Mila memutuskan keluar sebentar untuk menghilangkan beban pikirannya. Mila berada di salah satu café yang letaknya tidak jauh dari perumahan di mana ia tinggal. Mila merasa sepi setelah menikah dengan Waldi ada saja masalah yang harus dia hadapi. Menyendiri adalah cara terbaik agar Mila merasa lebih baik.
“Mila.”
Suara itu membuat Mila langsung menoleh ke belakang untuk mencari sumber suara. Setelah melihat sosoknya Mila pun langsung tersenyum dan mempersilahkan lelaki itu untuk duduk di mejanya.
“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya Kevin karena lelaki itu tahu rumah Mila cukup jauh dari perumahan itu.
“Sekarang aku tinggal di sini,” jawab Mila.
“Wah, kebetulan sekali rumahku juga tidak jauh dari sini,” kata Kevin.
“Benarkah?” tanya Mila guat senyum mulai terlihat di wajahnya.
Mila dan Kevin pun berbincang ringan dan sesekali tertawa membahas masa kuliah mereka. Setidaknya pertemuan Mila dengan Kevin bisa membuat hati gadis itu sedikit membaik.
“Suamimu tidak ikut?” tanya Kevin yang sudah mulai keluar dari pembahasan masalah masa kuliah mereka.
“Tidak, dia sedang ada urusan.” Hanya alibi Mila saja, padahal tadi sebelum Mila berangkat Waldi sedang bersiap ingin keluar juga bersama Zoya. Itu lah sebabnya Mila lebih memilih keluar dari rumah karena tidak mau berdebat sengit dengan Zoya.
“Sepertinya suamimu sangat sibuk sekali,” ujar Kevin.
Mila terkekeh pelan mendengar ucapan Kevin. “Kalau dia tidak sibuk aku mau makan apa? Dan mau tinggal di mana?”
Mendengar candaan Mila membuat Kevin tertawa. Kevin tidak menyangka ternyata Mila adalah seorang pelawak yang dibalut wajah serius.
“Ohhh, jadi ini yang katanya istri sholehah?”
Suara itu langsung membuat suasana hati Mila berantakan dan membuat Kevin bingung.
“Maaf, anda ini siapa? Tiba-tiba datang dan langsung berkata seperti itu? Apa anda tidak pernah diajari sopan santun sama orang tua?” Kevin yang tersulut emosinya sudah tidak mempedulikan lagi ucapannya.
“Heh, seharusnya lo itu nanya sama dia! Katanya perempuan yang paham agama, berpendidikan pula, tapi ternyata murahan juga.” Zoya memang benar-benar tidak punya filter sebelum berucap.
Mila masih sabar, ia menunggu ucapan apa lagi yang akan Zoya lontarkan untuknya. Mila terlihat tenang, karena jika ia marah maka dirinya menilai tidak ada bedanya dengan Zoya.
“Kenapa diem? Mati kutu ya udah kepergok lagi jalan sama cowok lain? Gue heran deh kenapa Waldi lebih milih lo yang udah jelas-jelas murahan ketimbang gue yang udah jelas setia sama dia. Gue rasa lo pakai pemikat ya biar dia tergila-gila sama lo?” Zoya semakin ngawur ucapannya, bahkan sudah sampai pada titik fitnah.
“Jaga ucapan anda! Anda ini sudah keterlaluan, fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan.” Justru Kevin yang angkat bicara.
“Lo siapa sih? Gue nggak ada urusan ya sama lo.”
“Kevin, cukup! Kamu nggak ada masalah sama dia, biar aku aja yang hadapi dia,” kata Mila, penuh percaya diri. Kondisi hati Mila sudah sedikit tenang, dengan begitu otaknya bisa berpikir jernih ketika menghadapi Zoya.
“Nggak ada kesibukan lain selain mengurusi hidup orang lain? atau perlu aku jadiin kamu sebagai manajer supaya bisa tahu semua jadwal harianku?” nada bicara Mila terdengar sangat tenang sampai membuat Kevin salut.
Wajah Zoya berubah marah karena tanggapan Mila yang terlalu meremehkannya.
“Nggak usah ngelak deh, gue nggak tertipu sama wajah polos lo itu. Pergi tinggalin Waldi sebelum semua orang tahu kebusukan lo.”
“Yakin? Bukannya seharusnya kamu ya yang takut?” Mila tidak kalah menantang.
Zoya menjadi kesal sendiri menghadapi Mila yang terlihat tenang. Padahal Zoya berharap Mila akan terpancing dan berakhir mempermalukan Mila, tapi ini malah sebaliknya.
“Kenapa? Seharusnya tidak perlu marah, karena anda mencari lawan yang salah,” kata Kevin, tersenyum miring penuh kepuasan.
Zoya semakin kesal dan marah dan kemudian melenggang pergi meninggalkan café tersebut. Untung saja Waldi tidak ikut, jika ikut maka Zoya akan semakin malu.
“Siapa dia?” tanya Kevin yang sudah penasaran sejak tadi. Ke duanya kembali duduk untuk memulai perbincangan santai.
“Aku tidak tahu dari mana dia berasal, tahu-tahu sibuk mencari kesalahan orang lain,” jawab Mila, masih dengan nada yang santai.
“Kevin, sepertinya aku harus langsung pulang ada beberapa pekerjaan yang belum selesai di rumah,” kata Mila, gadis itu membereskan barangnya dan memasukkan ke dalam tas.
“Perlu aku antar?” tanya Kevin.
“Terima kasih, tapi aku bisa pulang sendiri. Permisi, wassalamualaikum.” Mila pun pergi dari café itu seorang diri. Sementara Kevin masih berada di tempat yang sama menatap punggung Mila yang semakin menjauh.
***
“Pokoknya ini nggak bisa dibiarin Tante! Lama-lama perempuan itu akan meracuni otak Waldi dan membuat Waldi menjadi membenci Tante,” kata Zoya, yang ternyata pulang dari café langsung pergi ke rumah orang tua Waldi dan mengadukan kejadian tadi.
“Selama ini Tante juga sudah curiga kalau si Mila itu sebenarnya mau menguasai harta Waldi.” Irana yang memang mudah terpancing emosi pun ikut ke dalam permainan Zoya.
“Nah, jadi tunggu apa lagi Tante? Percepat tanggal pernikahan aku sama Waldi sebelum semuanya terlambat.”
“Kamu benar Zoya, Mila tidak bisa dibiarkan begitu saja dia harus tersingkir secepatnya,” kata Irana.
Zoya tersenyum puas mendengar ucapan Irana.
Sesampainya di rumah Mila langsung mengganti pakaiannya dengan baju rumahan. Saat ini Mila sedang berada di dapur untuk mencari minuman dingin. Cuaca di luar sangat lah panas membuat Mila kehausan padahal jarak antara café dan rumah tidak terlalu jauh.
“Dari mana saja kamu?”
Suara dari arah belakang membuat Mila terkejut dan langsung menoleh ke arah sumbar suara.
“Dari café,” jawab Mila, singkat. Mila membawa gelas yang sudah ia isi dengan es dan air sirup sebelumnya kemudian dia duduk di meja makan menikmati minuman yang sudah ia buat.
“Sama laki-laki itu lagi?” sorot mata Waldi jelas menggambarkan bahwa laki-laki itu tidak suka.
“Kita berdua tidak sengaja bertemu,” kata Mila, mencoba menjelaskan. Melihat raut wajah Waldi saja Mila sudah tahu sebenarnya Waldi sangat tidak suka dengan Kevin.
“Sangat kebetulan sekali ya?” sindir Waldi, terdengar semakin tidak suka. Waldi ikut duduk di kursi meja makan tepatnya bersebelahan dengan tempat duduk Mila.
“Bukannya kamu juga baru saja jalan sama Zoya, ya?” kali ini giliran Mila yang menyindir Waldi, nadanya memang terdengar santai, tapi begitu menusuk.
“Tidak jadi, aku ada urusan mendadak,” jawab Waldi, terdengar ketus.
Mila hanya mengakngguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia paham dengan penjelasan Waldi. Sebenarnya Mila juga tidak peduli, hanya saja Mila tidak suka jika Waldi terlalu curiga. Kevin hanyalah teman semasa kuliahnya, tidak seharusnya Waldi bersikap seperti itu.
Tidak berselang lama terdengar suara mobil yang berhenti di depan, Waldi dan Mila langsung keluar untuk melihat siapa yang datang.
“Mama,” Waldi bergumam lirih.
Mila tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi ia hanya diam berusaha untuk tenang.
“Mama datang ke rumah kok bilang sama Waldi?” tanya Waldi.
“Mama datang ke sini hanya mau kasih kabar kalau acara pernikahan kamu dan Zoya dipercepat. Minggu depan kalian berdua harus segera menikah!” ujar Irana, tanpa mau dibantah.
“Apa-apaan ini Mah? Kenapa dipercepat?” Waldi terkejut dengan ucapan sang mama. Semua di luar dugaan Waldi, pernikahan yang seharusnya akan berlangsung satu bulan lagi, tapi kali ini dipercepat menjadi satu minggu lagi.
“Mama hanya ingin kamu terbebas dari perempuan ular seperti dia!” Irana menunjuk Mila tanpa permisi. Dari raut wajahnya saja sudah terlihat Irana sedang berapi-api akibat ucapan Zoya tadi.
“Percuma saja pakai kerudung dan gamis menutup tubuh, tapi kelakuan seperti perempuan yang tidak pernah berpendidikan. Kamu tahu Waldi, diam-diam dia dibelakangmu bertemu dengan seorang laki-laki di café. Dia berbincang dia dengan lelaki itu, bahkan bercanda.”
“Mah ….”
“Saya memang bukan perempuan baik-baik Mah,’ kata Mila.
Ucapan Waldi terpotong karena Mila yang sudah angkat bicara terlebih dahulu.
“Mama boleh menghina saya, tapi jangan pakaian saya apa lagi kerudung yang saya pakai ini. Kerudung dan gamis yang saya pakai bukan berarti saya sudah menjadi manusia baik tanpa dosa, hanya saja saya mencoba untuk terus memperbaiki diri.” Mila tidak terima karena pakaian dan kerudungnya dihina seperti itu.
“Lihat Waldi! Dia ini perempuan yang tidak tahu sopan santun. Masih mending Zoya yang pakaiannya terbuka, tapi dia masih punya sopan santun sama orang tua!” Irana mencoba menyalakan kobaran api di dalam diri Waldi supaya Waldi ikut ke dalam permainannya.
“Saya juga tidak merasa lebih baik dari pada Zoya, Mama. Di sini saya hanya ingin terus memperbaiki diri.”
“Halah, memperbaiki diri tapi kamu jalan bersama dengan lelaki lain. Dimana otak kamu, Mila? Kamu ini perempuan yang sudah bersuami, seharusnya kamu tahu hukumnya seorang perempuan yang sudah bersuami yang memilih jalan dengan lelaki lain adalah dosa.”
“Saya tahu Mama, saya bertemu dengan Kevin tanpa disengaja dan kita pun masih berada di tempat terbuka yang banyak orang sehingga tidak menimbulkan fitnah,” kata Mila, yang masih mencoba untuk membela dirinya sendiri yang memang tidak bersalah.
“Kamu yakin masih mau bersama perempuan seperti ini, Waldi? Sekarang saja dia tidak punya sopan santun sama Mama, apa lagi nanti?” Irana merasa tersinggung dengan ucapan Mila. Menurut Irana Mila menentangnya.
Tiga hari sebelum pernikahan Waldi dan Zoya. Hubungan antara Waldi dan Mila semakin renggang, apa lagi semenjak Irana datang ke rumah dan menginginkan pernikahan itu dipercepat. Mila tidak melihat upaya Waldi membantah, lelaki itu nurut saja seperti tidak punya pendirian. Mila kesal sekaligus jengkel karena sudah dibawa ke dalam masalah Waldi. “Mila.” Waldi menahan Mila ketika gadis itu hendak pergi ketika dirinya ingin menghampiri. Wajah Waldi terlihat sedih karena beberapa hari ini Mila selalu menghindar darinya. “Duduk lah dulu, ada yang mau aku bicarakan,” kata Waldi, dengan lembut. Mila yang awalnya ingin pergi menghindar pun mengurungkan niatnya. Gadis itu kembali duduk di tempat semula menunggu Waldi berbicara. “Beberapa hari ini aku lihat kamu menghindar dari aku, apa yang salah?” tanya Waldi tatapannya memperlihatkan kesedihan yang selama ini Waldi pendam. “Kamu masih bertanya?” bukannya menjawab justru Mila melayangkan pertanyaan. Apakah lelaki itu tidak ada sedikit ra
Sejak pagi tadi sampai malam seperti ini Waldi masih berada di dalam kamar karena masih sering mengeluh kepalanya sakit. Makan malam kali ini cukup berbeda, yang biasanya makan di meja makan tapi kali ini Mila membawa makan malam ke kamar Waldi sesuai dengan perintah lelaki itu. Selama Mila berada di dapur untuk menyiapkan makan malam Waldi merenung di dalam kamar. Lelaki itu masih memikirkan mimpi yang ia alami selama tidur tadi. Mimpi yang begitu nyata seolah-olah akan terjadi dalam waktu dekat. Apa lagi pada saat mertuanya marah ketika mengetahui putri semata wayangnya akan dimadu. Waldi menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menghilangkan mimpi itu dari pikirannya. “Kenapa?” Suara dari arah pintu kamar membuat Waldi menoleh. Senyum lelaki itu langsung muncul ketika melihat Mila masuk ke kamar membawa nampan yang sudah terisi dengan makanan. “Nggak papa,” jawab Waldi masih dengan senyum yang sama. lelaki itu sedikit menggeser duduknya agar Mila bisa duduk di sampingnya, namun
Waldi kembali merasakan takut yang persis seperti di dalam mimpinya kemarin, namun kali ini benar-benar nyata. Sekarang Adra sedang duduk tepat di depan Waldi dengan mata merah. Sudah hampir sepuluh menit tidak ada percakapan di antara ke duanya, Waldi hanya bisa menunduk mempersiapkan diri untuk mendapatkan amukan dari Adra. “Jelaskan apa yang sedang Abi pegang ini, Waldi!” perintah Adra, sambil melemparkan selembaran kertas undangan yang sengaja dibawa dari rumah. Mila yang juga ikut duduk di ruang tamu pun hanya bisa diam melihat kemarahan sang abi. Selama Mila hidup, ia tidak pernah melihat abinya semarah ini. Karena Adra memang dikenal sebagai sosok laki-laki yang lemah lembut terhadap perempuan. “Apa yang Abi baca memang benar, itu nama saya dan perempuan yang dipilihkan oleh orang tua saya untuk saya,” jelas Waldi, dengan suara bergetar. “Lalu kamu ingin menikah untuk yang ke dua kalinya? Bagaimana dengan putriku?” Adra masih berusaha untuk sabar karena ia tidak ingin marah
“Waldi, apa kamu sudah gila?! Apa yang merasukimu sampai-sampai merusak undangan sebanyak ini?” Irana berteriak histeris melihat ratusan lembar undangan yang sudah terkoyak tidak berdaya di atas lantai keramik yang dingin. Mendengar jeritan sang mama, Waldi hanya melirik sekilas tanpa minat. Waldi benar-benar lelah dengan segala paksaan yang dialami setiap harinya. “Sudah berkal-kali Waldi katakan, Waldi tidak mau menikah dengan perempuan itu Ma!” kali ini Waldi berani membantah, untuk ke dua kalinya setelah lelaki itu pergi dari rumah. Masalah ancaman sang mama akan bunuh diri sudah tidak ia pedulikan lagi, demi kebahagiaan dan juga masa depan ada di tangannya sendiri. “Kamu sudah berani melawan Mama?!” Ke dua mata Irana melotot penuh emosi mendengar ucapan Waldi beberapa detik yang lalu. “Mama nggak mau tahu pokoknya kamu harus menikah dengan Zoya!” Irana memang sosok perempuan yang keinginannya tidak bisa dibantah. Waldi berdiri dari tempatnya duduk, lelaki itu berjalan pelan
Keesokan paginya. Waldi mengerjabkan matanya ketika ia merasakan ada sesuatu yang besar menimpa tubuhnya. Terakhir Waldi mengingat dirinya sedang berada di bar untuk pertama kalinya dan untuk pertama kalinya juga Waldi merasakan mabuk. Waldi memutuskan minum-minuman haram itu karena ia merasa tertekan dan stres yang yang sudah menumpuk cukup lama ditambah lagi kepergian Mila membuatnya semakin tidak karuan. Waldi melihat ada sebuah tangan mungil yang memegang handuk kecil berwarna putih. Lelaki itu semakin bertanya-tanya siapa sosok itu dan mengapa ia bisa bersama dengan sosok itu. Waldi langsung bersitighfar di dalam hati, semalam Waldi benar-benar tidak ingat apa yang sudah dilakukan. Tatapan mata Waldi jatuh pada sebuah kerudung yang menjuntai, lelaki itu memberanikan diri untuk melihat siapa sosok berhijab yang sedang berada di atasnya. “Mila.” Ke dua mata Waldi melotot ketika melihat Mila tidur di atas tubuhnya. Waldi mencoba untuk tidak banyak gerak karena ditakutkan Mila ak
Setelah selesai sarapan, Waldi dipanggil Adra ke depan, tepatnya di ruang tamu untuk bicara empat mata. “Bagaimana, apakah kamu sudah bisa memutuskan?” tanya Adra langsung pada intinya karena lelaki itu tidak mau berbelit-belit dalam masalah ini sebab kebahagiaan sang putri perlu dipertanyakan jika Waldi tetap berusaha ingin bersama Mila. “Sudah Abi, hanya saja Mama saya masih bersikeras untuk melangsungkan pernikahan itu,” kata Waldi, masih tetap tidak berani menatap mata sang mertua karena di sana terdapat tatapan tajam seperti busur panah yang siap membidik lawannya. Adra menganggukkan kepalanya paham, namun tetap saja Adra masih ragu dengan Waldi. “Semalam kamu kenapa?” tanya Adra. “Mabuk tidak menyelesaikan masalah, Waldi. Saya sempat meragukan kamu dalam urusan akhlak dan agama, tapi untung saja Umumu meyakinkan Abi,” sambung Adra berbicara tentang keraguannya terhadap Waldi. “Maafkan saya, Abi. Sungguh, demi Allah, yang semalam itu adalah pengalaman pertama dan terakhir sa
Hari di mana seharusnya pernikahan itu terjadi.Pagi tadi Waldi sudah kembali ke rumahnya, seperti dugaannya rumahnya penuh dengan orang. Zoya juga sudah rapi memakai gaun pengantin beserta dengan riasannya.“Dari mana saja kamu Waldi, kenapa baru datang semua orang sudah menunggu kamu di dalam.” Irana menghampiri sang putra dengan raut wajah marah. Irana malu karena sudah membuat para tamu undangan menunggu. Acara yang sudah dibatalkan Waldi ternyata tetap tidak mempan.“Waldi sudah bilang tidak mau menikah dengan Zoya, Mah. Kenapa Mama masih memaksa? Jika Mama tetap memaksa kenapa tidak Maa sendiri saja yang menikah dengan Zoya? Waldi lelah Mah terus menerus dipaksa seperti ini,” kata Waldi, yang sudah lelah dengan semua tingkah sang mama yang sangat pemaksa. Waldi tidak peduli di sana banyak orang, justru malah disengaja supaya semua orang tahu yang sebenarnya.Banyak bisik-bisik tidak enak terdengar sampai ke telinga Irana, wanita itu sangat malu dan seperti tidak ada muka di hada
Mila dan Waldi sudah sampai di tempat yang sudah Waldi tentukan sejak awal. Untung saja mertuanya memberi tahu tempat kesukaan Mila.“Wah, kamu tahu tempat kesukaan aku dari mana?” tanya Mila nampak terkejut dan bahagia.“Dari Umi,” jawab Waldi diiringi kekehan pelan. Waldi semakin terpesona melihat wajah Mila ada binar bahagia.“Ih, Umi kenapa tidak bilang padaku? Tahu begitu aku bilang dari awal jangan beri tahu,” kata Mila, wajahnya terlihat kesal.“Maksudmu aku tidak boleh tahu tempat kesukaan kamu? Lalu nanti jika kamu lagi ngambek aku mau membawa kamu kemana? Pelit sekali tidak mau berbagi informasi.” Waldi pura-pura marah supaya dibujuk, namun dugaannya salah justru Mila meninggalkannya.“Aku lagi ngambek loh ini ceritanya.” Waldi menyusul Mila.“Lalu apa hubungannya denganku?” Mila hanya melirik sekilas lalu kemudian kembali berjalan untuk melihat ramainya pasar malam yang selalu menjadi tempat kesukaan Mila sejak kecil. Selain banyak mainan di sana juga banyak makanan bermici