“Bagaimana ini, Pak? Anak Bapak keterlaluan karena sudah melakukan perbuatan tidak menyenangkan,” ucap salah satu warga yang menggiring Mila dan lelaki tidak dikenal itu ke rumah orang tua Mila.
“Nak, di sini saya sebagai orang tua Mila menunggu itikad baik kamu untuk menghalalkan anak saya segera,” kata Adra yang merupakan abi Mila. Adra sangat kecewa dengan perbuatan putrinya padahal Adra sangat membanggakan Mila di depan teman-temannya.“Abi, apa tidak sebaiknya kita cari tahu dulu kebenarannya?” Yalina—umi Mila— mulai angkat bicara karena tidak tega melihat anak gadisnya menangis meminta keadilan.“Umi, bukti sudah terlihat nyata di depan mata. Ada Mila dan lelaki asing ini beserta para saksi yang melihat mereka berdua berada di satu gubuk yang sama,” kata Adra.“Demi Allah, Umi, Mila tidak melakukan perbuatan tidak menyenangkan itu bersama lelaki itu.”“Abi harus percaya sama Mila. Mila tidak mungkin melakukan perbuatan itu, Abi. Apa lagi Mila tidak mengenal lelaki ini.”Seorang gadis menangis di bawah kaki umi dan abinya mencoba meminta keadilan di depan semua orang yang sudah menuduhnya dengan kejam. Sedangkan sosok laki-laki yang telinganya dipenuhi dengan tindik dan anting hanya menatap datar gadis tidak berdaya itu.“Umi percaya Nak, tapi bagaimanapun juga kamu dan dia harus segera menikah.”“Umi, Mila tidak mau menikah dengan lelaki asing itu.” Meskipun tangis Mila semakin menjadi, tetapi tidak ada satu orang pun yang peduli kecuali sang umi. Akan tetapi, sang umi juga tidak bisa berbuat apa-apa karena keputusan telah ditetapkan Mila dan lelaki asing itu harus segera menikah.Gadis bernama Awamila Durnaz Zelinda memukul-mukul dadanya sendiri untuk menghilangkan rasa sesak di dalam sana. Hari ini, hariyang seharusnya menjadi hari paling sejarah dalam hidupnya karena di usianya yang ke 22 tahun sudah mendapatkan gelas S-2-nya, tetapi nasip buruk ternyata lebih berpihak kepadanya.“Saya bersiap menikahi anak Om dan Tante, karena saya adalah laki-laki yang bertanggung jawab.” Lelaki itu berucap mantap, tanpa berpikir badai apa lagi yang akan menerjang di depan.Sontak kedua mata Mila yang dipenuhi air mata menatap penuh kebencian kearah lelaki itu. Apakah lelaki itu tidak ada niatan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya? Pertanyaan itulah yang ada di dalam pikiran Mila.“Besok kalian berdua menikah secara kekeluargaan dan kamu harus membawa orang tuamu ke sini,” kata lelaki paruh baya yang tidak lain adalah abi Mila.“Maaf Om, kedua orang tua saya sudah lama meninggal,” kata lelaki itu, masih dengan tatapan yang datar.Dalam diamnya Mila masih berandai-andai, jika saja ia mendengarkan kata kedua orang tuanya untuk pulang bersama bukannya pergi bersama teman-teman untuk merayakan hari kelulusan, pasti tidak akan jadi seperti ini kejadiannya. Cita-cita Mila untuk membahagiakan kedua orang tuanya ternyata hanya sebatas S-2 saja, padahal masih banyak rencana di dalam kepala yang belum terwujudkan.Akibat hujan lebat dan angin besar Mila memutuskan untuk berteduh di sebuah ruko kosong sambil menunggu jemputan datang, tapi siapa sangka ada sosok laki-laki juga ikut masuk ke dalam. Mila berpikir tidak akan terjadi sesuatu, tetapi ternyata ada teman abinya yang memotret keberadaan mereka berdua kemudian disebarluaskan melalui grup chatting. Akhirnya Mila dan lelaki itu pun dibawa secara paksa oleh warga dan merekapun disidang diminta untuk segera menikah agar tidak terjadi bencana besar.***“Sudah bisa bicara?”“Hemm.” Mila mengangguk, kemudian kembali diam.“Saya Waldi Daiquan Elvern.” Lelaki yang akrab disapa Waldi itu mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan. Karena sejak awal bertemu mereka berdua belum saling mengenal.Mila menangkupkan tangannya di depan dada, bukan bermaksud menolak, tetapi gadis itu tahu batasan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya.Waldi tidak marah, lelaki itu menganggukkan kepalanya paham. Ia lupa, padahal penampilan Mila yang sangat tertutup sudah bisa menjawab semuanya bahwa gadis itu bukan gadis yang gampang disentuh oleh lelaki lain.“Keputusan Saya tidak akan berubah, besok kita berdua tetap harus menikah,” kata Waldi, memecahkan keheningan yang terjadi.“Kenapa? Kenapa kamu tidak bilang yang sebenarnya?” tanya Mila, gadis itu kembali meneteskan air mata.Waldi terkekeh pelan, kemudian lelaki itu berkata, “Kamu tidak yakin sama Saya karena Saya terlihat seperti lelaki beringasan?”“Katanya udah lulus S-2, tapi lihat orang tetap dari penampilan luarnya.” Lalu Waldi berdiri berniat untuk pergi.“Tunggu!” Mila mencegah Waldi agar tidak pergi, karena ada beberapa hal yang ingin gadis itu sampaikan.“Aku menerima keputusan kamu demi nama baik orang tuaku. Tapi kamu harus menyetujui beberapa syarat,” kata Mila.“Syarat apa itu?” tanya Waldi.“Kamu tidak boleh menyentuhku sebelum aku siap disentuh olehmu dan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing,” jawab Mila.“Baik, saya setuju.” Waldi pun menyetujui syarat yang diajukan Mila.“Apa ada lagi?” tanya Waldi.“Tidak,” jawab Mila.“Kalau begitu saya permisi.” Waldi pun akhirnya pergi menyisakan Mila yang masih duduk di tempatnya.***Waldi melantunkan surah Ar-Rahman dengan suara yang sangat indah dan merdu bahkan orang-orang yang menjadi saksi nikah pagi ini sampai terdiam mendengarnya. Terlebih lagi abi Mila yang sedang duduk di meja akad bersama Waldi dan penghulu. Diam-diam Waldi sudah mempersiapkan diri untuk membaca ssurah Ar-Rahman di hari pernikahannya tanpa memberi tahu Mila. Katakanlah surah Ar-Rahman yang ia bacakan sebagai kejutan untuk semua orang.“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Waldi Daiquan Elvern bin Jeff Caldwell Farrelino dengan anak saya yang bernama Awamila Durnaz Zelinda binti Adra Imam Ashraff dengan maskawin berupa emas 5 gram tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Awamila Durnaz Zelinda binti Adra Imam Ashraff dengan maskawain yang tersebut, tunai.”“Bagaimana para saksi? Sah?”“SAH!” Semuanya berucap secara bersamaan.Akhirnya seorang Waldi Daiquan Elvern, lelaki berusia 35 tahun resmi menjadi seorang suami dari gadis bernama Awamila Durnaz Zelinda.Setelah dinyatakan sah menjadi suami istri barulah Mila dibawa keluar untuk menemui Waldi yang sudah sah menjadi suaminya. Netra hitam milik Waldi terpaku saat Mila keluar memakai pakaian serba putih bahkan dimata Waldi, Mila jauh lebih cantik dari awal pertama mereka bertemu. Namun, pada saat Mila sudah duduk di sampingnya, wajah Waldi berubah marah ketika melihat kedua mata Mila bengkak dan merah. Meskipun sudah ditutup dengan bedak, tapi bekas air mata itu masih ada di pipi merah merona gadis itu. Waldi tidak suka ada air mata, lelaki itu paling membenci kesedihan.Untuk pertama kalinya Mila memegang tangan laki-laki selain tangan abinya dan untuk pertama kalinya juga punggung tangan Waldi dicium oleh seorang perempuan. Detik berikutnya Mila tumbang tidak sadarkan diri membuat semua orang panik terutama orang tua Mila sendiri.Air mata Mila terus menetes dan ia berucap di dalam hati, "Ya Allah, kuatkan aku menjalani semua ini."Sekarang Mila sudah berada di kontrakan di mana Waldi tinggal membawa ikut serta baju dan barang-barangnya. Kontrakan yang luasnya tiga kali enam hanya memiliki satu kamar, kamar mandi, dan juga dapur. Hari itu juga setelah sah menjadi suami istri Waldi langsung membawa Mila ke kontrakannya. Tidak ada sedikitpun rasa gengsi menempatkan Mila di rumah yang hanya cukup untuk dua orang saja. “Ini kamarnya cuma satu?” “Iya. Cukup untuk kita berdua, tidak mungkin badan kamu yang kecil memakan tempat pada saat tidur,” jawab Waldi. “Tapi aku tidak mau tidur sama kamu,” ujar Mila, raut wajahnya penuh protes. Jika saja Mila tahu kamar di kontrakan yang Waldi tinggali hanya satu Mila tidak akan pernah mau ikut. Waldi berjalan ke arah Mila membuat gadis itu berjalan mundur sampai punggungnya membentur sebuah tembok. Waldi semakin mendekat sedangkan Mila sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa yang Mila lakukan hanya memejamkan mata saat dirinya dan Waldi hanya berjarak lima senti saja. “Tau ka
Mila terlihat sedang berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri koridor kampus yang sempat menjadi tempatnya menimba ilmu selama beberapa tahun. Mila datang ke kampus karena ada keperluan yang harus segera ia selesaikan. Namun, siapa sangka kedatangan Mila ke kampus malah bertemu dengan seorang laki-laki yang dulunya pernah menjadi ketua kelompok tugas kuliahnya. “Eh, kamu Mila ‘kan?” lelaki yang mempunyai paras tampan, putih, dan mempunyai lesung pipit itu menyapa Mila dengan ramah. Senyum yang terpancar selalu saja membuat hati para kaum hawa meleleh di saat itu juga. Mila menatap laki-laki di depannya dengan wajah bingung. Gadis itu mencoba untuk mengingat siapa sosok yang sedang berdiri di depannya. “Ya ampun, kamu Kevin ‘kan? Yang dulu pernah jadi ketua kelompok tugas kampus.” Lelaki bernama Kevin itu pun menganggukkan kepalanya. “Iya. Syukur lah kalau kamu masih ingat sama aku.” “Masya Allah, kita bisa bertemu lagi setelah beberapa tahun tidak berjumpa,” kata Mila. *** Pe
Mila merasa sifat Waldi berubah sejak perdebatan kemarin sekarang Mila menjadi merasa bersalah, namun ia sangat gengsi untuk meminta maaf yang terjadi di dalam rumah itu hanyalah dua orang yang saling diam. “Mila, aku ingin membicarakan sesuatu hal yang penting sama kamu.” Setelah lama diam akhirnya Waldi membuka suara. Mila yang sedang sibuk dengan ponselnya pun menatap Waldi yang sedang duduk tidak jauh dari tempat Mila duduk. Wanita itu meletakkan ponselnya untuk mendengarkan Waldi berbicara. “Besok kita harus pindah dari sini,” kata Waldi, masih dengan raut wajah yang sama datarnya. “Pidah? Tapi kenapa secepat ini?” Mila sangat terkejut dengan keputusan Waldi yang meminta pindah secara mendadak seperti ini padahal baru kemarin Mila menempati kos-kosan tersebut. Meskipun kecil, tapi Mila nyaman tinggal di sana. “Iya, karena dua minggu lagi aku akan menikah dengan Zoya,” ujar Waldi, tidak ada raut wajah lebih yang terlihat hanyalah raut wajah datar. “Apa?” dua kali Mila
“Sebenarnya kita mau kemana sih?”“Ikut saja jangan banyak bertanya.”Mila tidak suka dengan cara misterius Waldi yang seperti ini. Lelaki itu tiba-tiba saja datang dan langsung meminta Mila untuk bersiap, katanya mau diajak ke salah satu tempat, tapi lelaki itu tidak menjelaskan mau dibawa kemana dirinya. “Tidak usah terlalu rapi,” kata Waldi, ketika melihat Mila masuk ke dalam kamar. Mila memutuskan untuk pisah kamar dengan Waldi, gadis itu masih merasa kecewa dengan suaminya itu. Sekitar dua puluh menit lamanya Mila bersiap dan akhirnya gadis itu keluar dari kamar menggunakan flowery dress sage green dan tunik senada dijadikan outer dipadukan hijab berwarna putih membuat penampilan Mila yang sederhana terlihat sangat kece.“Sudah, ayo kita berangkat.” Mila berdiri di belakang Waldi yang sejak tadi setia menunggu dirinya bersiap. Perlahan Waldi memutar tubuhnya dan lelaki itu diam melihat kecantikan Mila yang terpancar. Seketika lelaki itu dibuat diam tidak bisa berkata-kata. Mi
Sejak kejadian semalam Mila dan Waldi masih saling diam, meskipun ke duanya sudah melewati sarapan bersama, tapi tetap saja masih ada rasa dingin di antara mereka berdua. “Aku tau kamu masih marah sama aku,” kata Waldi, mencoba memecah keheningan yang terjadi di antara mereka berdua. Waldi tidak mau terus seperti ini, ia ingin bisa lebih dekat dengan Mila agar bisa menebus kesalahannya karena sudah membawa Mila masuk ke dalam masalahnya. “Sampai detik ini aku nggak paham sama cara berpikir kamu,” kata Mila, masih terdengar dingin. Rasa kecewa tentu saja ada di dalam hati Mila, sebab ia harus membuang jauh cita-citanya hanya karena masuk ke dalam masalah orang lain. Sampai detik ini Mila masih bertanya-tanya, kesalahan apa yang sudah dia perbuat sehingga takdir hidupnya bisa rumit seperti sekarang. “Kalau kita tidak mencoba dekat bagaimana bisa memahami pola pikir masing-masing?” Waldi menggeser sedikit posisi duduknya agar lebih dekat dengan Mila. Namun, justru Mila yang menjauh t
Mila memutuskan keluar sebentar untuk menghilangkan beban pikirannya. Mila berada di salah satu café yang letaknya tidak jauh dari perumahan di mana ia tinggal. Mila merasa sepi setelah menikah dengan Waldi ada saja masalah yang harus dia hadapi. Menyendiri adalah cara terbaik agar Mila merasa lebih baik. “Mila.”Suara itu membuat Mila langsung menoleh ke belakang untuk mencari sumber suara. Setelah melihat sosoknya Mila pun langsung tersenyum dan mempersilahkan lelaki itu untuk duduk di mejanya.“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya Kevin karena lelaki itu tahu rumah Mila cukup jauh dari perumahan itu. “Sekarang aku tinggal di sini,” jawab Mila. “Wah, kebetulan sekali rumahku juga tidak jauh dari sini,” kata Kevin. “Benarkah?” tanya Mila guat senyum mulai terlihat di wajahnya. Mila dan Kevin pun berbincang ringan dan sesekali tertawa membahas masa kuliah mereka. Setidaknya pertemuan Mila dengan Kevin bisa membuat hati gadis itu sedikit membaik. “Suamimu tidak ikut?” tanya Kevin
Tiga hari sebelum pernikahan Waldi dan Zoya. Hubungan antara Waldi dan Mila semakin renggang, apa lagi semenjak Irana datang ke rumah dan menginginkan pernikahan itu dipercepat. Mila tidak melihat upaya Waldi membantah, lelaki itu nurut saja seperti tidak punya pendirian. Mila kesal sekaligus jengkel karena sudah dibawa ke dalam masalah Waldi. “Mila.” Waldi menahan Mila ketika gadis itu hendak pergi ketika dirinya ingin menghampiri. Wajah Waldi terlihat sedih karena beberapa hari ini Mila selalu menghindar darinya. “Duduk lah dulu, ada yang mau aku bicarakan,” kata Waldi, dengan lembut. Mila yang awalnya ingin pergi menghindar pun mengurungkan niatnya. Gadis itu kembali duduk di tempat semula menunggu Waldi berbicara. “Beberapa hari ini aku lihat kamu menghindar dari aku, apa yang salah?” tanya Waldi tatapannya memperlihatkan kesedihan yang selama ini Waldi pendam. “Kamu masih bertanya?” bukannya menjawab justru Mila melayangkan pertanyaan. Apakah lelaki itu tidak ada sedikit ra
Sejak pagi tadi sampai malam seperti ini Waldi masih berada di dalam kamar karena masih sering mengeluh kepalanya sakit. Makan malam kali ini cukup berbeda, yang biasanya makan di meja makan tapi kali ini Mila membawa makan malam ke kamar Waldi sesuai dengan perintah lelaki itu. Selama Mila berada di dapur untuk menyiapkan makan malam Waldi merenung di dalam kamar. Lelaki itu masih memikirkan mimpi yang ia alami selama tidur tadi. Mimpi yang begitu nyata seolah-olah akan terjadi dalam waktu dekat. Apa lagi pada saat mertuanya marah ketika mengetahui putri semata wayangnya akan dimadu. Waldi menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menghilangkan mimpi itu dari pikirannya. “Kenapa?” Suara dari arah pintu kamar membuat Waldi menoleh. Senyum lelaki itu langsung muncul ketika melihat Mila masuk ke kamar membawa nampan yang sudah terisi dengan makanan. “Nggak papa,” jawab Waldi masih dengan senyum yang sama. lelaki itu sedikit menggeser duduknya agar Mila bisa duduk di sampingnya, namun