“Selamat pagi.”Mila dikejutkan dengan suara yang sangat familiar, namun kali ini suaranya sedikit berbeda. Mila menoleh ke belakang dan mendapati Waldi sedang berada di belakangnya masih memakai piama semalam.“Kok belum mandi sih?” tanya Mila nada dan raut wajahnya terkejut.“Aku lagi males ke kantor,” jawab Waldi, enteng.“Kok males sih? Pekerjaan kamu kan banyak. Sudah sana mandi!” Mila mengusir Waldi, namun Waldi tetaplah Waldi yang sangat keras kepala.“Tidak mau.” Waldi mencomot tahu goreng yang sudah tertata rapi di piring.“Gosok gigi dulu kalau mau makan,” ucap Mila, menatap Waldi tajam. Lagi-lagi Waldi tidak mengindahkan ucapan Mila. Waldi ini sangat bandal seperti bocah berusia lima tahun.Mila menghela napasnya kasar, lalu kembali bersikap acuh memilih menyelesaikan masakannya.“Hehe, iya sayang, iya aku mandi nih.” Lalu Waldi berlalu pergi sebelum Mila mendiamkannya lebih lama.“Nah gitu dong,” gumam Mila.Mila sudah hampir selesai menata makanan untuk sarapan hari ini,
Sesampainya di mall, Mila dan Waldi langsung menuju bioskop karena Mila bilang pengen nonton.“Kamu yakin mau nonton film horror?” tanya Waldi mencoba memastikan. Bayangkan saja Mila memilih menonton film horor sementara Waldi tidak pernah menonton karena takut.“Kamu takut?” tanya Mila.Waldi langsung menggeleng. “Tidak.” Waldi bohong karena tidak mau dicap sebagai lelaki penakut.“Aku berani kok,” kata Waldi, mencoba meyakinkan.“Kalau berani ya sudah, mukanya biasa saja dong jangan ketakutan seperti itu.” Mila terkekeh pelan saat melihat wajah Waldi seperti ketakutan.Waldi langsung mengusap wajahnya. “Tidak kok, aku tidak takut.”Mila hanya terkekeh pelan lalu keduanya masuk ke ruang bioskop yang cukup ramai karena film yang Mila pilih sedang populer di kalangan anak remaja dan dewasa. Baru masuk saja sudah membuat bulu kuduk Waldi merinding. Waldi dan Mila duduk di tempat yang sudah dipilih.“Yakin mau nonton?” tanya Waldi sekali lagi masih memastikan.“Iya masih, kenapa sih?” Mi
“Tidak seharusnya kamu bicara seperti tadi sama Mama,” kata Mila, ada rasa tidak terima di dalam hatinya ketika Waldi bersikap kasar pada Irana. “Harga diri kamu dijatuhkan, Mila, mana mungkin aku bisa diam saja?” “Tapi tidak dengan bicara seperti tadi.” Waldi menghela nepas kasar mengusap wajahnya frustasi. Di satu sisi ia tidak mau Mila selalu direndahkan, tapi di satu sisi Mila juga tidak ingin dirinya menjadi anak pembangkang. “Lalu aku harus bagaimana? Aku merasa menjadi suami tidak berguna jika kamu direndahkan seperti itu di depanku.”’ “Kamu tidak perlu berbuat apa-apa, karena semuanya pasti akan berlalu. Kita ada Allah yang selalu melindungi kita. Aku di beri ujian seperti ini sudah pasti bisa melewatinya, karena Allah percaya aku bisa melewatinya dengan baik.” Waldi menghela napas kasar. “Maafkan atas sikapku yang tadi. Kamu benar, setiap ujian pasti bisa diselesaikan dan memberikan pelajaran luar biasa. Terima kasih kamu sudah membatku sadar.” Mila tersenyum dan mengan
Hari ini Irana sudah diperbolehkan pulang. Waldi yang seharusnya masuk ke kantor pun izin terlebih dahulu untuk memenuhi permintaan sang mama untuk menjemputnya di rumah sakit tentu saja bersama Mila yang selalu di sisinya.“Ih, kamu saja yang di belakang, aku ingin di depan bersama anakku,” kata Irana, sambil menarik Mila untuk mundur.Mila yang hendak masuk ke mobil pun mengurungkan niatnya. Gadis itu hanya bisa tersenyum mendapatkan perlakuan kurang baik dari mama mertuanya.“Mah, jangan seperti itu, Mila memang harus di depan menemani Waldi,” kata Jeff.“Apa sih Papa ini, Mama ingin duduk di depan bersama Waldi, memangnya salah? Lagian dia juga sudah sering bersama anak kita kan?” Irana dengan keras kepalanya langsung duduk di kursi depan bersama Waldi.“Sayang, tidak apa ya duduk di belakang dulu sama Papa,” kata Waldi, lelaki itu masih berusaha bersabar menghadapi sikap sang mama yang selalu saja semena-mena.“Iya tidak apa.” Lalu Mila membuka pintu belakang dan duduk di sana be
Mila mengetuk pelan pintu kamar sang mama mertua. “Mah, waktunya makan siang bersama, yuk.”“Makan saja sendiri saya nggak minat,” kata Irana, ketus.“Tapi Mama kan harus minum obat biar cepet sembuh.” Mila tidak menyerah untuk membujuk mama mertuanya.“Saya bilang tidak, ya tidak!”Mila hanya bisa menghela napasnya pelan pada saat mendapatkan penolakan berkali-kali dari mama mertuanya.“Ada apa?” tanya Waldi yang tiba-tiba saja datang dengan wajah bingung. Sebab Waldi melihat Mila yang hanya berdiri di depan pintu kamar saja.“Mama nggak mau makan,” jelas Mila wajahnya terlihat sedih.“Mah, ayo makan dong, Mila sudah masak banyak untuk makan siang kita.” Waldi ikut serta membujuk sang mama supaya mau makan siang bersama.Irana hanya diam, wanita itu tidur miring membelakangi pintu.“Mah.” Waldi masih terus sabar membujuk sang mama agar tetap mau makan karena Mila sudah susah payah memasak makan siang hari ini.“Mila sudah masak banyak, Mah, Mama harus makan.”“Mama tidak mau makan Wa
Pagi-pagi sekali Mila sudah tidak mendapati Waldi di tempat tidur. Kemana perginya lelaki itu? Begitulah hati Mila bertanya. Tanpa menunggu lama Mila pun pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.“Kemana sih dia?” gumam Mila, setelah selesai sholat subuh. Mila bergegas membereskan mukena dan sajadahnya.Mila keluar dari kamar, namun tidak mendapati Waldi. Rumahnya sepi seperti hanya dirinya yang menempati rumah itu.“Apa mungkin di dapur?” Mila bergegas ke dapur, tapi tidak mendapati Waldi di sana.“Sudah bangun sayang?”Suara itu membuat Mila menoleh ke belakang sudah Mila persiapkan rentetan pertanyaan untuk suaminya.“Dari mana saja sih? Kenapa tidak membangunkan aku? Hampir saja aku terlambat shalat subuh.”“Shut.” Waldi menempelkan jari telunjuknya tepat di bibir Mila meminta dengan halus supaya istrinya itu diam.“Ayo mandi dan kita langsung berangkat,” kata Waldi.Seketika kening Mila mengkerut, wajahnya kebingungan. “Berangkat? Memangnya kita mau kemana?”“Kamu lupa saya
Setelah kurang lebih tujuh jam menempuh perjalanan di udara akhirnya Waldi dan Mila sampai di Tokyo Jepang.“Jadi, kita pergi ke Jepang?” tanya Mila penuh rasa terkejut karena memang sebelumnya Waldi tidak bilang mau pergi ke mana.Waldi mengangguk penuh rasa bahagia. “Iya. Gimana, suka nggak?”Mila tersenyum lebar. “Aku suka banget. Makasih suamiku.”Secara spontan Mila memeluk Waldi membuat lelaki itu terkejut sekaligus bahagia karena Mila sudah semakin mau bersentuhan fisik dengannya.“Eh, maaf.” Mila langsung melepaskan pelukannya setelah sadar memeluk Waldi sebegitu eratnya.Waldi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mereka berdua sama-sama canggung seperti remaja yang baru saja merasakan jatuh cinta.“Sebenarnya nggak papa sih, aku malah seneng,” kata Waldi.“Ish, apa sih.” Mila mencubit pinggang Waldi karena salah tingkah.“Kita mau di sini sampai berapa hari?” tanya Mila karena lagi-lagi Waldi tidak memberitahunya.“Sampai kamu merasa bosan dan ingin pulang ke Indonesia,” ja
Esok paginya ….Mila masih meringkuk di atas kasur dibalut selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya. Tubuh yang masih polos tanpa sehelai benangpun itu merasakan kelembutan dan kehangatan sepasang tangan yang begitu erat memeluknya dari belakang.Salju di kota Jepang semakin lebat, bahkan butiran putih bersih itu sudah menutupi sebagian jalanan kota. Udara dingin yang begitu mendukung membuat Mila dan Waldi masih tertidur pulas setelah semalam penuh terjadi pertempuran di atas ranjang.Bunyi alarm ponsel membuat tidur Mila terganggu, ia membuka kelopak matanya yang terasa berat, tangannya mencoba mencari-cari dimana ponsel itu berada untuk mematikan alarm.“Jam berapa sayang?” tanya Waldi dengan suara parau khas orang bangun tidur. Lelaki itu mengerjapkan matanya pelan untuk menyesuaikan cahaya ponsel milik istrinya.“Sudah jam lima, bangun dulu abis itu shalat subuh,” ujar Mila, kembali meletakkan ponsel di atas nakas.“Memangnya kamu lupa?” tanya Waldi.“Lupa apa?” kening Mila mengke