Bumi sudah berhasil di tangani oleh dokter dan sekarang Waldi dan Mila sedang berada di ruangan mendengarkan penjelasan dari dokter mengenai kondisi Bumi.“Jadi dia bukan anggota keluarga dari Bapak atau pun Ibu?” tanya sang dokter setelah mendengar penjelasan bagaimana Waldi bisa bertemu dengan Bumi dengan kondisi seperti itu.“Iya, Dok, sebenarnya kami juga ingin sampai puncak, tapi tidak tega meninggalkan Bumi dalam kondisi seperti tadi,” kata Waldi.“Untung saja Bumi cepat ditangani, lukanya sudah bengkak, jika dibiarkan sampai berhari-hari tanpa penanganan yang benar bisa infeksi dan berakibat fatal. Saya akan resepkan beberapa obat dan salep untuk obat luarnya bisa Bapak atau Ibu tebus di apotek,” ujar dokter itu lalu menuliskan resep untuk Bumi.“Semoga Bumi lekas sembuh ya lukanya,” kata si dokter kepada Bumi yang masih duduk di brankar rumah sakit.“Iya dok,” kata Bumi.“Kalau begitu saya pamit ya, Dok,” ujar Waldi setelah berjabat tangan dengan dokter ia pun keluar.Dengan s
Waldi dan Mila sudah tiba di ibu kota pada siang hari tepatnya jam satu lebih tiga puluh menit. Masalah camping yang gagal tidak Mila pikirkan, bahkan tidak ada kecewa sedikitpun. Sekarang Waldi sedang berada di ruang kerja karena ada pekerjaan yang harus ia selesaikan.“Masak apa ya buat hari ini? Apa pesan online saja, badanku rasanya lelah sekali,” gumam Mila, sambil memijat leher bagian belakangnya yang terasa pegal. Mila yakin salah posisi tidur saat di pesawat.“Sayang, kamu kenapa?” tanya Waldi tiba-tiba saja datang ke dapur melihat Mila sedang duduk di kursi meja makan. Melihat istrinya memijat leher membuat Waldi khawatir.“Kamu lagi nggak enak padan?” tanya Waldi lagi sambil menempelkan punggung tangan ke kening Mila.“Nggak kok, Mas, leher aku rasanya kaku aja mungkin karena salah posisi tidur di pesawat,” jawab Mila dengan senyum.“Sudah, kamu istirahat saja ya. Nggak usah masak hari ini, kita pesan online saja. Kamu mau makan apa?” Waldi merogoh saku celana mengambil pons
“Zoya pulang!”Zoya memasuki rumahnya yang setiap hari sepi. Entah sampai kapan rumah yang selama ini menjadi tempat singgahnya selalu sepi. Terkadang Zoya jenuh, tapi ia tidak boleh marah karena takdirnya sudah seperti ini.“Dari mana saja kamu?” seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun berjalan kearah Zoya dengan wajah terlihat marah.“Kenapa telepon dari Papa tidak kamu jawab, Zoya?”Zoya tetap diam, perempuan itu duduk bersandar pada sofa dengan mata tertutup rapat. Telinga Zoya seakan sudah tuli setiap hari mendengarkan ocehan dan ceramah dari orang tuanya.“Zoya capek, Pah, mau istirahat dulu,” kata Zoya, masih di posisi yang sama.“Jawab dulu pertanyaan Papa, kenapa kamu tidak menjawab telepon dari Papa?”“Tadi ban mobil Zoya pecah, Pah, untung ada Waldi yang bantu,” jelas Zoya.“Zoya, mau sampai kapan kamu terlihat seperti perempuan murahan, hah? Waldi sudah punya istri dan hidup bahagia, kamu juga harus mencari kebahagiaan kamu sendiri. Sudah cukup membuat malu orang tuamu, ma
Sejak duduk di bangku kuliah, Mila memang sering berkunjung ke panti asuhan hanya untuk bermain dengan anak-anak. Kehadiran Mila membuat ibu panti sangat terbantu, karena anak-anak menjadi bahagia dan bisa sedikit belajar membaca dan menghitung. Ibu panti adalah seorang janda, suaminya telah meninggal 10 tahun yang lalu. Pada saat itu panti sedang dalam keadaan kesusahan, ibu panti mengurus kurang lebih 20 anak seorang diri. Ibu panti nyaris menyerah, mengurus anak-anak seorang diri tanpa kehadiran suami itu sangat berat. Namun, Ibu panti adalah seorang wanita yang hebat, ia mampu berdiri di kaki sendiri menghidupi anak-anak dari hasil kerjanya sendiri, dan sekarang panti asuhan yang didirikannya pun sudah terkenal.“Kalian berdua sudah makan apa belum?” tanya ibu panti kepada Waldi dan Mila yang sedang duduk lesehan beralaskan karpet bersama anak-anak panti lainnya.“Ibu, duduk di sini bersama kami, jangan asik sendiri,” kata Mila.“Ibu itu nggak bisa diam kalau ada tamu datang,” uja
“Kalian berdua sudah saling mengenal?” tanya Heros menatap anaknya dan anak sahabatnya secara bergantian.Zoya diam, masih dengan tatapan terkejut ia pun duduk di samping mamanya.“Tidak begitu mengenal, Pah, kita pernah tidak sengaja bertemu di salah satu tempat,” jelas Kevin, kepada sang papa.Heros terkekeh pelan wajah lelaki paruh baya itu terlihat sangat bahagia. Zoya yang melihat kebahagiaan di wajah teman papanya itu bingung dan banyak pertanyaan di dalam pikirannya.“Mungkin secara tidak sengaja pernah bertemu di tempat nongkrong. Namanya juga anak muda pasti suka nongkrong di tempat kopi atau di mall,” kata Karmila, sambil menatap Zoya dengan senyum lebar.“Wah, sepertinya pertemuan ini akan sangat menyenangkan,” ujar Kasen, wajah kesalnya sudah tidak lagi terlihat digantikan dengan senyum cerah penuh kebahagiaan.“Mah, kita mau ngapain sih di sini?” tanya Zoya berbisik lirih di dekat telinga sang mama.“Sepertinya Zoya ini adalah tipe anak perempuan yang tidak suka ribet ya,
Zoya terus merintih kesakitan, perutnya semakin perih dan terasa terbakar. Kevin yang kebingungan mencoba mencari cara untuk agar Zoya membaik.“Kita ke dokter terdekat aja ya,” usul Kevin.“Terserah yang penting sekarang gue bisa dapet penanganan yang baik. cepetan perut gue sakit!” Zoya menjambak rambut belakang Kevin pada saat lelaki itu menggendongnya. Zoya sudah terlihat seperti ibu hamil yang sedang kontraksi dan Kevin sebagai suaminya. banyak pasang mata yang menatap keduanya, namun Kevin tidak peduli karena yang menjadi tujuan utamanya adalah menuju mobil untuk membawa Zoya ke rumah sakit.“Gara-gara kegilaan lo perut gue jadi sakit kaya gini,” omel Zoya setelah masuk ke mobil. Zoya menekuk kedua kakinya supaya sakit perutnya tidak lagi terasa menyiksa.“Aduh, iya, iya, gue minta maaf. Gue juga nggak tau kalo bakal jadi separah ini kejadianannya.” Kevin mulai menyalakan mobil dan melaju kencang menuju rumah sakit terdekat tanpa memberi tahu kedua orang tua Zoya terlebih dahulu
Waldi dan Mila sudah sampai di rumah. Bahagianya hati mereka sudah berkunjung ke salah satu panti asuhan yang ada di daerah mereka tinggal.“Mau masak apa lagi?” Tanya Mila pada saat melihat suaminya sedang sibuk membuat keributan di dapur. Gelas yang beradu dengan meja dan masih banyak lagi.Waldi menatap istrinya lalu menyengir tanpa rasa bersalah. “Nggak kok, sayang, aku lagi mau buat kopi.”“Kopi lagi?” tanya Mila sambil menghampiri sang suami yang sedang memegang sebungkus kopi hitam.“Abisnya kalau nggak minum kopi aku ngantuk. Masih banyak yang belum aku kerjain, minggu depan kan kita sudah keluar kota untuk pembukaan cabang baru,” jelas Waldi, sambil mengusap puncak kepala Mila yang tidak ditutup kerudung.“Ya sudah, jangan banyak-banyak minum kopinya.”Waldi mencium pipi Mila gemas. “Iya sayang.”“Ya sudah, aku mau ke kamar dulu ya,” kata Mila kemudian berlalu pergi.Waldi menyelesaikan membuat kopinya dan kemudian masuk ke ruang kerja untuk menyelesaikan pekerjaannya yang su
“Sayang, aku cari ternyata di sini.” Waldi duduk di samping Mila melihat istrinya yang sedang sedih, Waldi langsung membawa Mila ke dalam dekapan.“Kenapa sayang?” tanya Waldi dengan nada lembut. Waldi mengusap puncak kepala Mila dengan penuh kasih sayang.“Setelah pulang dari rumah sakit Abi akan langsung sehat kan, Mas? Nanti kita akan pulang sama-sama kan?” air mata Mila mengalir deras ketika mengatakan isi hatinya.Waldi menghela napas kasar untuk mengusir rasa sesak di dalam dadanya. “Abi akan pulang bersama kita dan Abi akan semakin sehat nantinya.” Waldi menghapus air mata Mila menggunakan dua jempolnya. “Sudah, tidak boleh menangis. Kalau Abi tahu anak perempuannya menangis bisa kena omel nanti aku.”Mila terkekeh pelan. Abinya memang sangat posesif, tapi dibalik itu semua Adra sangat menyayangi dan mencintai putri semata wayangnya.“Nah gitu dong kalau senyum kan semakin cantik,” goda Waldi, sambil mencolek dagu Mila menggunakan telunjuk.“Ih apa sih. Pinter banget kalau gomb