Mila memutuskan keluar sebentar untuk menghilangkan beban pikirannya. Mila berada di salah satu café yang letaknya tidak jauh dari perumahan di mana ia tinggal. Mila merasa sepi setelah menikah dengan Waldi ada saja masalah yang harus dia hadapi. Menyendiri adalah cara terbaik agar Mila merasa lebih baik.
“Mila.”
Suara itu membuat Mila langsung menoleh ke belakang untuk mencari sumber suara. Setelah melihat sosoknya Mila pun langsung tersenyum dan mempersilahkan lelaki itu untuk duduk di mejanya.
“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya Kevin karena lelaki itu tahu rumah Mila cukup jauh dari perumahan itu.
“Sekarang aku tinggal di sini,” jawab Mila.
“Wah, kebetulan sekali rumahku juga tidak jauh dari sini,” kata Kevin.
“Benarkah?” tanya Mila guat senyum mulai terlihat di wajahnya.
Mila dan Kevin pun berbincang ringan dan sesekali tertawa membahas masa kuliah mereka. Setidaknya pertemuan Mila dengan Kevin bisa membuat hati gadis itu sedikit membaik.
“Suamimu tidak ikut?” tanya Kevin yang sudah mulai keluar dari pembahasan masalah masa kuliah mereka.
“Tidak, dia sedang ada urusan.” Hanya alibi Mila saja, padahal tadi sebelum Mila berangkat Waldi sedang bersiap ingin keluar juga bersama Zoya. Itu lah sebabnya Mila lebih memilih keluar dari rumah karena tidak mau berdebat sengit dengan Zoya.
“Sepertinya suamimu sangat sibuk sekali,” ujar Kevin.
Mila terkekeh pelan mendengar ucapan Kevin. “Kalau dia tidak sibuk aku mau makan apa? Dan mau tinggal di mana?”
Mendengar candaan Mila membuat Kevin tertawa. Kevin tidak menyangka ternyata Mila adalah seorang pelawak yang dibalut wajah serius.
“Ohhh, jadi ini yang katanya istri sholehah?”
Suara itu langsung membuat suasana hati Mila berantakan dan membuat Kevin bingung.
“Maaf, anda ini siapa? Tiba-tiba datang dan langsung berkata seperti itu? Apa anda tidak pernah diajari sopan santun sama orang tua?” Kevin yang tersulut emosinya sudah tidak mempedulikan lagi ucapannya.
“Heh, seharusnya lo itu nanya sama dia! Katanya perempuan yang paham agama, berpendidikan pula, tapi ternyata murahan juga.” Zoya memang benar-benar tidak punya filter sebelum berucap.
Mila masih sabar, ia menunggu ucapan apa lagi yang akan Zoya lontarkan untuknya. Mila terlihat tenang, karena jika ia marah maka dirinya menilai tidak ada bedanya dengan Zoya.
“Kenapa diem? Mati kutu ya udah kepergok lagi jalan sama cowok lain? Gue heran deh kenapa Waldi lebih milih lo yang udah jelas-jelas murahan ketimbang gue yang udah jelas setia sama dia. Gue rasa lo pakai pemikat ya biar dia tergila-gila sama lo?” Zoya semakin ngawur ucapannya, bahkan sudah sampai pada titik fitnah.
“Jaga ucapan anda! Anda ini sudah keterlaluan, fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan.” Justru Kevin yang angkat bicara.
“Lo siapa sih? Gue nggak ada urusan ya sama lo.”
“Kevin, cukup! Kamu nggak ada masalah sama dia, biar aku aja yang hadapi dia,” kata Mila, penuh percaya diri. Kondisi hati Mila sudah sedikit tenang, dengan begitu otaknya bisa berpikir jernih ketika menghadapi Zoya.
“Nggak ada kesibukan lain selain mengurusi hidup orang lain? atau perlu aku jadiin kamu sebagai manajer supaya bisa tahu semua jadwal harianku?” nada bicara Mila terdengar sangat tenang sampai membuat Kevin salut.
Wajah Zoya berubah marah karena tanggapan Mila yang terlalu meremehkannya.
“Nggak usah ngelak deh, gue nggak tertipu sama wajah polos lo itu. Pergi tinggalin Waldi sebelum semua orang tahu kebusukan lo.”
“Yakin? Bukannya seharusnya kamu ya yang takut?” Mila tidak kalah menantang.
Zoya menjadi kesal sendiri menghadapi Mila yang terlihat tenang. Padahal Zoya berharap Mila akan terpancing dan berakhir mempermalukan Mila, tapi ini malah sebaliknya.
“Kenapa? Seharusnya tidak perlu marah, karena anda mencari lawan yang salah,” kata Kevin, tersenyum miring penuh kepuasan.
Zoya semakin kesal dan marah dan kemudian melenggang pergi meninggalkan café tersebut. Untung saja Waldi tidak ikut, jika ikut maka Zoya akan semakin malu.
“Siapa dia?” tanya Kevin yang sudah penasaran sejak tadi. Ke duanya kembali duduk untuk memulai perbincangan santai.
“Aku tidak tahu dari mana dia berasal, tahu-tahu sibuk mencari kesalahan orang lain,” jawab Mila, masih dengan nada yang santai.
“Kevin, sepertinya aku harus langsung pulang ada beberapa pekerjaan yang belum selesai di rumah,” kata Mila, gadis itu membereskan barangnya dan memasukkan ke dalam tas.
“Perlu aku antar?” tanya Kevin.
“Terima kasih, tapi aku bisa pulang sendiri. Permisi, wassalamualaikum.” Mila pun pergi dari café itu seorang diri. Sementara Kevin masih berada di tempat yang sama menatap punggung Mila yang semakin menjauh.
***
“Pokoknya ini nggak bisa dibiarin Tante! Lama-lama perempuan itu akan meracuni otak Waldi dan membuat Waldi menjadi membenci Tante,” kata Zoya, yang ternyata pulang dari café langsung pergi ke rumah orang tua Waldi dan mengadukan kejadian tadi.
“Selama ini Tante juga sudah curiga kalau si Mila itu sebenarnya mau menguasai harta Waldi.” Irana yang memang mudah terpancing emosi pun ikut ke dalam permainan Zoya.
“Nah, jadi tunggu apa lagi Tante? Percepat tanggal pernikahan aku sama Waldi sebelum semuanya terlambat.”
“Kamu benar Zoya, Mila tidak bisa dibiarkan begitu saja dia harus tersingkir secepatnya,” kata Irana.
Zoya tersenyum puas mendengar ucapan Irana.
Sesampainya di rumah Mila langsung mengganti pakaiannya dengan baju rumahan. Saat ini Mila sedang berada di dapur untuk mencari minuman dingin. Cuaca di luar sangat lah panas membuat Mila kehausan padahal jarak antara café dan rumah tidak terlalu jauh.
“Dari mana saja kamu?”
Suara dari arah belakang membuat Mila terkejut dan langsung menoleh ke arah sumbar suara.
“Dari café,” jawab Mila, singkat. Mila membawa gelas yang sudah ia isi dengan es dan air sirup sebelumnya kemudian dia duduk di meja makan menikmati minuman yang sudah ia buat.
“Sama laki-laki itu lagi?” sorot mata Waldi jelas menggambarkan bahwa laki-laki itu tidak suka.
“Kita berdua tidak sengaja bertemu,” kata Mila, mencoba menjelaskan. Melihat raut wajah Waldi saja Mila sudah tahu sebenarnya Waldi sangat tidak suka dengan Kevin.
“Sangat kebetulan sekali ya?” sindir Waldi, terdengar semakin tidak suka. Waldi ikut duduk di kursi meja makan tepatnya bersebelahan dengan tempat duduk Mila.
“Bukannya kamu juga baru saja jalan sama Zoya, ya?” kali ini giliran Mila yang menyindir Waldi, nadanya memang terdengar santai, tapi begitu menusuk.
“Tidak jadi, aku ada urusan mendadak,” jawab Waldi, terdengar ketus.
Mila hanya mengakngguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia paham dengan penjelasan Waldi. Sebenarnya Mila juga tidak peduli, hanya saja Mila tidak suka jika Waldi terlalu curiga. Kevin hanyalah teman semasa kuliahnya, tidak seharusnya Waldi bersikap seperti itu.
Tidak berselang lama terdengar suara mobil yang berhenti di depan, Waldi dan Mila langsung keluar untuk melihat siapa yang datang.
“Mama,” Waldi bergumam lirih.
Mila tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi ia hanya diam berusaha untuk tenang.
“Mama datang ke rumah kok bilang sama Waldi?” tanya Waldi.
“Mama datang ke sini hanya mau kasih kabar kalau acara pernikahan kamu dan Zoya dipercepat. Minggu depan kalian berdua harus segera menikah!” ujar Irana, tanpa mau dibantah.
“Apa-apaan ini Mah? Kenapa dipercepat?” Waldi terkejut dengan ucapan sang mama. Semua di luar dugaan Waldi, pernikahan yang seharusnya akan berlangsung satu bulan lagi, tapi kali ini dipercepat menjadi satu minggu lagi.
“Mama hanya ingin kamu terbebas dari perempuan ular seperti dia!” Irana menunjuk Mila tanpa permisi. Dari raut wajahnya saja sudah terlihat Irana sedang berapi-api akibat ucapan Zoya tadi.
“Percuma saja pakai kerudung dan gamis menutup tubuh, tapi kelakuan seperti perempuan yang tidak pernah berpendidikan. Kamu tahu Waldi, diam-diam dia dibelakangmu bertemu dengan seorang laki-laki di café. Dia berbincang dia dengan lelaki itu, bahkan bercanda.”
“Mah ….”
“Saya memang bukan perempuan baik-baik Mah,’ kata Mila.
Ucapan Waldi terpotong karena Mila yang sudah angkat bicara terlebih dahulu.
“Mama boleh menghina saya, tapi jangan pakaian saya apa lagi kerudung yang saya pakai ini. Kerudung dan gamis yang saya pakai bukan berarti saya sudah menjadi manusia baik tanpa dosa, hanya saja saya mencoba untuk terus memperbaiki diri.” Mila tidak terima karena pakaian dan kerudungnya dihina seperti itu.
“Lihat Waldi! Dia ini perempuan yang tidak tahu sopan santun. Masih mending Zoya yang pakaiannya terbuka, tapi dia masih punya sopan santun sama orang tua!” Irana mencoba menyalakan kobaran api di dalam diri Waldi supaya Waldi ikut ke dalam permainannya.
“Saya juga tidak merasa lebih baik dari pada Zoya, Mama. Di sini saya hanya ingin terus memperbaiki diri.”
“Halah, memperbaiki diri tapi kamu jalan bersama dengan lelaki lain. Dimana otak kamu, Mila? Kamu ini perempuan yang sudah bersuami, seharusnya kamu tahu hukumnya seorang perempuan yang sudah bersuami yang memilih jalan dengan lelaki lain adalah dosa.”
“Saya tahu Mama, saya bertemu dengan Kevin tanpa disengaja dan kita pun masih berada di tempat terbuka yang banyak orang sehingga tidak menimbulkan fitnah,” kata Mila, yang masih mencoba untuk membela dirinya sendiri yang memang tidak bersalah.
“Kamu yakin masih mau bersama perempuan seperti ini, Waldi? Sekarang saja dia tidak punya sopan santun sama Mama, apa lagi nanti?” Irana merasa tersinggung dengan ucapan Mila. Menurut Irana Mila menentangnya.
Tiga hari sebelum pernikahan Waldi dan Zoya. Hubungan antara Waldi dan Mila semakin renggang, apa lagi semenjak Irana datang ke rumah dan menginginkan pernikahan itu dipercepat. Mila tidak melihat upaya Waldi membantah, lelaki itu nurut saja seperti tidak punya pendirian. Mila kesal sekaligus jengkel karena sudah dibawa ke dalam masalah Waldi. “Mila.” Waldi menahan Mila ketika gadis itu hendak pergi ketika dirinya ingin menghampiri. Wajah Waldi terlihat sedih karena beberapa hari ini Mila selalu menghindar darinya. “Duduk lah dulu, ada yang mau aku bicarakan,” kata Waldi, dengan lembut. Mila yang awalnya ingin pergi menghindar pun mengurungkan niatnya. Gadis itu kembali duduk di tempat semula menunggu Waldi berbicara. “Beberapa hari ini aku lihat kamu menghindar dari aku, apa yang salah?” tanya Waldi tatapannya memperlihatkan kesedihan yang selama ini Waldi pendam. “Kamu masih bertanya?” bukannya menjawab justru Mila melayangkan pertanyaan. Apakah lelaki itu tidak ada sedikit ra
Sejak pagi tadi sampai malam seperti ini Waldi masih berada di dalam kamar karena masih sering mengeluh kepalanya sakit. Makan malam kali ini cukup berbeda, yang biasanya makan di meja makan tapi kali ini Mila membawa makan malam ke kamar Waldi sesuai dengan perintah lelaki itu. Selama Mila berada di dapur untuk menyiapkan makan malam Waldi merenung di dalam kamar. Lelaki itu masih memikirkan mimpi yang ia alami selama tidur tadi. Mimpi yang begitu nyata seolah-olah akan terjadi dalam waktu dekat. Apa lagi pada saat mertuanya marah ketika mengetahui putri semata wayangnya akan dimadu. Waldi menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menghilangkan mimpi itu dari pikirannya. “Kenapa?” Suara dari arah pintu kamar membuat Waldi menoleh. Senyum lelaki itu langsung muncul ketika melihat Mila masuk ke kamar membawa nampan yang sudah terisi dengan makanan. “Nggak papa,” jawab Waldi masih dengan senyum yang sama. lelaki itu sedikit menggeser duduknya agar Mila bisa duduk di sampingnya, namun
Waldi kembali merasakan takut yang persis seperti di dalam mimpinya kemarin, namun kali ini benar-benar nyata. Sekarang Adra sedang duduk tepat di depan Waldi dengan mata merah. Sudah hampir sepuluh menit tidak ada percakapan di antara ke duanya, Waldi hanya bisa menunduk mempersiapkan diri untuk mendapatkan amukan dari Adra. “Jelaskan apa yang sedang Abi pegang ini, Waldi!” perintah Adra, sambil melemparkan selembaran kertas undangan yang sengaja dibawa dari rumah. Mila yang juga ikut duduk di ruang tamu pun hanya bisa diam melihat kemarahan sang abi. Selama Mila hidup, ia tidak pernah melihat abinya semarah ini. Karena Adra memang dikenal sebagai sosok laki-laki yang lemah lembut terhadap perempuan. “Apa yang Abi baca memang benar, itu nama saya dan perempuan yang dipilihkan oleh orang tua saya untuk saya,” jelas Waldi, dengan suara bergetar. “Lalu kamu ingin menikah untuk yang ke dua kalinya? Bagaimana dengan putriku?” Adra masih berusaha untuk sabar karena ia tidak ingin marah
“Waldi, apa kamu sudah gila?! Apa yang merasukimu sampai-sampai merusak undangan sebanyak ini?” Irana berteriak histeris melihat ratusan lembar undangan yang sudah terkoyak tidak berdaya di atas lantai keramik yang dingin. Mendengar jeritan sang mama, Waldi hanya melirik sekilas tanpa minat. Waldi benar-benar lelah dengan segala paksaan yang dialami setiap harinya. “Sudah berkal-kali Waldi katakan, Waldi tidak mau menikah dengan perempuan itu Ma!” kali ini Waldi berani membantah, untuk ke dua kalinya setelah lelaki itu pergi dari rumah. Masalah ancaman sang mama akan bunuh diri sudah tidak ia pedulikan lagi, demi kebahagiaan dan juga masa depan ada di tangannya sendiri. “Kamu sudah berani melawan Mama?!” Ke dua mata Irana melotot penuh emosi mendengar ucapan Waldi beberapa detik yang lalu. “Mama nggak mau tahu pokoknya kamu harus menikah dengan Zoya!” Irana memang sosok perempuan yang keinginannya tidak bisa dibantah. Waldi berdiri dari tempatnya duduk, lelaki itu berjalan pelan
Keesokan paginya. Waldi mengerjabkan matanya ketika ia merasakan ada sesuatu yang besar menimpa tubuhnya. Terakhir Waldi mengingat dirinya sedang berada di bar untuk pertama kalinya dan untuk pertama kalinya juga Waldi merasakan mabuk. Waldi memutuskan minum-minuman haram itu karena ia merasa tertekan dan stres yang yang sudah menumpuk cukup lama ditambah lagi kepergian Mila membuatnya semakin tidak karuan. Waldi melihat ada sebuah tangan mungil yang memegang handuk kecil berwarna putih. Lelaki itu semakin bertanya-tanya siapa sosok itu dan mengapa ia bisa bersama dengan sosok itu. Waldi langsung bersitighfar di dalam hati, semalam Waldi benar-benar tidak ingat apa yang sudah dilakukan. Tatapan mata Waldi jatuh pada sebuah kerudung yang menjuntai, lelaki itu memberanikan diri untuk melihat siapa sosok berhijab yang sedang berada di atasnya. “Mila.” Ke dua mata Waldi melotot ketika melihat Mila tidur di atas tubuhnya. Waldi mencoba untuk tidak banyak gerak karena ditakutkan Mila ak
Setelah selesai sarapan, Waldi dipanggil Adra ke depan, tepatnya di ruang tamu untuk bicara empat mata. “Bagaimana, apakah kamu sudah bisa memutuskan?” tanya Adra langsung pada intinya karena lelaki itu tidak mau berbelit-belit dalam masalah ini sebab kebahagiaan sang putri perlu dipertanyakan jika Waldi tetap berusaha ingin bersama Mila. “Sudah Abi, hanya saja Mama saya masih bersikeras untuk melangsungkan pernikahan itu,” kata Waldi, masih tetap tidak berani menatap mata sang mertua karena di sana terdapat tatapan tajam seperti busur panah yang siap membidik lawannya. Adra menganggukkan kepalanya paham, namun tetap saja Adra masih ragu dengan Waldi. “Semalam kamu kenapa?” tanya Adra. “Mabuk tidak menyelesaikan masalah, Waldi. Saya sempat meragukan kamu dalam urusan akhlak dan agama, tapi untung saja Umumu meyakinkan Abi,” sambung Adra berbicara tentang keraguannya terhadap Waldi. “Maafkan saya, Abi. Sungguh, demi Allah, yang semalam itu adalah pengalaman pertama dan terakhir sa
Hari di mana seharusnya pernikahan itu terjadi.Pagi tadi Waldi sudah kembali ke rumahnya, seperti dugaannya rumahnya penuh dengan orang. Zoya juga sudah rapi memakai gaun pengantin beserta dengan riasannya.“Dari mana saja kamu Waldi, kenapa baru datang semua orang sudah menunggu kamu di dalam.” Irana menghampiri sang putra dengan raut wajah marah. Irana malu karena sudah membuat para tamu undangan menunggu. Acara yang sudah dibatalkan Waldi ternyata tetap tidak mempan.“Waldi sudah bilang tidak mau menikah dengan Zoya, Mah. Kenapa Mama masih memaksa? Jika Mama tetap memaksa kenapa tidak Maa sendiri saja yang menikah dengan Zoya? Waldi lelah Mah terus menerus dipaksa seperti ini,” kata Waldi, yang sudah lelah dengan semua tingkah sang mama yang sangat pemaksa. Waldi tidak peduli di sana banyak orang, justru malah disengaja supaya semua orang tahu yang sebenarnya.Banyak bisik-bisik tidak enak terdengar sampai ke telinga Irana, wanita itu sangat malu dan seperti tidak ada muka di hada
Mila dan Waldi sudah sampai di tempat yang sudah Waldi tentukan sejak awal. Untung saja mertuanya memberi tahu tempat kesukaan Mila.“Wah, kamu tahu tempat kesukaan aku dari mana?” tanya Mila nampak terkejut dan bahagia.“Dari Umi,” jawab Waldi diiringi kekehan pelan. Waldi semakin terpesona melihat wajah Mila ada binar bahagia.“Ih, Umi kenapa tidak bilang padaku? Tahu begitu aku bilang dari awal jangan beri tahu,” kata Mila, wajahnya terlihat kesal.“Maksudmu aku tidak boleh tahu tempat kesukaan kamu? Lalu nanti jika kamu lagi ngambek aku mau membawa kamu kemana? Pelit sekali tidak mau berbagi informasi.” Waldi pura-pura marah supaya dibujuk, namun dugaannya salah justru Mila meninggalkannya.“Aku lagi ngambek loh ini ceritanya.” Waldi menyusul Mila.“Lalu apa hubungannya denganku?” Mila hanya melirik sekilas lalu kemudian kembali berjalan untuk melihat ramainya pasar malam yang selalu menjadi tempat kesukaan Mila sejak kecil. Selain banyak mainan di sana juga banyak makanan bermici
“Kevin, lo kebiasaan banget sih taro handuk sembarangan kaya gini.” Pagi-pagi sekali rumah yang biasa sepi sekarang selalu dihiasi oleh teriakan melengking Zoya dengan permasalahan yang sama. setelah mandi Kevin kebiasaan menaruh handuk selalu di atas kasur sehingga membuat kasurnya basah.“Kenapa sih, sayang? Masih pagi ini marah-marah terus,” kata Kevin, berjalan sampai menghampiri Zoya seperti tidak ada dosa lelaki itu.“Udah berkali-kali aku bilang, handuk jangan taruh di kasur, nanti basah jadi jamuran.” Zoya berjalan ke kamar mandi untuk menaruh handuk itu pada tempatnya.“Marah-marah nih, nanti makin cantik gimana? Jangan-jangan kamu udah mau PMS ya, makanya moodnya naik turun gini?” Kevin menarik Zoya untuk duduk di pangkuannya. Masih dengan wajah yang ditekuk Zoya tidak mau menatap lelaki di depannya.“Wajahnya kok masih cemberut gitu sih, sayang?” Kevin mencoba membujuk Zoya supaya mau menatapnya, tapi hasilnya tetap gagal karena Zoya masih marah sama Kevin.“Lagian, harus b
Sebeluma akhirnya Mila memutuskan untuk menemui Waldi, ada banyak pertimbanga yang harus ia pikirkan. Setelah shalat dan berdoa meminta petunjuk kepada Allah, entah mengapa pikiran Mila langsung tertuju pada Waldi.“Aku ingin di posisi ini lebih lama sebelum kita ada di sidang perceraian besok,” kata Waldi, saat berada di dalam dekapan Mila yang selama ini ia rindukan. Waldi menangis di sana, ia tidak bisa menahan air matanya mengingat kebodohannya sampai membuat calon anak mereka tiada.Mila hanya diam. Tangan kanannya yang lembut dan mungil it uterus mengusap punggung suaminya yang lebar. Lagi-lagi Mila ingat besok adalah hari perceraian mereka. Keputusan terakhir sebelum berpisah secara agama dan negara.“Maafkan aku,” kata Waldi, lelaki itu tetap terus meminta maaf kepada Mila atas kesalahannya kemarin. Waldi sadar kesalahannya itu tidak bisa dimaafkan, tapi ia masih tetap berharap ada ruang kesempatan untuk dirinya memperbaiki semuanya.Mendengar kata maaf yang keluar dari mulut
Satu bulan telah berlalu, kondisi Mila yang semakin membaik setiap harinya membuat Yalina dan Adra senang dengan perkembangan itu. Sejak pulang dari rumah sakit, Mila sudah kembali tinggal bersama orang tuanya, sementara Waldi tinggal di rumah sendiri. Selama satu bulan itu Mila tidak tahu bagaimana kondisi Waldi dan tidak mau tahu juga. Rasa sakitnya masih terasa mendalam sampai saat ini.“Mila, besok adalah putusan sidang perceraian kalian. Apakah kamu yakin dengan keputusan ini?” tanya Adra kepada sang putri untuk mendapatkan jawaban sekali lagi yang lebih meyakinkan. Mila tetap memutuskan untuk berpisah dengan Waldi, karena ia merasa sudah tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.“Mila yakin, Abi. Mila tahu, perceraian tidak diajarkan dalam agama kita, tapi jika terus dipaksa bersama maka Mila yang terus mendapatkan dosa,” jelas Mila. Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat lagi.“Apakah kamu tahu bagaimana kondisi Waldi selama satu bulan terakhir ini?” tanya Adra lagi.Mila menggele
Pagi-pagi sekali ke dua orang tua Kevin berkunjung ke rumah, sebenarnya mereka berdua ingin berangkat ke kantor karena arah yang sama jadi mampir lebih dulu ke rumah anak mereka.“Wah, wah, ada apa gerangan ini kok pagi-pagi udah keramas aja, barengan lagi,” celetuk Heros pada saat melihat Zoya dan Kevin rambutnya sama-sama basah.Mendengar ucapan papa mertuanya membuat ke dua pipi Zoya merah merona karena malu.“Papa ini seperti tidak pernah merasakan jadi pengantin baru saja,” kata Anya, sambil menyenggol pelan siku sang suami.“Sepertinya sebentar lagi kita akan menimang cucu, Mah,” kata Heros, penuh semangat.“Apa sih, Pah,” ujar Kevin, meminta ke dua orang tuanya untuk berhenti menggodanya.Kevin tidak tahan melihat ke dua pipi Zoya yang sudah merah, ingin rasanya Kevin menangkup ke dua pipi itu menggunakan tangan besarnya lalu memberi sedikit cubitan. Namun, sayangnya ke dua orang tua mereka masih ada di sana.“Mama sama Papa tumben main ke sini nggak bilang-bilang dulu?” tanya
Malam ini untuk pertama kalinya Zoya dan Kevin menempati kamar utama yang sudah sejak lama Kevin siapkan untuk istrinya nanti. Kamar yang menjadi saksi pergulatan panas mereka tadi siang yang akhirnya membawa ke duanya pada hubungan rumah tangga yang semakin erat.“Vin, lampunya nggak akan lo matiin, ‘kan?” tanya Zoya wajahnya penuh rasa takut terakhir kali lampu kamar dimatikan saat tidur, paginya Zoya demam sampai di bawa ke rumah sakit.“Kalau pakai lampu tidur aja gimana?” tanya Kevin.Zoya nampak berpikir lalu pada akhirnya mengangguk. “Boleh. Tapi lo tidurnya jangan jauh-jauh dari gue ya, gue takut gelap.”Kevin terkekeh pelan. “Dengan senang hati aku akan memberikan pelukan hangat, sayang.”“Ih, aku kamu? Kok gue geli ya dengerinya,” kata Zoya wajahnya terlihat tidak nyaman dengan panggilan baru itu. Wajar saja Zoya belum terbiasa, karena memang keseharian mereka hanya memanggil lo dan gue.“Loh, kenapa harus geli? Kita kan sudah suami istri, emang kamu nggak mau kehidupan rum
Keluarga Waldi dan Mila sudah sampai di rumah sakit, ketika diberi tahu Mila mengalami kecelakaan tentunya mereka syok berat bahkan Yalina sempat tidak sadarkan diri di rumah. “Kamu keterlaluan, Waldi!” Jeff murka setelah Waldi menjelaskan semuanya. Menurut Jeff, apa yang dilakukan Waldi memang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia.Jeff memutuskan untuk duduk supaya emosinya reda dari pada ia menjadi pusat perhatian karena membuat keributan di rumah sakit.“Setelah anakku keluar dari rumah sakit, ceraikan dia!” perintah Adra. Lelaki itu juga naik pitam karena cinta putri semata wayangnya dikhianati oleh Waldi. Waldi yang sebelumnya sudah mendapatkan restu dari keluarga, tapi dengan mudahnya mengkhianati begitu saja.“Abi, Waldi mohon beri satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya. Semua yang kalian dengar tidak seperti yang kalian kira,” kata Waldi, lelaki itu mencoba untuk meluruskan masalah, tapi semuanya sudah terlanjur berantakan.“Apa lagi yang mau kamu perbaiki, Wa
Sekarang Kevin dan Zoya sudah berada di rumah sendiri. Akhirnya bisa lepas dari pertanyaan ‘kapan punya momongan?’ dari orang tuanya sendiri. Jika mendengar pertanyaan yang sama lagi dari orang tuanya, Zoya ingin menenggelamkan diri saja di sungai Amazon.“Woy, lagi ngelamun in apa?” tanya Kevin yang tiba-tiba saja membawa banyak cemilan di tangannya.“Ih, apa itu? Gue mau dong.” Zoya menatap penuh minat jajanan di tangan Kevin.“Dih, ambil sendiri lah,” kata Kevin, sambil menyembunyikan jajanan yang ia bawa tadi.“Nggak usah pelit sama istri sendiri.” Zoya merebut paksa jajanan yang ada di tangan Kevin. Raut wajah kemenangan Zoya langsung terpancar jelas.“Malah ngalah mengalah aja lo baru sadar udah punya suami. Tapi lo lupa tugas sebagai istri itu apa aja,” kata Kevin, sambil membersihkan sisa-sisa micin di tangannya.“Bodo.” Lalu Zoya meninggalkan Kevin dan tidak lupa membawa jajanan yang sudah berhasil ia rampas tadi.Kevin yang ditinggalkan begitu saja pun merasa kesal dan marah
“Halo.”Mila begitu tenang mengangkat telepon, meskipun itu dari seorang perempuan yang sudah menghancurkan keluarga kecilnya.“Maaf, ini siapa ya?” tanya seseorang di seberang sana.“Saya istrinya,” jawab Mila, nada bicaranya masih terdengar tenang.“Saya ingin bicara sama Pak Waldi, apakah beliau ada?”“Siapa?” tanya Waldi tanpa suara hanya melalui gerakan mulutnya.Tanpa menjawab, Mila langsung memberikan ponsel itu kepada Waldi supaya lelaki itu bisa tahu sendiri. Saat Waldi hendak pergi, Mila menahan meminta lelaki itu berbicara di depannya. Waldi tidak punya pilihan sekali menuruti keinginan Mila.“Iya, kenapa, Sonya?” tanya Waldi nadanya sangat ramah sekali.Mendengar nada bicara Waldi kepada perempuan itu membuat Mila tersenyum sinis. Meskipun hati Mila teramat sakit, tapi ia mencoba untuk menjadi perempuan yang tenang.“Apa, kran kamar mandi di apartemen kamu rusak?”“Sewa saja orang untuk membetulkannya,” kata Mila, pelan.“Em, saya tidak bisa ke sana sekarang, karena masih
Keesokan paginya, tepatnya pada jam setengah enam subuh, Zoya nyaris berteriak saat melihat Kevin sedang melaksanakan sholat subuh. Zoya pikir Kevin adalah sosok hantu yang sedang berdiri, sebab penerangan yang remang-remang membuatnya hampir salah sangka.“Udah bangun?” tanya Kevin sambil melipat kembali sajadah yang baru saja ia pakai shalat subuh. Setelah itu Kevin melepas peci dan juga baju koko. Dari mana lelaki itu mendapat baju koko?“Baju koko siapa yang lo pake?” tanya Zoya dengan suara serak.“Bajunya Papa,” jawab Kevin.Zoya menganggukkan kepalanya lalu kembali memejamkan mata ingin melanjutkan tidur.“Kenapa lo nggak bangunin gue buat shalat?” tanya Zoya dengan mata terpejam.“Gue nggak mau maksa lo. Gue tau lo belum terbiasa,” jawab Kevin, santai.Zoya merasa malu, karena selama ini memang jarang sekali shalat, bahkan dalam satu tahun bisa dihitung pakai jari.“Lain kali ajarin gue shalat, gue juga pengen belajar bisa shalat lima waktu dalam satu hari,” kata Zoya.“Lo ngg