gini, adikku ini sangat tau bagaimana aku.Aku terdiam, cemas mulai menyapa diri, aku tau benar jika Kiara tidak pernah bisa dibohongi, namun untuk kebohongan yang aku tutupi saat ini bukan kebohongan biasa, aib luar