Menikah di usia muda adalah impianku, apalagi berjodoh dengan Aparatur Negara, seorang lelaki berprofesi TNI AD bernama Hendra, berkulit sawo matang khas mas-mas Jawa, dengan tubuh proporsional, dan wajah bersih berseri layaknya mentari pagi.
Ah, maha baik Allah yang telah menciptakanku dari tulang rusuk manusia sesempurna Mas Hendra.[Dek Najma, lagi apa?] Sebuah pesan W******p dari orang yang baru saja kuceritakan, Mas Hendra.[Ini baru pulang habis ngantar Hanan ngaji, Mas.] Balasku, Hanan adalah adikku yang ketiga, sedangkan yang kedua bernama Kiara.[Biasanya Ibu yang ngantar?][Iya, Ibu sama Ayah lagi keluar kota, dolan ke rumahnya Pakde, sekalian mau ngasih tau tentang pernikahan kita,][Sendirian di rumah berarti?][Iya,][Mas jemput, ya? Ibuku pengen kamu main ke rumah,] Aku melotot melihat pesan Mas Hendra, entah kenapa, bukannya senang justru gelisah beradu takut yang kini menguasai hati.Mungkin karena bertentangan dengan prinsip yang lahir dari pengetahuanku sebagai makhluk beragama, bahwa pantang bersama sebelum terikat akad.Rumah Mas Hendra lumayan jauh, butuh waktu kurang lebih tiga puluh lima menit untuk sampai di sana, hanya berdua dalam satu kendaraan?Mungkin orang sekitar menganggap wajar karena sudah berkhitbah, tapi tetap saja melanggar, bukankah sesuatu yang dimulai dengan perkara salah nanti ujungnya akan semakin bermasalah? Apakah Mas Hendra belum mengetahui tentang hal seperti ini?[Mas barusan sudah video call Ayah Mertua, beliau mengijinkan, Dek. Kata beliau nanti adik Hanan biar dijemput sama adik Kiara sekalian pulang les, Mas jemput kamu sekarang, ya!] Satu pesan lagi dari Mas Hendra yang membuat kepalaku berdenyut, pikiranku semakin kalut.Segera kuambil kembali smartphone yang barusan kulempar diatas ranjang, mengirim pesan pada kontak bernama Ayah, tak berselang lama bukanya mendapat balasan pesan, Ayah malah melakukan panggilan video.Sesuatu yang sangat tidak aku suka meskipun pada Ayah sendiri, Ayah masih saja belum mengerti bahwa anak sulungnya ini seorang introvert sejati, sangat tidak nyaman jika harus berhaha-hihi lewat panggilan telepon, pada siapapun tanpa terkecuali.Kugeser logo bulat hijau bergambar telepon genggam itu ke atas, kuletakan di atas ranjang, sedangkan aku duduk di lantai tepi tempat tidur, menenggelamkan wajah di kasur dengan tangan memijat kepala bagian belakang.Bahkan untuk masalah seringan ini aku tidak bisa tegas, jika tidak mau bilang saja tidak, jika konsekuensinya harus membatalkan pernikahan demi sebuah prinsip, kenapa tidak? Ah, Allah tolonglah hambamu yang lemah ini."Kenapa, Nduk? Mas Hendra belum sampai? Tadi dia sudah telepon Ayah, katanya mau jemput kamu, Bu Besan mau ketemu kamu, pengen kamu main ke rumahnya, dari awal kenal sampai mau nikah kamu belum pernah kerumahnya sama sekali, masa Ayah sama Ibu terus yang kesana, enggak apa-apa, kan sudah dilamar, manut orang pada umumnya aja, Nduk!" ucap ayah panjang lebar di seberang sana, telingaku yang mendengarnya, tapi kenapa netraku yang merespon dengan air mata?Segera kumatikan sambungan telepon itu, dan kembali mengatur napas yang mulai berat, ada sesal yang teramat sangat karena dengan bodohnya aku membalas pesan Mas Hendra, memberitahunya kalau aku tengah sendirian di rumah.***Terlintas kembali bayangan satu bulan yang lalu, ketika mas Hendra datang ke rumah untuk mengkhitbah, aku yang berada di ruang tengah dibuat salah tingkah dengan tutur kata Mas Hendra yang ada di ruang tamu."Pak Qomar, maksud kedatangan saya sekeluarga kesini mau meminang putri sulung Bapak, dan besar harapan saya agar pinangan ini diterima oleh putri Bapak,""Nak Hendra, usiamu berapa kalau Bapak boleh tau?""Tiga puluh dua tahun, Pak.""Putri Sulung Bapak namanya Najma, dia baru saja lulus SMA, awalnya Bapak belum ada niat sama sekali untuk menikahkan Najma di usia muda, dia masih delapan belas tahun, dia juga alhamdulillah selalu juara saat sekolah, jadi Bapak maunya dia melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, lalu datanglah Bapak kamu menawarkan perjodohan, dikasih lihat foto kamu, berpikir ulang lah Bapak, melihat maraknya pergaulan bebas anak muda jaman sekarang, mungkin ada baiknya putri Bapak menikah dahulu, biar ada pasangan halal, biar ada yang jaga, apalagi sama nak Hendra, dengan usia yang sudah matang dan tentara pula, jadi bikin bapak lebih yakin, untuk urusan pendidikan toh bisa dilanjutkan setelah menikah kalau mau, akhirnya Bapak beritahu Najma perihal ini, agak takut juga Bapak waktu itu, takut dibilang Bapak punya utang sama Bapaknya nak Hendra, atau takut dibilang mau menjadikan anak sendiri senasib dengan Siti Nurbaya, tapi tidak Bapak sangka ternyata Najma dengan senang hati menerima perjodohan ini, alasannya karena cita-citanya memang ingin menikah di usia muda, menjadi ibu rumah tangga, dan jadi mama muda, mungkin sudah takdirnya nak Hendra berjodoh dengan putri Bapak, Najma."senang bercampur haru yang kurasakan mendengar Ayah menceritakan semua itu, air mata bahagia tumpah seketika.terdengar sorak ramai diruang tamu, entah karena apa, aku tidak perduli, kusandarkan kepala di pundak Ibuku yang menemaniku di ruang tengah, kini aku hanya ingin menikmati rasa bahagia ini."Pak Qomar, saya mohon ijin untuk menyematkan cincin ini di jari manis putri Bapak,"aku terperanjat, rasa bahagia berganti ragu, benarkah Mas Hendra yang barusan berucap? tidakkah Mas Hendra tau bahwa keinginannya itu sebuah larangan?"Baik, sebentar Bapak panggilkan, ya!""Nduk, ayo ke ruang tamu.""Ayah, ini salah, aku sama Mas Hendra belum halal, belum boleh bersentuhan meskipun hanya sekedar memakaikan cincin," jelasku berbisik pada ayah yang tengah berdiri di depanku."Enggak masalah, Nduk. Kan, pada akhirnya kamu juga bakalan jadi istri Mas Hendra, ini mau disematkan cincin juga sebagai tanda awal kalau kamu sudah milik Mas Hendra,""Tetap saja, belum boleh bersentuhan sebelum terikat akad, Ayah! begini saja, Najma mau dipakaikan cincin kalau yang menyematkan Ibunya Mas Hendra,""Iya, sudah, ayo ke ruang tamu."Aku pun duduk di antara keluarga Mas Hendra yang perempuan, sedangkan Mas Hendra yang dalam sekelebat aku lihat tengah duduk di antara Bapak-bapak, dengan celana panjang hitam dan kemeja batik warna navy, membuatku tak hentinya berucap istighfar karena takut tidak bisa mengendalikan pandangan akan ketampanan Mas Hendra yang luar biasa.Saat aku tengah sibuk memaksa diri untuk terus menundukkan pandangan, tiba-tiba sosok laki-laki duduk di depanku dan tangannya meraih tangan kananku, sontak aku mendongak, wajah tampan itu tersenyum melihatku, aku dengan cepat melepas tanganku, lalu menatap ke arah Ayah."Mohon Maaf sebelumnya, nak Hendra, untuk prosesi lamaran ini Najma maunya yang memakaikan cincin itu Ibunya nak Hendra,""Baik, Pak. Tidak masalah," ucap Mas Hendra dengan nada suara seperti tengah menahan marah dan kecewa.***setelah kejadian itu, dan saat ini Mas Hendra yang mau menjemputku untuk di ajak kerumahnya, kenapa aku merasa Mas Hendra sama sekali tidak mengerti tentang bagaimana aturan agama?Mau lari kemana? minta tolong ke siapa? bahkan Ayah menganggap wajar, apalagi orang lain, sesulit inikah hidup ditengah masyarakat yang selalu menganggap wajar sesuatu hal, tanpa peduli dengan pelanggaran terhadap aturan agama.Kuambil boneka angry bird merah untuk menutup wajahku, duduk di kursi rias dan menenggelamkan wajah pada boneka yang kuletakan diatas meja rias, mencoba meredam tangis yang datang sebab amarah yang menguasai diri.Namun, tiba-tiba sepasang tangan melingkari perutku dari belakang, berlanjut kepala yang bersandar manja di punggungku.Aku terperanjat.Bersambung.Oleh : Seema ZuhdaSontak aku berdiri, melepaskan diri dari sosok yang membuat aku terkejut setengah mati, aku hanya bisa menatap tajam lelaki yang berbuat lancang padaku barusan, mulutku seakan kaku, selalu saja begitu, meskipun dada bergemuruh ingin meluapkan api amarah, namun mulut rapat terkunci.Sosok yang tadinya aku sangat merasa beruntung bisa berjodoh dengannya, tapi semakin kesini Allah seperti sedang menunjukkan bagaimana Mas Hendra yang sebenarnya, ekpektasi rumah tangga ideal nan harmonis itu seketika runtuh oleh kenyataan."Kenapa, Dek? tadi aku ketuk pintu berkali-kali enggak ada respon, pintu tidak terkunci jadi aku masuk, manggil kamu berulangkali juga enggak ada jawaban, terus aku lihat pintu kamar kamu terbuka, lihat kamu sesenggukan aku enggak tega, jadi aku peluk kamu dari belakang, siapa tau bisa bikin kamu tenang. Ayolah, jangan sok suci, sok agamis kamu, Dek! Seminggu lagi kita nikah!" gertak Mas Hendra dengan suara tinggi, Mas Hendra tampak marah melihat tatapan nyalang mataku.
Aku segera menutup bercak darah yang terlihat sangat jelas di bad cover berwarna putih dengan motif bunga mawar itu dengan selimut, dan berusaha mengatur diri dari rasa panik yang tiba-tiba hinggap, mencoba tertawa pada Kiara untuk mengusir berbagai kemungkinan yang Kiara pikirkan."Mbak lagi haid, Ra," ucapku dengan senyum terpaksa untuk menutupi kebohongan."Mbak enggak usah bohong, ya? Kalau aku yang ngomong gitu mungkin orang akan langsung percaya, karena aku jorok, mageran, berbeda dengan Mbak Najma yang bukan tipe pemalas, selalu tau kapan harus ganti pembalut, dan menurut pengalamanku, nih, ya, Mbak! Sebagai adikmu, aku tidak pernah sekalipun melihat Mbak lagi haid trus bocor kayak gitu, jelas banget kalau Mbak lagi bohong," bukan Kiara jika tidak blak-blakan kayak gini, adikku ini sangat tau bagaimana aku.Aku terdiam, cemas mulai menyapa diri, aku tau benar jika Kiara tidak pernah bisa dibohongi, namun untuk kebohongan yang aku tutupi saat ini bukan kebohongan biasa, aib luar
"Saya terima nikahnya Haiba Najma Tsakiba Binti Qomaruddin dengan mas kawin uang dua ratus dua puluh dua ribu dua ratus rupiah dan seperangkat alat salat dibayar tunai!"Mendengar kalimat ijab dengan satu tarikan napas yang terucap dari lisan Mas Hendra, rasanya seperti mendengar petir di musim hujan yang disertai gemuruh angin, gelap dan mencekam, seperti suasana hatiku saat ini.Mencoba tersenyum dengan pantulan diriku di cermin rias, gaun pengantin berwarna putih, dengan kerudung senada menutup dada, hiasan melati di kepala, dan juga make up super tipis tanpa peran pensil alis, tanpa bulu mata palsu, dan tanpa perona wajah, persis seperti yang aku impikan, hanya saja impianku dulu tentunya menjadi pengantin dengan senyum bahagia, bukan dengan senyum terpaksa untuk sembunyikan derita."Lihatlah manusia itu Ya Allah, dia memberikan mahar seperangkat alat salat, namun dia bahkan tidak suka mendengar kata salat, apakah aku sekuat itu dalam pandangan-Mu? Buk
POV IRSYAD[Maaf, Syad. Kamu terlambat,]Sebuah pesan balasan dari Najma yang masih belum aku mengerti maksudnya, segera aku tepis berbagai kemungkinan buruk yang tengah berkecamuk memenuhi rongga kepala, mencoba tersenyum untuk menyakinkan diri bahwa jawaban yang menyenangkan hati pasti akan terjadi.[Terlambat?][Kata orang, tidak ada kata terlambat untuk niat baik, Ma,] Balasku dengan tangan gemetar, keringat dingin pun tiba-tiba saja muncul bersamaan dengan rasa takut akan kehilangan wanita bernama Najma, apalagi ketika pesan yang aku kirim terlihat centang abu-abu satu.Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil jaket dan juga helm, dalam perjalanan menyusuri jalanan di penghujung malam ibu kota, aku kembali disuguhi bayangan wajah dengan senyum terindah. Najma, seorang wanita yang menjadi cinta pertamaku, degup jantung yang selalu lebih cepat iramanya setiap aku tanpa sengaja selalu melihatnya kala itu, dan suatu
Menjadi istri dari anak tunggal Pak Wiyoto dan Bu Lasmi, Bapak dan Ibu mertuaku, kini aku tinggal seatap dengan keduanya, setelah satu bulan lalu sah menjadi istri dari putra mereka, Mas Hendra.Mas Hendra dengan kesibukannya sebagai seorang Dandim di Kodim kabupaten, yang hanya seminggu sekali pulang ke rumah, hingga keinginanku untuk kembali menempuh pendidikan di perguruan tinggi masih urung aku sampaikan pada Mas Hendra.Sabtu malam, setiap Mas Hendra pulang, aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara, aku hanya ditugaskan untuk melayani nafsunya, setelah itu Mas Hendra akan tidur, dan ketika tengah malam, Mas Hendra terbangun dari tidur, aku kembali menjadi budak nafsunya, tanpa peduli denganku yang masih terlelap, setelahnya ia mandi, lalu pergi lagi untuk kembali ke tempat dinasnya.Seperti malam menjelang pagi kali ini, aku yang masih terbungkus selimut, menatap lelaki yang usianya terpaut empat belas tahun denganku, Mas Hendra dengan
Dengan gamis hitam, dan kerudung instan merk lokal warna abu tua, tak lupa kaus kaki, yang kupakai dengan secepat kilat, aku segera melangkah ke ruang tamu, untuk menemui Tante Narti yang entah kenapa bisa berada di sini.Bukankah Tante Narti sekeluarga menetap di luar Jawa? Ah, aku lupa, mereka orang kaya, yang bisa kapan saja berkunjung ke tanah kelahiran mereka, tanpa terkendala biaya.Saat sampai di ruang tamu, orang pertama yang terlihat di mataku adalah Irsyad, aku mematung, mencoba mengkondisikan netra yang tidak juga beralih dari memandangnya, laki-laki yang merupakan anak tunggal dari Om Andri dan Tante Narti itu tengah sibuk dengan ponselnya.Laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa bulan dariku itu memakai pakaian serba hitam ala idol Korea, celana panjang hitam, kaos polos hitam, lengkap dengan blazer selutut warna abu tua, ditambah kacamata yang semakin menambah tingkat ketampanannya.Andai Leni melihatnya, mungkin dia akan sangat heboh, jingkrak-jingkrak, lalu pingsan, s
Responku?Entah kenapa, mendengar apa yang baru saja Tante Narti bilang, aku sama sekali tidak merasakan sakit hati, tidak ada air mata kesedihan, bahkan aku dengan lahap melanjutkan makan sosis bakar yang tinggal satu gigitan, lalu membuang tusuknya.Aku menarik nafas kasar, teringat kembali kejadian waktu itu, ketika aku dan Mas Hendra belum ada ikatan halal, dan aku dipaksa menjadi objek pemuas nafsunya, dengan ancaman jahat yang sudah direncanakan sedemikian rupa.Tante Narti memandangku dengan air muka heran, aku yang hanya tersenyum menatap ke arah bintang, sepertinya membuat Tante Narti semakin kebingungan dengan tingkahku."Tante memberitahu semua itu bukan bermaksud membuat kamu sedih atau apapun itu, Tante hanya tidak mau kamu menanggung derita, Nduk. Fakta bahwa Hendra adalah pria buruk membuat Tante tidak terima jika kamu harus seumur hidup bersama dengannya, apa jadinya kamu dimasa depan, bukan hanya kamu, suatu saat anak-anak kamu pu
"Mas, aku mau ikut kamu, enggak apa-apa aku ngontrak yang penting dekat sama kamu, biar aku bisa masak buat kamu, biar setiap hari kamu pulangnya ke Aku, biar aku bisa melayani kamu sepenuhnya," pintaku pada Mas Hendra, mencoba bersikap manis kepada suami sendiri, berusaha berperan baik sebagai seorang istri. Mas Hendra baru saja pulang, seperti biasa, setiap sabtu malam Mas Hendra pulang, dan aku yang telah diberitahu Tante Narti tentang rahasia besar Mas Hendra yang memiliki banyak Istri dan suka gonta-ganti wanita untuk diajak zina. Belum lagi tentang Mas Hendra yang suka minum-minum, menjadikanku harus benar-benar memperhatikan Mas Hendra.Bukan karena cemburu, atau karena tidak mau dimadu maupun menjadi madu, tapi karena aku adalah Istri Mas Hendra, meskipun bukan satu-satunya, tapi sebagai Istri aku ingin suamiku kembali ke jalan yang lurus, aku ingin Mas Hendra sadar dan tobat nasuha dari kebiasaan buruknya."Enggak perlu, kamu disini saja temani Ibu, kamu mau ikut aku karena
Sebuah kekerasan dalam rumah tangga nyatanya bukan hanya wacana semata, puluhan pukulan dari tangan seorang suami kini benar-benar mendarat di tubuhku, ngilu sekujur badan, dan satu hal yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku, kini aku merasakannya, yakni mimisan.Darah segar yang tak berhenti keluar dari lubang hidungku, membuatku tersenyum miris, muncul tanya dalam kepala, akankah aku mampu menyerahkan seumur hidupku bersama pria seperti Mas Hendra? Apa yang akan aku dapat jika aku bertahan? Dan apakah dosa besar jika aku menyerah?Inginku menjadi wasilah hidayah untuk Mas Hendra, namun sepertinya keinginanku mustahil tercapai, terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan nyaliku yang lemah.Seperti saat ini, lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Setiap tuduhan, umpatan, dan pukulan dari Mas Hendra, aku tidak punya nyali setitik pun untuk melawan, hanya air mata yang tanpa malu-malu keluar, dan tak hentinya mengalir membasahi pipi."Maaf" ucap Mas Hendra sangat pelan, hampir tak terd
POV IRSYADKata orang, laki-laki itu semakin dewasa semakin susah mengeluarkan air mata, meskipun dikuasai luka sedemikian rupa, ia tidak akan menangis, karena sejatinya laki-laki itu qawwam, pemimpin, yang mengayomi, yang melindungi, menangis akan menampakkan sisi lemah laki-laki.Aku setuju dengan pendapat itu, meskipun kini air mata tidak hentinya mengalir deras membasahi pipi, dan mata masih setia menatap nanar rumah yang ditinggali Najma, ada rasa sakit dalam sepi malam ini, nyeri di dada karena wanita yang aku suka bernasib buruk karena menikah dengan pria buruk seperti Mas Hendra.Andai bukan Mas Hendra, meskipun bukan denganku juga, setidaknya lelaki yang bukan menjadi ujian berat untuk hidupnya, dia wanita, apakah akan baik-baik saja jika terus menerus menanggung derita?"Syad, sudah nunggu lama?" Aku menoleh ke arah suara, Beni yang tadi aku suruh kesini untuk menemaniku, akhirnya datang juga."Maaf, Bro. baru tutup toko, pas baca pesanmu juga tadi aku lagi antri di pom bens
"Mas, aku mau ikut kamu, enggak apa-apa aku ngontrak yang penting dekat sama kamu, biar aku bisa masak buat kamu, biar setiap hari kamu pulangnya ke Aku, biar aku bisa melayani kamu sepenuhnya," pintaku pada Mas Hendra, mencoba bersikap manis kepada suami sendiri, berusaha berperan baik sebagai seorang istri. Mas Hendra baru saja pulang, seperti biasa, setiap sabtu malam Mas Hendra pulang, dan aku yang telah diberitahu Tante Narti tentang rahasia besar Mas Hendra yang memiliki banyak Istri dan suka gonta-ganti wanita untuk diajak zina. Belum lagi tentang Mas Hendra yang suka minum-minum, menjadikanku harus benar-benar memperhatikan Mas Hendra.Bukan karena cemburu, atau karena tidak mau dimadu maupun menjadi madu, tapi karena aku adalah Istri Mas Hendra, meskipun bukan satu-satunya, tapi sebagai Istri aku ingin suamiku kembali ke jalan yang lurus, aku ingin Mas Hendra sadar dan tobat nasuha dari kebiasaan buruknya."Enggak perlu, kamu disini saja temani Ibu, kamu mau ikut aku karena
Responku?Entah kenapa, mendengar apa yang baru saja Tante Narti bilang, aku sama sekali tidak merasakan sakit hati, tidak ada air mata kesedihan, bahkan aku dengan lahap melanjutkan makan sosis bakar yang tinggal satu gigitan, lalu membuang tusuknya.Aku menarik nafas kasar, teringat kembali kejadian waktu itu, ketika aku dan Mas Hendra belum ada ikatan halal, dan aku dipaksa menjadi objek pemuas nafsunya, dengan ancaman jahat yang sudah direncanakan sedemikian rupa.Tante Narti memandangku dengan air muka heran, aku yang hanya tersenyum menatap ke arah bintang, sepertinya membuat Tante Narti semakin kebingungan dengan tingkahku."Tante memberitahu semua itu bukan bermaksud membuat kamu sedih atau apapun itu, Tante hanya tidak mau kamu menanggung derita, Nduk. Fakta bahwa Hendra adalah pria buruk membuat Tante tidak terima jika kamu harus seumur hidup bersama dengannya, apa jadinya kamu dimasa depan, bukan hanya kamu, suatu saat anak-anak kamu pu
Dengan gamis hitam, dan kerudung instan merk lokal warna abu tua, tak lupa kaus kaki, yang kupakai dengan secepat kilat, aku segera melangkah ke ruang tamu, untuk menemui Tante Narti yang entah kenapa bisa berada di sini.Bukankah Tante Narti sekeluarga menetap di luar Jawa? Ah, aku lupa, mereka orang kaya, yang bisa kapan saja berkunjung ke tanah kelahiran mereka, tanpa terkendala biaya.Saat sampai di ruang tamu, orang pertama yang terlihat di mataku adalah Irsyad, aku mematung, mencoba mengkondisikan netra yang tidak juga beralih dari memandangnya, laki-laki yang merupakan anak tunggal dari Om Andri dan Tante Narti itu tengah sibuk dengan ponselnya.Laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa bulan dariku itu memakai pakaian serba hitam ala idol Korea, celana panjang hitam, kaos polos hitam, lengkap dengan blazer selutut warna abu tua, ditambah kacamata yang semakin menambah tingkat ketampanannya.Andai Leni melihatnya, mungkin dia akan sangat heboh, jingkrak-jingkrak, lalu pingsan, s
Menjadi istri dari anak tunggal Pak Wiyoto dan Bu Lasmi, Bapak dan Ibu mertuaku, kini aku tinggal seatap dengan keduanya, setelah satu bulan lalu sah menjadi istri dari putra mereka, Mas Hendra.Mas Hendra dengan kesibukannya sebagai seorang Dandim di Kodim kabupaten, yang hanya seminggu sekali pulang ke rumah, hingga keinginanku untuk kembali menempuh pendidikan di perguruan tinggi masih urung aku sampaikan pada Mas Hendra.Sabtu malam, setiap Mas Hendra pulang, aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara, aku hanya ditugaskan untuk melayani nafsunya, setelah itu Mas Hendra akan tidur, dan ketika tengah malam, Mas Hendra terbangun dari tidur, aku kembali menjadi budak nafsunya, tanpa peduli denganku yang masih terlelap, setelahnya ia mandi, lalu pergi lagi untuk kembali ke tempat dinasnya.Seperti malam menjelang pagi kali ini, aku yang masih terbungkus selimut, menatap lelaki yang usianya terpaut empat belas tahun denganku, Mas Hendra dengan
POV IRSYAD[Maaf, Syad. Kamu terlambat,]Sebuah pesan balasan dari Najma yang masih belum aku mengerti maksudnya, segera aku tepis berbagai kemungkinan buruk yang tengah berkecamuk memenuhi rongga kepala, mencoba tersenyum untuk menyakinkan diri bahwa jawaban yang menyenangkan hati pasti akan terjadi.[Terlambat?][Kata orang, tidak ada kata terlambat untuk niat baik, Ma,] Balasku dengan tangan gemetar, keringat dingin pun tiba-tiba saja muncul bersamaan dengan rasa takut akan kehilangan wanita bernama Najma, apalagi ketika pesan yang aku kirim terlihat centang abu-abu satu.Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil jaket dan juga helm, dalam perjalanan menyusuri jalanan di penghujung malam ibu kota, aku kembali disuguhi bayangan wajah dengan senyum terindah. Najma, seorang wanita yang menjadi cinta pertamaku, degup jantung yang selalu lebih cepat iramanya setiap aku tanpa sengaja selalu melihatnya kala itu, dan suatu
"Saya terima nikahnya Haiba Najma Tsakiba Binti Qomaruddin dengan mas kawin uang dua ratus dua puluh dua ribu dua ratus rupiah dan seperangkat alat salat dibayar tunai!"Mendengar kalimat ijab dengan satu tarikan napas yang terucap dari lisan Mas Hendra, rasanya seperti mendengar petir di musim hujan yang disertai gemuruh angin, gelap dan mencekam, seperti suasana hatiku saat ini.Mencoba tersenyum dengan pantulan diriku di cermin rias, gaun pengantin berwarna putih, dengan kerudung senada menutup dada, hiasan melati di kepala, dan juga make up super tipis tanpa peran pensil alis, tanpa bulu mata palsu, dan tanpa perona wajah, persis seperti yang aku impikan, hanya saja impianku dulu tentunya menjadi pengantin dengan senyum bahagia, bukan dengan senyum terpaksa untuk sembunyikan derita."Lihatlah manusia itu Ya Allah, dia memberikan mahar seperangkat alat salat, namun dia bahkan tidak suka mendengar kata salat, apakah aku sekuat itu dalam pandangan-Mu? Buk
Aku segera menutup bercak darah yang terlihat sangat jelas di bad cover berwarna putih dengan motif bunga mawar itu dengan selimut, dan berusaha mengatur diri dari rasa panik yang tiba-tiba hinggap, mencoba tertawa pada Kiara untuk mengusir berbagai kemungkinan yang Kiara pikirkan."Mbak lagi haid, Ra," ucapku dengan senyum terpaksa untuk menutupi kebohongan."Mbak enggak usah bohong, ya? Kalau aku yang ngomong gitu mungkin orang akan langsung percaya, karena aku jorok, mageran, berbeda dengan Mbak Najma yang bukan tipe pemalas, selalu tau kapan harus ganti pembalut, dan menurut pengalamanku, nih, ya, Mbak! Sebagai adikmu, aku tidak pernah sekalipun melihat Mbak lagi haid trus bocor kayak gitu, jelas banget kalau Mbak lagi bohong," bukan Kiara jika tidak blak-blakan kayak gini, adikku ini sangat tau bagaimana aku.Aku terdiam, cemas mulai menyapa diri, aku tau benar jika Kiara tidak pernah bisa dibohongi, namun untuk kebohongan yang aku tutupi saat ini bukan kebohongan biasa, aib luar