Pagi harinya.Waldi berangkat kerja sendiri sementara Mila berada di rumah sedang menyiapkan masakan untuk ia bawa ke rumah sakit. sejak semalam pada saat Waldi meminta agar hubungan rumah tangganya seperti orang pada umunya, sejak saat itu juga Mila mendiaminya.“Masih marah?” tanya Waldi menghampiri Mila yang sedang bergelut dengan peralatan masak.Mila hanya diam seperti tidak mendengar pertanyaan Waldi. Bahkan Mila mengacuhkan Waldi seolah tidak ada orang selain dirinya di dapur.“Aku minta maaf kalau ucapan aku semalam bikin kamu kesel,” kata Waldi, masih berusaha membujuk Mila supaya kembali seperti semula.Waldi tidak kunjung mendapat respon lelaki itu hanya menghela napasnya kasar memilih pergi dari pada harus marah-marah di dekat Mila. Waldi duduk di kursi meja makan menunggu sarapan yang sedang Mila siapkan untuknya.Secangkir teh panas dan dua helai roti panggang Mila taruh di depan Waldi. Masih tidak ada percakapan Mila pergi begitu saja. lagi-lagi Waldi hanya bisa menghel
Sesampainya di rumah, Waldi tidak langsung mandi melainkan pergi ke dapur membuat teh hangat untuk Mila karena sejak berada di dalam mobil Waldi melihat Mila hanya diam saja tidak seperti biasa. Sementara Mila membersihkan diri bersiap untuk tidur. Setelah selesai membuat teh Waldi pun ke kamar.“Mila, sudah selesai belum?” tanya Waldi pada saat mau masuk ke kamar. Pertanyaan seperti itu sudah sering terdengar pada saat Mila sedang selesai mandi atau ganti baju, karena Mila belum mengizinkan Waldi untuk melihatnya keseluruhan.“Sebentar lagi,” kata Mila, sedikit berteriak dari dalam kamar.Tidak berselang lama pintu kamar terbuka memperlihatkan Mila sudah siap dengan baju tidur dan kerudungnya.“Sudah selesai,” kata Mila, lalu mempersilahkan Waldi masuk.“Diminum tehnya supaya badannya jauh lebih baik. aku mau mandi dulu.” lalu Waldi masuk ke kamar mandi sementara Mila duduk di tepian kasur menatap secangkir teh buatan suaminya.Dari tatapan mata Mila, gadis itu merasa beruntung karen
“Selamat pagi.”Mila dikejutkan dengan suara yang sangat familiar, namun kali ini suaranya sedikit berbeda. Mila menoleh ke belakang dan mendapati Waldi sedang berada di belakangnya masih memakai piama semalam.“Kok belum mandi sih?” tanya Mila nada dan raut wajahnya terkejut.“Aku lagi males ke kantor,” jawab Waldi, enteng.“Kok males sih? Pekerjaan kamu kan banyak. Sudah sana mandi!” Mila mengusir Waldi, namun Waldi tetaplah Waldi yang sangat keras kepala.“Tidak mau.” Waldi mencomot tahu goreng yang sudah tertata rapi di piring.“Gosok gigi dulu kalau mau makan,” ucap Mila, menatap Waldi tajam. Lagi-lagi Waldi tidak mengindahkan ucapan Mila. Waldi ini sangat bandal seperti bocah berusia lima tahun.Mila menghela napasnya kasar, lalu kembali bersikap acuh memilih menyelesaikan masakannya.“Hehe, iya sayang, iya aku mandi nih.” Lalu Waldi berlalu pergi sebelum Mila mendiamkannya lebih lama.“Nah gitu dong,” gumam Mila.Mila sudah hampir selesai menata makanan untuk sarapan hari ini,
Sesampainya di mall, Mila dan Waldi langsung menuju bioskop karena Mila bilang pengen nonton.“Kamu yakin mau nonton film horror?” tanya Waldi mencoba memastikan. Bayangkan saja Mila memilih menonton film horor sementara Waldi tidak pernah menonton karena takut.“Kamu takut?” tanya Mila.Waldi langsung menggeleng. “Tidak.” Waldi bohong karena tidak mau dicap sebagai lelaki penakut.“Aku berani kok,” kata Waldi, mencoba meyakinkan.“Kalau berani ya sudah, mukanya biasa saja dong jangan ketakutan seperti itu.” Mila terkekeh pelan saat melihat wajah Waldi seperti ketakutan.Waldi langsung mengusap wajahnya. “Tidak kok, aku tidak takut.”Mila hanya terkekeh pelan lalu keduanya masuk ke ruang bioskop yang cukup ramai karena film yang Mila pilih sedang populer di kalangan anak remaja dan dewasa. Baru masuk saja sudah membuat bulu kuduk Waldi merinding. Waldi dan Mila duduk di tempat yang sudah dipilih.“Yakin mau nonton?” tanya Waldi sekali lagi masih memastikan.“Iya masih, kenapa sih?” Mi
“Tidak seharusnya kamu bicara seperti tadi sama Mama,” kata Mila, ada rasa tidak terima di dalam hatinya ketika Waldi bersikap kasar pada Irana. “Harga diri kamu dijatuhkan, Mila, mana mungkin aku bisa diam saja?” “Tapi tidak dengan bicara seperti tadi.” Waldi menghela nepas kasar mengusap wajahnya frustasi. Di satu sisi ia tidak mau Mila selalu direndahkan, tapi di satu sisi Mila juga tidak ingin dirinya menjadi anak pembangkang. “Lalu aku harus bagaimana? Aku merasa menjadi suami tidak berguna jika kamu direndahkan seperti itu di depanku.”’ “Kamu tidak perlu berbuat apa-apa, karena semuanya pasti akan berlalu. Kita ada Allah yang selalu melindungi kita. Aku di beri ujian seperti ini sudah pasti bisa melewatinya, karena Allah percaya aku bisa melewatinya dengan baik.” Waldi menghela napas kasar. “Maafkan atas sikapku yang tadi. Kamu benar, setiap ujian pasti bisa diselesaikan dan memberikan pelajaran luar biasa. Terima kasih kamu sudah membatku sadar.” Mila tersenyum dan mengan
Hari ini Irana sudah diperbolehkan pulang. Waldi yang seharusnya masuk ke kantor pun izin terlebih dahulu untuk memenuhi permintaan sang mama untuk menjemputnya di rumah sakit tentu saja bersama Mila yang selalu di sisinya.“Ih, kamu saja yang di belakang, aku ingin di depan bersama anakku,” kata Irana, sambil menarik Mila untuk mundur.Mila yang hendak masuk ke mobil pun mengurungkan niatnya. Gadis itu hanya bisa tersenyum mendapatkan perlakuan kurang baik dari mama mertuanya.“Mah, jangan seperti itu, Mila memang harus di depan menemani Waldi,” kata Jeff.“Apa sih Papa ini, Mama ingin duduk di depan bersama Waldi, memangnya salah? Lagian dia juga sudah sering bersama anak kita kan?” Irana dengan keras kepalanya langsung duduk di kursi depan bersama Waldi.“Sayang, tidak apa ya duduk di belakang dulu sama Papa,” kata Waldi, lelaki itu masih berusaha bersabar menghadapi sikap sang mama yang selalu saja semena-mena.“Iya tidak apa.” Lalu Mila membuka pintu belakang dan duduk di sana be
Mila mengetuk pelan pintu kamar sang mama mertua. “Mah, waktunya makan siang bersama, yuk.”“Makan saja sendiri saya nggak minat,” kata Irana, ketus.“Tapi Mama kan harus minum obat biar cepet sembuh.” Mila tidak menyerah untuk membujuk mama mertuanya.“Saya bilang tidak, ya tidak!”Mila hanya bisa menghela napasnya pelan pada saat mendapatkan penolakan berkali-kali dari mama mertuanya.“Ada apa?” tanya Waldi yang tiba-tiba saja datang dengan wajah bingung. Sebab Waldi melihat Mila yang hanya berdiri di depan pintu kamar saja.“Mama nggak mau makan,” jelas Mila wajahnya terlihat sedih.“Mah, ayo makan dong, Mila sudah masak banyak untuk makan siang kita.” Waldi ikut serta membujuk sang mama supaya mau makan siang bersama.Irana hanya diam, wanita itu tidur miring membelakangi pintu.“Mah.” Waldi masih terus sabar membujuk sang mama agar tetap mau makan karena Mila sudah susah payah memasak makan siang hari ini.“Mila sudah masak banyak, Mah, Mama harus makan.”“Mama tidak mau makan Wa
Pagi-pagi sekali Mila sudah tidak mendapati Waldi di tempat tidur. Kemana perginya lelaki itu? Begitulah hati Mila bertanya. Tanpa menunggu lama Mila pun pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.“Kemana sih dia?” gumam Mila, setelah selesai sholat subuh. Mila bergegas membereskan mukena dan sajadahnya.Mila keluar dari kamar, namun tidak mendapati Waldi. Rumahnya sepi seperti hanya dirinya yang menempati rumah itu.“Apa mungkin di dapur?” Mila bergegas ke dapur, tapi tidak mendapati Waldi di sana.“Sudah bangun sayang?”Suara itu membuat Mila menoleh ke belakang sudah Mila persiapkan rentetan pertanyaan untuk suaminya.“Dari mana saja sih? Kenapa tidak membangunkan aku? Hampir saja aku terlambat shalat subuh.”“Shut.” Waldi menempelkan jari telunjuknya tepat di bibir Mila meminta dengan halus supaya istrinya itu diam.“Ayo mandi dan kita langsung berangkat,” kata Waldi.Seketika kening Mila mengkerut, wajahnya kebingungan. “Berangkat? Memangnya kita mau kemana?”“Kamu lupa saya
“Kevin, lo kebiasaan banget sih taro handuk sembarangan kaya gini.” Pagi-pagi sekali rumah yang biasa sepi sekarang selalu dihiasi oleh teriakan melengking Zoya dengan permasalahan yang sama. setelah mandi Kevin kebiasaan menaruh handuk selalu di atas kasur sehingga membuat kasurnya basah.“Kenapa sih, sayang? Masih pagi ini marah-marah terus,” kata Kevin, berjalan sampai menghampiri Zoya seperti tidak ada dosa lelaki itu.“Udah berkali-kali aku bilang, handuk jangan taruh di kasur, nanti basah jadi jamuran.” Zoya berjalan ke kamar mandi untuk menaruh handuk itu pada tempatnya.“Marah-marah nih, nanti makin cantik gimana? Jangan-jangan kamu udah mau PMS ya, makanya moodnya naik turun gini?” Kevin menarik Zoya untuk duduk di pangkuannya. Masih dengan wajah yang ditekuk Zoya tidak mau menatap lelaki di depannya.“Wajahnya kok masih cemberut gitu sih, sayang?” Kevin mencoba membujuk Zoya supaya mau menatapnya, tapi hasilnya tetap gagal karena Zoya masih marah sama Kevin.“Lagian, harus b
Sebeluma akhirnya Mila memutuskan untuk menemui Waldi, ada banyak pertimbanga yang harus ia pikirkan. Setelah shalat dan berdoa meminta petunjuk kepada Allah, entah mengapa pikiran Mila langsung tertuju pada Waldi.“Aku ingin di posisi ini lebih lama sebelum kita ada di sidang perceraian besok,” kata Waldi, saat berada di dalam dekapan Mila yang selama ini ia rindukan. Waldi menangis di sana, ia tidak bisa menahan air matanya mengingat kebodohannya sampai membuat calon anak mereka tiada.Mila hanya diam. Tangan kanannya yang lembut dan mungil it uterus mengusap punggung suaminya yang lebar. Lagi-lagi Mila ingat besok adalah hari perceraian mereka. Keputusan terakhir sebelum berpisah secara agama dan negara.“Maafkan aku,” kata Waldi, lelaki itu tetap terus meminta maaf kepada Mila atas kesalahannya kemarin. Waldi sadar kesalahannya itu tidak bisa dimaafkan, tapi ia masih tetap berharap ada ruang kesempatan untuk dirinya memperbaiki semuanya.Mendengar kata maaf yang keluar dari mulut
Satu bulan telah berlalu, kondisi Mila yang semakin membaik setiap harinya membuat Yalina dan Adra senang dengan perkembangan itu. Sejak pulang dari rumah sakit, Mila sudah kembali tinggal bersama orang tuanya, sementara Waldi tinggal di rumah sendiri. Selama satu bulan itu Mila tidak tahu bagaimana kondisi Waldi dan tidak mau tahu juga. Rasa sakitnya masih terasa mendalam sampai saat ini.“Mila, besok adalah putusan sidang perceraian kalian. Apakah kamu yakin dengan keputusan ini?” tanya Adra kepada sang putri untuk mendapatkan jawaban sekali lagi yang lebih meyakinkan. Mila tetap memutuskan untuk berpisah dengan Waldi, karena ia merasa sudah tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.“Mila yakin, Abi. Mila tahu, perceraian tidak diajarkan dalam agama kita, tapi jika terus dipaksa bersama maka Mila yang terus mendapatkan dosa,” jelas Mila. Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat lagi.“Apakah kamu tahu bagaimana kondisi Waldi selama satu bulan terakhir ini?” tanya Adra lagi.Mila menggele
Pagi-pagi sekali ke dua orang tua Kevin berkunjung ke rumah, sebenarnya mereka berdua ingin berangkat ke kantor karena arah yang sama jadi mampir lebih dulu ke rumah anak mereka.“Wah, wah, ada apa gerangan ini kok pagi-pagi udah keramas aja, barengan lagi,” celetuk Heros pada saat melihat Zoya dan Kevin rambutnya sama-sama basah.Mendengar ucapan papa mertuanya membuat ke dua pipi Zoya merah merona karena malu.“Papa ini seperti tidak pernah merasakan jadi pengantin baru saja,” kata Anya, sambil menyenggol pelan siku sang suami.“Sepertinya sebentar lagi kita akan menimang cucu, Mah,” kata Heros, penuh semangat.“Apa sih, Pah,” ujar Kevin, meminta ke dua orang tuanya untuk berhenti menggodanya.Kevin tidak tahan melihat ke dua pipi Zoya yang sudah merah, ingin rasanya Kevin menangkup ke dua pipi itu menggunakan tangan besarnya lalu memberi sedikit cubitan. Namun, sayangnya ke dua orang tua mereka masih ada di sana.“Mama sama Papa tumben main ke sini nggak bilang-bilang dulu?” tanya
Malam ini untuk pertama kalinya Zoya dan Kevin menempati kamar utama yang sudah sejak lama Kevin siapkan untuk istrinya nanti. Kamar yang menjadi saksi pergulatan panas mereka tadi siang yang akhirnya membawa ke duanya pada hubungan rumah tangga yang semakin erat.“Vin, lampunya nggak akan lo matiin, ‘kan?” tanya Zoya wajahnya penuh rasa takut terakhir kali lampu kamar dimatikan saat tidur, paginya Zoya demam sampai di bawa ke rumah sakit.“Kalau pakai lampu tidur aja gimana?” tanya Kevin.Zoya nampak berpikir lalu pada akhirnya mengangguk. “Boleh. Tapi lo tidurnya jangan jauh-jauh dari gue ya, gue takut gelap.”Kevin terkekeh pelan. “Dengan senang hati aku akan memberikan pelukan hangat, sayang.”“Ih, aku kamu? Kok gue geli ya dengerinya,” kata Zoya wajahnya terlihat tidak nyaman dengan panggilan baru itu. Wajar saja Zoya belum terbiasa, karena memang keseharian mereka hanya memanggil lo dan gue.“Loh, kenapa harus geli? Kita kan sudah suami istri, emang kamu nggak mau kehidupan rum
Keluarga Waldi dan Mila sudah sampai di rumah sakit, ketika diberi tahu Mila mengalami kecelakaan tentunya mereka syok berat bahkan Yalina sempat tidak sadarkan diri di rumah. “Kamu keterlaluan, Waldi!” Jeff murka setelah Waldi menjelaskan semuanya. Menurut Jeff, apa yang dilakukan Waldi memang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia.Jeff memutuskan untuk duduk supaya emosinya reda dari pada ia menjadi pusat perhatian karena membuat keributan di rumah sakit.“Setelah anakku keluar dari rumah sakit, ceraikan dia!” perintah Adra. Lelaki itu juga naik pitam karena cinta putri semata wayangnya dikhianati oleh Waldi. Waldi yang sebelumnya sudah mendapatkan restu dari keluarga, tapi dengan mudahnya mengkhianati begitu saja.“Abi, Waldi mohon beri satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya. Semua yang kalian dengar tidak seperti yang kalian kira,” kata Waldi, lelaki itu mencoba untuk meluruskan masalah, tapi semuanya sudah terlanjur berantakan.“Apa lagi yang mau kamu perbaiki, Wa
Sekarang Kevin dan Zoya sudah berada di rumah sendiri. Akhirnya bisa lepas dari pertanyaan ‘kapan punya momongan?’ dari orang tuanya sendiri. Jika mendengar pertanyaan yang sama lagi dari orang tuanya, Zoya ingin menenggelamkan diri saja di sungai Amazon.“Woy, lagi ngelamun in apa?” tanya Kevin yang tiba-tiba saja membawa banyak cemilan di tangannya.“Ih, apa itu? Gue mau dong.” Zoya menatap penuh minat jajanan di tangan Kevin.“Dih, ambil sendiri lah,” kata Kevin, sambil menyembunyikan jajanan yang ia bawa tadi.“Nggak usah pelit sama istri sendiri.” Zoya merebut paksa jajanan yang ada di tangan Kevin. Raut wajah kemenangan Zoya langsung terpancar jelas.“Malah ngalah mengalah aja lo baru sadar udah punya suami. Tapi lo lupa tugas sebagai istri itu apa aja,” kata Kevin, sambil membersihkan sisa-sisa micin di tangannya.“Bodo.” Lalu Zoya meninggalkan Kevin dan tidak lupa membawa jajanan yang sudah berhasil ia rampas tadi.Kevin yang ditinggalkan begitu saja pun merasa kesal dan marah
“Halo.”Mila begitu tenang mengangkat telepon, meskipun itu dari seorang perempuan yang sudah menghancurkan keluarga kecilnya.“Maaf, ini siapa ya?” tanya seseorang di seberang sana.“Saya istrinya,” jawab Mila, nada bicaranya masih terdengar tenang.“Saya ingin bicara sama Pak Waldi, apakah beliau ada?”“Siapa?” tanya Waldi tanpa suara hanya melalui gerakan mulutnya.Tanpa menjawab, Mila langsung memberikan ponsel itu kepada Waldi supaya lelaki itu bisa tahu sendiri. Saat Waldi hendak pergi, Mila menahan meminta lelaki itu berbicara di depannya. Waldi tidak punya pilihan sekali menuruti keinginan Mila.“Iya, kenapa, Sonya?” tanya Waldi nadanya sangat ramah sekali.Mendengar nada bicara Waldi kepada perempuan itu membuat Mila tersenyum sinis. Meskipun hati Mila teramat sakit, tapi ia mencoba untuk menjadi perempuan yang tenang.“Apa, kran kamar mandi di apartemen kamu rusak?”“Sewa saja orang untuk membetulkannya,” kata Mila, pelan.“Em, saya tidak bisa ke sana sekarang, karena masih
Keesokan paginya, tepatnya pada jam setengah enam subuh, Zoya nyaris berteriak saat melihat Kevin sedang melaksanakan sholat subuh. Zoya pikir Kevin adalah sosok hantu yang sedang berdiri, sebab penerangan yang remang-remang membuatnya hampir salah sangka.“Udah bangun?” tanya Kevin sambil melipat kembali sajadah yang baru saja ia pakai shalat subuh. Setelah itu Kevin melepas peci dan juga baju koko. Dari mana lelaki itu mendapat baju koko?“Baju koko siapa yang lo pake?” tanya Zoya dengan suara serak.“Bajunya Papa,” jawab Kevin.Zoya menganggukkan kepalanya lalu kembali memejamkan mata ingin melanjutkan tidur.“Kenapa lo nggak bangunin gue buat shalat?” tanya Zoya dengan mata terpejam.“Gue nggak mau maksa lo. Gue tau lo belum terbiasa,” jawab Kevin, santai.Zoya merasa malu, karena selama ini memang jarang sekali shalat, bahkan dalam satu tahun bisa dihitung pakai jari.“Lain kali ajarin gue shalat, gue juga pengen belajar bisa shalat lima waktu dalam satu hari,” kata Zoya.“Lo ngg