POV IRSYAD
[Maaf, Syad. Kamu terlambat,]Sebuah pesan balasan dari Najma yang masih belum aku mengerti maksudnya, segera aku tepis berbagai kemungkinan buruk yang tengah berkecamuk memenuhi rongga kepala, mencoba tersenyum untuk menyakinkan diri bahwa jawaban yang menyenangkan hati pasti akan terjadi.[Terlambat?][Kata orang, tidak ada kata terlambat untuk niat baik, Ma,]Balasku dengan tangan gemetar, keringat dingin pun tiba-tiba saja muncul bersamaan dengan rasa takut akan kehilangan wanita bernama Najma, apalagi ketika pesan yang aku kirim terlihat centang abu-abu satu.Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil jaket dan juga helm, dalam perjalanan menyusuri jalanan di penghujung malam ibu kota, aku kembali disuguhi bayangan wajah dengan senyum terindah.Najma, seorang wanita yang menjadi cinta pertamaku, degup jantung yang selalu lebih cepat iramanya setiap aku tanpa sengaja selalu melihatnya kala itu, dan suatu ketika di mushola sekolah lamaku di Jawa, tanpa sengaja arah tatap kami bertemu, aku yang salah tingkah segera memalingkan wajah, namun ketika aku kembali mencari sosoknya, nihil, dia sudah hilang dari pandangan.Momen yang terekam sempurna oleh netra, tersimpan rapi dalam memori ingatanku, dan selalu saja muncul setiap aku memikirkannya, menjadi pemacu diriku selama ini untuk berjuang keras, hingga membawaku pada titik sukses di usiaku yang belum genap dua puluh tahun.Aku berbelok ke sebuah rumah dengan model klasik khas Jawa, rumah yang penghuninya selalu aku cari ketika aku sedang dalam emosi apapun. Sedih, senang, kecewa, bahagia, mereka yang selalu menjadi tempatku pulang, orang tuaku.Air mata kubiarkan mengalir begitu saja, untuk saat ini aku hanya ingin berada diantara kedua orang tuaku, kupencet bel berkali-kali, kulihat jam pukul satu pagi, tidak peduli apakah aku mengganggu waktu istirahat Mama Papaku, aku butuh mereka untuk menghilangkan sakit di dadaku ini.Mama akhirnya membuka pintu, setelah memastikan bahwa yang datang benar-benar aku, dengan meneleponku. Kulihat tadi, Mama beberapa kali mengintip dari jendela, tingkah Mama yang penakut itu berhasil membuatku tersenyum ditengah rasa sedihku.Aku dengan cepat masuk dalam rumah yang hampir dua tahun menjadi tempatku tinggal bersama orang tuaku, dan tepat enam bulan terakhir ini aku sudah tidak lagi tinggal bersama mereka, dari hasil bisnis yang aku rintis sejak menginjakkan kaki di luar Jawa ini, aku berhasil membeli sebuah rumah, salah satu bagian dari mimpiku, yang menjadi penunjang dari mimpi utamaku, yakni menikah di usia muda, bersama wanita yang memunculkan rasa cinta, Najma."Apa ini? Anak tampan Mama nangis? Terakhir kali kamu nangis waktu pindah dari Jawa kesini? Mau kayak waktu itu lagi? Jangan, dong, Nak! Mama enggak mau kamu mogok makan sampai sakit seperti dulu, kamu lagi kangen suasana Jawa? Ahad kita ke Jawa, kebetulan sepupumu Mas Hendra mau nikah, udah jangan nangis, ya. Udah, baik-baik sama diri sendiri, jangan dzalim pada diri sendiri, nangis enggak apa-apa, yang penting jangan kayak waktu itu lagi, ya!" ujar Mama tampak panik melihatku tersedu, Mama dengan traumanya akibat ulahku dulu.Bukan mogok makan seperti yang dibilang Mama barusan, aku hanya tidak bernafsu dengan makanan, jenis makanan apapun tidak bisa diterima oleh lambungku, patah hati terhebatku kala itu, yang membuat ragaku menjadi korban, hingga hampir satu bulan aku terbaring di atas ranjang rumah sakit akibat sakit lambung yang hampir saja merenggut nyawaku.Mama yang berkali-kali mencoba membujuk papa agar bisa kembali ke Jawa demi aku agar sembuh, dan Papa yang hanya diam tanpa kata. Sebagai kepala keluarga ada banyak hal yang mungkin menjadi pertimbangan Papa waktu itu, tanggung jawab besar itu akan sangat sulit dilakukan jika harus kembali ke Jawa, karena di Jawa sudah tidak ada lagi peluang untuk berbisnis, sedangkan disini kesuksesan bisa sangat cepat diraih oleh pebisnis seperti Papa.Mama juga pernah meminta agar aku dan Mama bisa pulang ke Jawa, menjalani hubungan jarak jauh dengan Papa, namun Papa dengan cepat menolak permintaan Mama."Papa bukan seseorang dengan iman yang kuat, jika Papa disini sendirian, akan banyak wanita penggoda yang mendekat, dan Papa tidak mau menerima kehancuran hidup hanya karena nafsu sesaat, mengertilah, Ma! Kita sudah berusaha dengan maksimal agar Irsyad cepat sembuh, sekarang kita gencarkan doa, semoga yang maha kuasa segera angkat penyakit anak kita," ucap Papa kala itu, seperti ada sebuah energi yang tiba-tiba saja menguatkan hatiku, aku ingin seperti Papa, mencintai satu wanita dengan tanggung jawab penuh, dan aku harus sembuh.Ahad, sekitar pukul tujuh pagi, aku sudah menginjakkan kaki di tanah Jawa, setelah berbagai macam urusan bisnis aku serahkan penuh pada asistenku, dan aku selama seminggu terakhir benar-benar mempersiapkan segalanya untuk berkunjung ke Jawa, termasuk membeli cincin dengan ukuran yang aku yakin akan sangat cantik jika tersemat di jari manis Najma.Sebelum berusaha mencari alamat rumah Najma hari ini, aku terlebih dulu mengikuti acara sepupuku, Mas Hendra, yang akan melangsungkan pernikahan pagi ini, tepat pukul delapan pagi, aku dan keluarga besar sampai di kediaman calon istri Mas Hendra, rumah dengan gaya lawas, teras dan halaman yang sangat luas, bagian dalam rumah pun demikian, tetap luas meskipun dilengkapi dengan perabotan rumah tangga era modern."Kamu Irsyad, kan?" ucap seorang pemuda yang usianya sebaya denganku.Aku mengangguk sembari mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya, tapi dia justru memelukku."Kamu pasti lupa sama aku, kan, Syad? Aku temanmu dulu pas kamu masih sekolah SMA disini," aku hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat kembali masa itu, setidaknya aku harus tau nama orang dengan tubuh kekar yang kini tengah memelukku.Yang aku ingat, waktu itu aku hanya memiliki satu teman dengan badan super gemuk, berkulit hitam dan berwajah kusam, Beni namanya, dia sangat baik, ketika banyak dari pelajar pria tidak suka kepadaku karena wajahku yang mungkin membuat mereka kalah saing, tapi Beni justru mendekatiku dengan kalimat lucunya yang mengatakan bahwa aku adalah idolanya."Aku akan menjadikan kamu role modelku, Bro! Suatu saat aku akan menjadi sepertimu," ucapnya kala itu.Aku terperanjat, benarkah yang memelukku ini Beni? Jika benar, dia kini telah benar-benar berubah, fisik dan penampilannya seperti bukan Beni yang aku kenal dulu sebagai temanku."Kamu Beni?""Akhirnya kamu ingat, Bro!" ucap Beni kegirangan sembari melepas pelukannya.Aku menepuk keras lengannya, dan kembali memeluknya.Beni yang kini lebih tinggi dari aku itu mengajakku duduk disudut ruang tamu yang menjadi tempat Mas Hendra melangsungkan akad, sembari memegang pundak ku, Beni menceritakan seluruhnya tentang dia bagaimana bisa benar-benar merubah total fisiknya, aku hanya tertawa menanggapi hal-hal lucu yang terselip dalam ceritanya, dan sesekali memuji usaha kerasnya untuk berubah, hingga datanglah bapak penghulu yang dalam sekejap mengheningkan suasana yang tadinya riuh dengan suara yang saling bercerita, termasuk Beni dan Aku yang kini terdiam dan fokus dengan acara ijab qobul yang sesaat lagi akan dimulai.Mas Hendra tampak sangat biasa, tanpa ada rasa gugup, Mas Hendra bisa dengan cepat menyelesaikan kalimat ijab dengan satu tarikan nafas, berlanjut suara kompak dari saksi nikah yang berkata "Sah!"Aku tersenyum mendengar Mas Hendra menyebut nama calon istrinya, nama yang sama dengan seseorang yang masih aku perjuangkan untuk bisa berjodoh dengannya,Tak lama kemudian datang seorang wanita dengan gaun pengantin putih, dan kerudung lebar dengan warna senada."Itu Najma yang satu sekolah dengan kita dulu, Syad, yang dari kelas IPA. Baru tau aku, kalau suaminya sepupumu,"Aku sontak menoleh, tak percaya dengan ucapan Beni yang berada disebelah kiriku."Najma?" tanyaku tercekat, beni hanya mengangguk pelan.Aku menggenggam pergelangan tangan Beni, menariknya keluar dari rumah istri Mas Hendra, masih belum percaya dengan apa yang Beni katakan barusan, dadaku bergemuruh, kecewa dan sedih yang luar biasa, serentak datang menguasai diri.sesaat sebelum benar-benar keluar dari rumah itu, aku mencoba memperhatikan wajah pengantin wanita, tapi tidak bisa, karena wanita yang baru saja sah menjadi istri Mas Hendra itu menunduk sangat dalam, seperti sengaja menyembunyikan wajahnya dari pandangan seluruh keluarga dan tamu yang melihatnya.Beni terlihat bingung dengan perubahan rona wajahku yang tiba-tiba, apalagi melihat air mata yang berhamburan keluar dari mataku, seperti tau dengan keadaan hatiku, Beni segera menarik lenganku, berlari kecil menuju rumah yang berada tepat disebelah kanan rumah mertua Mas Hendra tadi.Beni mengatakan bahwa ini rumahnya, seluruh keluarganya sedang berada dirumah mertua Mas Hendra, dalam sepi aku mencoba mengontrol diri, ada banyak yang ingin aku tanyakan pada Beni yang kini tengah mengambil air minum untukku."Ben, tadi beneran Najma yang dulu satu sekolah dengan kita? Dari kelas IPA? Yang kalau kemana-mana sama temannya yang bernama Leni kalau tidak salah, beneran Najma yang itu, Ben?" tanyaku dengan suara berat, dengan air mata yang terus mengucur deras."Betul, Syad. Bahkan Leni tadi ada di sana, kamu tidak dengar tadi Mas Hendra, sepupumu itu menyebut namanya pas akad? Haiba Najma Tsakiba, itu nama panjangnya Najma, Syad."Aku sontak menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, aku bahkan tidak tau nama panjang dari Najma, gadis yang kini telah sah menjadi istri dari sepupuku sendiri, inikah maksud dari kata terlambat yang dikirim Najma sebagai balasan dari pesan panjangku?"Kenapa, Syad? Kamu suka sama Najma?" tanya Beni yang aku jawab dengan anggukan pelan.Aku bangkit dari tempat duduk, mondar-mandir dengan rasa putus asa, pemikiran buruk untuk menggagalkan pernikahan yang sudah terjadi entah darimana bisa menghampiri, aku benar-benar seperti di ambang kematian, merasakan kehilangan yang teramat dalam."Kenapa kamu tidak pernah bilang dari dulu, Ben? Kalau kamu tetangganya Najma!" bentaku tiba-tiba, yang membuat Beni semakin kebingungan."Kamu juga tidak pernah bilang kalau kamu suka sama Najma, Syad! Kalau kamu bilang aku pasti juga akan langsung bilang kalau aku tetangganya Najma," sungut Beni, seperti tidak terima akan sikapku.Aku kembali menghempaskan diri di sofa ruang tamu Beni, mengusap kasar wajah yang basah karena air mata, entah bagaimana aku akan menjalani hidup kedepannya, benar kata Najma, aku memang terlambat, aku memang menyiapkan segalanya, tanpa mengetahui seluruhnya tentang Najma, andai aku lebih dulu dari Mas Hendra, mungkin seluruh langkah juangku tidak berujung semenyakitkan ini."Syad, kamu disini? Mama cariin dari tadi, malah ngumpet disini,"Beni segera berdiri menghampiri Mama, memperkenalkan diri sembari bersalaman sopan pada Mama, aku dengan langkah cepat mendekati Mama yang masih berdiri di depan pintu, aku memeluk Mama, dengan tersengal-sengal aku menceritakan segalanya, Mama mengeratkan pelukannya, mengusap lembut kepala belakangku, tak berselang lama pundak kananku basah oleh air mata Mama.Setelah puas menangis menumpahkan semua kesedihan, aku melepaskan diri dari pelukan Mama, Mama tersenyum sedih menatapku, sembari mengusap wajahku yang basah, Mama memberitahu alasan kenapa dia mencariku."Kalau begitu kamu disini saja, Syad! Mama sama Papa saja yang foto sama pengantinnya, habis ini kita pulang saja, Mama takut kalau kamu sakit lagi kayak dulu, tetap kuat, ya, Nak! Yakin Allah akan menolongmu dengan cara-Nya," ucap Mama lalu beranjak pergi dari rumah Beni.Aku mematung melihat mama berlalu, Najma yang seharusnya menjadi calon menantu Mama, tapi justru menjadi menantu saudaranya Mama, aku masih tidak rela, tapi aku bisa apa, salahku juga karena selama ini hanya terbuai oleh bayangan indah tentang masa depan, tanpa memikirkan perkara seperti ini akan terjadi.Dengan berat langkah, aku memaksakan diri kembali ke rumah Najma, aku hanya ingin melihat wajahnya untuk terakhir kali, tapi ini salah, aku tidak diperbolehkan melihat wajah Najma meskipun aku ingin, ada aturan agama yang mewajibkanku untuk menundukkan pandangan.Aku pun berbalik arah, namun baru selangkah aku kembali berhenti, lalu balik kanan lagi, meneruskan langkah menuju rumah Najma."Maaf, tadi habis angkat telepon," ucapku menghampiri Mas Hendra.Dalam sekelebat aku melihat, Najma yang sedang dalam pelukan Mama, lalu dilepaskan pelukannya, mungkin Mama terkejut dengan kedatanganku, setelah tadi aku beritahu sesuatu yang aku sembunyikan dengan rapi selama ini.Mama menggenggam erat tangan kiriku, menguatkanku dan seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja."Selamat, ya, Mas! Semoga samawa, semoga selalu dimampukan menjadi suami yang benar-benar bertanggung jawab terhadap dunia akhirat keluarga," meskipun dengan suara parau, lisanku masih lancar berucap, terselip harap agar Mas Hendra bisa selalu membahagiakan Najma."Terima kasih, Syad!"Bersambung..Oleh : Seema ZuhdaMenjadi istri dari anak tunggal Pak Wiyoto dan Bu Lasmi, Bapak dan Ibu mertuaku, kini aku tinggal seatap dengan keduanya, setelah satu bulan lalu sah menjadi istri dari putra mereka, Mas Hendra.Mas Hendra dengan kesibukannya sebagai seorang Dandim di Kodim kabupaten, yang hanya seminggu sekali pulang ke rumah, hingga keinginanku untuk kembali menempuh pendidikan di perguruan tinggi masih urung aku sampaikan pada Mas Hendra.Sabtu malam, setiap Mas Hendra pulang, aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara, aku hanya ditugaskan untuk melayani nafsunya, setelah itu Mas Hendra akan tidur, dan ketika tengah malam, Mas Hendra terbangun dari tidur, aku kembali menjadi budak nafsunya, tanpa peduli denganku yang masih terlelap, setelahnya ia mandi, lalu pergi lagi untuk kembali ke tempat dinasnya.Seperti malam menjelang pagi kali ini, aku yang masih terbungkus selimut, menatap lelaki yang usianya terpaut empat belas tahun denganku, Mas Hendra dengan
Dengan gamis hitam, dan kerudung instan merk lokal warna abu tua, tak lupa kaus kaki, yang kupakai dengan secepat kilat, aku segera melangkah ke ruang tamu, untuk menemui Tante Narti yang entah kenapa bisa berada di sini.Bukankah Tante Narti sekeluarga menetap di luar Jawa? Ah, aku lupa, mereka orang kaya, yang bisa kapan saja berkunjung ke tanah kelahiran mereka, tanpa terkendala biaya.Saat sampai di ruang tamu, orang pertama yang terlihat di mataku adalah Irsyad, aku mematung, mencoba mengkondisikan netra yang tidak juga beralih dari memandangnya, laki-laki yang merupakan anak tunggal dari Om Andri dan Tante Narti itu tengah sibuk dengan ponselnya.Laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa bulan dariku itu memakai pakaian serba hitam ala idol Korea, celana panjang hitam, kaos polos hitam, lengkap dengan blazer selutut warna abu tua, ditambah kacamata yang semakin menambah tingkat ketampanannya.Andai Leni melihatnya, mungkin dia akan sangat heboh, jingkrak-jingkrak, lalu pingsan, s
Responku?Entah kenapa, mendengar apa yang baru saja Tante Narti bilang, aku sama sekali tidak merasakan sakit hati, tidak ada air mata kesedihan, bahkan aku dengan lahap melanjutkan makan sosis bakar yang tinggal satu gigitan, lalu membuang tusuknya.Aku menarik nafas kasar, teringat kembali kejadian waktu itu, ketika aku dan Mas Hendra belum ada ikatan halal, dan aku dipaksa menjadi objek pemuas nafsunya, dengan ancaman jahat yang sudah direncanakan sedemikian rupa.Tante Narti memandangku dengan air muka heran, aku yang hanya tersenyum menatap ke arah bintang, sepertinya membuat Tante Narti semakin kebingungan dengan tingkahku."Tante memberitahu semua itu bukan bermaksud membuat kamu sedih atau apapun itu, Tante hanya tidak mau kamu menanggung derita, Nduk. Fakta bahwa Hendra adalah pria buruk membuat Tante tidak terima jika kamu harus seumur hidup bersama dengannya, apa jadinya kamu dimasa depan, bukan hanya kamu, suatu saat anak-anak kamu pu
"Mas, aku mau ikut kamu, enggak apa-apa aku ngontrak yang penting dekat sama kamu, biar aku bisa masak buat kamu, biar setiap hari kamu pulangnya ke Aku, biar aku bisa melayani kamu sepenuhnya," pintaku pada Mas Hendra, mencoba bersikap manis kepada suami sendiri, berusaha berperan baik sebagai seorang istri. Mas Hendra baru saja pulang, seperti biasa, setiap sabtu malam Mas Hendra pulang, dan aku yang telah diberitahu Tante Narti tentang rahasia besar Mas Hendra yang memiliki banyak Istri dan suka gonta-ganti wanita untuk diajak zina. Belum lagi tentang Mas Hendra yang suka minum-minum, menjadikanku harus benar-benar memperhatikan Mas Hendra.Bukan karena cemburu, atau karena tidak mau dimadu maupun menjadi madu, tapi karena aku adalah Istri Mas Hendra, meskipun bukan satu-satunya, tapi sebagai Istri aku ingin suamiku kembali ke jalan yang lurus, aku ingin Mas Hendra sadar dan tobat nasuha dari kebiasaan buruknya."Enggak perlu, kamu disini saja temani Ibu, kamu mau ikut aku karena
POV IRSYADKata orang, laki-laki itu semakin dewasa semakin susah mengeluarkan air mata, meskipun dikuasai luka sedemikian rupa, ia tidak akan menangis, karena sejatinya laki-laki itu qawwam, pemimpin, yang mengayomi, yang melindungi, menangis akan menampakkan sisi lemah laki-laki.Aku setuju dengan pendapat itu, meskipun kini air mata tidak hentinya mengalir deras membasahi pipi, dan mata masih setia menatap nanar rumah yang ditinggali Najma, ada rasa sakit dalam sepi malam ini, nyeri di dada karena wanita yang aku suka bernasib buruk karena menikah dengan pria buruk seperti Mas Hendra.Andai bukan Mas Hendra, meskipun bukan denganku juga, setidaknya lelaki yang bukan menjadi ujian berat untuk hidupnya, dia wanita, apakah akan baik-baik saja jika terus menerus menanggung derita?"Syad, sudah nunggu lama?" Aku menoleh ke arah suara, Beni yang tadi aku suruh kesini untuk menemaniku, akhirnya datang juga."Maaf, Bro. baru tutup toko, pas baca pesanmu juga tadi aku lagi antri di pom bens
Sebuah kekerasan dalam rumah tangga nyatanya bukan hanya wacana semata, puluhan pukulan dari tangan seorang suami kini benar-benar mendarat di tubuhku, ngilu sekujur badan, dan satu hal yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku, kini aku merasakannya, yakni mimisan.Darah segar yang tak berhenti keluar dari lubang hidungku, membuatku tersenyum miris, muncul tanya dalam kepala, akankah aku mampu menyerahkan seumur hidupku bersama pria seperti Mas Hendra? Apa yang akan aku dapat jika aku bertahan? Dan apakah dosa besar jika aku menyerah?Inginku menjadi wasilah hidayah untuk Mas Hendra, namun sepertinya keinginanku mustahil tercapai, terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan nyaliku yang lemah.Seperti saat ini, lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Setiap tuduhan, umpatan, dan pukulan dari Mas Hendra, aku tidak punya nyali setitik pun untuk melawan, hanya air mata yang tanpa malu-malu keluar, dan tak hentinya mengalir membasahi pipi."Maaf" ucap Mas Hendra sangat pelan, hampir tak terd
Menikah di usia muda adalah impianku, apalagi berjodoh dengan Aparatur Negara, seorang lelaki berprofesi TNI AD bernama Hendra, berkulit sawo matang khas mas-mas Jawa, dengan tubuh proporsional, dan wajah bersih berseri layaknya mentari pagi. Ah, maha baik Allah yang telah menciptakanku dari tulang rusuk manusia sesempurna Mas Hendra.[Dek Najma, lagi apa?] Sebuah pesan WhatsApp dari orang yang baru saja kuceritakan, Mas Hendra.[Ini baru pulang habis ngantar Hanan ngaji, Mas.] Balasku, Hanan adalah adikku yang ketiga, sedangkan yang kedua bernama Kiara.[Biasanya Ibu yang ngantar?][Iya, Ibu sama Ayah lagi keluar kota, dolan ke rumahnya Pakde, sekalian mau ngasih tau tentang pernikahan kita,][Sendirian di rumah berarti?][Iya,][Mas jemput, ya? Ibuku pengen kamu main ke rumah,] Aku melotot melihat pesan Mas Hendra, entah kenapa, bukannya senang justru gelisah beradu takut yang kini menguasai hati. Mungkin karena bertentangan dengan prinsip yang lahir dari pengetahuanku sebagai mak
Sontak aku berdiri, melepaskan diri dari sosok yang membuat aku terkejut setengah mati, aku hanya bisa menatap tajam lelaki yang berbuat lancang padaku barusan, mulutku seakan kaku, selalu saja begitu, meskipun dada bergemuruh ingin meluapkan api amarah, namun mulut rapat terkunci.Sosok yang tadinya aku sangat merasa beruntung bisa berjodoh dengannya, tapi semakin kesini Allah seperti sedang menunjukkan bagaimana Mas Hendra yang sebenarnya, ekpektasi rumah tangga ideal nan harmonis itu seketika runtuh oleh kenyataan."Kenapa, Dek? tadi aku ketuk pintu berkali-kali enggak ada respon, pintu tidak terkunci jadi aku masuk, manggil kamu berulangkali juga enggak ada jawaban, terus aku lihat pintu kamar kamu terbuka, lihat kamu sesenggukan aku enggak tega, jadi aku peluk kamu dari belakang, siapa tau bisa bikin kamu tenang. Ayolah, jangan sok suci, sok agamis kamu, Dek! Seminggu lagi kita nikah!" gertak Mas Hendra dengan suara tinggi, Mas Hendra tampak marah melihat tatapan nyalang mataku.
Sebuah kekerasan dalam rumah tangga nyatanya bukan hanya wacana semata, puluhan pukulan dari tangan seorang suami kini benar-benar mendarat di tubuhku, ngilu sekujur badan, dan satu hal yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku, kini aku merasakannya, yakni mimisan.Darah segar yang tak berhenti keluar dari lubang hidungku, membuatku tersenyum miris, muncul tanya dalam kepala, akankah aku mampu menyerahkan seumur hidupku bersama pria seperti Mas Hendra? Apa yang akan aku dapat jika aku bertahan? Dan apakah dosa besar jika aku menyerah?Inginku menjadi wasilah hidayah untuk Mas Hendra, namun sepertinya keinginanku mustahil tercapai, terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan nyaliku yang lemah.Seperti saat ini, lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Setiap tuduhan, umpatan, dan pukulan dari Mas Hendra, aku tidak punya nyali setitik pun untuk melawan, hanya air mata yang tanpa malu-malu keluar, dan tak hentinya mengalir membasahi pipi."Maaf" ucap Mas Hendra sangat pelan, hampir tak terd
POV IRSYADKata orang, laki-laki itu semakin dewasa semakin susah mengeluarkan air mata, meskipun dikuasai luka sedemikian rupa, ia tidak akan menangis, karena sejatinya laki-laki itu qawwam, pemimpin, yang mengayomi, yang melindungi, menangis akan menampakkan sisi lemah laki-laki.Aku setuju dengan pendapat itu, meskipun kini air mata tidak hentinya mengalir deras membasahi pipi, dan mata masih setia menatap nanar rumah yang ditinggali Najma, ada rasa sakit dalam sepi malam ini, nyeri di dada karena wanita yang aku suka bernasib buruk karena menikah dengan pria buruk seperti Mas Hendra.Andai bukan Mas Hendra, meskipun bukan denganku juga, setidaknya lelaki yang bukan menjadi ujian berat untuk hidupnya, dia wanita, apakah akan baik-baik saja jika terus menerus menanggung derita?"Syad, sudah nunggu lama?" Aku menoleh ke arah suara, Beni yang tadi aku suruh kesini untuk menemaniku, akhirnya datang juga."Maaf, Bro. baru tutup toko, pas baca pesanmu juga tadi aku lagi antri di pom bens
"Mas, aku mau ikut kamu, enggak apa-apa aku ngontrak yang penting dekat sama kamu, biar aku bisa masak buat kamu, biar setiap hari kamu pulangnya ke Aku, biar aku bisa melayani kamu sepenuhnya," pintaku pada Mas Hendra, mencoba bersikap manis kepada suami sendiri, berusaha berperan baik sebagai seorang istri. Mas Hendra baru saja pulang, seperti biasa, setiap sabtu malam Mas Hendra pulang, dan aku yang telah diberitahu Tante Narti tentang rahasia besar Mas Hendra yang memiliki banyak Istri dan suka gonta-ganti wanita untuk diajak zina. Belum lagi tentang Mas Hendra yang suka minum-minum, menjadikanku harus benar-benar memperhatikan Mas Hendra.Bukan karena cemburu, atau karena tidak mau dimadu maupun menjadi madu, tapi karena aku adalah Istri Mas Hendra, meskipun bukan satu-satunya, tapi sebagai Istri aku ingin suamiku kembali ke jalan yang lurus, aku ingin Mas Hendra sadar dan tobat nasuha dari kebiasaan buruknya."Enggak perlu, kamu disini saja temani Ibu, kamu mau ikut aku karena
Responku?Entah kenapa, mendengar apa yang baru saja Tante Narti bilang, aku sama sekali tidak merasakan sakit hati, tidak ada air mata kesedihan, bahkan aku dengan lahap melanjutkan makan sosis bakar yang tinggal satu gigitan, lalu membuang tusuknya.Aku menarik nafas kasar, teringat kembali kejadian waktu itu, ketika aku dan Mas Hendra belum ada ikatan halal, dan aku dipaksa menjadi objek pemuas nafsunya, dengan ancaman jahat yang sudah direncanakan sedemikian rupa.Tante Narti memandangku dengan air muka heran, aku yang hanya tersenyum menatap ke arah bintang, sepertinya membuat Tante Narti semakin kebingungan dengan tingkahku."Tante memberitahu semua itu bukan bermaksud membuat kamu sedih atau apapun itu, Tante hanya tidak mau kamu menanggung derita, Nduk. Fakta bahwa Hendra adalah pria buruk membuat Tante tidak terima jika kamu harus seumur hidup bersama dengannya, apa jadinya kamu dimasa depan, bukan hanya kamu, suatu saat anak-anak kamu pu
Dengan gamis hitam, dan kerudung instan merk lokal warna abu tua, tak lupa kaus kaki, yang kupakai dengan secepat kilat, aku segera melangkah ke ruang tamu, untuk menemui Tante Narti yang entah kenapa bisa berada di sini.Bukankah Tante Narti sekeluarga menetap di luar Jawa? Ah, aku lupa, mereka orang kaya, yang bisa kapan saja berkunjung ke tanah kelahiran mereka, tanpa terkendala biaya.Saat sampai di ruang tamu, orang pertama yang terlihat di mataku adalah Irsyad, aku mematung, mencoba mengkondisikan netra yang tidak juga beralih dari memandangnya, laki-laki yang merupakan anak tunggal dari Om Andri dan Tante Narti itu tengah sibuk dengan ponselnya.Laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa bulan dariku itu memakai pakaian serba hitam ala idol Korea, celana panjang hitam, kaos polos hitam, lengkap dengan blazer selutut warna abu tua, ditambah kacamata yang semakin menambah tingkat ketampanannya.Andai Leni melihatnya, mungkin dia akan sangat heboh, jingkrak-jingkrak, lalu pingsan, s
Menjadi istri dari anak tunggal Pak Wiyoto dan Bu Lasmi, Bapak dan Ibu mertuaku, kini aku tinggal seatap dengan keduanya, setelah satu bulan lalu sah menjadi istri dari putra mereka, Mas Hendra.Mas Hendra dengan kesibukannya sebagai seorang Dandim di Kodim kabupaten, yang hanya seminggu sekali pulang ke rumah, hingga keinginanku untuk kembali menempuh pendidikan di perguruan tinggi masih urung aku sampaikan pada Mas Hendra.Sabtu malam, setiap Mas Hendra pulang, aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara, aku hanya ditugaskan untuk melayani nafsunya, setelah itu Mas Hendra akan tidur, dan ketika tengah malam, Mas Hendra terbangun dari tidur, aku kembali menjadi budak nafsunya, tanpa peduli denganku yang masih terlelap, setelahnya ia mandi, lalu pergi lagi untuk kembali ke tempat dinasnya.Seperti malam menjelang pagi kali ini, aku yang masih terbungkus selimut, menatap lelaki yang usianya terpaut empat belas tahun denganku, Mas Hendra dengan
POV IRSYAD[Maaf, Syad. Kamu terlambat,]Sebuah pesan balasan dari Najma yang masih belum aku mengerti maksudnya, segera aku tepis berbagai kemungkinan buruk yang tengah berkecamuk memenuhi rongga kepala, mencoba tersenyum untuk menyakinkan diri bahwa jawaban yang menyenangkan hati pasti akan terjadi.[Terlambat?][Kata orang, tidak ada kata terlambat untuk niat baik, Ma,] Balasku dengan tangan gemetar, keringat dingin pun tiba-tiba saja muncul bersamaan dengan rasa takut akan kehilangan wanita bernama Najma, apalagi ketika pesan yang aku kirim terlihat centang abu-abu satu.Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil jaket dan juga helm, dalam perjalanan menyusuri jalanan di penghujung malam ibu kota, aku kembali disuguhi bayangan wajah dengan senyum terindah. Najma, seorang wanita yang menjadi cinta pertamaku, degup jantung yang selalu lebih cepat iramanya setiap aku tanpa sengaja selalu melihatnya kala itu, dan suatu
"Saya terima nikahnya Haiba Najma Tsakiba Binti Qomaruddin dengan mas kawin uang dua ratus dua puluh dua ribu dua ratus rupiah dan seperangkat alat salat dibayar tunai!"Mendengar kalimat ijab dengan satu tarikan napas yang terucap dari lisan Mas Hendra, rasanya seperti mendengar petir di musim hujan yang disertai gemuruh angin, gelap dan mencekam, seperti suasana hatiku saat ini.Mencoba tersenyum dengan pantulan diriku di cermin rias, gaun pengantin berwarna putih, dengan kerudung senada menutup dada, hiasan melati di kepala, dan juga make up super tipis tanpa peran pensil alis, tanpa bulu mata palsu, dan tanpa perona wajah, persis seperti yang aku impikan, hanya saja impianku dulu tentunya menjadi pengantin dengan senyum bahagia, bukan dengan senyum terpaksa untuk sembunyikan derita."Lihatlah manusia itu Ya Allah, dia memberikan mahar seperangkat alat salat, namun dia bahkan tidak suka mendengar kata salat, apakah aku sekuat itu dalam pandangan-Mu? Buk
Aku segera menutup bercak darah yang terlihat sangat jelas di bad cover berwarna putih dengan motif bunga mawar itu dengan selimut, dan berusaha mengatur diri dari rasa panik yang tiba-tiba hinggap, mencoba tertawa pada Kiara untuk mengusir berbagai kemungkinan yang Kiara pikirkan."Mbak lagi haid, Ra," ucapku dengan senyum terpaksa untuk menutupi kebohongan."Mbak enggak usah bohong, ya? Kalau aku yang ngomong gitu mungkin orang akan langsung percaya, karena aku jorok, mageran, berbeda dengan Mbak Najma yang bukan tipe pemalas, selalu tau kapan harus ganti pembalut, dan menurut pengalamanku, nih, ya, Mbak! Sebagai adikmu, aku tidak pernah sekalipun melihat Mbak lagi haid trus bocor kayak gitu, jelas banget kalau Mbak lagi bohong," bukan Kiara jika tidak blak-blakan kayak gini, adikku ini sangat tau bagaimana aku.Aku terdiam, cemas mulai menyapa diri, aku tau benar jika Kiara tidak pernah bisa dibohongi, namun untuk kebohongan yang aku tutupi saat ini bukan kebohongan biasa, aib luar