“Zoya pulang!”Zoya memasuki rumahnya yang setiap hari sepi. Entah sampai kapan rumah yang selama ini menjadi tempat singgahnya selalu sepi. Terkadang Zoya jenuh, tapi ia tidak boleh marah karena takdirnya sudah seperti ini.“Dari mana saja kamu?” seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun berjalan kearah Zoya dengan wajah terlihat marah.“Kenapa telepon dari Papa tidak kamu jawab, Zoya?”Zoya tetap diam, perempuan itu duduk bersandar pada sofa dengan mata tertutup rapat. Telinga Zoya seakan sudah tuli setiap hari mendengarkan ocehan dan ceramah dari orang tuanya.“Zoya capek, Pah, mau istirahat dulu,” kata Zoya, masih di posisi yang sama.“Jawab dulu pertanyaan Papa, kenapa kamu tidak menjawab telepon dari Papa?”“Tadi ban mobil Zoya pecah, Pah, untung ada Waldi yang bantu,” jelas Zoya.“Zoya, mau sampai kapan kamu terlihat seperti perempuan murahan, hah? Waldi sudah punya istri dan hidup bahagia, kamu juga harus mencari kebahagiaan kamu sendiri. Sudah cukup membuat malu orang tuamu, ma
Sejak duduk di bangku kuliah, Mila memang sering berkunjung ke panti asuhan hanya untuk bermain dengan anak-anak. Kehadiran Mila membuat ibu panti sangat terbantu, karena anak-anak menjadi bahagia dan bisa sedikit belajar membaca dan menghitung. Ibu panti adalah seorang janda, suaminya telah meninggal 10 tahun yang lalu. Pada saat itu panti sedang dalam keadaan kesusahan, ibu panti mengurus kurang lebih 20 anak seorang diri. Ibu panti nyaris menyerah, mengurus anak-anak seorang diri tanpa kehadiran suami itu sangat berat. Namun, Ibu panti adalah seorang wanita yang hebat, ia mampu berdiri di kaki sendiri menghidupi anak-anak dari hasil kerjanya sendiri, dan sekarang panti asuhan yang didirikannya pun sudah terkenal.“Kalian berdua sudah makan apa belum?” tanya ibu panti kepada Waldi dan Mila yang sedang duduk lesehan beralaskan karpet bersama anak-anak panti lainnya.“Ibu, duduk di sini bersama kami, jangan asik sendiri,” kata Mila.“Ibu itu nggak bisa diam kalau ada tamu datang,” uja
“Kalian berdua sudah saling mengenal?” tanya Heros menatap anaknya dan anak sahabatnya secara bergantian.Zoya diam, masih dengan tatapan terkejut ia pun duduk di samping mamanya.“Tidak begitu mengenal, Pah, kita pernah tidak sengaja bertemu di salah satu tempat,” jelas Kevin, kepada sang papa.Heros terkekeh pelan wajah lelaki paruh baya itu terlihat sangat bahagia. Zoya yang melihat kebahagiaan di wajah teman papanya itu bingung dan banyak pertanyaan di dalam pikirannya.“Mungkin secara tidak sengaja pernah bertemu di tempat nongkrong. Namanya juga anak muda pasti suka nongkrong di tempat kopi atau di mall,” kata Karmila, sambil menatap Zoya dengan senyum lebar.“Wah, sepertinya pertemuan ini akan sangat menyenangkan,” ujar Kasen, wajah kesalnya sudah tidak lagi terlihat digantikan dengan senyum cerah penuh kebahagiaan.“Mah, kita mau ngapain sih di sini?” tanya Zoya berbisik lirih di dekat telinga sang mama.“Sepertinya Zoya ini adalah tipe anak perempuan yang tidak suka ribet ya,
Zoya terus merintih kesakitan, perutnya semakin perih dan terasa terbakar. Kevin yang kebingungan mencoba mencari cara untuk agar Zoya membaik.“Kita ke dokter terdekat aja ya,” usul Kevin.“Terserah yang penting sekarang gue bisa dapet penanganan yang baik. cepetan perut gue sakit!” Zoya menjambak rambut belakang Kevin pada saat lelaki itu menggendongnya. Zoya sudah terlihat seperti ibu hamil yang sedang kontraksi dan Kevin sebagai suaminya. banyak pasang mata yang menatap keduanya, namun Kevin tidak peduli karena yang menjadi tujuan utamanya adalah menuju mobil untuk membawa Zoya ke rumah sakit.“Gara-gara kegilaan lo perut gue jadi sakit kaya gini,” omel Zoya setelah masuk ke mobil. Zoya menekuk kedua kakinya supaya sakit perutnya tidak lagi terasa menyiksa.“Aduh, iya, iya, gue minta maaf. Gue juga nggak tau kalo bakal jadi separah ini kejadianannya.” Kevin mulai menyalakan mobil dan melaju kencang menuju rumah sakit terdekat tanpa memberi tahu kedua orang tua Zoya terlebih dahulu
Waldi dan Mila sudah sampai di rumah. Bahagianya hati mereka sudah berkunjung ke salah satu panti asuhan yang ada di daerah mereka tinggal.“Mau masak apa lagi?” Tanya Mila pada saat melihat suaminya sedang sibuk membuat keributan di dapur. Gelas yang beradu dengan meja dan masih banyak lagi.Waldi menatap istrinya lalu menyengir tanpa rasa bersalah. “Nggak kok, sayang, aku lagi mau buat kopi.”“Kopi lagi?” tanya Mila sambil menghampiri sang suami yang sedang memegang sebungkus kopi hitam.“Abisnya kalau nggak minum kopi aku ngantuk. Masih banyak yang belum aku kerjain, minggu depan kan kita sudah keluar kota untuk pembukaan cabang baru,” jelas Waldi, sambil mengusap puncak kepala Mila yang tidak ditutup kerudung.“Ya sudah, jangan banyak-banyak minum kopinya.”Waldi mencium pipi Mila gemas. “Iya sayang.”“Ya sudah, aku mau ke kamar dulu ya,” kata Mila kemudian berlalu pergi.Waldi menyelesaikan membuat kopinya dan kemudian masuk ke ruang kerja untuk menyelesaikan pekerjaannya yang su
“Sayang, aku cari ternyata di sini.” Waldi duduk di samping Mila melihat istrinya yang sedang sedih, Waldi langsung membawa Mila ke dalam dekapan.“Kenapa sayang?” tanya Waldi dengan nada lembut. Waldi mengusap puncak kepala Mila dengan penuh kasih sayang.“Setelah pulang dari rumah sakit Abi akan langsung sehat kan, Mas? Nanti kita akan pulang sama-sama kan?” air mata Mila mengalir deras ketika mengatakan isi hatinya.Waldi menghela napas kasar untuk mengusir rasa sesak di dalam dadanya. “Abi akan pulang bersama kita dan Abi akan semakin sehat nantinya.” Waldi menghapus air mata Mila menggunakan dua jempolnya. “Sudah, tidak boleh menangis. Kalau Abi tahu anak perempuannya menangis bisa kena omel nanti aku.”Mila terkekeh pelan. Abinya memang sangat posesif, tapi dibalik itu semua Adra sangat menyayangi dan mencintai putri semata wayangnya.“Nah gitu dong kalau senyum kan semakin cantik,” goda Waldi, sambil mencolek dagu Mila menggunakan telunjuk.“Ih apa sih. Pinter banget kalau gomb
“Zoya, siap-siapnya dipercepat, Nak, nanti Papa kamu ngomel kalau berkasnya datangnya lama.” Karmila berteriak di depan pintu kamar putrinya sambil mengetuk pintu beberapa kali.Zoya yang sedang berhias di depan kaca berdecak kesal. Lagian kenapa papanya itu sangat pikun sekali? Berkas penting yang sudah disiapkan jauh-jauh hari bisa ketinggalan.“Iya, Mah, sebentar lagi Zoya selesai.”Tidak berapa lama Zoya pun keluar dari kamar dalam keadaan sudah rapi. Make up sederhana dan dress abu-abu muda di bawah lutut.“Sudah cepat sana berangkat dari tadi Papa sudah menelepon Mama dan marah-marah karena kamu lama selesai dandannya.”“Lagian kenapa Papa lupa sih, Mah? Yang salah siapa, yang kena omel siapa.”“Sudah jangan marah-marah. Cepat berangkat.” Karmila mendorong pelan tubuh putrinya supaya segera pergi untuk mengantarkan berkas penting yang sudah ditunggu Kasen di kantor.Zoya pun pergi menggunakan mobilnya sendiri. Kali ini Zoya membawa mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi untuk me
Kondisi Adra semakin membaik. Wajahnya pun juga sudah tidak terlihat pucat, wajahnya semakin sumeringah karena sejak berada di rumah sakit Waldi dan Mila selalu berada di sampingnya.“Abi, buburnya tinggal sedikit lagi dihabiskan ya supaya Papa cepat sembuh.” Mila terus merayu sang papa untuk menghabiskan bubur yang dibeli Waldi pagi tadi di depan rumah sakit. namun Adra tetap menggeleng dengan alasan sudah kenyang.“Abi kenyang Mila.” Adra berucap dengan wajah melas.“Satu suap lagi, Bi, biar Papa cepat sembuh. Kalau buburnya tidak dihabiskan Mila ngembek nih.” Terpaksa Mila mengeluarkan jurus ampuh yang selalu ia gunakan supaya sang abi mau menuruti keinginannya. Akhirnya Adra pun mau dan suapan terakhir sudah masuk ke dalam mulut.“Alhamdulillah.” Mila tersenyum saat melihat mangkuk bubur ayam yang sudah kosong.Hoek!Buru-buru Mila lari ke kamar mandi untuk memuntahkan semua isi perutnya.“Waldi, Mila sakit?” tanya Adra kepada menantunya.“Mila kenapa, Waldi?” tanya Yalina.“Waldi