Sontak aku berdiri, melepaskan diri dari sosok yang membuat aku terkejut setengah mati, aku hanya bisa menatap tajam lelaki yang berbuat lancang padaku barusan, mulutku seakan kaku, selalu saja begitu, meskipun dada bergemuruh ingin meluapkan api amarah, namun mulut rapat terkunci.
Sosok yang tadinya aku sangat merasa beruntung bisa berjodoh dengannya, tapi semakin kesini Allah seperti sedang menunjukkan bagaimana Mas Hendra yang sebenarnya, ekpektasi rumah tangga ideal nan harmonis itu seketika runtuh oleh kenyataan."Kenapa, Dek? tadi aku ketuk pintu berkali-kali enggak ada respon, pintu tidak terkunci jadi aku masuk, manggil kamu berulangkali juga enggak ada jawaban, terus aku lihat pintu kamar kamu terbuka, lihat kamu sesenggukan aku enggak tega, jadi aku peluk kamu dari belakang, siapa tau bisa bikin kamu tenang. Ayolah, jangan sok suci, sok agamis kamu, Dek! Seminggu lagi kita nikah!" gertak Mas Hendra dengan suara tinggi, Mas Hendra tampak marah melihat tatapan nyalang mataku.Seperti tidak terima dengan sikapku yang sama sekali tidak mau disentuh, seperti sebulan lalu ketika melamar, Mas Hendra dengan senyum sumringah meraih tanganku untuk memakaikan cincin pertunangan, tapi aku tolak, dan meminta agar cincin dipakaikan oleh Ibunya Mas Hendra, Mas Hendra langsung maklum dan memberikan cincin itu kepada Ibunya, namun sekelebat aku melihat wajah Mas Hendra tampak sangat kesal."Seperti inikah kamu, Mas? Sama sekali tidak ada aturan agama yang kamu patuhi? Bersentuhan sebelum halal, masuk rumah orang seenaknya, marah ketika tau salah, kamu salat enggak, sih, Mas?" entah darimana aku memiliki keberanian untuk merangkai kalimat yang akhirnya terucap dengan lantang, mungkin inilah wujud dari pertolongan Allah, bagian dari doaku agar lisan ini bisa dengan jelas berucap untuk kebenaran."Salatku bukan urusanmu, Najma! Mau aku salat atau enggak jangan ikut campur untuk hal itu, perlu kamu tau bahwa aku hidup hanya untuk harta, tahta, dan wanita. Itu lebih memuaskanku daripada agama, Ingat itu!""Pergi sekarang, Mas! Pernikahan kita batal, aku tidak sudi memiliki imam seperti kamu, Ingat itu!""Tidak bisa, Najma sayang. Keputusan ada ditanganku, pernikahan ini akan tetap terjadi, kamu wanitaku, tugasmu hanya untuk memuaskanku seumur hidup!" Ucap Mas Hendra melunak, dengan senyum menakutkan kaki Mas Hendra melangkah mendekat padaku, aku meraih gunting yang terletak di antara alat tulis di atas meja rias.Mas Hendra tertawa keras saat melihatku ketakutan, Mas Hendra yang kini hanya berjarak sejengkal denganku itu segera mengambil gunting yang aku pegang dengan tangan gemetar, lalu melemparnya, aku mendorong tubuh kekar itu dari hadapanku, namun nihil, tanganku yang lemah karena takut ini tidak bisa mengubah posisi sama sekali, ingin berlari pun tak bisa, aku hanya bisa menangis dan menatap marah Mas Hendra."Kamu cantik tanpa kerudung dan gamis longgarmu itu, Dek. Tubuhmu yang sempurna ini akan kunikmati malam ini!" bisik Mas Hendra tepat ditelinga kananku."Sebelum itu langkahi dulu mayatku, Mas!" ucapku gemetar, memberanikan diri melawan tingkah Mas Hendra yang semakin di luar kendali.Aku melangkah menuju pintu kamar, mengambil gamis dan kerudung yang selalu aku siapkan dibelakang pintu, agar ketika tiba-tiba ada tamu bisa langsung dipakai tanpa harus berlama-lama mencari di lemari, semoga Allah mengampuni aku yang tidak menutup aurat didepan Mas Hendra tadi.Kupakai gamis dan kerudung sambil berlari kecil keluar kamar, ku usap sisa air mata yang seketika berhenti membersamai nyali untuk melawan Mas Hendra yang bertingkah seperti monster.Kuambil kaus kaki yang tadi aku geletakan di sofa ruang tamu sehabis mengantar Hanan ngaji, aku yang akhirnya bisa sampai di pintu depan segera menekan gagang pintu ke bawah, namun tidak bisa terbuka.Kulihat kunci yang biasanya terpasang dipintu itu tidak ada, dan pintu itu terkunci dari dalam, sudah pasti ini perbuatan Mas Hendra, perbuatan yang sudah direncanakan.Aku segera berlari menuju jendela yang ada disebelah pintu, menarik besi mungil yang berbentuk L ke depan lalu ke atas, dan akhirnya terlepas, lalu ku dorong jendela dengan sekuat tenaga.Namun tiba-tiba seseorang menarik bagian belakang kerudungku dengan kasar, siapa lagi kalau bukan Mas Hendra, tangan kirinya membekap mulutku, lalu tangan kanannya mengunci kembali jendela yang hampir menjadi jalan keluarku untuk melarikan diri dari monster berwujud manusia bernama Hendra.Kerudungku dilepas paksa oleh Mas Hendra, begitupun gamisku, menjadi seperti kain perca yang dirobeknya hanya dengan satu tangan.Tubuhku yang hanya tertutup dengan setelan piyama berwarna navy tidak berhenti berontak dari cengkraman Mas Hendra, mulutku mencoba mengeluarkan suara dalam bekapan tangan Mas Hendra, berharap tetangga ada yang mendengarnya.Kutatap Mas Hendra dengan mata yang kembali basah karena air mata, memohon agar jangan melakukan hal hina, namun Mas Hendra seperti orang kesetanan, memadamkan seluruh lampu ruangan, lalu menyeretku kembali ke kamar, mengunci pintu kamar dengan tetap membungkam mulutku."Layani aku, atau seluruh keluargamu kembali ke rumah ini sebagai mayat?" ucap Mas Hendra sembari menunjukan handphonenya kepadaku, disitu tertulis percakapan Mas Hendra dengan nama kontak Berandal, tubuhku seketika lunglai dan jatuh kelantai, Mas Hendra ternyata sudah merencanakan semua ini, dia bisa tau seluruh titik tempat Ayah, Ibu, dan kedua adikku berada, dan menyiapkan sekelompok berandal untuk mengintai mereka."Bejat kamu, Mas! Nyawa manusia kamu pertaruhkan hanya demi pemuasan nafsu kamu? Ternyata ada yang lebih buruk dari binatang, seburuk apa nasibku kedepan jika harus hidup bareng psikopat kayak kamu, Mas?" teriakku merasa putus asa dengan keadaan.Mas Hendra tertawa lepas, hinaan itu seperti angin lalu, ia berjongkok menatapku yang tertunduk pasrah dilantai, tangannya menyingkap rambutku yang menutupi wajah.Rasa putus asa benar-benar telah menguasaiku, air mata seakan bersumber dari mata air yang tidak ada habisnya, detik berikutnya Mas Hendra benar-benar melancarkan niat bejatnya, dan aku telah menjadi gadis yang tidak lagi perawan.Selanjutnya bagaimana aku akan melanjutkan hidup dalam bayang-bayang dosa zina? Rasanya aku ingin mengakhiri hidupku malam ini."Aku akan tetap menikahimu, Dek. Terima kasih untuk rasa nikmat ini," bisik Mas Hendra setelah melakukan aksi bejatnya, lalu pergi dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun."Mas Hendra sejak kapan di sini?" samar-samar aku dengar suara adikku Kiara, segera aku bangkit untuk membereskan kamar yang berantakan, aku tidak mau seorangpun tau tentang dosa besar ini, aib memalukan yang harus aku tutup rapat agar tidak diketahui oleh siapapun."Dimana Mbak Najma?" tanya Hanan pada Mas Hendra, aku tidak mendengar jawaban dari Mas Hendra, justru suara deru motor yang aku dengar, semakin menjauh lalu hilang."Mbak Najma," teriak Kiara berlari masuk kedalam rumah."Ada apa, Ra? Mbak dikamar" jawabku dengan suara lemah."Mas Hendra ngapain kesini, Mbak?" Kiara yang dua tahun lebih muda dariku itu kini sudah berada di tengah pintu kamarku, menatapku dengan wajah heran."Mbak, kok, pucat? Mata Mbak juga sembab," ucapnya sembari memegang kedua pipiku, tatapannya kini berubah cemas, aku hanya menggeleng pelan, lalu berjalan pelan menahan sakit menuju tempat tidur."Mbak hanya kurang enak badan, Ra,"Kulihat Kiara tidak lagi memedulikanku, ia sibuk dengan ponselnya."Ayah pulang kapan? Mas Hendra habis dari sini tadi, anehnya Mbak Najma sekarang matanya sembab, wajahnya pucat banget, Ayah pulang saja sekarang!" Kiara menelpon Ayah rupanya, adikku itu sangat berbeda denganku, aku introvert dan dia ekstrovert."Mbak, ini apa?" Aku terkejut melihat apa yang ditunjuk Kiara.Bersambung.Oleh : Seema ZuhdaAku segera menutup bercak darah yang terlihat sangat jelas di bad cover berwarna putih dengan motif bunga mawar itu dengan selimut, dan berusaha mengatur diri dari rasa panik yang tiba-tiba hinggap, mencoba tertawa pada Kiara untuk mengusir berbagai kemungkinan yang Kiara pikirkan."Mbak lagi haid, Ra," ucapku dengan senyum terpaksa untuk menutupi kebohongan."Mbak enggak usah bohong, ya? Kalau aku yang ngomong gitu mungkin orang akan langsung percaya, karena aku jorok, mageran, berbeda dengan Mbak Najma yang bukan tipe pemalas, selalu tau kapan harus ganti pembalut, dan menurut pengalamanku, nih, ya, Mbak! Sebagai adikmu, aku tidak pernah sekalipun melihat Mbak lagi haid trus bocor kayak gitu, jelas banget kalau Mbak lagi bohong," bukan Kiara jika tidak blak-blakan kayak gini, adikku ini sangat tau bagaimana aku.Aku terdiam, cemas mulai menyapa diri, aku tau benar jika Kiara tidak pernah bisa dibohongi, namun untuk kebohongan yang aku tutupi saat ini bukan kebohongan biasa, aib luar
"Saya terima nikahnya Haiba Najma Tsakiba Binti Qomaruddin dengan mas kawin uang dua ratus dua puluh dua ribu dua ratus rupiah dan seperangkat alat salat dibayar tunai!"Mendengar kalimat ijab dengan satu tarikan napas yang terucap dari lisan Mas Hendra, rasanya seperti mendengar petir di musim hujan yang disertai gemuruh angin, gelap dan mencekam, seperti suasana hatiku saat ini.Mencoba tersenyum dengan pantulan diriku di cermin rias, gaun pengantin berwarna putih, dengan kerudung senada menutup dada, hiasan melati di kepala, dan juga make up super tipis tanpa peran pensil alis, tanpa bulu mata palsu, dan tanpa perona wajah, persis seperti yang aku impikan, hanya saja impianku dulu tentunya menjadi pengantin dengan senyum bahagia, bukan dengan senyum terpaksa untuk sembunyikan derita."Lihatlah manusia itu Ya Allah, dia memberikan mahar seperangkat alat salat, namun dia bahkan tidak suka mendengar kata salat, apakah aku sekuat itu dalam pandangan-Mu? Buk
POV IRSYAD[Maaf, Syad. Kamu terlambat,]Sebuah pesan balasan dari Najma yang masih belum aku mengerti maksudnya, segera aku tepis berbagai kemungkinan buruk yang tengah berkecamuk memenuhi rongga kepala, mencoba tersenyum untuk menyakinkan diri bahwa jawaban yang menyenangkan hati pasti akan terjadi.[Terlambat?][Kata orang, tidak ada kata terlambat untuk niat baik, Ma,] Balasku dengan tangan gemetar, keringat dingin pun tiba-tiba saja muncul bersamaan dengan rasa takut akan kehilangan wanita bernama Najma, apalagi ketika pesan yang aku kirim terlihat centang abu-abu satu.Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil jaket dan juga helm, dalam perjalanan menyusuri jalanan di penghujung malam ibu kota, aku kembali disuguhi bayangan wajah dengan senyum terindah. Najma, seorang wanita yang menjadi cinta pertamaku, degup jantung yang selalu lebih cepat iramanya setiap aku tanpa sengaja selalu melihatnya kala itu, dan suatu
Menjadi istri dari anak tunggal Pak Wiyoto dan Bu Lasmi, Bapak dan Ibu mertuaku, kini aku tinggal seatap dengan keduanya, setelah satu bulan lalu sah menjadi istri dari putra mereka, Mas Hendra.Mas Hendra dengan kesibukannya sebagai seorang Dandim di Kodim kabupaten, yang hanya seminggu sekali pulang ke rumah, hingga keinginanku untuk kembali menempuh pendidikan di perguruan tinggi masih urung aku sampaikan pada Mas Hendra.Sabtu malam, setiap Mas Hendra pulang, aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara, aku hanya ditugaskan untuk melayani nafsunya, setelah itu Mas Hendra akan tidur, dan ketika tengah malam, Mas Hendra terbangun dari tidur, aku kembali menjadi budak nafsunya, tanpa peduli denganku yang masih terlelap, setelahnya ia mandi, lalu pergi lagi untuk kembali ke tempat dinasnya.Seperti malam menjelang pagi kali ini, aku yang masih terbungkus selimut, menatap lelaki yang usianya terpaut empat belas tahun denganku, Mas Hendra dengan
Dengan gamis hitam, dan kerudung instan merk lokal warna abu tua, tak lupa kaus kaki, yang kupakai dengan secepat kilat, aku segera melangkah ke ruang tamu, untuk menemui Tante Narti yang entah kenapa bisa berada di sini.Bukankah Tante Narti sekeluarga menetap di luar Jawa? Ah, aku lupa, mereka orang kaya, yang bisa kapan saja berkunjung ke tanah kelahiran mereka, tanpa terkendala biaya.Saat sampai di ruang tamu, orang pertama yang terlihat di mataku adalah Irsyad, aku mematung, mencoba mengkondisikan netra yang tidak juga beralih dari memandangnya, laki-laki yang merupakan anak tunggal dari Om Andri dan Tante Narti itu tengah sibuk dengan ponselnya.Laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa bulan dariku itu memakai pakaian serba hitam ala idol Korea, celana panjang hitam, kaos polos hitam, lengkap dengan blazer selutut warna abu tua, ditambah kacamata yang semakin menambah tingkat ketampanannya.Andai Leni melihatnya, mungkin dia akan sangat heboh, jingkrak-jingkrak, lalu pingsan, s
Responku?Entah kenapa, mendengar apa yang baru saja Tante Narti bilang, aku sama sekali tidak merasakan sakit hati, tidak ada air mata kesedihan, bahkan aku dengan lahap melanjutkan makan sosis bakar yang tinggal satu gigitan, lalu membuang tusuknya.Aku menarik nafas kasar, teringat kembali kejadian waktu itu, ketika aku dan Mas Hendra belum ada ikatan halal, dan aku dipaksa menjadi objek pemuas nafsunya, dengan ancaman jahat yang sudah direncanakan sedemikian rupa.Tante Narti memandangku dengan air muka heran, aku yang hanya tersenyum menatap ke arah bintang, sepertinya membuat Tante Narti semakin kebingungan dengan tingkahku."Tante memberitahu semua itu bukan bermaksud membuat kamu sedih atau apapun itu, Tante hanya tidak mau kamu menanggung derita, Nduk. Fakta bahwa Hendra adalah pria buruk membuat Tante tidak terima jika kamu harus seumur hidup bersama dengannya, apa jadinya kamu dimasa depan, bukan hanya kamu, suatu saat anak-anak kamu pu
"Mas, aku mau ikut kamu, enggak apa-apa aku ngontrak yang penting dekat sama kamu, biar aku bisa masak buat kamu, biar setiap hari kamu pulangnya ke Aku, biar aku bisa melayani kamu sepenuhnya," pintaku pada Mas Hendra, mencoba bersikap manis kepada suami sendiri, berusaha berperan baik sebagai seorang istri. Mas Hendra baru saja pulang, seperti biasa, setiap sabtu malam Mas Hendra pulang, dan aku yang telah diberitahu Tante Narti tentang rahasia besar Mas Hendra yang memiliki banyak Istri dan suka gonta-ganti wanita untuk diajak zina. Belum lagi tentang Mas Hendra yang suka minum-minum, menjadikanku harus benar-benar memperhatikan Mas Hendra.Bukan karena cemburu, atau karena tidak mau dimadu maupun menjadi madu, tapi karena aku adalah Istri Mas Hendra, meskipun bukan satu-satunya, tapi sebagai Istri aku ingin suamiku kembali ke jalan yang lurus, aku ingin Mas Hendra sadar dan tobat nasuha dari kebiasaan buruknya."Enggak perlu, kamu disini saja temani Ibu, kamu mau ikut aku karena
POV IRSYADKata orang, laki-laki itu semakin dewasa semakin susah mengeluarkan air mata, meskipun dikuasai luka sedemikian rupa, ia tidak akan menangis, karena sejatinya laki-laki itu qawwam, pemimpin, yang mengayomi, yang melindungi, menangis akan menampakkan sisi lemah laki-laki.Aku setuju dengan pendapat itu, meskipun kini air mata tidak hentinya mengalir deras membasahi pipi, dan mata masih setia menatap nanar rumah yang ditinggali Najma, ada rasa sakit dalam sepi malam ini, nyeri di dada karena wanita yang aku suka bernasib buruk karena menikah dengan pria buruk seperti Mas Hendra.Andai bukan Mas Hendra, meskipun bukan denganku juga, setidaknya lelaki yang bukan menjadi ujian berat untuk hidupnya, dia wanita, apakah akan baik-baik saja jika terus menerus menanggung derita?"Syad, sudah nunggu lama?" Aku menoleh ke arah suara, Beni yang tadi aku suruh kesini untuk menemaniku, akhirnya datang juga."Maaf, Bro. baru tutup toko, pas baca pesanmu juga tadi aku lagi antri di pom bens
Sebuah kekerasan dalam rumah tangga nyatanya bukan hanya wacana semata, puluhan pukulan dari tangan seorang suami kini benar-benar mendarat di tubuhku, ngilu sekujur badan, dan satu hal yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku, kini aku merasakannya, yakni mimisan.Darah segar yang tak berhenti keluar dari lubang hidungku, membuatku tersenyum miris, muncul tanya dalam kepala, akankah aku mampu menyerahkan seumur hidupku bersama pria seperti Mas Hendra? Apa yang akan aku dapat jika aku bertahan? Dan apakah dosa besar jika aku menyerah?Inginku menjadi wasilah hidayah untuk Mas Hendra, namun sepertinya keinginanku mustahil tercapai, terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan nyaliku yang lemah.Seperti saat ini, lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Setiap tuduhan, umpatan, dan pukulan dari Mas Hendra, aku tidak punya nyali setitik pun untuk melawan, hanya air mata yang tanpa malu-malu keluar, dan tak hentinya mengalir membasahi pipi."Maaf" ucap Mas Hendra sangat pelan, hampir tak terd
POV IRSYADKata orang, laki-laki itu semakin dewasa semakin susah mengeluarkan air mata, meskipun dikuasai luka sedemikian rupa, ia tidak akan menangis, karena sejatinya laki-laki itu qawwam, pemimpin, yang mengayomi, yang melindungi, menangis akan menampakkan sisi lemah laki-laki.Aku setuju dengan pendapat itu, meskipun kini air mata tidak hentinya mengalir deras membasahi pipi, dan mata masih setia menatap nanar rumah yang ditinggali Najma, ada rasa sakit dalam sepi malam ini, nyeri di dada karena wanita yang aku suka bernasib buruk karena menikah dengan pria buruk seperti Mas Hendra.Andai bukan Mas Hendra, meskipun bukan denganku juga, setidaknya lelaki yang bukan menjadi ujian berat untuk hidupnya, dia wanita, apakah akan baik-baik saja jika terus menerus menanggung derita?"Syad, sudah nunggu lama?" Aku menoleh ke arah suara, Beni yang tadi aku suruh kesini untuk menemaniku, akhirnya datang juga."Maaf, Bro. baru tutup toko, pas baca pesanmu juga tadi aku lagi antri di pom bens
"Mas, aku mau ikut kamu, enggak apa-apa aku ngontrak yang penting dekat sama kamu, biar aku bisa masak buat kamu, biar setiap hari kamu pulangnya ke Aku, biar aku bisa melayani kamu sepenuhnya," pintaku pada Mas Hendra, mencoba bersikap manis kepada suami sendiri, berusaha berperan baik sebagai seorang istri. Mas Hendra baru saja pulang, seperti biasa, setiap sabtu malam Mas Hendra pulang, dan aku yang telah diberitahu Tante Narti tentang rahasia besar Mas Hendra yang memiliki banyak Istri dan suka gonta-ganti wanita untuk diajak zina. Belum lagi tentang Mas Hendra yang suka minum-minum, menjadikanku harus benar-benar memperhatikan Mas Hendra.Bukan karena cemburu, atau karena tidak mau dimadu maupun menjadi madu, tapi karena aku adalah Istri Mas Hendra, meskipun bukan satu-satunya, tapi sebagai Istri aku ingin suamiku kembali ke jalan yang lurus, aku ingin Mas Hendra sadar dan tobat nasuha dari kebiasaan buruknya."Enggak perlu, kamu disini saja temani Ibu, kamu mau ikut aku karena
Responku?Entah kenapa, mendengar apa yang baru saja Tante Narti bilang, aku sama sekali tidak merasakan sakit hati, tidak ada air mata kesedihan, bahkan aku dengan lahap melanjutkan makan sosis bakar yang tinggal satu gigitan, lalu membuang tusuknya.Aku menarik nafas kasar, teringat kembali kejadian waktu itu, ketika aku dan Mas Hendra belum ada ikatan halal, dan aku dipaksa menjadi objek pemuas nafsunya, dengan ancaman jahat yang sudah direncanakan sedemikian rupa.Tante Narti memandangku dengan air muka heran, aku yang hanya tersenyum menatap ke arah bintang, sepertinya membuat Tante Narti semakin kebingungan dengan tingkahku."Tante memberitahu semua itu bukan bermaksud membuat kamu sedih atau apapun itu, Tante hanya tidak mau kamu menanggung derita, Nduk. Fakta bahwa Hendra adalah pria buruk membuat Tante tidak terima jika kamu harus seumur hidup bersama dengannya, apa jadinya kamu dimasa depan, bukan hanya kamu, suatu saat anak-anak kamu pu
Dengan gamis hitam, dan kerudung instan merk lokal warna abu tua, tak lupa kaus kaki, yang kupakai dengan secepat kilat, aku segera melangkah ke ruang tamu, untuk menemui Tante Narti yang entah kenapa bisa berada di sini.Bukankah Tante Narti sekeluarga menetap di luar Jawa? Ah, aku lupa, mereka orang kaya, yang bisa kapan saja berkunjung ke tanah kelahiran mereka, tanpa terkendala biaya.Saat sampai di ruang tamu, orang pertama yang terlihat di mataku adalah Irsyad, aku mematung, mencoba mengkondisikan netra yang tidak juga beralih dari memandangnya, laki-laki yang merupakan anak tunggal dari Om Andri dan Tante Narti itu tengah sibuk dengan ponselnya.Laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa bulan dariku itu memakai pakaian serba hitam ala idol Korea, celana panjang hitam, kaos polos hitam, lengkap dengan blazer selutut warna abu tua, ditambah kacamata yang semakin menambah tingkat ketampanannya.Andai Leni melihatnya, mungkin dia akan sangat heboh, jingkrak-jingkrak, lalu pingsan, s
Menjadi istri dari anak tunggal Pak Wiyoto dan Bu Lasmi, Bapak dan Ibu mertuaku, kini aku tinggal seatap dengan keduanya, setelah satu bulan lalu sah menjadi istri dari putra mereka, Mas Hendra.Mas Hendra dengan kesibukannya sebagai seorang Dandim di Kodim kabupaten, yang hanya seminggu sekali pulang ke rumah, hingga keinginanku untuk kembali menempuh pendidikan di perguruan tinggi masih urung aku sampaikan pada Mas Hendra.Sabtu malam, setiap Mas Hendra pulang, aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara, aku hanya ditugaskan untuk melayani nafsunya, setelah itu Mas Hendra akan tidur, dan ketika tengah malam, Mas Hendra terbangun dari tidur, aku kembali menjadi budak nafsunya, tanpa peduli denganku yang masih terlelap, setelahnya ia mandi, lalu pergi lagi untuk kembali ke tempat dinasnya.Seperti malam menjelang pagi kali ini, aku yang masih terbungkus selimut, menatap lelaki yang usianya terpaut empat belas tahun denganku, Mas Hendra dengan
POV IRSYAD[Maaf, Syad. Kamu terlambat,]Sebuah pesan balasan dari Najma yang masih belum aku mengerti maksudnya, segera aku tepis berbagai kemungkinan buruk yang tengah berkecamuk memenuhi rongga kepala, mencoba tersenyum untuk menyakinkan diri bahwa jawaban yang menyenangkan hati pasti akan terjadi.[Terlambat?][Kata orang, tidak ada kata terlambat untuk niat baik, Ma,] Balasku dengan tangan gemetar, keringat dingin pun tiba-tiba saja muncul bersamaan dengan rasa takut akan kehilangan wanita bernama Najma, apalagi ketika pesan yang aku kirim terlihat centang abu-abu satu.Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil jaket dan juga helm, dalam perjalanan menyusuri jalanan di penghujung malam ibu kota, aku kembali disuguhi bayangan wajah dengan senyum terindah. Najma, seorang wanita yang menjadi cinta pertamaku, degup jantung yang selalu lebih cepat iramanya setiap aku tanpa sengaja selalu melihatnya kala itu, dan suatu
"Saya terima nikahnya Haiba Najma Tsakiba Binti Qomaruddin dengan mas kawin uang dua ratus dua puluh dua ribu dua ratus rupiah dan seperangkat alat salat dibayar tunai!"Mendengar kalimat ijab dengan satu tarikan napas yang terucap dari lisan Mas Hendra, rasanya seperti mendengar petir di musim hujan yang disertai gemuruh angin, gelap dan mencekam, seperti suasana hatiku saat ini.Mencoba tersenyum dengan pantulan diriku di cermin rias, gaun pengantin berwarna putih, dengan kerudung senada menutup dada, hiasan melati di kepala, dan juga make up super tipis tanpa peran pensil alis, tanpa bulu mata palsu, dan tanpa perona wajah, persis seperti yang aku impikan, hanya saja impianku dulu tentunya menjadi pengantin dengan senyum bahagia, bukan dengan senyum terpaksa untuk sembunyikan derita."Lihatlah manusia itu Ya Allah, dia memberikan mahar seperangkat alat salat, namun dia bahkan tidak suka mendengar kata salat, apakah aku sekuat itu dalam pandangan-Mu? Buk
Aku segera menutup bercak darah yang terlihat sangat jelas di bad cover berwarna putih dengan motif bunga mawar itu dengan selimut, dan berusaha mengatur diri dari rasa panik yang tiba-tiba hinggap, mencoba tertawa pada Kiara untuk mengusir berbagai kemungkinan yang Kiara pikirkan."Mbak lagi haid, Ra," ucapku dengan senyum terpaksa untuk menutupi kebohongan."Mbak enggak usah bohong, ya? Kalau aku yang ngomong gitu mungkin orang akan langsung percaya, karena aku jorok, mageran, berbeda dengan Mbak Najma yang bukan tipe pemalas, selalu tau kapan harus ganti pembalut, dan menurut pengalamanku, nih, ya, Mbak! Sebagai adikmu, aku tidak pernah sekalipun melihat Mbak lagi haid trus bocor kayak gitu, jelas banget kalau Mbak lagi bohong," bukan Kiara jika tidak blak-blakan kayak gini, adikku ini sangat tau bagaimana aku.Aku terdiam, cemas mulai menyapa diri, aku tau benar jika Kiara tidak pernah bisa dibohongi, namun untuk kebohongan yang aku tutupi saat ini bukan kebohongan biasa, aib luar