Sesampainya Waldi dan Mila di Indonesia, keduanya langsung menuju kediaman orang tua Waldi.“Bagaimana keadaan Mama, Pah?” tanya Waldi kepada sang papa. dua lelaki itu sedang duduk di meja makan membicarakan kesehatan Irana yang akhir-akhir ini sedikit bermasalah.“Kata dokter sudah cukup membaik. Sepertinya akhir-akhir ini Mamamu sedang banyak pikiran, Waldi. Bisakah kamu memberinya sedikit perhatian saja?”“Pah, harus bagaimana lagi Waldi memberi perhatian kepada Mama? Mila juga sudah memberi perhatian, tapi sampai detik ini Waldi tidak melihat Mama bersyukur mendapatkan semua itu.”“Bukan Waldi tidak mau memberikan Mama perhatian, tapi sikap Mama yang kasar kepada Mila membuat Waldi geram. Suami mana yang tidak marah ketika istrinya di perlakukan seperti itu oleh mertua sendiri yang tidak lain adalah Mama Waldi sendiri, Pah?”“Papa mengerti dan Papa juga paham betul bagaimana Mila mencoba mendekatkan diri sama Mamamu, tapi kamu tahu sendiri bagaimana dia yang sangat keras kepala.”
“Mas ….”“Oh, jadi perubahan sikap kamu ke aku karena dia? Ada hubungan spesial apa kamu sama dia sampai-sampai berubah begini?”“Waldi, tenangkan dirimu dan dengarkan penjelasan kita dulu,” ujar Kevin, yang mencoba menenangkan Waldi supaya tidak marah kepada Mila.“Penjelasan apa lagi? kalian berdua sudah tertangkap basah masih mau membela diri?” Waldi terkekeh mengejek. Hati Waldi sangat sakit karena merasa terkhianati, ternyata sampai kapan pun Mila tidak akan pernah mencintainya. Apalah dirinya hanya seorang laki-laki yang pernah terjun ke dunia malam berharap mendapatkan sosok perempuan yang sholihah? Mustahil! Sekarang Waldi sedang menertawakan dirinya sendiri.“Aku dan Kevin tidak sengaja bertemu di sini,” kata Mila.“Tidak sengaja bertemu? Sangat kebetulan sekali bukan? Kamu pikir aku percaya. Mila, aku memang mencintaimu, tapi bukan berarti aku bodoh. Kamu dan dia saling mencintai bukan? Jangan katakan ‘tidak’ sejak awal aku sudah menduga dan bodohnya aku berharap kamu bisa m
“Mila, kok mata kamu sembab? Kamu habis nangis?” tanya Yalina yang tiba-tiba saja datang ke rumah Mila karena mengetahui putrid an menantunya sudah kembali dari Jepang.“Masa sih, Umi? Mungkin karena Mila baru bangun tidur,” ujar Mila, sengaja menutupi semuanya karena tidak mau membuat suasana semakin runyam. Jika Yalina dan Adra tahu Mila menangis karena Waldi, sudah pasti tidak akan terima.“Kamu benar baik-baik saja? kalian sedang tidak ada masalah, ‘kan?” tanya Adra yang ikut khawatir dengan kondisi putrinya.Mila tersenyum. “Alhamdulillah hubungan kami baik-baik saja kok, Umi, Abi.”“Syukurlah.” Adra sedikit lega, namun sembab di kedua mata putrinya belum membuat hatinya tenang. sebab Adra tidak pernah melihat wajah Mila yang sangat sembab seperti pagi ini.“Jadi bagaimana? Apa cucu Umi dan Abi sedang dalam proses?” Yalin menggoda putri tercintanya untuk membuat suasana mencair.“Umi.” Mila bernada manja, masih menyembunyikan rasa sakit di hatinya akibat kejadian semalam.“Waldi
Setelah melihat semua rekaman CCTV sejak awal Zoya masuk sampai terjadi insiden, Mila pun akhirnya mengerti dan sudah tidak salah paham lagi.“Bagaimana?” tanya Waldi, kepada Mila yang sedang menatap layar komputer CCTV.Mila mengangguk samar. “Iya, aku percaya.”Mila menatap Zoya dengan tajam, penuh rasa tidak suka. Apa maksud kedatangan Zoya ke kantor pada saat Waldi sedang sendiri di ruangan? Apakah Zoya kurang puas hampir membuat rumah tangganya berantakan?“Kenapa masih di sini? Belum cukup malu setelah melihat rekaman CCTV tadi?” sindir Mila, tajam.Zoya langsung mengambil tas kecilnya. “Ingat, kalian berdua tidak akan pernah bahagia! Tuhan pasti akan mengutuk kalian karena telah bahagia di atas penderitaan orang lain!”“Kita lihat saja nanti siapa yang akan hancur lebih dulu,” kata Waldi.Zoya melirik Waldi dan Mila secara bergantian, lalu wanita itu pergi dengan dendam yang semakin menguasai diri.Di dalam ruangan itu sekarang hanya ada Waldi dan Mila. Keduanya saling diam mes
“Bagaimana kondisi istri saya, Dok?” tanya Waldi dengan raut wajah khawatir. Mila sudah selesai diperiksa oleh dokter.“Hanya kelelahan, Pak. Sepertinya Ibu Mila terlalu banyak pikiran, darahnya juga rendah, nanti akan saya resepkan obat penambah darah,” jelas sang dokter sambil duduk di tempatnya dan kemudian menuliskan beberapa resep yang nantinya akan Waldi tebus di apotek.“Makanan yang masuk juga harus lebih diperhatikan lagi ya, Pak, sepertinya istri Pak Waldi kalau sedang banyak pikiran pola makannya tidak teratur,” sambung dokter itu sambil memberikan resep yang sudah selesai ditulis.“Baik, Dok, saya akan lebih memperhatikan pola makan istri saya,” kata Waldi.“Ada lagi yang mau ditanyakan, Pak?” tanya dokter.“Tidak ada, Dok. Terima kasih.” Waldi menjabat tangan sang dokter lalu kemudian keluar dari ruangan itu bersama dengan Mila.“Dengar kana pa kata dokter tadi?” tanya Waldi.“Iya,” jawab Mila, singkat.“Sebenarnya kamu lagi banyak pikiran apa sih? Kenapa nggak cerita ke
Jam sepuluh malam Waldi baru saja sampai di rumah, lelaki itu langsung membersihkan badan sebelum istirahat. Tidur nyaman Mila terusik mendengar suara air keran menyala dari kamar mandi. Wanita itu bangun mencari sosok Waldi, tapi tidak ada di sampingnya. Tidak lama suara air kran dari kamar mandi berhenti.“Kok bangun sayang? Keganggu sama suara kran air ya?” Waldi berjalan mendekati Mila masih dalam keadaan menggunakan handuk. Bagian atas yang terbuka memperlihatkan bentuk tubuh yang kekar membuat Mila terpana.“Kenapa?” tanya Waldi sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Mila.Mila memejamkan mata saat aroma segar Waldi tercium. Mila menghirup dalam-dalam aromanya ekspresi Mila membuat Waldi terkekeh pelan.“Peluk juga nggak papa kok,” kata Waldi.Sontak Mila membuka mata dan menjauhkan dirinya. Malu yang dirasakan Mila membuat ke dua pipi wanita itu merah merona.“Apa sih. Sudah sana ganti baju,” usir Mila, secara terang-terangan.“Yakin? Bukannya kamu lebih suka aku seperti ini?”
Pagi-pagi sekali Waldi dan Mila sudah rapi karena hari ini mereka berdua akan menempuh perjalanan menuju bali menggunakan pesawat terbang. Ya, Waldi memilih gunung Batur yang terletak di daerah Kintamani, Bali, untuk camping bersama Mila. Selain pusat danau Batur yang indah, gunung Batur juga trekking yang tidak terlalu sulit, paling membutuhkan waktu 3 jam untuk mencapai puncak.Kurang lebih dua jam lamanya Waldi dan Mila berada di udara, kini keduanya sudah sampai di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Perjalanan mereka tidak berhenti sampai di situ, masih ada dua jam lagi perjalanan menuju gunung Batur. Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan itu tidak terasa bagi Mila karena Waldi selalu menghiburnya di sepanjang perjalanan.“Pemandangan Bali selalu indah ya,” kata Mila, dengan wajah tersenyum pada saat melihat pemandangan yang sangat indah.“Ini pertama kalinya aku ke Bali,” sambung Mila.Waldi tersenyum, lelaki itu menggenggam tangan Mila dengan penuh cinta. “Aku
Sejak dua puluh menit yang lalu, ke dua mata Waldi tidak bosan-bosannya menatap wajah Mila yang sedang terlelap di bawah hangatnya selimut tebal. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul lima subuh, tapi Waldi belum berniat membangunkan Mila untuk shalat subuh berjamaah.Senyum tipis selalu muncul di wajah Waldi, mengagumi kecantikan bidadari yang sedang menikmati mimpi. Waldi membelai ringan pipi Mila yang terasa halus. Sampai detik ini Waldi masih tidak menyangka ia bisa menikahi Mila.“Aku tahu, pada saat awal-awal menikah kamu pasti tersiksa. Maafkan aku yang sudah sangat egois merenggut semua kebahagiaan dan cita-cita kamu,” kata Waldi, dengan suara pelan. Tanpa lelaki itu sadari air matanya sudah menggenang.Mila mengerjapkan mata, sebab tidurnya terusik dengan hangatnya napas yang menyapu permukaan lehernya. Wanita itu menoleh ke samping dan mendapati Waldi sedang menenggelamkan wajah di sana.“Mas.” Mila memanggil Waldi dengan suara serak.“Hmm.” Waldi hanya sanggup berdehem kar