Waldi membawa Mila ke salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar berada di kota Jepang. “Kenapa kita ke sini?” tanya Mila menatap suaminya penuh kebingungan. “Kita membutuhkan banyak baju hangat di sini,” jawab Waldi. “Memangnya mau selama apa kita berada di sini?” “Kalau kamu sudah bosan di sini maka kita akan pulang,” jawab Waldi enteng tanpa ada beban. Mendengar ucapan suaminya, Mila hanya bisa menghela napas kasar. begitulah Waldi, tidak bisa diprediksi jika sudah membuat sebuah rencana. “Ya sudah, ayo kita cari baju hangatnya.” Waldi menarik Mila ke salah satu tempat yang menjual baju-baju musim dingin merek ternama yang tentunya dengan harga tinggi. “Kenapa dari sekian banyak toko yang menjual baju hangat, kamu mengajak aku ke tempat ini? Aku tahu ini merek yang sangat terkenal dengan harga yang sudah pasti tidak main-main,” omel Mila, kesal. Mila kesal karena Waldi langsung membawanya ke tempat yang mahal. “Aku ingin memberikan yang terbaik untuk istriku, memangnya s
“Kamu lagi kemana sih, Waldi? Kenapa pagi-pagi sekali sudah tidak ada di rumah? istri kamu juga kemana?”Rentetan pertanyaan itu Waldi dapatkan dari sebuah sambungan telepon siapa lagi kalau bukan sang mama.“Waldi sama Mila lagi pergi bulan madu ke Jepang, Mah,” jawab Waldi, dengan santainya lelaki itu pergi ke dapur memeluk Mila dari belakang yang sedang sibuk memasak untuk makan malam mereka nanti.“Pergi bulan madu? Kenapa tidak bilang sama Mama sih?” nada bicara Irana sedikit tinggi karena marah bercampur kesal tidak diberi kabar.“Mendadak, Mah,” jawab Waldi, lagi-lagi dengan santainya.“Pasti istri kamu itu kan yang menghasut kamu supaya tidak bilang ke Mama? Sudah Mama duga dia itu wanita tidak baik, untuk apa gamis dan jilbab panjangnya itu nyatanya hatinya busuk.”“Mama ini kenapa sih selalu saja menyalahkan Mila? Dia tidak tahu apa-apa.”Mila yang disebut namanya tidak tahu apa-apa hanya bisa menatap Waldi dengan tatapan polos.“Kenapa?” tanya Mila melalui gerak bibirnya. W
Sesuai janji Waldi pada saat makan malam, siang hari ini Waldi mengajak Mila untuk mencari kulineran di Jepang tentu dengan cuaca yang masih saja dingin.“Capek ya?” tanya Waldi pada saat melihat wajah Mila seperti kelelahan akibat berjalan cukup jauh.“Lumayan,” jawab Mila, disertai senyum manis di wajahnya. Udara yang cukup dingin membuat pipi Mila terlihat kemerahan.“Pipi kamu merah,” jawab Waldi. “Pasti karena suhu yang cukup dingin,” sambung Waldi.“Tidak apa, sedikit perih sih sebenarnya, tapi nggak mungkin kita pulang kan sudah berjalan sejauh ini,” ujar Mila.“Ya sudah, kita masuk saja ke dalam kedai supaya tidak terlalu dingin.” Waldi menarik pelan pergelangan tangan Mila dibawa masuk ke dalam kedai yang akan mereka cicipi dagangannya.Waldi memilih tempat duduk di dekat jendela yang memperlihatkan pemandangan jalan dengan gundukan salju yang cukup tebal.“Sepertinya Nabemono ini enak,” kata Mila, sambil menunjuk salah satu gambar di buku menu.“Membayangkan kuahnya masuk ke
“Sayang, diminum dulu teh hangatnya,” ujar Waldi, sambil meletakkan secangkir teh hangat di depan Mila yang sedang duduk di meja makan.Beberapa saat setelah mereka sampai di rumah, Waldi dan Mila langsung menuju dapur karena Waldi memaksa Mila untuk minum yang hangat-hangat dulu karena Mila sedikit demam akibat perubahan cuaca yang sangat drastis.“Sebelum tidur minum obat dulu ya supaya demamnya turun,” kata Waldi, sambil menarik kursi supaya duduknya berdekatan dengan Mila.“Ini hanya demam biasa, setelah minum teh hangat ini pasti akan membaik.”“Kamu itu dibilangin jangan ngeyel, pokoknya harus minum obat sebelum tidur!” Waldi berucap tegas membuat Mila tidak bisa mencari alasan.Mila menghela napas kasar. “Baiklah.”Nada bicara Mila yang berubah membuat Waldi mengerutkan kening. “Kamu marah?”Mila hanya menjawab dengan gelengan kepala.“Apa salah aku khawatir sama kondisi istri sendiri?” tanya Waldi.Mila kembali menggeleng lalu menjawab dengan suara lirih. “Tidak.”“Lalu kenapa
Setelah selesai shalat subuh, Mila memutuskan membuat teh hangat untuk Waldi sementara suaminya itu berada di kamar membereskan tempat tidur. Mila yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, tiba-tiba saja berhenti karena mendengar suara Waldi yang semakin dekat, terdengar lelaki itu sedang berbicara dengan seseorang.Mila menatap ke depan, di sana ada Waldi yang baru saja duduk di kursi meja makan sambil memegang telepon yang diletakkan di telinga. Buru-buru Mila membawa teh buatannya ke meja makan dan beberapa cemilan untuk sarapan.“Papa kan tahu sendiri Waldi sama Mila lagi bulan madu di sini,” ujar Waldi.“Nggak bisa cepet dong, Pah. Ya sudah, akan Waldi bicarakan sama Mila. Wassalamualaikum.” Sambungan telepon pun tertutup dan Waldi meletakkan ponselnya tepat di samping kanan di mana gelas teh berada.“Ada apa?” tanya Mila dengan penuh rasa penasaran. Sebab melihat wajah Waldi yang tidak enak dipandang membuat banyak pertanyaan muncul di dalam pikiran Mila.“Mama masuk rumah sakit la
Sesampainya Waldi dan Mila di Indonesia, keduanya langsung menuju kediaman orang tua Waldi.“Bagaimana keadaan Mama, Pah?” tanya Waldi kepada sang papa. dua lelaki itu sedang duduk di meja makan membicarakan kesehatan Irana yang akhir-akhir ini sedikit bermasalah.“Kata dokter sudah cukup membaik. Sepertinya akhir-akhir ini Mamamu sedang banyak pikiran, Waldi. Bisakah kamu memberinya sedikit perhatian saja?”“Pah, harus bagaimana lagi Waldi memberi perhatian kepada Mama? Mila juga sudah memberi perhatian, tapi sampai detik ini Waldi tidak melihat Mama bersyukur mendapatkan semua itu.”“Bukan Waldi tidak mau memberikan Mama perhatian, tapi sikap Mama yang kasar kepada Mila membuat Waldi geram. Suami mana yang tidak marah ketika istrinya di perlakukan seperti itu oleh mertua sendiri yang tidak lain adalah Mama Waldi sendiri, Pah?”“Papa mengerti dan Papa juga paham betul bagaimana Mila mencoba mendekatkan diri sama Mamamu, tapi kamu tahu sendiri bagaimana dia yang sangat keras kepala.”
“Mas ….”“Oh, jadi perubahan sikap kamu ke aku karena dia? Ada hubungan spesial apa kamu sama dia sampai-sampai berubah begini?”“Waldi, tenangkan dirimu dan dengarkan penjelasan kita dulu,” ujar Kevin, yang mencoba menenangkan Waldi supaya tidak marah kepada Mila.“Penjelasan apa lagi? kalian berdua sudah tertangkap basah masih mau membela diri?” Waldi terkekeh mengejek. Hati Waldi sangat sakit karena merasa terkhianati, ternyata sampai kapan pun Mila tidak akan pernah mencintainya. Apalah dirinya hanya seorang laki-laki yang pernah terjun ke dunia malam berharap mendapatkan sosok perempuan yang sholihah? Mustahil! Sekarang Waldi sedang menertawakan dirinya sendiri.“Aku dan Kevin tidak sengaja bertemu di sini,” kata Mila.“Tidak sengaja bertemu? Sangat kebetulan sekali bukan? Kamu pikir aku percaya. Mila, aku memang mencintaimu, tapi bukan berarti aku bodoh. Kamu dan dia saling mencintai bukan? Jangan katakan ‘tidak’ sejak awal aku sudah menduga dan bodohnya aku berharap kamu bisa m
“Mila, kok mata kamu sembab? Kamu habis nangis?” tanya Yalina yang tiba-tiba saja datang ke rumah Mila karena mengetahui putrid an menantunya sudah kembali dari Jepang.“Masa sih, Umi? Mungkin karena Mila baru bangun tidur,” ujar Mila, sengaja menutupi semuanya karena tidak mau membuat suasana semakin runyam. Jika Yalina dan Adra tahu Mila menangis karena Waldi, sudah pasti tidak akan terima.“Kamu benar baik-baik saja? kalian sedang tidak ada masalah, ‘kan?” tanya Adra yang ikut khawatir dengan kondisi putrinya.Mila tersenyum. “Alhamdulillah hubungan kami baik-baik saja kok, Umi, Abi.”“Syukurlah.” Adra sedikit lega, namun sembab di kedua mata putrinya belum membuat hatinya tenang. sebab Adra tidak pernah melihat wajah Mila yang sangat sembab seperti pagi ini.“Jadi bagaimana? Apa cucu Umi dan Abi sedang dalam proses?” Yalin menggoda putri tercintanya untuk membuat suasana mencair.“Umi.” Mila bernada manja, masih menyembunyikan rasa sakit di hatinya akibat kejadian semalam.“Waldi
“Kevin, lo kebiasaan banget sih taro handuk sembarangan kaya gini.” Pagi-pagi sekali rumah yang biasa sepi sekarang selalu dihiasi oleh teriakan melengking Zoya dengan permasalahan yang sama. setelah mandi Kevin kebiasaan menaruh handuk selalu di atas kasur sehingga membuat kasurnya basah.“Kenapa sih, sayang? Masih pagi ini marah-marah terus,” kata Kevin, berjalan sampai menghampiri Zoya seperti tidak ada dosa lelaki itu.“Udah berkali-kali aku bilang, handuk jangan taruh di kasur, nanti basah jadi jamuran.” Zoya berjalan ke kamar mandi untuk menaruh handuk itu pada tempatnya.“Marah-marah nih, nanti makin cantik gimana? Jangan-jangan kamu udah mau PMS ya, makanya moodnya naik turun gini?” Kevin menarik Zoya untuk duduk di pangkuannya. Masih dengan wajah yang ditekuk Zoya tidak mau menatap lelaki di depannya.“Wajahnya kok masih cemberut gitu sih, sayang?” Kevin mencoba membujuk Zoya supaya mau menatapnya, tapi hasilnya tetap gagal karena Zoya masih marah sama Kevin.“Lagian, harus b
Sebeluma akhirnya Mila memutuskan untuk menemui Waldi, ada banyak pertimbanga yang harus ia pikirkan. Setelah shalat dan berdoa meminta petunjuk kepada Allah, entah mengapa pikiran Mila langsung tertuju pada Waldi.“Aku ingin di posisi ini lebih lama sebelum kita ada di sidang perceraian besok,” kata Waldi, saat berada di dalam dekapan Mila yang selama ini ia rindukan. Waldi menangis di sana, ia tidak bisa menahan air matanya mengingat kebodohannya sampai membuat calon anak mereka tiada.Mila hanya diam. Tangan kanannya yang lembut dan mungil it uterus mengusap punggung suaminya yang lebar. Lagi-lagi Mila ingat besok adalah hari perceraian mereka. Keputusan terakhir sebelum berpisah secara agama dan negara.“Maafkan aku,” kata Waldi, lelaki itu tetap terus meminta maaf kepada Mila atas kesalahannya kemarin. Waldi sadar kesalahannya itu tidak bisa dimaafkan, tapi ia masih tetap berharap ada ruang kesempatan untuk dirinya memperbaiki semuanya.Mendengar kata maaf yang keluar dari mulut
Satu bulan telah berlalu, kondisi Mila yang semakin membaik setiap harinya membuat Yalina dan Adra senang dengan perkembangan itu. Sejak pulang dari rumah sakit, Mila sudah kembali tinggal bersama orang tuanya, sementara Waldi tinggal di rumah sendiri. Selama satu bulan itu Mila tidak tahu bagaimana kondisi Waldi dan tidak mau tahu juga. Rasa sakitnya masih terasa mendalam sampai saat ini.“Mila, besok adalah putusan sidang perceraian kalian. Apakah kamu yakin dengan keputusan ini?” tanya Adra kepada sang putri untuk mendapatkan jawaban sekali lagi yang lebih meyakinkan. Mila tetap memutuskan untuk berpisah dengan Waldi, karena ia merasa sudah tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.“Mila yakin, Abi. Mila tahu, perceraian tidak diajarkan dalam agama kita, tapi jika terus dipaksa bersama maka Mila yang terus mendapatkan dosa,” jelas Mila. Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat lagi.“Apakah kamu tahu bagaimana kondisi Waldi selama satu bulan terakhir ini?” tanya Adra lagi.Mila menggele
Pagi-pagi sekali ke dua orang tua Kevin berkunjung ke rumah, sebenarnya mereka berdua ingin berangkat ke kantor karena arah yang sama jadi mampir lebih dulu ke rumah anak mereka.“Wah, wah, ada apa gerangan ini kok pagi-pagi udah keramas aja, barengan lagi,” celetuk Heros pada saat melihat Zoya dan Kevin rambutnya sama-sama basah.Mendengar ucapan papa mertuanya membuat ke dua pipi Zoya merah merona karena malu.“Papa ini seperti tidak pernah merasakan jadi pengantin baru saja,” kata Anya, sambil menyenggol pelan siku sang suami.“Sepertinya sebentar lagi kita akan menimang cucu, Mah,” kata Heros, penuh semangat.“Apa sih, Pah,” ujar Kevin, meminta ke dua orang tuanya untuk berhenti menggodanya.Kevin tidak tahan melihat ke dua pipi Zoya yang sudah merah, ingin rasanya Kevin menangkup ke dua pipi itu menggunakan tangan besarnya lalu memberi sedikit cubitan. Namun, sayangnya ke dua orang tua mereka masih ada di sana.“Mama sama Papa tumben main ke sini nggak bilang-bilang dulu?” tanya
Malam ini untuk pertama kalinya Zoya dan Kevin menempati kamar utama yang sudah sejak lama Kevin siapkan untuk istrinya nanti. Kamar yang menjadi saksi pergulatan panas mereka tadi siang yang akhirnya membawa ke duanya pada hubungan rumah tangga yang semakin erat.“Vin, lampunya nggak akan lo matiin, ‘kan?” tanya Zoya wajahnya penuh rasa takut terakhir kali lampu kamar dimatikan saat tidur, paginya Zoya demam sampai di bawa ke rumah sakit.“Kalau pakai lampu tidur aja gimana?” tanya Kevin.Zoya nampak berpikir lalu pada akhirnya mengangguk. “Boleh. Tapi lo tidurnya jangan jauh-jauh dari gue ya, gue takut gelap.”Kevin terkekeh pelan. “Dengan senang hati aku akan memberikan pelukan hangat, sayang.”“Ih, aku kamu? Kok gue geli ya dengerinya,” kata Zoya wajahnya terlihat tidak nyaman dengan panggilan baru itu. Wajar saja Zoya belum terbiasa, karena memang keseharian mereka hanya memanggil lo dan gue.“Loh, kenapa harus geli? Kita kan sudah suami istri, emang kamu nggak mau kehidupan rum
Keluarga Waldi dan Mila sudah sampai di rumah sakit, ketika diberi tahu Mila mengalami kecelakaan tentunya mereka syok berat bahkan Yalina sempat tidak sadarkan diri di rumah. “Kamu keterlaluan, Waldi!” Jeff murka setelah Waldi menjelaskan semuanya. Menurut Jeff, apa yang dilakukan Waldi memang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia.Jeff memutuskan untuk duduk supaya emosinya reda dari pada ia menjadi pusat perhatian karena membuat keributan di rumah sakit.“Setelah anakku keluar dari rumah sakit, ceraikan dia!” perintah Adra. Lelaki itu juga naik pitam karena cinta putri semata wayangnya dikhianati oleh Waldi. Waldi yang sebelumnya sudah mendapatkan restu dari keluarga, tapi dengan mudahnya mengkhianati begitu saja.“Abi, Waldi mohon beri satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya. Semua yang kalian dengar tidak seperti yang kalian kira,” kata Waldi, lelaki itu mencoba untuk meluruskan masalah, tapi semuanya sudah terlanjur berantakan.“Apa lagi yang mau kamu perbaiki, Wa
Sekarang Kevin dan Zoya sudah berada di rumah sendiri. Akhirnya bisa lepas dari pertanyaan ‘kapan punya momongan?’ dari orang tuanya sendiri. Jika mendengar pertanyaan yang sama lagi dari orang tuanya, Zoya ingin menenggelamkan diri saja di sungai Amazon.“Woy, lagi ngelamun in apa?” tanya Kevin yang tiba-tiba saja membawa banyak cemilan di tangannya.“Ih, apa itu? Gue mau dong.” Zoya menatap penuh minat jajanan di tangan Kevin.“Dih, ambil sendiri lah,” kata Kevin, sambil menyembunyikan jajanan yang ia bawa tadi.“Nggak usah pelit sama istri sendiri.” Zoya merebut paksa jajanan yang ada di tangan Kevin. Raut wajah kemenangan Zoya langsung terpancar jelas.“Malah ngalah mengalah aja lo baru sadar udah punya suami. Tapi lo lupa tugas sebagai istri itu apa aja,” kata Kevin, sambil membersihkan sisa-sisa micin di tangannya.“Bodo.” Lalu Zoya meninggalkan Kevin dan tidak lupa membawa jajanan yang sudah berhasil ia rampas tadi.Kevin yang ditinggalkan begitu saja pun merasa kesal dan marah
“Halo.”Mila begitu tenang mengangkat telepon, meskipun itu dari seorang perempuan yang sudah menghancurkan keluarga kecilnya.“Maaf, ini siapa ya?” tanya seseorang di seberang sana.“Saya istrinya,” jawab Mila, nada bicaranya masih terdengar tenang.“Saya ingin bicara sama Pak Waldi, apakah beliau ada?”“Siapa?” tanya Waldi tanpa suara hanya melalui gerakan mulutnya.Tanpa menjawab, Mila langsung memberikan ponsel itu kepada Waldi supaya lelaki itu bisa tahu sendiri. Saat Waldi hendak pergi, Mila menahan meminta lelaki itu berbicara di depannya. Waldi tidak punya pilihan sekali menuruti keinginan Mila.“Iya, kenapa, Sonya?” tanya Waldi nadanya sangat ramah sekali.Mendengar nada bicara Waldi kepada perempuan itu membuat Mila tersenyum sinis. Meskipun hati Mila teramat sakit, tapi ia mencoba untuk menjadi perempuan yang tenang.“Apa, kran kamar mandi di apartemen kamu rusak?”“Sewa saja orang untuk membetulkannya,” kata Mila, pelan.“Em, saya tidak bisa ke sana sekarang, karena masih
Keesokan paginya, tepatnya pada jam setengah enam subuh, Zoya nyaris berteriak saat melihat Kevin sedang melaksanakan sholat subuh. Zoya pikir Kevin adalah sosok hantu yang sedang berdiri, sebab penerangan yang remang-remang membuatnya hampir salah sangka.“Udah bangun?” tanya Kevin sambil melipat kembali sajadah yang baru saja ia pakai shalat subuh. Setelah itu Kevin melepas peci dan juga baju koko. Dari mana lelaki itu mendapat baju koko?“Baju koko siapa yang lo pake?” tanya Zoya dengan suara serak.“Bajunya Papa,” jawab Kevin.Zoya menganggukkan kepalanya lalu kembali memejamkan mata ingin melanjutkan tidur.“Kenapa lo nggak bangunin gue buat shalat?” tanya Zoya dengan mata terpejam.“Gue nggak mau maksa lo. Gue tau lo belum terbiasa,” jawab Kevin, santai.Zoya merasa malu, karena selama ini memang jarang sekali shalat, bahkan dalam satu tahun bisa dihitung pakai jari.“Lain kali ajarin gue shalat, gue juga pengen belajar bisa shalat lima waktu dalam satu hari,” kata Zoya.“Lo ngg