Esok paginya ….Mila masih meringkuk di atas kasur dibalut selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya. Tubuh yang masih polos tanpa sehelai benangpun itu merasakan kelembutan dan kehangatan sepasang tangan yang begitu erat memeluknya dari belakang.Salju di kota Jepang semakin lebat, bahkan butiran putih bersih itu sudah menutupi sebagian jalanan kota. Udara dingin yang begitu mendukung membuat Mila dan Waldi masih tertidur pulas setelah semalam penuh terjadi pertempuran di atas ranjang.Bunyi alarm ponsel membuat tidur Mila terganggu, ia membuka kelopak matanya yang terasa berat, tangannya mencoba mencari-cari dimana ponsel itu berada untuk mematikan alarm.“Jam berapa sayang?” tanya Waldi dengan suara parau khas orang bangun tidur. Lelaki itu mengerjapkan matanya pelan untuk menyesuaikan cahaya ponsel milik istrinya.“Sudah jam lima, bangun dulu abis itu shalat subuh,” ujar Mila, kembali meletakkan ponsel di atas nakas.“Memangnya kamu lupa?” tanya Waldi.“Lupa apa?” kening Mila mengke
Waldi membawa Mila ke salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar berada di kota Jepang. “Kenapa kita ke sini?” tanya Mila menatap suaminya penuh kebingungan. “Kita membutuhkan banyak baju hangat di sini,” jawab Waldi. “Memangnya mau selama apa kita berada di sini?” “Kalau kamu sudah bosan di sini maka kita akan pulang,” jawab Waldi enteng tanpa ada beban. Mendengar ucapan suaminya, Mila hanya bisa menghela napas kasar. begitulah Waldi, tidak bisa diprediksi jika sudah membuat sebuah rencana. “Ya sudah, ayo kita cari baju hangatnya.” Waldi menarik Mila ke salah satu tempat yang menjual baju-baju musim dingin merek ternama yang tentunya dengan harga tinggi. “Kenapa dari sekian banyak toko yang menjual baju hangat, kamu mengajak aku ke tempat ini? Aku tahu ini merek yang sangat terkenal dengan harga yang sudah pasti tidak main-main,” omel Mila, kesal. Mila kesal karena Waldi langsung membawanya ke tempat yang mahal. “Aku ingin memberikan yang terbaik untuk istriku, memangnya s
“Kamu lagi kemana sih, Waldi? Kenapa pagi-pagi sekali sudah tidak ada di rumah? istri kamu juga kemana?”Rentetan pertanyaan itu Waldi dapatkan dari sebuah sambungan telepon siapa lagi kalau bukan sang mama.“Waldi sama Mila lagi pergi bulan madu ke Jepang, Mah,” jawab Waldi, dengan santainya lelaki itu pergi ke dapur memeluk Mila dari belakang yang sedang sibuk memasak untuk makan malam mereka nanti.“Pergi bulan madu? Kenapa tidak bilang sama Mama sih?” nada bicara Irana sedikit tinggi karena marah bercampur kesal tidak diberi kabar.“Mendadak, Mah,” jawab Waldi, lagi-lagi dengan santainya.“Pasti istri kamu itu kan yang menghasut kamu supaya tidak bilang ke Mama? Sudah Mama duga dia itu wanita tidak baik, untuk apa gamis dan jilbab panjangnya itu nyatanya hatinya busuk.”“Mama ini kenapa sih selalu saja menyalahkan Mila? Dia tidak tahu apa-apa.”Mila yang disebut namanya tidak tahu apa-apa hanya bisa menatap Waldi dengan tatapan polos.“Kenapa?” tanya Mila melalui gerak bibirnya. W
Sesuai janji Waldi pada saat makan malam, siang hari ini Waldi mengajak Mila untuk mencari kulineran di Jepang tentu dengan cuaca yang masih saja dingin.“Capek ya?” tanya Waldi pada saat melihat wajah Mila seperti kelelahan akibat berjalan cukup jauh.“Lumayan,” jawab Mila, disertai senyum manis di wajahnya. Udara yang cukup dingin membuat pipi Mila terlihat kemerahan.“Pipi kamu merah,” jawab Waldi. “Pasti karena suhu yang cukup dingin,” sambung Waldi.“Tidak apa, sedikit perih sih sebenarnya, tapi nggak mungkin kita pulang kan sudah berjalan sejauh ini,” ujar Mila.“Ya sudah, kita masuk saja ke dalam kedai supaya tidak terlalu dingin.” Waldi menarik pelan pergelangan tangan Mila dibawa masuk ke dalam kedai yang akan mereka cicipi dagangannya.Waldi memilih tempat duduk di dekat jendela yang memperlihatkan pemandangan jalan dengan gundukan salju yang cukup tebal.“Sepertinya Nabemono ini enak,” kata Mila, sambil menunjuk salah satu gambar di buku menu.“Membayangkan kuahnya masuk ke
“Sayang, diminum dulu teh hangatnya,” ujar Waldi, sambil meletakkan secangkir teh hangat di depan Mila yang sedang duduk di meja makan.Beberapa saat setelah mereka sampai di rumah, Waldi dan Mila langsung menuju dapur karena Waldi memaksa Mila untuk minum yang hangat-hangat dulu karena Mila sedikit demam akibat perubahan cuaca yang sangat drastis.“Sebelum tidur minum obat dulu ya supaya demamnya turun,” kata Waldi, sambil menarik kursi supaya duduknya berdekatan dengan Mila.“Ini hanya demam biasa, setelah minum teh hangat ini pasti akan membaik.”“Kamu itu dibilangin jangan ngeyel, pokoknya harus minum obat sebelum tidur!” Waldi berucap tegas membuat Mila tidak bisa mencari alasan.Mila menghela napas kasar. “Baiklah.”Nada bicara Mila yang berubah membuat Waldi mengerutkan kening. “Kamu marah?”Mila hanya menjawab dengan gelengan kepala.“Apa salah aku khawatir sama kondisi istri sendiri?” tanya Waldi.Mila kembali menggeleng lalu menjawab dengan suara lirih. “Tidak.”“Lalu kenapa
Setelah selesai shalat subuh, Mila memutuskan membuat teh hangat untuk Waldi sementara suaminya itu berada di kamar membereskan tempat tidur. Mila yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, tiba-tiba saja berhenti karena mendengar suara Waldi yang semakin dekat, terdengar lelaki itu sedang berbicara dengan seseorang.Mila menatap ke depan, di sana ada Waldi yang baru saja duduk di kursi meja makan sambil memegang telepon yang diletakkan di telinga. Buru-buru Mila membawa teh buatannya ke meja makan dan beberapa cemilan untuk sarapan.“Papa kan tahu sendiri Waldi sama Mila lagi bulan madu di sini,” ujar Waldi.“Nggak bisa cepet dong, Pah. Ya sudah, akan Waldi bicarakan sama Mila. Wassalamualaikum.” Sambungan telepon pun tertutup dan Waldi meletakkan ponselnya tepat di samping kanan di mana gelas teh berada.“Ada apa?” tanya Mila dengan penuh rasa penasaran. Sebab melihat wajah Waldi yang tidak enak dipandang membuat banyak pertanyaan muncul di dalam pikiran Mila.“Mama masuk rumah sakit la
Sesampainya Waldi dan Mila di Indonesia, keduanya langsung menuju kediaman orang tua Waldi.“Bagaimana keadaan Mama, Pah?” tanya Waldi kepada sang papa. dua lelaki itu sedang duduk di meja makan membicarakan kesehatan Irana yang akhir-akhir ini sedikit bermasalah.“Kata dokter sudah cukup membaik. Sepertinya akhir-akhir ini Mamamu sedang banyak pikiran, Waldi. Bisakah kamu memberinya sedikit perhatian saja?”“Pah, harus bagaimana lagi Waldi memberi perhatian kepada Mama? Mila juga sudah memberi perhatian, tapi sampai detik ini Waldi tidak melihat Mama bersyukur mendapatkan semua itu.”“Bukan Waldi tidak mau memberikan Mama perhatian, tapi sikap Mama yang kasar kepada Mila membuat Waldi geram. Suami mana yang tidak marah ketika istrinya di perlakukan seperti itu oleh mertua sendiri yang tidak lain adalah Mama Waldi sendiri, Pah?”“Papa mengerti dan Papa juga paham betul bagaimana Mila mencoba mendekatkan diri sama Mamamu, tapi kamu tahu sendiri bagaimana dia yang sangat keras kepala.”
“Mas ….”“Oh, jadi perubahan sikap kamu ke aku karena dia? Ada hubungan spesial apa kamu sama dia sampai-sampai berubah begini?”“Waldi, tenangkan dirimu dan dengarkan penjelasan kita dulu,” ujar Kevin, yang mencoba menenangkan Waldi supaya tidak marah kepada Mila.“Penjelasan apa lagi? kalian berdua sudah tertangkap basah masih mau membela diri?” Waldi terkekeh mengejek. Hati Waldi sangat sakit karena merasa terkhianati, ternyata sampai kapan pun Mila tidak akan pernah mencintainya. Apalah dirinya hanya seorang laki-laki yang pernah terjun ke dunia malam berharap mendapatkan sosok perempuan yang sholihah? Mustahil! Sekarang Waldi sedang menertawakan dirinya sendiri.“Aku dan Kevin tidak sengaja bertemu di sini,” kata Mila.“Tidak sengaja bertemu? Sangat kebetulan sekali bukan? Kamu pikir aku percaya. Mila, aku memang mencintaimu, tapi bukan berarti aku bodoh. Kamu dan dia saling mencintai bukan? Jangan katakan ‘tidak’ sejak awal aku sudah menduga dan bodohnya aku berharap kamu bisa m