“Bagaimana kondisi istri saya, Dok?” tanya Waldi dengan raut wajah khawatir. Mila sudah selesai diperiksa oleh dokter.“Hanya kelelahan, Pak. Sepertinya Ibu Mila terlalu banyak pikiran, darahnya juga rendah, nanti akan saya resepkan obat penambah darah,” jelas sang dokter sambil duduk di tempatnya dan kemudian menuliskan beberapa resep yang nantinya akan Waldi tebus di apotek.“Makanan yang masuk juga harus lebih diperhatikan lagi ya, Pak, sepertinya istri Pak Waldi kalau sedang banyak pikiran pola makannya tidak teratur,” sambung dokter itu sambil memberikan resep yang sudah selesai ditulis.“Baik, Dok, saya akan lebih memperhatikan pola makan istri saya,” kata Waldi.“Ada lagi yang mau ditanyakan, Pak?” tanya dokter.“Tidak ada, Dok. Terima kasih.” Waldi menjabat tangan sang dokter lalu kemudian keluar dari ruangan itu bersama dengan Mila.“Dengar kana pa kata dokter tadi?” tanya Waldi.“Iya,” jawab Mila, singkat.“Sebenarnya kamu lagi banyak pikiran apa sih? Kenapa nggak cerita ke
Jam sepuluh malam Waldi baru saja sampai di rumah, lelaki itu langsung membersihkan badan sebelum istirahat. Tidur nyaman Mila terusik mendengar suara air keran menyala dari kamar mandi. Wanita itu bangun mencari sosok Waldi, tapi tidak ada di sampingnya. Tidak lama suara air kran dari kamar mandi berhenti.“Kok bangun sayang? Keganggu sama suara kran air ya?” Waldi berjalan mendekati Mila masih dalam keadaan menggunakan handuk. Bagian atas yang terbuka memperlihatkan bentuk tubuh yang kekar membuat Mila terpana.“Kenapa?” tanya Waldi sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Mila.Mila memejamkan mata saat aroma segar Waldi tercium. Mila menghirup dalam-dalam aromanya ekspresi Mila membuat Waldi terkekeh pelan.“Peluk juga nggak papa kok,” kata Waldi.Sontak Mila membuka mata dan menjauhkan dirinya. Malu yang dirasakan Mila membuat ke dua pipi wanita itu merah merona.“Apa sih. Sudah sana ganti baju,” usir Mila, secara terang-terangan.“Yakin? Bukannya kamu lebih suka aku seperti ini?”
Pagi-pagi sekali Waldi dan Mila sudah rapi karena hari ini mereka berdua akan menempuh perjalanan menuju bali menggunakan pesawat terbang. Ya, Waldi memilih gunung Batur yang terletak di daerah Kintamani, Bali, untuk camping bersama Mila. Selain pusat danau Batur yang indah, gunung Batur juga trekking yang tidak terlalu sulit, paling membutuhkan waktu 3 jam untuk mencapai puncak.Kurang lebih dua jam lamanya Waldi dan Mila berada di udara, kini keduanya sudah sampai di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Perjalanan mereka tidak berhenti sampai di situ, masih ada dua jam lagi perjalanan menuju gunung Batur. Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan itu tidak terasa bagi Mila karena Waldi selalu menghiburnya di sepanjang perjalanan.“Pemandangan Bali selalu indah ya,” kata Mila, dengan wajah tersenyum pada saat melihat pemandangan yang sangat indah.“Ini pertama kalinya aku ke Bali,” sambung Mila.Waldi tersenyum, lelaki itu menggenggam tangan Mila dengan penuh cinta. “Aku
Sejak dua puluh menit yang lalu, ke dua mata Waldi tidak bosan-bosannya menatap wajah Mila yang sedang terlelap di bawah hangatnya selimut tebal. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul lima subuh, tapi Waldi belum berniat membangunkan Mila untuk shalat subuh berjamaah.Senyum tipis selalu muncul di wajah Waldi, mengagumi kecantikan bidadari yang sedang menikmati mimpi. Waldi membelai ringan pipi Mila yang terasa halus. Sampai detik ini Waldi masih tidak menyangka ia bisa menikahi Mila.“Aku tahu, pada saat awal-awal menikah kamu pasti tersiksa. Maafkan aku yang sudah sangat egois merenggut semua kebahagiaan dan cita-cita kamu,” kata Waldi, dengan suara pelan. Tanpa lelaki itu sadari air matanya sudah menggenang.Mila mengerjapkan mata, sebab tidurnya terusik dengan hangatnya napas yang menyapu permukaan lehernya. Wanita itu menoleh ke samping dan mendapati Waldi sedang menenggelamkan wajah di sana.“Mas.” Mila memanggil Waldi dengan suara serak.“Hmm.” Waldi hanya sanggup berdehem kar
Bumi sudah berhasil di tangani oleh dokter dan sekarang Waldi dan Mila sedang berada di ruangan mendengarkan penjelasan dari dokter mengenai kondisi Bumi.“Jadi dia bukan anggota keluarga dari Bapak atau pun Ibu?” tanya sang dokter setelah mendengar penjelasan bagaimana Waldi bisa bertemu dengan Bumi dengan kondisi seperti itu.“Iya, Dok, sebenarnya kami juga ingin sampai puncak, tapi tidak tega meninggalkan Bumi dalam kondisi seperti tadi,” kata Waldi.“Untung saja Bumi cepat ditangani, lukanya sudah bengkak, jika dibiarkan sampai berhari-hari tanpa penanganan yang benar bisa infeksi dan berakibat fatal. Saya akan resepkan beberapa obat dan salep untuk obat luarnya bisa Bapak atau Ibu tebus di apotek,” ujar dokter itu lalu menuliskan resep untuk Bumi.“Semoga Bumi lekas sembuh ya lukanya,” kata si dokter kepada Bumi yang masih duduk di brankar rumah sakit.“Iya dok,” kata Bumi.“Kalau begitu saya pamit ya, Dok,” ujar Waldi setelah berjabat tangan dengan dokter ia pun keluar.Dengan s
Waldi dan Mila sudah tiba di ibu kota pada siang hari tepatnya jam satu lebih tiga puluh menit. Masalah camping yang gagal tidak Mila pikirkan, bahkan tidak ada kecewa sedikitpun. Sekarang Waldi sedang berada di ruang kerja karena ada pekerjaan yang harus ia selesaikan.“Masak apa ya buat hari ini? Apa pesan online saja, badanku rasanya lelah sekali,” gumam Mila, sambil memijat leher bagian belakangnya yang terasa pegal. Mila yakin salah posisi tidur saat di pesawat.“Sayang, kamu kenapa?” tanya Waldi tiba-tiba saja datang ke dapur melihat Mila sedang duduk di kursi meja makan. Melihat istrinya memijat leher membuat Waldi khawatir.“Kamu lagi nggak enak padan?” tanya Waldi lagi sambil menempelkan punggung tangan ke kening Mila.“Nggak kok, Mas, leher aku rasanya kaku aja mungkin karena salah posisi tidur di pesawat,” jawab Mila dengan senyum.“Sudah, kamu istirahat saja ya. Nggak usah masak hari ini, kita pesan online saja. Kamu mau makan apa?” Waldi merogoh saku celana mengambil pons
“Zoya pulang!”Zoya memasuki rumahnya yang setiap hari sepi. Entah sampai kapan rumah yang selama ini menjadi tempat singgahnya selalu sepi. Terkadang Zoya jenuh, tapi ia tidak boleh marah karena takdirnya sudah seperti ini.“Dari mana saja kamu?” seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun berjalan kearah Zoya dengan wajah terlihat marah.“Kenapa telepon dari Papa tidak kamu jawab, Zoya?”Zoya tetap diam, perempuan itu duduk bersandar pada sofa dengan mata tertutup rapat. Telinga Zoya seakan sudah tuli setiap hari mendengarkan ocehan dan ceramah dari orang tuanya.“Zoya capek, Pah, mau istirahat dulu,” kata Zoya, masih di posisi yang sama.“Jawab dulu pertanyaan Papa, kenapa kamu tidak menjawab telepon dari Papa?”“Tadi ban mobil Zoya pecah, Pah, untung ada Waldi yang bantu,” jelas Zoya.“Zoya, mau sampai kapan kamu terlihat seperti perempuan murahan, hah? Waldi sudah punya istri dan hidup bahagia, kamu juga harus mencari kebahagiaan kamu sendiri. Sudah cukup membuat malu orang tuamu, ma
Sejak duduk di bangku kuliah, Mila memang sering berkunjung ke panti asuhan hanya untuk bermain dengan anak-anak. Kehadiran Mila membuat ibu panti sangat terbantu, karena anak-anak menjadi bahagia dan bisa sedikit belajar membaca dan menghitung. Ibu panti adalah seorang janda, suaminya telah meninggal 10 tahun yang lalu. Pada saat itu panti sedang dalam keadaan kesusahan, ibu panti mengurus kurang lebih 20 anak seorang diri. Ibu panti nyaris menyerah, mengurus anak-anak seorang diri tanpa kehadiran suami itu sangat berat. Namun, Ibu panti adalah seorang wanita yang hebat, ia mampu berdiri di kaki sendiri menghidupi anak-anak dari hasil kerjanya sendiri, dan sekarang panti asuhan yang didirikannya pun sudah terkenal.“Kalian berdua sudah makan apa belum?” tanya ibu panti kepada Waldi dan Mila yang sedang duduk lesehan beralaskan karpet bersama anak-anak panti lainnya.“Ibu, duduk di sini bersama kami, jangan asik sendiri,” kata Mila.“Ibu itu nggak bisa diam kalau ada tamu datang,” uja