Menjadi istri dari anak tunggal Pak Wiyoto dan Bu Lasmi, Bapak dan Ibu mertuaku, kini aku tinggal seatap dengan keduanya, setelah satu bulan lalu sah menjadi istri dari putra mereka, Mas Hendra.
Mas Hendra dengan kesibukannya sebagai seorang Dandim di Kodim kabupaten, yang hanya seminggu sekali pulang ke rumah, hingga keinginanku untuk kembali menempuh pendidikan di perguruan tinggi masih urung aku sampaikan pada Mas Hendra.Sabtu malam, setiap Mas Hendra pulang, aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara, aku hanya ditugaskan untuk melayani nafsunya, setelah itu Mas Hendra akan tidur, dan ketika tengah malam, Mas Hendra terbangun dari tidur, aku kembali menjadi budak nafsunya, tanpa peduli denganku yang masih terlelap, setelahnya ia mandi, lalu pergi lagi untuk kembali ke tempat dinasnya.Seperti malam menjelang pagi kali ini, aku yang masih terbungkus selimut, menatap lelaki yang usianya terpaut empat belas tahun denganku, Mas Hendra dengan celana pendek hitam, dan kaos polos hitam, terlihat sangat pas dengan postur tubuhnya yang tinggi tegap nan kekar, tapi celananya? bukankah batas aurat pria dari atas pusar sampai bawah lutut?"Mas, celananya kependekan, dengkulnya kelihatan, aurat, Mas!" ucapku pelan, sambil beranjak untuk mengambil tas ransel yang biasa Mas Hendra pakai sebagai tempat pakaian ganti.Mas Hendra yang tengah merapikan rambutnya yang basah, hanya menoleh padaku, lalu dengan cepat mengambil kunci mobil yang tergantung di tempat gantungan berbagai macam kunci.Aku menyodorkan tas yang barusan telah aku isi dengan beberapa pakaian ganti Mas Hendra, tak lupa aku letakkan kitab Al-Qur'an berukuran kecil diatas tumpukan pakaianya, berharap Mas Hendra bisa membacanya disela-sela waktu luangnya."Jangan lupa salat, Mas!" ucapku setelah mencium punggung tangan Mas Hendra."Cerewet kamu, Dek!" tukas Mas Hendra dengan nada kesal.*"Kamu kalau pegang uang anakku, dikelola sebaik mungkin, ditabung buat masa depan anak-anak, malu jadi orang tua kalau enggak bisa ngasih apa-apa ke anak," ucap Ibu mertuaku pagi ini ketika aku tengah mengiris kacang panjang untuk ditumis sebagai lauk untuk sarapan."Aku belum sepeserpun dikasih uang sama Mas Hendra, Bu," Ibu melotot mendengar jawabanku, tatapan Ibu mertua memang selalu seperti itu, seperti tidak suka dengan keberadaanku disini."Jangan bilang sepeserpun, mahar sama cincin yang kamu pakai itu pakai uang siapa?""Monggo, Bu, kalau Ibu enggak ikhlas, saya bisa kembalikan,""Ngelunjak kamu, Najma? Sadar diri kamu kesini cuma bawa raga, jangan mentang-mentang jadi anak kepala desa. kepala desa miskin aja, kok, bangga! masa jabatan tinggal setahun lagi, kan? sawah enggak punya, rumah cuma sebesar itu, keluargamu makan juga ngandelin bisnis kerupuk emakmu yang melempem itu, sudah tau pas-pasan, pake beranak tiga lagi, enggak kaget, sih, kalau Ayahmu ngebet banget mau jodohin kamu sama anakku, biar bebannya berkurang, sekarang aku yang ketiban beban," cerca Ibu dengan uraian kalimat pedasnya, marah? Sudah pasti, siapa yang tidak marah ketika keluarga di jelek-jelekin seperti itu, mungkin sikap buruk Mas Hendra menurun dari Ibu mertua, simpulku.Aku berlari menuju kamar, dalam bingkai kemarahan aku mengambil beberapa lembar dari uang yang diberikan Ayah saat aku akan pindah tinggal kesini, uang dengan nominal lima belas juta, setelah aku hitung jumlah uang yang Ayah berikan padaku tanpa sepengetahuan Mas Hendra."Buat kebutuhan kamu, Nak. Kalau kamu mau kuliah Ijin dulu sama suamimu, bilang kalau kamu mau melanjutkan pendidikan, Ayah yang bayar semua biayanya kalau kamu diperbolehkan," ucap ayah waktu itu, sembari memberiku amplop yang berisi uang itu, yang kemudian aku selipkan diantara lipatan pakaianku di koper."Kalau ikut mertua, harus benar-benar luasin sabar, Nduk. setiap kesabaran untuk kebaikan pasti Allah balas dengan ujung yang bahagia, nikah ibadah terlama, selalu posisikan diri agar terhindar dari amal buruk," berlanjut Ibu dengan nasihatnya kala itu, ketika aku berpamitan dalam pelukannya.Rasa marahku yang meluap-luap berangsur hilang ketika mengingat setiap nasihat orang tuaku, aku yang tadinya berniat melempar uang berjumlah satu juta kepada ibu mertua sebagai balasan dari segala hinaan yang terlontar, kini hanya bisa menangis, sendiri dalam kamar luas yang terasa sesak, tidak ada kebahagiaan bak secuil pun yang aku rasakan sejak masuk dalam istana keluarga Wiyoto.Aku kembali ke dapur, mengerjakan kembali urusan dapur yang barusan aku tinggalkan, Ibu kembali menatapku dengan tajam, wajan dengan ukuran kecil yang dipegangnya tiba-tiba di lempar dengan sengaja ke arah kanan, lalu melewatiku yang tengah mengiris bawang, air mata kembali mengalir meskipun sudah kutahan sekuat yang aku bisa."Lihat tuh, Pak. Menantu pilihanmu, sudah berani dia sama Ibu," teriak ibu mengadu pada Bapak mertua yang tengah fokus pada laptopnya, mengerjakan sesuatu diruang tamu.Bapak mertua adalah seorang kepala sekolah di salah satu SMA favorit di kecamatan, yang tiga tahun lagi sudah purna tugas, itulah kenapa Ibu selalu membandingkan level kekayaan keluargaku dengan keluarganya.Kekayaan keluarga Mas Hendra memang di atas rata-rata jika dibandingkan dengan keluargaku, Bapak mertua dengan gajinya yang cukup tinggi, belum lagi sawah warisan dari orang tua Ibu dan Bapak mertua yang hampir empat hektare luasnya, dan juga Mas Hendra yang menjadi aparatur negara, itulah kenapa hampir seluruh warga desa sangat hormat pada keluarga ini, namun ada juga yang tampak risih dengan keangkuhan Ibu mertua."Dinasehati baik-baik, Bu! Jangan dimarahi, arahkan pelan-pelan, dulu Ibu juga pernah diposisi Najma, menjadi menantu dari emak-ku dulu, belum satu minggu Ibu udah minggat, enggak mau balik serumah sama emak, merajuk minta rumah sendiri. Ingat, kan?" jawab Bapak mertua sebagai respon dari aduan Ibu.Aku merasa sedikit lega, setelah mendengar penuturan Bapak barusan, setidaknya tidak semua dari anggota keluarga ini memiliki sikap yang buruk.Bapak mertua memang jarang sekali dirumah, waktunya setelah mengajar beliau habiskan untuk menonton tayuban diberbagai kecamatan sekitar, bersama beberapa orang temannya sesama penggemar seni tayub.menurut gosip tetangga yang beredar, itu karena Bapak tidak betah di rumah, karena kecerewetan Ibu. Bahkan dari yang aku dengar, Bapak mempunyai selingkuhan diluar sana, bukan hanya satu, tapi lebih dari lima wanita, dan Bapak selalu bergilir menemui mereka setiap harinya.Kaget bukan main saat aku tau gosip seperti itu, antara percaya dan tidak, percaya karena selama sebulan tinggal disini, hanya empat kali aku melihat Bapak, itupun hanya sebentar, setiap pagi menjelang sarapan. Dan tidak percaya karena Bapak menurutku adalah orang yang baik, seorang guru, dan pernah menjadi guru mengaji waktu mudanya, itu yang aku tau dari Ayah tentang Bapak mertua."Kalau Ibu ngoceh jangan didengar, Nduk! Pergi saja, dolan ke rumah tetangga, atau kemanapun, nanti kalau cape juga diam sendiri, wes pokoknya betah-betahin tinggal disini sementara, nanti biar Bapak ngomong sama Hendra biar beli rumah buat tinggal berdua," tutur Bapak sembari menyendok nasi hendak sarapan.Aku hanya mengangguk, tanpa diminta itulah yang selama ini aku lakukan, aku yang ketika dirumahku tidak suka dolan ke tetangga, kini dirumah mertua justru lebih sering main ke rumah tetangga, apalagi banyak dari tetangga sekitar yang seumuran denganku, rumah besar ini menjadi semakin tidak berarti bagiku.Bahkan ketika datang waktu pulang aku merasa enggan, karena selalu ada lisan tajam Ibu yang siap menyambutku, selalu mencari kesalahan meskipun seluruh pekerjaan rumah tangga sudah aku selesaikan.*Selepas salat isya' berjamaah di masjid yang berjarak tiga puluh meter dari rumah, aku segera berlari kecil, ada panggilan alam yang harus segera aku tunaikan, perutku tiba-tiba saja mulas, mungkin karena rujak cilok super pedas yang sore tadi aku makan.Dengan tergesa-gesa aku membuka gerbang rumah, ketika hendak menutup kembali gerbang, tiba-tiba tubuhku terpental kebelakang, seperti ada yang menarik mukena-ku dari belakang, setelah aku lihat tenyata ujung belakang mukena yang aku pakai terlilit dengan engsel pintu gerbang.Tubuhku yang sudah dipenuhi keringat dingin karena menahan mulas, tidak sabar lagi jika harus berkutat dengan lilitan mukena yang terlihat sangat susah untuk di urai, segera aku tarik mukena itu dengan keras, berharap bisa sobek dan terlepas, namun usahaku gagal, karena mukena-ku cukup tebal.Hingga tiba-tiba datang seseorang turun dari mobil yang berhenti tepat didepan gerbang, membantuku melepas lilitan mukena pada engsel, setelah berhasil terlepas dalam sekejap, aku segera mengucap terima kasih pada laki-laki yang wajahnya tertutup dengan masker hitam, menutup gerbang lalu kembali berlari menuju rumah."Najma!" teriak laki-laki yang tadi membantuku, aku menoleh sesaat, lelaki itu masih berdiri diluar gerbang sembari melihatku.Aku tidak fokus pada siapapun, rasa mulas ini semakin menjadi, aku kembali bergegas, tujuanku satu, kamar mandi."Najma, ada Tante Narti, heran aku sama kamu, dari tadi belum juga keluar dari kamar mandi," teriak Ibu mertua di depan pintu kamar mandi yang berada dalam kamarku.Ibu mertua tau kalau aku sedang buang air besar, sebab tadi ketika aku berlarian dan melewati Ibu mertua yang tengah menonton televisi, tanpa sengaja aku buang angin cukup nyaring."Tante Narti?" ucapku pelan hampir berbisik, sembari mengingat nama yang seperti tidak asing ditelinga.Bersambung..Oleh : Seema ZuhdaDengan gamis hitam, dan kerudung instan merk lokal warna abu tua, tak lupa kaus kaki, yang kupakai dengan secepat kilat, aku segera melangkah ke ruang tamu, untuk menemui Tante Narti yang entah kenapa bisa berada di sini.Bukankah Tante Narti sekeluarga menetap di luar Jawa? Ah, aku lupa, mereka orang kaya, yang bisa kapan saja berkunjung ke tanah kelahiran mereka, tanpa terkendala biaya.Saat sampai di ruang tamu, orang pertama yang terlihat di mataku adalah Irsyad, aku mematung, mencoba mengkondisikan netra yang tidak juga beralih dari memandangnya, laki-laki yang merupakan anak tunggal dari Om Andri dan Tante Narti itu tengah sibuk dengan ponselnya.Laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa bulan dariku itu memakai pakaian serba hitam ala idol Korea, celana panjang hitam, kaos polos hitam, lengkap dengan blazer selutut warna abu tua, ditambah kacamata yang semakin menambah tingkat ketampanannya.Andai Leni melihatnya, mungkin dia akan sangat heboh, jingkrak-jingkrak, lalu pingsan, s
Responku?Entah kenapa, mendengar apa yang baru saja Tante Narti bilang, aku sama sekali tidak merasakan sakit hati, tidak ada air mata kesedihan, bahkan aku dengan lahap melanjutkan makan sosis bakar yang tinggal satu gigitan, lalu membuang tusuknya.Aku menarik nafas kasar, teringat kembali kejadian waktu itu, ketika aku dan Mas Hendra belum ada ikatan halal, dan aku dipaksa menjadi objek pemuas nafsunya, dengan ancaman jahat yang sudah direncanakan sedemikian rupa.Tante Narti memandangku dengan air muka heran, aku yang hanya tersenyum menatap ke arah bintang, sepertinya membuat Tante Narti semakin kebingungan dengan tingkahku."Tante memberitahu semua itu bukan bermaksud membuat kamu sedih atau apapun itu, Tante hanya tidak mau kamu menanggung derita, Nduk. Fakta bahwa Hendra adalah pria buruk membuat Tante tidak terima jika kamu harus seumur hidup bersama dengannya, apa jadinya kamu dimasa depan, bukan hanya kamu, suatu saat anak-anak kamu pu
"Mas, aku mau ikut kamu, enggak apa-apa aku ngontrak yang penting dekat sama kamu, biar aku bisa masak buat kamu, biar setiap hari kamu pulangnya ke Aku, biar aku bisa melayani kamu sepenuhnya," pintaku pada Mas Hendra, mencoba bersikap manis kepada suami sendiri, berusaha berperan baik sebagai seorang istri. Mas Hendra baru saja pulang, seperti biasa, setiap sabtu malam Mas Hendra pulang, dan aku yang telah diberitahu Tante Narti tentang rahasia besar Mas Hendra yang memiliki banyak Istri dan suka gonta-ganti wanita untuk diajak zina. Belum lagi tentang Mas Hendra yang suka minum-minum, menjadikanku harus benar-benar memperhatikan Mas Hendra.Bukan karena cemburu, atau karena tidak mau dimadu maupun menjadi madu, tapi karena aku adalah Istri Mas Hendra, meskipun bukan satu-satunya, tapi sebagai Istri aku ingin suamiku kembali ke jalan yang lurus, aku ingin Mas Hendra sadar dan tobat nasuha dari kebiasaan buruknya."Enggak perlu, kamu disini saja temani Ibu, kamu mau ikut aku karena
POV IRSYADKata orang, laki-laki itu semakin dewasa semakin susah mengeluarkan air mata, meskipun dikuasai luka sedemikian rupa, ia tidak akan menangis, karena sejatinya laki-laki itu qawwam, pemimpin, yang mengayomi, yang melindungi, menangis akan menampakkan sisi lemah laki-laki.Aku setuju dengan pendapat itu, meskipun kini air mata tidak hentinya mengalir deras membasahi pipi, dan mata masih setia menatap nanar rumah yang ditinggali Najma, ada rasa sakit dalam sepi malam ini, nyeri di dada karena wanita yang aku suka bernasib buruk karena menikah dengan pria buruk seperti Mas Hendra.Andai bukan Mas Hendra, meskipun bukan denganku juga, setidaknya lelaki yang bukan menjadi ujian berat untuk hidupnya, dia wanita, apakah akan baik-baik saja jika terus menerus menanggung derita?"Syad, sudah nunggu lama?" Aku menoleh ke arah suara, Beni yang tadi aku suruh kesini untuk menemaniku, akhirnya datang juga."Maaf, Bro. baru tutup toko, pas baca pesanmu juga tadi aku lagi antri di pom bens
Sebuah kekerasan dalam rumah tangga nyatanya bukan hanya wacana semata, puluhan pukulan dari tangan seorang suami kini benar-benar mendarat di tubuhku, ngilu sekujur badan, dan satu hal yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku, kini aku merasakannya, yakni mimisan.Darah segar yang tak berhenti keluar dari lubang hidungku, membuatku tersenyum miris, muncul tanya dalam kepala, akankah aku mampu menyerahkan seumur hidupku bersama pria seperti Mas Hendra? Apa yang akan aku dapat jika aku bertahan? Dan apakah dosa besar jika aku menyerah?Inginku menjadi wasilah hidayah untuk Mas Hendra, namun sepertinya keinginanku mustahil tercapai, terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan nyaliku yang lemah.Seperti saat ini, lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Setiap tuduhan, umpatan, dan pukulan dari Mas Hendra, aku tidak punya nyali setitik pun untuk melawan, hanya air mata yang tanpa malu-malu keluar, dan tak hentinya mengalir membasahi pipi."Maaf" ucap Mas Hendra sangat pelan, hampir tak terd
Menikah di usia muda adalah impianku, apalagi berjodoh dengan Aparatur Negara, seorang lelaki berprofesi TNI AD bernama Hendra, berkulit sawo matang khas mas-mas Jawa, dengan tubuh proporsional, dan wajah bersih berseri layaknya mentari pagi. Ah, maha baik Allah yang telah menciptakanku dari tulang rusuk manusia sesempurna Mas Hendra.[Dek Najma, lagi apa?] Sebuah pesan WhatsApp dari orang yang baru saja kuceritakan, Mas Hendra.[Ini baru pulang habis ngantar Hanan ngaji, Mas.] Balasku, Hanan adalah adikku yang ketiga, sedangkan yang kedua bernama Kiara.[Biasanya Ibu yang ngantar?][Iya, Ibu sama Ayah lagi keluar kota, dolan ke rumahnya Pakde, sekalian mau ngasih tau tentang pernikahan kita,][Sendirian di rumah berarti?][Iya,][Mas jemput, ya? Ibuku pengen kamu main ke rumah,] Aku melotot melihat pesan Mas Hendra, entah kenapa, bukannya senang justru gelisah beradu takut yang kini menguasai hati. Mungkin karena bertentangan dengan prinsip yang lahir dari pengetahuanku sebagai mak
Sontak aku berdiri, melepaskan diri dari sosok yang membuat aku terkejut setengah mati, aku hanya bisa menatap tajam lelaki yang berbuat lancang padaku barusan, mulutku seakan kaku, selalu saja begitu, meskipun dada bergemuruh ingin meluapkan api amarah, namun mulut rapat terkunci.Sosok yang tadinya aku sangat merasa beruntung bisa berjodoh dengannya, tapi semakin kesini Allah seperti sedang menunjukkan bagaimana Mas Hendra yang sebenarnya, ekpektasi rumah tangga ideal nan harmonis itu seketika runtuh oleh kenyataan."Kenapa, Dek? tadi aku ketuk pintu berkali-kali enggak ada respon, pintu tidak terkunci jadi aku masuk, manggil kamu berulangkali juga enggak ada jawaban, terus aku lihat pintu kamar kamu terbuka, lihat kamu sesenggukan aku enggak tega, jadi aku peluk kamu dari belakang, siapa tau bisa bikin kamu tenang. Ayolah, jangan sok suci, sok agamis kamu, Dek! Seminggu lagi kita nikah!" gertak Mas Hendra dengan suara tinggi, Mas Hendra tampak marah melihat tatapan nyalang mataku.
Aku segera menutup bercak darah yang terlihat sangat jelas di bad cover berwarna putih dengan motif bunga mawar itu dengan selimut, dan berusaha mengatur diri dari rasa panik yang tiba-tiba hinggap, mencoba tertawa pada Kiara untuk mengusir berbagai kemungkinan yang Kiara pikirkan."Mbak lagi haid, Ra," ucapku dengan senyum terpaksa untuk menutupi kebohongan."Mbak enggak usah bohong, ya? Kalau aku yang ngomong gitu mungkin orang akan langsung percaya, karena aku jorok, mageran, berbeda dengan Mbak Najma yang bukan tipe pemalas, selalu tau kapan harus ganti pembalut, dan menurut pengalamanku, nih, ya, Mbak! Sebagai adikmu, aku tidak pernah sekalipun melihat Mbak lagi haid trus bocor kayak gitu, jelas banget kalau Mbak lagi bohong," bukan Kiara jika tidak blak-blakan kayak gini, adikku ini sangat tau bagaimana aku.Aku terdiam, cemas mulai menyapa diri, aku tau benar jika Kiara tidak pernah bisa dibohongi, namun untuk kebohongan yang aku tutupi saat ini bukan kebohongan biasa, aib luar
Sebuah kekerasan dalam rumah tangga nyatanya bukan hanya wacana semata, puluhan pukulan dari tangan seorang suami kini benar-benar mendarat di tubuhku, ngilu sekujur badan, dan satu hal yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku, kini aku merasakannya, yakni mimisan.Darah segar yang tak berhenti keluar dari lubang hidungku, membuatku tersenyum miris, muncul tanya dalam kepala, akankah aku mampu menyerahkan seumur hidupku bersama pria seperti Mas Hendra? Apa yang akan aku dapat jika aku bertahan? Dan apakah dosa besar jika aku menyerah?Inginku menjadi wasilah hidayah untuk Mas Hendra, namun sepertinya keinginanku mustahil tercapai, terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan nyaliku yang lemah.Seperti saat ini, lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Setiap tuduhan, umpatan, dan pukulan dari Mas Hendra, aku tidak punya nyali setitik pun untuk melawan, hanya air mata yang tanpa malu-malu keluar, dan tak hentinya mengalir membasahi pipi."Maaf" ucap Mas Hendra sangat pelan, hampir tak terd
POV IRSYADKata orang, laki-laki itu semakin dewasa semakin susah mengeluarkan air mata, meskipun dikuasai luka sedemikian rupa, ia tidak akan menangis, karena sejatinya laki-laki itu qawwam, pemimpin, yang mengayomi, yang melindungi, menangis akan menampakkan sisi lemah laki-laki.Aku setuju dengan pendapat itu, meskipun kini air mata tidak hentinya mengalir deras membasahi pipi, dan mata masih setia menatap nanar rumah yang ditinggali Najma, ada rasa sakit dalam sepi malam ini, nyeri di dada karena wanita yang aku suka bernasib buruk karena menikah dengan pria buruk seperti Mas Hendra.Andai bukan Mas Hendra, meskipun bukan denganku juga, setidaknya lelaki yang bukan menjadi ujian berat untuk hidupnya, dia wanita, apakah akan baik-baik saja jika terus menerus menanggung derita?"Syad, sudah nunggu lama?" Aku menoleh ke arah suara, Beni yang tadi aku suruh kesini untuk menemaniku, akhirnya datang juga."Maaf, Bro. baru tutup toko, pas baca pesanmu juga tadi aku lagi antri di pom bens
"Mas, aku mau ikut kamu, enggak apa-apa aku ngontrak yang penting dekat sama kamu, biar aku bisa masak buat kamu, biar setiap hari kamu pulangnya ke Aku, biar aku bisa melayani kamu sepenuhnya," pintaku pada Mas Hendra, mencoba bersikap manis kepada suami sendiri, berusaha berperan baik sebagai seorang istri. Mas Hendra baru saja pulang, seperti biasa, setiap sabtu malam Mas Hendra pulang, dan aku yang telah diberitahu Tante Narti tentang rahasia besar Mas Hendra yang memiliki banyak Istri dan suka gonta-ganti wanita untuk diajak zina. Belum lagi tentang Mas Hendra yang suka minum-minum, menjadikanku harus benar-benar memperhatikan Mas Hendra.Bukan karena cemburu, atau karena tidak mau dimadu maupun menjadi madu, tapi karena aku adalah Istri Mas Hendra, meskipun bukan satu-satunya, tapi sebagai Istri aku ingin suamiku kembali ke jalan yang lurus, aku ingin Mas Hendra sadar dan tobat nasuha dari kebiasaan buruknya."Enggak perlu, kamu disini saja temani Ibu, kamu mau ikut aku karena
Responku?Entah kenapa, mendengar apa yang baru saja Tante Narti bilang, aku sama sekali tidak merasakan sakit hati, tidak ada air mata kesedihan, bahkan aku dengan lahap melanjutkan makan sosis bakar yang tinggal satu gigitan, lalu membuang tusuknya.Aku menarik nafas kasar, teringat kembali kejadian waktu itu, ketika aku dan Mas Hendra belum ada ikatan halal, dan aku dipaksa menjadi objek pemuas nafsunya, dengan ancaman jahat yang sudah direncanakan sedemikian rupa.Tante Narti memandangku dengan air muka heran, aku yang hanya tersenyum menatap ke arah bintang, sepertinya membuat Tante Narti semakin kebingungan dengan tingkahku."Tante memberitahu semua itu bukan bermaksud membuat kamu sedih atau apapun itu, Tante hanya tidak mau kamu menanggung derita, Nduk. Fakta bahwa Hendra adalah pria buruk membuat Tante tidak terima jika kamu harus seumur hidup bersama dengannya, apa jadinya kamu dimasa depan, bukan hanya kamu, suatu saat anak-anak kamu pu
Dengan gamis hitam, dan kerudung instan merk lokal warna abu tua, tak lupa kaus kaki, yang kupakai dengan secepat kilat, aku segera melangkah ke ruang tamu, untuk menemui Tante Narti yang entah kenapa bisa berada di sini.Bukankah Tante Narti sekeluarga menetap di luar Jawa? Ah, aku lupa, mereka orang kaya, yang bisa kapan saja berkunjung ke tanah kelahiran mereka, tanpa terkendala biaya.Saat sampai di ruang tamu, orang pertama yang terlihat di mataku adalah Irsyad, aku mematung, mencoba mengkondisikan netra yang tidak juga beralih dari memandangnya, laki-laki yang merupakan anak tunggal dari Om Andri dan Tante Narti itu tengah sibuk dengan ponselnya.Laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa bulan dariku itu memakai pakaian serba hitam ala idol Korea, celana panjang hitam, kaos polos hitam, lengkap dengan blazer selutut warna abu tua, ditambah kacamata yang semakin menambah tingkat ketampanannya.Andai Leni melihatnya, mungkin dia akan sangat heboh, jingkrak-jingkrak, lalu pingsan, s
Menjadi istri dari anak tunggal Pak Wiyoto dan Bu Lasmi, Bapak dan Ibu mertuaku, kini aku tinggal seatap dengan keduanya, setelah satu bulan lalu sah menjadi istri dari putra mereka, Mas Hendra.Mas Hendra dengan kesibukannya sebagai seorang Dandim di Kodim kabupaten, yang hanya seminggu sekali pulang ke rumah, hingga keinginanku untuk kembali menempuh pendidikan di perguruan tinggi masih urung aku sampaikan pada Mas Hendra.Sabtu malam, setiap Mas Hendra pulang, aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara, aku hanya ditugaskan untuk melayani nafsunya, setelah itu Mas Hendra akan tidur, dan ketika tengah malam, Mas Hendra terbangun dari tidur, aku kembali menjadi budak nafsunya, tanpa peduli denganku yang masih terlelap, setelahnya ia mandi, lalu pergi lagi untuk kembali ke tempat dinasnya.Seperti malam menjelang pagi kali ini, aku yang masih terbungkus selimut, menatap lelaki yang usianya terpaut empat belas tahun denganku, Mas Hendra dengan
POV IRSYAD[Maaf, Syad. Kamu terlambat,]Sebuah pesan balasan dari Najma yang masih belum aku mengerti maksudnya, segera aku tepis berbagai kemungkinan buruk yang tengah berkecamuk memenuhi rongga kepala, mencoba tersenyum untuk menyakinkan diri bahwa jawaban yang menyenangkan hati pasti akan terjadi.[Terlambat?][Kata orang, tidak ada kata terlambat untuk niat baik, Ma,] Balasku dengan tangan gemetar, keringat dingin pun tiba-tiba saja muncul bersamaan dengan rasa takut akan kehilangan wanita bernama Najma, apalagi ketika pesan yang aku kirim terlihat centang abu-abu satu.Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil jaket dan juga helm, dalam perjalanan menyusuri jalanan di penghujung malam ibu kota, aku kembali disuguhi bayangan wajah dengan senyum terindah. Najma, seorang wanita yang menjadi cinta pertamaku, degup jantung yang selalu lebih cepat iramanya setiap aku tanpa sengaja selalu melihatnya kala itu, dan suatu
"Saya terima nikahnya Haiba Najma Tsakiba Binti Qomaruddin dengan mas kawin uang dua ratus dua puluh dua ribu dua ratus rupiah dan seperangkat alat salat dibayar tunai!"Mendengar kalimat ijab dengan satu tarikan napas yang terucap dari lisan Mas Hendra, rasanya seperti mendengar petir di musim hujan yang disertai gemuruh angin, gelap dan mencekam, seperti suasana hatiku saat ini.Mencoba tersenyum dengan pantulan diriku di cermin rias, gaun pengantin berwarna putih, dengan kerudung senada menutup dada, hiasan melati di kepala, dan juga make up super tipis tanpa peran pensil alis, tanpa bulu mata palsu, dan tanpa perona wajah, persis seperti yang aku impikan, hanya saja impianku dulu tentunya menjadi pengantin dengan senyum bahagia, bukan dengan senyum terpaksa untuk sembunyikan derita."Lihatlah manusia itu Ya Allah, dia memberikan mahar seperangkat alat salat, namun dia bahkan tidak suka mendengar kata salat, apakah aku sekuat itu dalam pandangan-Mu? Buk
Aku segera menutup bercak darah yang terlihat sangat jelas di bad cover berwarna putih dengan motif bunga mawar itu dengan selimut, dan berusaha mengatur diri dari rasa panik yang tiba-tiba hinggap, mencoba tertawa pada Kiara untuk mengusir berbagai kemungkinan yang Kiara pikirkan."Mbak lagi haid, Ra," ucapku dengan senyum terpaksa untuk menutupi kebohongan."Mbak enggak usah bohong, ya? Kalau aku yang ngomong gitu mungkin orang akan langsung percaya, karena aku jorok, mageran, berbeda dengan Mbak Najma yang bukan tipe pemalas, selalu tau kapan harus ganti pembalut, dan menurut pengalamanku, nih, ya, Mbak! Sebagai adikmu, aku tidak pernah sekalipun melihat Mbak lagi haid trus bocor kayak gitu, jelas banget kalau Mbak lagi bohong," bukan Kiara jika tidak blak-blakan kayak gini, adikku ini sangat tau bagaimana aku.Aku terdiam, cemas mulai menyapa diri, aku tau benar jika Kiara tidak pernah bisa dibohongi, namun untuk kebohongan yang aku tutupi saat ini bukan kebohongan biasa, aib luar