Sejak kejadian semalam Mila dan Waldi masih saling diam, meskipun ke duanya sudah melewati sarapan bersama, tapi tetap saja masih ada rasa dingin di antara mereka berdua.
“Aku tau kamu masih marah sama aku,” kata Waldi, mencoba memecah keheningan yang terjadi di antara mereka berdua. Waldi tidak mau terus seperti ini, ia ingin bisa lebih dekat dengan Mila agar bisa menebus kesalahannya karena sudah membawa Mila masuk ke dalam masalahnya.
“Sampai detik ini aku nggak paham sama cara berpikir kamu,” kata Mila, masih terdengar dingin. Rasa kecewa tentu saja ada di dalam hati Mila, sebab ia harus membuang jauh cita-citanya hanya karena masuk ke dalam masalah orang lain. Sampai detik ini Mila masih bertanya-tanya, kesalahan apa yang sudah dia perbuat sehingga takdir hidupnya bisa rumit seperti sekarang.
“Kalau kita tidak mencoba dekat bagaimana bisa memahami pola pikir masing-masing?” Waldi menggeser sedikit posisi duduknya agar lebih dekat dengan Mila. Namun, justru Mila yang menjauh tidak mau didekati.
Waldi menghela napas kasar, ada rasa kecewa karena Mila menjauhinya.
“Apa kita tidak coba untuk lebih mengenal satu sama lain?” usul Waldi.
“Aku ke belakang dulu mau cuci piring.” Mila beranjak dari tempat duduknya membawa piring kotor bekas sarapan pagi tadi.
Lagi-lagi Waldi hanya bisa menghela napasnya kasar. Mila benar-benar belum ingin berdamai. Usaha Waldi tidak sampai disitu saja, lelaki itu menyusul Mila ke dapur berdalih ingin membantu Mila mencuci piring.
“Biar aku bantu.” Waldi mengambil alih spons cuci piring dari genggaman Mila. Mila memberikan tatapan peringatan, namun Waldi tidak mempedulikan.
“Sampai kapan kamu membawaku ke dalam masalahmu? Aku juga manusia yang punya batas kesabaran.” Raut wajah Mila tidak teduh seperti biasanya yang ada hanyalah kekecewaan yang begitu mendalam. Mila tidak bisa hidup di dalam lingkungan yang memang tidak bisa menerimanya.
“Mila, biarkan aku menyelesaikan masalah ini sendirian. Aku juga sedang berusaha agar tidak melibatkan kamu dalam masalah ini.”
Mila menggelengkan kepalanya. “Tidak melibatkan aku dalam masalahmu? Kamu sadar tidak dari awal kamu sudah membawaku ke dalam masalahmu padahal aku tidak tahu apa masalah yang sebenarnya.”
“Mila, aku mohon tetap lah berada di sisiku. Saat ini aku sedang berusaha untuk keluar dari paksaan Mama.”
“Bagaimana kamu bisa keluar dari paksaan Mama kalau kamu saja tidak bisa mengambil keputusan yang tepat.”
“Keputuan tepat apa yang kamu maksud?”
“Lepaskan aku jika kamu lebih memilih perempuan itu. Hatiku tidak semulia itu mengizinkan kamu menikah lagi.” setiap kata yang terucap dari bibir Mila penuh ketegasan. Mila bukan perempuan bodoh yang bisa dimanfaatkan begitu saja, Mila adalah perempuan berpendidikan yang tahu di mana letak harga dirinya. Mila tidak akan pernah bisa terima jika suaminya mempunyai dua istri, meskipun ia tahu islam memperbolehkan poligami.
Mendengar perkataan Mila membuat Waldi diam seribu bahasa. Kata-kata itu yang sebenarnya membuat Waldi takut, ia tahu Mila juga punya batas kesabaran dan Waldi sedang berusaha membuktikan bahwa ia bisa mengambil keputusan yang tepat tanpa berpisah dengan Mila.
“Mila, tolong beri aku kesempatan.” Waldi memohon agar tidak ditinggalkan.
“Buktikan! Jangan banyak janji apa lagi sumpah.” Kemudian Mila melenggang pergi. Wanita itu memutuskan untuk masuk ke kamar, mengurung diri agar tidak ada satu orang pun yang bisa mengganggunya.
Sementara Waldi menyelesaikan cuci piringnya dan membereskan dapur serta menyusun kembali bahan makanan yang ada di dalam kulkas sehingga terlihat lebih rapi dari sebelumnya.
***
Setelah selesai shalat isya Mila tetap duduk sila di atas sajadahnya. Gadis itu menengadahkan tangannya di hadapan Allah dengan air mata yang mengalir di ke dua pipinya sambil memanjatkan doa supaya dirinya diberikan kelapangan hati dan juga kesabaran yang luas. Mila hanya manusia biasa yang sering merasa lelah ketika menghadapi kesulitan duniawi dan sekarang ia merasa lelah.
“Ya Allah, aku tahu ini semua sudah takdir yang Engkau tuliskan untukku. Engkau memberiku ujian ini karena Engkau tahu aku mampu melewatinya. Ya Allah, berikanlah aku hati yang lapang untuk memaafkan orang-orang yang membenciku. Aku tidak mau ada dendam karena aku tahu Engkau tidak menyukai orang pendendam. Aamiin.”
Setelah selesai berdoa Mila pun melepaskan mukenanya, setelah itu ia berniat untuk langsung istirahat, namun suara ketukan pintu membuat Mila mengurungkan niatnya.
“Siapa?” Mila bertanya terlebih dahulu untuk memastikan sebelum akhirnya membuka pintu.
“Ini aku, Waldi.”
Mila buru-buru memakai kerudungnya sebelum membuka pintu kamar. Ia tahu membuka kerudung di depan Waldi sebenarnya sudah boleh, tapi Mila belum siap.
“Sebentar.”
Mila pun membuka pintu kamar dengan wajah datar seperti biasa. Mila masih merasa kecewa karena Waldi membawanya ke dalam masalah. Waldi juga sudah menghancurkan mimpinya untuk melanjutkan kuliah S-2.
“Makan malam sudah siap,” kata Waldi, dengan suara pelan.
“Aku tidak lapar, kamu saja yang makan.”
“Ada Umi dan Abi di depan.”
Wajah Mila langsung terlihat perubahannya. Bagaimana bisa umi dan abinya datang ke rumah tanpa memberitahu dirinya? Atau jangan-jangan ….
“Tadi aku yang mengundang mereka untuk datang ke sini,” jelas Waldi.
Dugaan Mila benar, ternyata Waldi yang sudah memberi tahu keberadaan rumah mereka. Yang Mila tidak suka dari Waldi, lelaki itu suka sekali mengambil keputusan tanpa berdiskusi.
“Kenapa kamu tidak tanyakan dulu kepadaku? bagaimana jika nanti Umi dan Abi tahu masalah kita?”
“Aku laki-laki sejati yang tidak akan pernah kabur dari masalah. Aku akan menjelaskan kepada mereka dan meyakinkan mereka bahwa aku bisa menjaga putrinya.” Dengan mantap dan percaya diri Waldi mengucapkannya.
“Jangan terlalu percaya diri, Abi tidak semudah itu dibujuk apa lagi kalau sudah menyangkut putrinya yang disakiti oleh lelaki terlebih suaminya sendiri. Jika Abi tahu sudah pasti Abi akan membawaku keluar dari rumah ini.” Mila tahu bagaimana sifat abinya.
Waldi menggeleng tegas. “Tidak, tidak akan aku biarkan Abi membawamu keluar dari rumah ini, Mila! Aku akan tunjukkan kepada mereka bahwa aku ini bisa menjaga putrinya dengan baik.”
“Buktikan!” kemudian Mila melenggang pergi untuk menemui Umi dan juga Abinya.
Yalina dan Adra tersenyum ketika melihat putri kesayangannya datang dengan raut wajah bahagia. Yalina langsung memeluk dan mencium putrinya, begitu juga dengan Adra.
“Umi dan Abi datang tidak bilang sama Mila dulu,” kata Mila, dengan raut wajah merajuk lucu.
Yalina dan Adra terkekeh pelan melihat wajah imut putrinya yang selama ini mereka rindukan.
“Sengaja kami hanya memberi tahu Waldi karena kami ingin memberikan kejutan untuk kamu,” jelas Yalina.
“Syukurlah setelah menikah dengan Waldi kamu dibawa ke rumah yang sangat layak menurut Umi dan Abi. Setelah kamu menikah, jujur saja kami tidak tenang selalu memikirkan bagaimana tempat tinggal kamu dan masih banyak hal lain,” kata Adra. Sudah wajar terjadi orang tua mempunyai rasa khawatir berlebih terhadap putrinya, terlebih lagi menyangkut masalah rumah dan fasilitas.
“Umi dan Abi tidak perlu khawatir, sebisa mungkin saya akan memberikan kenyamanan untuk Mila.” Waldi menyahut dari belakang. Lelaki itu membawakan beberapa cangkir teh untuk mertuanya, untuk dirinya, dan juga untuk Mila supaya bisa menjadi teman ngobrol yang santai.
Pertemuan itu berlangsung dengan baik, tidak ada perdebatan atau pembahasan yang membuat Mila tidak nyaman. Setelah Yalina dan Adra pamit pulang, Mila langsung masuk ke kamar untuk istirahat.
Mila memutuskan keluar sebentar untuk menghilangkan beban pikirannya. Mila berada di salah satu café yang letaknya tidak jauh dari perumahan di mana ia tinggal. Mila merasa sepi setelah menikah dengan Waldi ada saja masalah yang harus dia hadapi. Menyendiri adalah cara terbaik agar Mila merasa lebih baik. “Mila.”Suara itu membuat Mila langsung menoleh ke belakang untuk mencari sumber suara. Setelah melihat sosoknya Mila pun langsung tersenyum dan mempersilahkan lelaki itu untuk duduk di mejanya.“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya Kevin karena lelaki itu tahu rumah Mila cukup jauh dari perumahan itu. “Sekarang aku tinggal di sini,” jawab Mila. “Wah, kebetulan sekali rumahku juga tidak jauh dari sini,” kata Kevin. “Benarkah?” tanya Mila guat senyum mulai terlihat di wajahnya. Mila dan Kevin pun berbincang ringan dan sesekali tertawa membahas masa kuliah mereka. Setidaknya pertemuan Mila dengan Kevin bisa membuat hati gadis itu sedikit membaik. “Suamimu tidak ikut?” tanya Kevin
Tiga hari sebelum pernikahan Waldi dan Zoya. Hubungan antara Waldi dan Mila semakin renggang, apa lagi semenjak Irana datang ke rumah dan menginginkan pernikahan itu dipercepat. Mila tidak melihat upaya Waldi membantah, lelaki itu nurut saja seperti tidak punya pendirian. Mila kesal sekaligus jengkel karena sudah dibawa ke dalam masalah Waldi. “Mila.” Waldi menahan Mila ketika gadis itu hendak pergi ketika dirinya ingin menghampiri. Wajah Waldi terlihat sedih karena beberapa hari ini Mila selalu menghindar darinya. “Duduk lah dulu, ada yang mau aku bicarakan,” kata Waldi, dengan lembut. Mila yang awalnya ingin pergi menghindar pun mengurungkan niatnya. Gadis itu kembali duduk di tempat semula menunggu Waldi berbicara. “Beberapa hari ini aku lihat kamu menghindar dari aku, apa yang salah?” tanya Waldi tatapannya memperlihatkan kesedihan yang selama ini Waldi pendam. “Kamu masih bertanya?” bukannya menjawab justru Mila melayangkan pertanyaan. Apakah lelaki itu tidak ada sedikit ra
Sejak pagi tadi sampai malam seperti ini Waldi masih berada di dalam kamar karena masih sering mengeluh kepalanya sakit. Makan malam kali ini cukup berbeda, yang biasanya makan di meja makan tapi kali ini Mila membawa makan malam ke kamar Waldi sesuai dengan perintah lelaki itu. Selama Mila berada di dapur untuk menyiapkan makan malam Waldi merenung di dalam kamar. Lelaki itu masih memikirkan mimpi yang ia alami selama tidur tadi. Mimpi yang begitu nyata seolah-olah akan terjadi dalam waktu dekat. Apa lagi pada saat mertuanya marah ketika mengetahui putri semata wayangnya akan dimadu. Waldi menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menghilangkan mimpi itu dari pikirannya. “Kenapa?” Suara dari arah pintu kamar membuat Waldi menoleh. Senyum lelaki itu langsung muncul ketika melihat Mila masuk ke kamar membawa nampan yang sudah terisi dengan makanan. “Nggak papa,” jawab Waldi masih dengan senyum yang sama. lelaki itu sedikit menggeser duduknya agar Mila bisa duduk di sampingnya, namun
Waldi kembali merasakan takut yang persis seperti di dalam mimpinya kemarin, namun kali ini benar-benar nyata. Sekarang Adra sedang duduk tepat di depan Waldi dengan mata merah. Sudah hampir sepuluh menit tidak ada percakapan di antara ke duanya, Waldi hanya bisa menunduk mempersiapkan diri untuk mendapatkan amukan dari Adra. “Jelaskan apa yang sedang Abi pegang ini, Waldi!” perintah Adra, sambil melemparkan selembaran kertas undangan yang sengaja dibawa dari rumah. Mila yang juga ikut duduk di ruang tamu pun hanya bisa diam melihat kemarahan sang abi. Selama Mila hidup, ia tidak pernah melihat abinya semarah ini. Karena Adra memang dikenal sebagai sosok laki-laki yang lemah lembut terhadap perempuan. “Apa yang Abi baca memang benar, itu nama saya dan perempuan yang dipilihkan oleh orang tua saya untuk saya,” jelas Waldi, dengan suara bergetar. “Lalu kamu ingin menikah untuk yang ke dua kalinya? Bagaimana dengan putriku?” Adra masih berusaha untuk sabar karena ia tidak ingin marah
“Waldi, apa kamu sudah gila?! Apa yang merasukimu sampai-sampai merusak undangan sebanyak ini?” Irana berteriak histeris melihat ratusan lembar undangan yang sudah terkoyak tidak berdaya di atas lantai keramik yang dingin. Mendengar jeritan sang mama, Waldi hanya melirik sekilas tanpa minat. Waldi benar-benar lelah dengan segala paksaan yang dialami setiap harinya. “Sudah berkal-kali Waldi katakan, Waldi tidak mau menikah dengan perempuan itu Ma!” kali ini Waldi berani membantah, untuk ke dua kalinya setelah lelaki itu pergi dari rumah. Masalah ancaman sang mama akan bunuh diri sudah tidak ia pedulikan lagi, demi kebahagiaan dan juga masa depan ada di tangannya sendiri. “Kamu sudah berani melawan Mama?!” Ke dua mata Irana melotot penuh emosi mendengar ucapan Waldi beberapa detik yang lalu. “Mama nggak mau tahu pokoknya kamu harus menikah dengan Zoya!” Irana memang sosok perempuan yang keinginannya tidak bisa dibantah. Waldi berdiri dari tempatnya duduk, lelaki itu berjalan pelan
Keesokan paginya. Waldi mengerjabkan matanya ketika ia merasakan ada sesuatu yang besar menimpa tubuhnya. Terakhir Waldi mengingat dirinya sedang berada di bar untuk pertama kalinya dan untuk pertama kalinya juga Waldi merasakan mabuk. Waldi memutuskan minum-minuman haram itu karena ia merasa tertekan dan stres yang yang sudah menumpuk cukup lama ditambah lagi kepergian Mila membuatnya semakin tidak karuan. Waldi melihat ada sebuah tangan mungil yang memegang handuk kecil berwarna putih. Lelaki itu semakin bertanya-tanya siapa sosok itu dan mengapa ia bisa bersama dengan sosok itu. Waldi langsung bersitighfar di dalam hati, semalam Waldi benar-benar tidak ingat apa yang sudah dilakukan. Tatapan mata Waldi jatuh pada sebuah kerudung yang menjuntai, lelaki itu memberanikan diri untuk melihat siapa sosok berhijab yang sedang berada di atasnya. “Mila.” Ke dua mata Waldi melotot ketika melihat Mila tidur di atas tubuhnya. Waldi mencoba untuk tidak banyak gerak karena ditakutkan Mila ak
Setelah selesai sarapan, Waldi dipanggil Adra ke depan, tepatnya di ruang tamu untuk bicara empat mata. “Bagaimana, apakah kamu sudah bisa memutuskan?” tanya Adra langsung pada intinya karena lelaki itu tidak mau berbelit-belit dalam masalah ini sebab kebahagiaan sang putri perlu dipertanyakan jika Waldi tetap berusaha ingin bersama Mila. “Sudah Abi, hanya saja Mama saya masih bersikeras untuk melangsungkan pernikahan itu,” kata Waldi, masih tetap tidak berani menatap mata sang mertua karena di sana terdapat tatapan tajam seperti busur panah yang siap membidik lawannya. Adra menganggukkan kepalanya paham, namun tetap saja Adra masih ragu dengan Waldi. “Semalam kamu kenapa?” tanya Adra. “Mabuk tidak menyelesaikan masalah, Waldi. Saya sempat meragukan kamu dalam urusan akhlak dan agama, tapi untung saja Umumu meyakinkan Abi,” sambung Adra berbicara tentang keraguannya terhadap Waldi. “Maafkan saya, Abi. Sungguh, demi Allah, yang semalam itu adalah pengalaman pertama dan terakhir sa
Hari di mana seharusnya pernikahan itu terjadi.Pagi tadi Waldi sudah kembali ke rumahnya, seperti dugaannya rumahnya penuh dengan orang. Zoya juga sudah rapi memakai gaun pengantin beserta dengan riasannya.“Dari mana saja kamu Waldi, kenapa baru datang semua orang sudah menunggu kamu di dalam.” Irana menghampiri sang putra dengan raut wajah marah. Irana malu karena sudah membuat para tamu undangan menunggu. Acara yang sudah dibatalkan Waldi ternyata tetap tidak mempan.“Waldi sudah bilang tidak mau menikah dengan Zoya, Mah. Kenapa Mama masih memaksa? Jika Mama tetap memaksa kenapa tidak Maa sendiri saja yang menikah dengan Zoya? Waldi lelah Mah terus menerus dipaksa seperti ini,” kata Waldi, yang sudah lelah dengan semua tingkah sang mama yang sangat pemaksa. Waldi tidak peduli di sana banyak orang, justru malah disengaja supaya semua orang tahu yang sebenarnya.Banyak bisik-bisik tidak enak terdengar sampai ke telinga Irana, wanita itu sangat malu dan seperti tidak ada muka di hada