Sebeluma akhirnya Mila memutuskan untuk menemui Waldi, ada banyak pertimbanga yang harus ia pikirkan. Setelah shalat dan berdoa meminta petunjuk kepada Allah, entah mengapa pikiran Mila langsung tertuju pada Waldi.“Aku ingin di posisi ini lebih lama sebelum kita ada di sidang perceraian besok,” kata Waldi, saat berada di dalam dekapan Mila yang selama ini ia rindukan. Waldi menangis di sana, ia tidak bisa menahan air matanya mengingat kebodohannya sampai membuat calon anak mereka tiada.Mila hanya diam. Tangan kanannya yang lembut dan mungil it uterus mengusap punggung suaminya yang lebar. Lagi-lagi Mila ingat besok adalah hari perceraian mereka. Keputusan terakhir sebelum berpisah secara agama dan negara.“Maafkan aku,” kata Waldi, lelaki itu tetap terus meminta maaf kepada Mila atas kesalahannya kemarin. Waldi sadar kesalahannya itu tidak bisa dimaafkan, tapi ia masih tetap berharap ada ruang kesempatan untuk dirinya memperbaiki semuanya.Mendengar kata maaf yang keluar dari mulut
“Kevin, lo kebiasaan banget sih taro handuk sembarangan kaya gini.” Pagi-pagi sekali rumah yang biasa sepi sekarang selalu dihiasi oleh teriakan melengking Zoya dengan permasalahan yang sama. setelah mandi Kevin kebiasaan menaruh handuk selalu di atas kasur sehingga membuat kasurnya basah.“Kenapa sih, sayang? Masih pagi ini marah-marah terus,” kata Kevin, berjalan sampai menghampiri Zoya seperti tidak ada dosa lelaki itu.“Udah berkali-kali aku bilang, handuk jangan taruh di kasur, nanti basah jadi jamuran.” Zoya berjalan ke kamar mandi untuk menaruh handuk itu pada tempatnya.“Marah-marah nih, nanti makin cantik gimana? Jangan-jangan kamu udah mau PMS ya, makanya moodnya naik turun gini?” Kevin menarik Zoya untuk duduk di pangkuannya. Masih dengan wajah yang ditekuk Zoya tidak mau menatap lelaki di depannya.“Wajahnya kok masih cemberut gitu sih, sayang?” Kevin mencoba membujuk Zoya supaya mau menatapnya, tapi hasilnya tetap gagal karena Zoya masih marah sama Kevin.“Lagian, harus b
“Bagaimana ini, Pak? Anak Bapak keterlaluan karena sudah melakukan perbuatan tidak menyenangkan,” ucap salah satu warga yang menggiring Mila dan lelaki tidak dikenal itu ke rumah orang tua Mila. “Nak, di sini saya sebagai orang tua Mila menunggu itikad baik kamu untuk menghalalkan anak saya segera,” kata Adra yang merupakan abi Mila. Adra sangat kecewa dengan perbuatan putrinya padahal Adra sangat membanggakan Mila di depan teman-temannya. “Abi, apa tidak sebaiknya kita cari tahu dulu kebenarannya?” Yalina—umi Mila— mulai angkat bicara karena tidak tega melihat anak gadisnya menangis meminta keadilan. “Umi, bukti sudah terlihat nyata di depan mata. Ada Mila dan lelaki asing ini beserta para saksi yang melihat mereka berdua berada di satu gubuk yang sama,” kata Adra. “Demi Allah, Umi, Mila tidak melakukan perbuatan tidak menyenangkan itu bersama lelaki itu.” “Abi harus percaya sama Mila. Mila tidak mungkin melakukan perbuatan itu, Abi. Apa lagi Mila tidak mengenal lelaki ini.”
Sekarang Mila sudah berada di kontrakan di mana Waldi tinggal membawa ikut serta baju dan barang-barangnya. Kontrakan yang luasnya tiga kali enam hanya memiliki satu kamar, kamar mandi, dan juga dapur. Hari itu juga setelah sah menjadi suami istri Waldi langsung membawa Mila ke kontrakannya. Tidak ada sedikitpun rasa gengsi menempatkan Mila di rumah yang hanya cukup untuk dua orang saja. “Ini kamarnya cuma satu?” “Iya. Cukup untuk kita berdua, tidak mungkin badan kamu yang kecil memakan tempat pada saat tidur,” jawab Waldi. “Tapi aku tidak mau tidur sama kamu,” ujar Mila, raut wajahnya penuh protes. Jika saja Mila tahu kamar di kontrakan yang Waldi tinggali hanya satu Mila tidak akan pernah mau ikut. Waldi berjalan ke arah Mila membuat gadis itu berjalan mundur sampai punggungnya membentur sebuah tembok. Waldi semakin mendekat sedangkan Mila sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa yang Mila lakukan hanya memejamkan mata saat dirinya dan Waldi hanya berjarak lima senti saja. “Tau ka
Mila terlihat sedang berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri koridor kampus yang sempat menjadi tempatnya menimba ilmu selama beberapa tahun. Mila datang ke kampus karena ada keperluan yang harus segera ia selesaikan. Namun, siapa sangka kedatangan Mila ke kampus malah bertemu dengan seorang laki-laki yang dulunya pernah menjadi ketua kelompok tugas kuliahnya. “Eh, kamu Mila ‘kan?” lelaki yang mempunyai paras tampan, putih, dan mempunyai lesung pipit itu menyapa Mila dengan ramah. Senyum yang terpancar selalu saja membuat hati para kaum hawa meleleh di saat itu juga. Mila menatap laki-laki di depannya dengan wajah bingung. Gadis itu mencoba untuk mengingat siapa sosok yang sedang berdiri di depannya. “Ya ampun, kamu Kevin ‘kan? Yang dulu pernah jadi ketua kelompok tugas kampus.” Lelaki bernama Kevin itu pun menganggukkan kepalanya. “Iya. Syukur lah kalau kamu masih ingat sama aku.” “Masya Allah, kita bisa bertemu lagi setelah beberapa tahun tidak berjumpa,” kata Mila. *** Pe
Mila merasa sifat Waldi berubah sejak perdebatan kemarin sekarang Mila menjadi merasa bersalah, namun ia sangat gengsi untuk meminta maaf yang terjadi di dalam rumah itu hanyalah dua orang yang saling diam. “Mila, aku ingin membicarakan sesuatu hal yang penting sama kamu.” Setelah lama diam akhirnya Waldi membuka suara. Mila yang sedang sibuk dengan ponselnya pun menatap Waldi yang sedang duduk tidak jauh dari tempat Mila duduk. Wanita itu meletakkan ponselnya untuk mendengarkan Waldi berbicara. “Besok kita harus pindah dari sini,” kata Waldi, masih dengan raut wajah yang sama datarnya. “Pidah? Tapi kenapa secepat ini?” Mila sangat terkejut dengan keputusan Waldi yang meminta pindah secara mendadak seperti ini padahal baru kemarin Mila menempati kos-kosan tersebut. Meskipun kecil, tapi Mila nyaman tinggal di sana. “Iya, karena dua minggu lagi aku akan menikah dengan Zoya,” ujar Waldi, tidak ada raut wajah lebih yang terlihat hanyalah raut wajah datar. “Apa?” dua kali Mila
“Sebenarnya kita mau kemana sih?”“Ikut saja jangan banyak bertanya.”Mila tidak suka dengan cara misterius Waldi yang seperti ini. Lelaki itu tiba-tiba saja datang dan langsung meminta Mila untuk bersiap, katanya mau diajak ke salah satu tempat, tapi lelaki itu tidak menjelaskan mau dibawa kemana dirinya. “Tidak usah terlalu rapi,” kata Waldi, ketika melihat Mila masuk ke dalam kamar. Mila memutuskan untuk pisah kamar dengan Waldi, gadis itu masih merasa kecewa dengan suaminya itu. Sekitar dua puluh menit lamanya Mila bersiap dan akhirnya gadis itu keluar dari kamar menggunakan flowery dress sage green dan tunik senada dijadikan outer dipadukan hijab berwarna putih membuat penampilan Mila yang sederhana terlihat sangat kece.“Sudah, ayo kita berangkat.” Mila berdiri di belakang Waldi yang sejak tadi setia menunggu dirinya bersiap. Perlahan Waldi memutar tubuhnya dan lelaki itu diam melihat kecantikan Mila yang terpancar. Seketika lelaki itu dibuat diam tidak bisa berkata-kata. Mi
Sejak kejadian semalam Mila dan Waldi masih saling diam, meskipun ke duanya sudah melewati sarapan bersama, tapi tetap saja masih ada rasa dingin di antara mereka berdua. “Aku tau kamu masih marah sama aku,” kata Waldi, mencoba memecah keheningan yang terjadi di antara mereka berdua. Waldi tidak mau terus seperti ini, ia ingin bisa lebih dekat dengan Mila agar bisa menebus kesalahannya karena sudah membawa Mila masuk ke dalam masalahnya. “Sampai detik ini aku nggak paham sama cara berpikir kamu,” kata Mila, masih terdengar dingin. Rasa kecewa tentu saja ada di dalam hati Mila, sebab ia harus membuang jauh cita-citanya hanya karena masuk ke dalam masalah orang lain. Sampai detik ini Mila masih bertanya-tanya, kesalahan apa yang sudah dia perbuat sehingga takdir hidupnya bisa rumit seperti sekarang. “Kalau kita tidak mencoba dekat bagaimana bisa memahami pola pikir masing-masing?” Waldi menggeser sedikit posisi duduknya agar lebih dekat dengan Mila. Namun, justru Mila yang menjauh t
“Kevin, lo kebiasaan banget sih taro handuk sembarangan kaya gini.” Pagi-pagi sekali rumah yang biasa sepi sekarang selalu dihiasi oleh teriakan melengking Zoya dengan permasalahan yang sama. setelah mandi Kevin kebiasaan menaruh handuk selalu di atas kasur sehingga membuat kasurnya basah.“Kenapa sih, sayang? Masih pagi ini marah-marah terus,” kata Kevin, berjalan sampai menghampiri Zoya seperti tidak ada dosa lelaki itu.“Udah berkali-kali aku bilang, handuk jangan taruh di kasur, nanti basah jadi jamuran.” Zoya berjalan ke kamar mandi untuk menaruh handuk itu pada tempatnya.“Marah-marah nih, nanti makin cantik gimana? Jangan-jangan kamu udah mau PMS ya, makanya moodnya naik turun gini?” Kevin menarik Zoya untuk duduk di pangkuannya. Masih dengan wajah yang ditekuk Zoya tidak mau menatap lelaki di depannya.“Wajahnya kok masih cemberut gitu sih, sayang?” Kevin mencoba membujuk Zoya supaya mau menatapnya, tapi hasilnya tetap gagal karena Zoya masih marah sama Kevin.“Lagian, harus b
Sebeluma akhirnya Mila memutuskan untuk menemui Waldi, ada banyak pertimbanga yang harus ia pikirkan. Setelah shalat dan berdoa meminta petunjuk kepada Allah, entah mengapa pikiran Mila langsung tertuju pada Waldi.“Aku ingin di posisi ini lebih lama sebelum kita ada di sidang perceraian besok,” kata Waldi, saat berada di dalam dekapan Mila yang selama ini ia rindukan. Waldi menangis di sana, ia tidak bisa menahan air matanya mengingat kebodohannya sampai membuat calon anak mereka tiada.Mila hanya diam. Tangan kanannya yang lembut dan mungil it uterus mengusap punggung suaminya yang lebar. Lagi-lagi Mila ingat besok adalah hari perceraian mereka. Keputusan terakhir sebelum berpisah secara agama dan negara.“Maafkan aku,” kata Waldi, lelaki itu tetap terus meminta maaf kepada Mila atas kesalahannya kemarin. Waldi sadar kesalahannya itu tidak bisa dimaafkan, tapi ia masih tetap berharap ada ruang kesempatan untuk dirinya memperbaiki semuanya.Mendengar kata maaf yang keluar dari mulut
Satu bulan telah berlalu, kondisi Mila yang semakin membaik setiap harinya membuat Yalina dan Adra senang dengan perkembangan itu. Sejak pulang dari rumah sakit, Mila sudah kembali tinggal bersama orang tuanya, sementara Waldi tinggal di rumah sendiri. Selama satu bulan itu Mila tidak tahu bagaimana kondisi Waldi dan tidak mau tahu juga. Rasa sakitnya masih terasa mendalam sampai saat ini.“Mila, besok adalah putusan sidang perceraian kalian. Apakah kamu yakin dengan keputusan ini?” tanya Adra kepada sang putri untuk mendapatkan jawaban sekali lagi yang lebih meyakinkan. Mila tetap memutuskan untuk berpisah dengan Waldi, karena ia merasa sudah tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.“Mila yakin, Abi. Mila tahu, perceraian tidak diajarkan dalam agama kita, tapi jika terus dipaksa bersama maka Mila yang terus mendapatkan dosa,” jelas Mila. Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat lagi.“Apakah kamu tahu bagaimana kondisi Waldi selama satu bulan terakhir ini?” tanya Adra lagi.Mila menggele
Pagi-pagi sekali ke dua orang tua Kevin berkunjung ke rumah, sebenarnya mereka berdua ingin berangkat ke kantor karena arah yang sama jadi mampir lebih dulu ke rumah anak mereka.“Wah, wah, ada apa gerangan ini kok pagi-pagi udah keramas aja, barengan lagi,” celetuk Heros pada saat melihat Zoya dan Kevin rambutnya sama-sama basah.Mendengar ucapan papa mertuanya membuat ke dua pipi Zoya merah merona karena malu.“Papa ini seperti tidak pernah merasakan jadi pengantin baru saja,” kata Anya, sambil menyenggol pelan siku sang suami.“Sepertinya sebentar lagi kita akan menimang cucu, Mah,” kata Heros, penuh semangat.“Apa sih, Pah,” ujar Kevin, meminta ke dua orang tuanya untuk berhenti menggodanya.Kevin tidak tahan melihat ke dua pipi Zoya yang sudah merah, ingin rasanya Kevin menangkup ke dua pipi itu menggunakan tangan besarnya lalu memberi sedikit cubitan. Namun, sayangnya ke dua orang tua mereka masih ada di sana.“Mama sama Papa tumben main ke sini nggak bilang-bilang dulu?” tanya
Malam ini untuk pertama kalinya Zoya dan Kevin menempati kamar utama yang sudah sejak lama Kevin siapkan untuk istrinya nanti. Kamar yang menjadi saksi pergulatan panas mereka tadi siang yang akhirnya membawa ke duanya pada hubungan rumah tangga yang semakin erat.“Vin, lampunya nggak akan lo matiin, ‘kan?” tanya Zoya wajahnya penuh rasa takut terakhir kali lampu kamar dimatikan saat tidur, paginya Zoya demam sampai di bawa ke rumah sakit.“Kalau pakai lampu tidur aja gimana?” tanya Kevin.Zoya nampak berpikir lalu pada akhirnya mengangguk. “Boleh. Tapi lo tidurnya jangan jauh-jauh dari gue ya, gue takut gelap.”Kevin terkekeh pelan. “Dengan senang hati aku akan memberikan pelukan hangat, sayang.”“Ih, aku kamu? Kok gue geli ya dengerinya,” kata Zoya wajahnya terlihat tidak nyaman dengan panggilan baru itu. Wajar saja Zoya belum terbiasa, karena memang keseharian mereka hanya memanggil lo dan gue.“Loh, kenapa harus geli? Kita kan sudah suami istri, emang kamu nggak mau kehidupan rum
Keluarga Waldi dan Mila sudah sampai di rumah sakit, ketika diberi tahu Mila mengalami kecelakaan tentunya mereka syok berat bahkan Yalina sempat tidak sadarkan diri di rumah. “Kamu keterlaluan, Waldi!” Jeff murka setelah Waldi menjelaskan semuanya. Menurut Jeff, apa yang dilakukan Waldi memang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia.Jeff memutuskan untuk duduk supaya emosinya reda dari pada ia menjadi pusat perhatian karena membuat keributan di rumah sakit.“Setelah anakku keluar dari rumah sakit, ceraikan dia!” perintah Adra. Lelaki itu juga naik pitam karena cinta putri semata wayangnya dikhianati oleh Waldi. Waldi yang sebelumnya sudah mendapatkan restu dari keluarga, tapi dengan mudahnya mengkhianati begitu saja.“Abi, Waldi mohon beri satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya. Semua yang kalian dengar tidak seperti yang kalian kira,” kata Waldi, lelaki itu mencoba untuk meluruskan masalah, tapi semuanya sudah terlanjur berantakan.“Apa lagi yang mau kamu perbaiki, Wa
Sekarang Kevin dan Zoya sudah berada di rumah sendiri. Akhirnya bisa lepas dari pertanyaan ‘kapan punya momongan?’ dari orang tuanya sendiri. Jika mendengar pertanyaan yang sama lagi dari orang tuanya, Zoya ingin menenggelamkan diri saja di sungai Amazon.“Woy, lagi ngelamun in apa?” tanya Kevin yang tiba-tiba saja membawa banyak cemilan di tangannya.“Ih, apa itu? Gue mau dong.” Zoya menatap penuh minat jajanan di tangan Kevin.“Dih, ambil sendiri lah,” kata Kevin, sambil menyembunyikan jajanan yang ia bawa tadi.“Nggak usah pelit sama istri sendiri.” Zoya merebut paksa jajanan yang ada di tangan Kevin. Raut wajah kemenangan Zoya langsung terpancar jelas.“Malah ngalah mengalah aja lo baru sadar udah punya suami. Tapi lo lupa tugas sebagai istri itu apa aja,” kata Kevin, sambil membersihkan sisa-sisa micin di tangannya.“Bodo.” Lalu Zoya meninggalkan Kevin dan tidak lupa membawa jajanan yang sudah berhasil ia rampas tadi.Kevin yang ditinggalkan begitu saja pun merasa kesal dan marah
“Halo.”Mila begitu tenang mengangkat telepon, meskipun itu dari seorang perempuan yang sudah menghancurkan keluarga kecilnya.“Maaf, ini siapa ya?” tanya seseorang di seberang sana.“Saya istrinya,” jawab Mila, nada bicaranya masih terdengar tenang.“Saya ingin bicara sama Pak Waldi, apakah beliau ada?”“Siapa?” tanya Waldi tanpa suara hanya melalui gerakan mulutnya.Tanpa menjawab, Mila langsung memberikan ponsel itu kepada Waldi supaya lelaki itu bisa tahu sendiri. Saat Waldi hendak pergi, Mila menahan meminta lelaki itu berbicara di depannya. Waldi tidak punya pilihan sekali menuruti keinginan Mila.“Iya, kenapa, Sonya?” tanya Waldi nadanya sangat ramah sekali.Mendengar nada bicara Waldi kepada perempuan itu membuat Mila tersenyum sinis. Meskipun hati Mila teramat sakit, tapi ia mencoba untuk menjadi perempuan yang tenang.“Apa, kran kamar mandi di apartemen kamu rusak?”“Sewa saja orang untuk membetulkannya,” kata Mila, pelan.“Em, saya tidak bisa ke sana sekarang, karena masih
Keesokan paginya, tepatnya pada jam setengah enam subuh, Zoya nyaris berteriak saat melihat Kevin sedang melaksanakan sholat subuh. Zoya pikir Kevin adalah sosok hantu yang sedang berdiri, sebab penerangan yang remang-remang membuatnya hampir salah sangka.“Udah bangun?” tanya Kevin sambil melipat kembali sajadah yang baru saja ia pakai shalat subuh. Setelah itu Kevin melepas peci dan juga baju koko. Dari mana lelaki itu mendapat baju koko?“Baju koko siapa yang lo pake?” tanya Zoya dengan suara serak.“Bajunya Papa,” jawab Kevin.Zoya menganggukkan kepalanya lalu kembali memejamkan mata ingin melanjutkan tidur.“Kenapa lo nggak bangunin gue buat shalat?” tanya Zoya dengan mata terpejam.“Gue nggak mau maksa lo. Gue tau lo belum terbiasa,” jawab Kevin, santai.Zoya merasa malu, karena selama ini memang jarang sekali shalat, bahkan dalam satu tahun bisa dihitung pakai jari.“Lain kali ajarin gue shalat, gue juga pengen belajar bisa shalat lima waktu dalam satu hari,” kata Zoya.“Lo ngg