Waldi berharap pulang dari pasar malam bisa membuat hubungannya dengan Mila menjadi semakin erat, namun sayangnya tidak sesuai dengan harapan. Waldi tidak menyangka Mila akan semarah itu ketika mengetahui fakta yang sebenarnya. Waldi menjadi menyesal sudah mengatakan yang sesungguhnya.“Kalian berdua ini ada apa pulang-pulang kok seperti orang musuhan?” tanya Adra yang tidak sengaja melihat anak dan menantunya pulang dari jalan-jalan, namun putri semata wayangnya justru berwajah masam.“Kita berdua nggak papa kok, Bi. Mila ke kamar dulu mau bersih-bersih.” Kemudian Mila melenggang pergi.“Ya sudah sana bersih-bersih dulu habis itu istirahat,” kata Adra.“Waldi, ikut Abi sebentar ke depan ada yang mau Abi bicarakan.” Kemudian Adra melenggang pergi ke teras depan rumah.“Baik, Abi, nanti saya akan menyusul ke depan,” kata Waldi, kemudian lelaki itu mengikuti Mila yang masuk ke kamar untuk membersihkan diri.“Mila.” Waldi memasuki kamar memanggil nama Mila dengan suara yang lembut. Waldi
Pagi harinya.“Loh, kok masih belum siap juga sih?” Waldi menghampiri Mila yang sedang duduk di kasur sibuk bermain ponsel.Waldi duduk di pinggiran ranjang menatap Mila sedikit kesal.“Memangnya kita mau pergi kemana?” tanya Mila wajahnya terlihat polos seperti bocah yang belum tahu apa-apa.“Semalam kan katanya mau ikut aku hapus tato,” jelas Waldi, wajahnya terlihat merajuk. Waldi tidak menyangka Mila bisa lupa dengan pembahasan semalam.“Oh, memangnya mau hapus sekarang?”“Bukankah jika dipercepat akan lebih baik?”“Oke, baiklah, aku akan bersiap dulu. Kamu keluar kamar dulu aku mau ganti baju.”“Kenapa aku harus keluar? Bukankah kita sudah suami istri?” Waldi menaik turunkan alisnya untuk menggoda ditambah lagi senyum lelaki yang sangat menyebalkan.“Boleh, tapi jangan harap bisa pergi hari ini,” ancam Mila berkacak pinggang.Waldi menghela napasnya kasar, niatnya mau modus, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Mila.“Baiklah aku akan segera keluar.” Waldi berdiri namun tidak k
“Sakit ya?” tanya Mila wajahnya meringis seolah ikut merasakan perih. Waldi terkekeh pelan. “Sakitnya tidak seberapa kok, aku kan lelaki kuat.” Wajah Mila langsung berubah datar. “Tapi tadi buktinya teriak-teriak kesakitan.” “Aku menyesal sudah mentato tubuhku. Menghilangkan tatonya lebih sakit dari pada saat mentato,” ujar Waldi, nampak ada rasa penyesalan. “Dan untuk bisa hilang sempurna itu membutuhkan waktu lama,” sambung Waldi. “Sudah dibilang tato itu tidak boleh, tapi tetap saja masih ada yang ngeyel. Aku bingung apa sih sebenarnya yang mereka cari dari buat tato di tubuh mereka? Padahal proses pembuatannya saja sangat sakit, bayangkan saja kulit sehat ditusuk-tusuk menggunakan jarum yang berisi tinta,” ujar Mila. “Ada yang sebagai seni dan ada juga sebagai pengalihan rasa sakit dari sini.” Waldi memegang tepat di mana jantungnya berada. “Mau langsung pulang atau makan siang dulu?” tanya Waldi saat memasuki mobil. “Makan siang dulu saja yuk, sepertinya bakso enak d
Wadi berhasil meminta izin Adra ingin membawa Mila kembali. hanya satu pesan Adra dan Yalina, mereka minta Waldi harus menjaga Mila sepenuh hati. Sekarang Waldi dan Mila sudah berada di rumah mereka sendiri. “Mau makan apa untuk makan malam nanti?” tanya Mila kepada Waldi yang sedang sibuk dengan laptopnya di meja makan. “Apa saja asal itu masakan kamu, sayang,” jawab Waldi, menatap Mila sambil mengedipkan sebelah matanya genit. “Dih, memang bisa begitu?” Mila mencoba menutupi salah tingkahnya supaya Waldi tidak terlalu percaya diri. “Iya, makan apa saja yang penting masakan istri sendiri.” “Berarti kalau aku masak ayam tiren kamu mau?” “Tidak ayam tiren juga, kamu mau buat aku diare?” Mila terkekeh kecil mendengar ucapan Waldi. Candaan-candaan ringan yang sering mereka layangkan satu sama lain membuat hubungan keduanya semakin dekat. “Umi sama Abi sedang apa ya di rumah?” Mila mencoba mengajak Waldi ngobrol saat dirinya sedang sibuk menyiapkan makan malam. “Lagi bikin adek ba
Malam harinya. Mila melihat Waldi nampak sibuk dengan laptop, sejak selesai sholat isya sampai jam sepuluh malam suaminya itu belum beranjak dari tempat duduk. Mila berinisiatif membuatkan teh sebagai teman supaya tidak terlalu suntuk saat mengerjakan pekerjaan. “Teh hangatnya,” kata Mila, sambil meletakkan secangkir teh hangat itu di meja kerja Waldi. Waldi menoleh lalu tersenyum kearah Mila yang sedang memakai bergo berwarna merah maroon. “Terima kasih, istriku tercinta,” ujar Waldi, masih dengan senyum manis yang sama. Mila menarik kursi yang ada di dekat Waldi, wanita itu duduk di samping suaminya hanya sekadar ingin tahu apa yang sebenarnya sedang Waldi kerjakan. “Kenapa?” tanya Waldi penasaran. Mila menggelengkan kepalanya. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hati Mila, ia ingin bekerja kantoran seperti teman-temannya yang sudah lulus kuliah, namun Mila sadar sekarang ia sudah menjadi seorang istri. “Kamu mau ikut kerja?” tanya Waldi. Kedua mata Mila langsung melebar. Bagaima
Sesampainya Mila dan Waldi di kantor, semua pegawai menunduk saat keduanya melewati lobby kantor. Mila syok karena melihat wajah Waldi ketika berada di rumah dan di kantor sangat beda. Jika di kantor auranya lebih mengerikan, tapi jika di rumah tengilnya minta ampun.“Selamat pagi, Pak Waldi, selamat datang kembali di kantor ini,” kata sekretaris Waldi, menyambut dengan gagah dan berani. Waldi sengaja mengganti sekretaris yang awalnya perempuan menjadi laki-laki karena Waldi tidak ingin Mila tenggelam dalam kesalahpahaman.“Selamat pagi, siapkan berkas untuk rapat nanti,” kata Waldi, lalu lelaki itu masuk ke dalam lift.“Selamat pagi, Bu Mila, senang bisa bertemu dengan anda hari ini,” kata sekretaris Waldi, tidak lupa menyapa Mila.“Selamat pagi, senang bertemu denganmu hari ini.” Mila pun menyusul Waldi masuk ke dalam lift.“Lain kali jangan tebar senyum ke sembarang lelaki di sini.” Waldi berucap dengan wajah dan suara yang datar membuat Mila bertanya-tanya.“Memangnya kenapa?” ta
Seperti orang-orang pada umumnya, setelah pulang kerja Waldi dan Mila langsung menuju ke rumah untuk istirahat, meskipun Mila tidak bekerja keras hari ini, tapi ia tetap saja lelah, lelah menghadapi Waldi yang seketika berubah menjadi bayi besar.“Besok tidak usah lagi ikut aku ke kantor ya,” kata Waldi, sambil memasang wajah memelasnya di depan Mila. Raut wajah itu sejak tadi Waldi tunjukkan supaya Mila luluh.“Memangnya kenapa?” tanya Mila sedikit ada raut wajah kecewa karena sebelumnya Waldi sudah mengizinkan Mila untuk bekerja.“Aku nggak tega liat wajah kamu kelelahan seperti ini. Kamu pasti ngantuk,’kan?”Waldi melihat wajah Mila memang terlihat sangat lelah hari ini, namun apa yang Waldi lihat tidak seperti yang Mila rasakan.“Tidak kok,” bantah Mila tegas. “Justru aku bahagia bisa bertemu banyak orang di kantor. Aku bisa punya teman dari berbagai usia dan kalangan.”“Hmm, baiklah.” Waldi pun menyerah karena Mila terlihat sangat antusias.Saat Mila dan Waldi masuk ke rumah, tib
Mila dan Waldi kembali dan membawa pesanan Irana.“Dari mana saja sih? Sudah lapar ini.” Irana menatap Mila tidak suka karena terlalu lama membelikan bubur untuknya.“Maaf, Mah, tadi makan dulu,” kata Mila, dengan suara lembut. meskipun sambutan Irana tidak baik, tapi Mila masih mau menyiapkan bubur di mangkuk untuk mama mertuanya.“Biar aku bantu,” kata Waldi, lelaki itu ikut membantu Mila menyiapkan bubur.“Mah, tidak baik bicara seperti itu. Mila sudah baik hati membelikan Mama bubur seharusnya berterima kasih bukannya protes seperti itu.” Jeff memberi nasehat supaya istrinya tidak kelewat batas.Irana hanya memberi tatapan tidak suka ke arah suaminya. Irana semakin tidak suka dengan keberadaan Mila, karena semenjak ada Mila semua orang di sekitarnya menjadi tidak membelanya.“Biar Mila suapin ya Ma.” Mila duduk di tepian ranjang, Irana justru sedikit bergeser karena tidak mau dekat-dekat menantunya.Mila hanya bisa tersenyum dan menguatkan hatinya untuk terus bersabar. Waldi melih
“Kevin, lo kebiasaan banget sih taro handuk sembarangan kaya gini.” Pagi-pagi sekali rumah yang biasa sepi sekarang selalu dihiasi oleh teriakan melengking Zoya dengan permasalahan yang sama. setelah mandi Kevin kebiasaan menaruh handuk selalu di atas kasur sehingga membuat kasurnya basah.“Kenapa sih, sayang? Masih pagi ini marah-marah terus,” kata Kevin, berjalan sampai menghampiri Zoya seperti tidak ada dosa lelaki itu.“Udah berkali-kali aku bilang, handuk jangan taruh di kasur, nanti basah jadi jamuran.” Zoya berjalan ke kamar mandi untuk menaruh handuk itu pada tempatnya.“Marah-marah nih, nanti makin cantik gimana? Jangan-jangan kamu udah mau PMS ya, makanya moodnya naik turun gini?” Kevin menarik Zoya untuk duduk di pangkuannya. Masih dengan wajah yang ditekuk Zoya tidak mau menatap lelaki di depannya.“Wajahnya kok masih cemberut gitu sih, sayang?” Kevin mencoba membujuk Zoya supaya mau menatapnya, tapi hasilnya tetap gagal karena Zoya masih marah sama Kevin.“Lagian, harus b
Sebeluma akhirnya Mila memutuskan untuk menemui Waldi, ada banyak pertimbanga yang harus ia pikirkan. Setelah shalat dan berdoa meminta petunjuk kepada Allah, entah mengapa pikiran Mila langsung tertuju pada Waldi.“Aku ingin di posisi ini lebih lama sebelum kita ada di sidang perceraian besok,” kata Waldi, saat berada di dalam dekapan Mila yang selama ini ia rindukan. Waldi menangis di sana, ia tidak bisa menahan air matanya mengingat kebodohannya sampai membuat calon anak mereka tiada.Mila hanya diam. Tangan kanannya yang lembut dan mungil it uterus mengusap punggung suaminya yang lebar. Lagi-lagi Mila ingat besok adalah hari perceraian mereka. Keputusan terakhir sebelum berpisah secara agama dan negara.“Maafkan aku,” kata Waldi, lelaki itu tetap terus meminta maaf kepada Mila atas kesalahannya kemarin. Waldi sadar kesalahannya itu tidak bisa dimaafkan, tapi ia masih tetap berharap ada ruang kesempatan untuk dirinya memperbaiki semuanya.Mendengar kata maaf yang keluar dari mulut
Satu bulan telah berlalu, kondisi Mila yang semakin membaik setiap harinya membuat Yalina dan Adra senang dengan perkembangan itu. Sejak pulang dari rumah sakit, Mila sudah kembali tinggal bersama orang tuanya, sementara Waldi tinggal di rumah sendiri. Selama satu bulan itu Mila tidak tahu bagaimana kondisi Waldi dan tidak mau tahu juga. Rasa sakitnya masih terasa mendalam sampai saat ini.“Mila, besok adalah putusan sidang perceraian kalian. Apakah kamu yakin dengan keputusan ini?” tanya Adra kepada sang putri untuk mendapatkan jawaban sekali lagi yang lebih meyakinkan. Mila tetap memutuskan untuk berpisah dengan Waldi, karena ia merasa sudah tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.“Mila yakin, Abi. Mila tahu, perceraian tidak diajarkan dalam agama kita, tapi jika terus dipaksa bersama maka Mila yang terus mendapatkan dosa,” jelas Mila. Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat lagi.“Apakah kamu tahu bagaimana kondisi Waldi selama satu bulan terakhir ini?” tanya Adra lagi.Mila menggele
Pagi-pagi sekali ke dua orang tua Kevin berkunjung ke rumah, sebenarnya mereka berdua ingin berangkat ke kantor karena arah yang sama jadi mampir lebih dulu ke rumah anak mereka.“Wah, wah, ada apa gerangan ini kok pagi-pagi udah keramas aja, barengan lagi,” celetuk Heros pada saat melihat Zoya dan Kevin rambutnya sama-sama basah.Mendengar ucapan papa mertuanya membuat ke dua pipi Zoya merah merona karena malu.“Papa ini seperti tidak pernah merasakan jadi pengantin baru saja,” kata Anya, sambil menyenggol pelan siku sang suami.“Sepertinya sebentar lagi kita akan menimang cucu, Mah,” kata Heros, penuh semangat.“Apa sih, Pah,” ujar Kevin, meminta ke dua orang tuanya untuk berhenti menggodanya.Kevin tidak tahan melihat ke dua pipi Zoya yang sudah merah, ingin rasanya Kevin menangkup ke dua pipi itu menggunakan tangan besarnya lalu memberi sedikit cubitan. Namun, sayangnya ke dua orang tua mereka masih ada di sana.“Mama sama Papa tumben main ke sini nggak bilang-bilang dulu?” tanya
Malam ini untuk pertama kalinya Zoya dan Kevin menempati kamar utama yang sudah sejak lama Kevin siapkan untuk istrinya nanti. Kamar yang menjadi saksi pergulatan panas mereka tadi siang yang akhirnya membawa ke duanya pada hubungan rumah tangga yang semakin erat.“Vin, lampunya nggak akan lo matiin, ‘kan?” tanya Zoya wajahnya penuh rasa takut terakhir kali lampu kamar dimatikan saat tidur, paginya Zoya demam sampai di bawa ke rumah sakit.“Kalau pakai lampu tidur aja gimana?” tanya Kevin.Zoya nampak berpikir lalu pada akhirnya mengangguk. “Boleh. Tapi lo tidurnya jangan jauh-jauh dari gue ya, gue takut gelap.”Kevin terkekeh pelan. “Dengan senang hati aku akan memberikan pelukan hangat, sayang.”“Ih, aku kamu? Kok gue geli ya dengerinya,” kata Zoya wajahnya terlihat tidak nyaman dengan panggilan baru itu. Wajar saja Zoya belum terbiasa, karena memang keseharian mereka hanya memanggil lo dan gue.“Loh, kenapa harus geli? Kita kan sudah suami istri, emang kamu nggak mau kehidupan rum
Keluarga Waldi dan Mila sudah sampai di rumah sakit, ketika diberi tahu Mila mengalami kecelakaan tentunya mereka syok berat bahkan Yalina sempat tidak sadarkan diri di rumah. “Kamu keterlaluan, Waldi!” Jeff murka setelah Waldi menjelaskan semuanya. Menurut Jeff, apa yang dilakukan Waldi memang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia.Jeff memutuskan untuk duduk supaya emosinya reda dari pada ia menjadi pusat perhatian karena membuat keributan di rumah sakit.“Setelah anakku keluar dari rumah sakit, ceraikan dia!” perintah Adra. Lelaki itu juga naik pitam karena cinta putri semata wayangnya dikhianati oleh Waldi. Waldi yang sebelumnya sudah mendapatkan restu dari keluarga, tapi dengan mudahnya mengkhianati begitu saja.“Abi, Waldi mohon beri satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya. Semua yang kalian dengar tidak seperti yang kalian kira,” kata Waldi, lelaki itu mencoba untuk meluruskan masalah, tapi semuanya sudah terlanjur berantakan.“Apa lagi yang mau kamu perbaiki, Wa
Sekarang Kevin dan Zoya sudah berada di rumah sendiri. Akhirnya bisa lepas dari pertanyaan ‘kapan punya momongan?’ dari orang tuanya sendiri. Jika mendengar pertanyaan yang sama lagi dari orang tuanya, Zoya ingin menenggelamkan diri saja di sungai Amazon.“Woy, lagi ngelamun in apa?” tanya Kevin yang tiba-tiba saja membawa banyak cemilan di tangannya.“Ih, apa itu? Gue mau dong.” Zoya menatap penuh minat jajanan di tangan Kevin.“Dih, ambil sendiri lah,” kata Kevin, sambil menyembunyikan jajanan yang ia bawa tadi.“Nggak usah pelit sama istri sendiri.” Zoya merebut paksa jajanan yang ada di tangan Kevin. Raut wajah kemenangan Zoya langsung terpancar jelas.“Malah ngalah mengalah aja lo baru sadar udah punya suami. Tapi lo lupa tugas sebagai istri itu apa aja,” kata Kevin, sambil membersihkan sisa-sisa micin di tangannya.“Bodo.” Lalu Zoya meninggalkan Kevin dan tidak lupa membawa jajanan yang sudah berhasil ia rampas tadi.Kevin yang ditinggalkan begitu saja pun merasa kesal dan marah
“Halo.”Mila begitu tenang mengangkat telepon, meskipun itu dari seorang perempuan yang sudah menghancurkan keluarga kecilnya.“Maaf, ini siapa ya?” tanya seseorang di seberang sana.“Saya istrinya,” jawab Mila, nada bicaranya masih terdengar tenang.“Saya ingin bicara sama Pak Waldi, apakah beliau ada?”“Siapa?” tanya Waldi tanpa suara hanya melalui gerakan mulutnya.Tanpa menjawab, Mila langsung memberikan ponsel itu kepada Waldi supaya lelaki itu bisa tahu sendiri. Saat Waldi hendak pergi, Mila menahan meminta lelaki itu berbicara di depannya. Waldi tidak punya pilihan sekali menuruti keinginan Mila.“Iya, kenapa, Sonya?” tanya Waldi nadanya sangat ramah sekali.Mendengar nada bicara Waldi kepada perempuan itu membuat Mila tersenyum sinis. Meskipun hati Mila teramat sakit, tapi ia mencoba untuk menjadi perempuan yang tenang.“Apa, kran kamar mandi di apartemen kamu rusak?”“Sewa saja orang untuk membetulkannya,” kata Mila, pelan.“Em, saya tidak bisa ke sana sekarang, karena masih
Keesokan paginya, tepatnya pada jam setengah enam subuh, Zoya nyaris berteriak saat melihat Kevin sedang melaksanakan sholat subuh. Zoya pikir Kevin adalah sosok hantu yang sedang berdiri, sebab penerangan yang remang-remang membuatnya hampir salah sangka.“Udah bangun?” tanya Kevin sambil melipat kembali sajadah yang baru saja ia pakai shalat subuh. Setelah itu Kevin melepas peci dan juga baju koko. Dari mana lelaki itu mendapat baju koko?“Baju koko siapa yang lo pake?” tanya Zoya dengan suara serak.“Bajunya Papa,” jawab Kevin.Zoya menganggukkan kepalanya lalu kembali memejamkan mata ingin melanjutkan tidur.“Kenapa lo nggak bangunin gue buat shalat?” tanya Zoya dengan mata terpejam.“Gue nggak mau maksa lo. Gue tau lo belum terbiasa,” jawab Kevin, santai.Zoya merasa malu, karena selama ini memang jarang sekali shalat, bahkan dalam satu tahun bisa dihitung pakai jari.“Lain kali ajarin gue shalat, gue juga pengen belajar bisa shalat lima waktu dalam satu hari,” kata Zoya.“Lo ngg