Sesuai janji Waldi pada saat makan malam, siang hari ini Waldi mengajak Mila untuk mencari kulineran di Jepang tentu dengan cuaca yang masih saja dingin.“Capek ya?” tanya Waldi pada saat melihat wajah Mila seperti kelelahan akibat berjalan cukup jauh.“Lumayan,” jawab Mila, disertai senyum manis di wajahnya. Udara yang cukup dingin membuat pipi Mila terlihat kemerahan.“Pipi kamu merah,” jawab Waldi. “Pasti karena suhu yang cukup dingin,” sambung Waldi.“Tidak apa, sedikit perih sih sebenarnya, tapi nggak mungkin kita pulang kan sudah berjalan sejauh ini,” ujar Mila.“Ya sudah, kita masuk saja ke dalam kedai supaya tidak terlalu dingin.” Waldi menarik pelan pergelangan tangan Mila dibawa masuk ke dalam kedai yang akan mereka cicipi dagangannya.Waldi memilih tempat duduk di dekat jendela yang memperlihatkan pemandangan jalan dengan gundukan salju yang cukup tebal.“Sepertinya Nabemono ini enak,” kata Mila, sambil menunjuk salah satu gambar di buku menu.“Membayangkan kuahnya masuk ke
“Sayang, diminum dulu teh hangatnya,” ujar Waldi, sambil meletakkan secangkir teh hangat di depan Mila yang sedang duduk di meja makan.Beberapa saat setelah mereka sampai di rumah, Waldi dan Mila langsung menuju dapur karena Waldi memaksa Mila untuk minum yang hangat-hangat dulu karena Mila sedikit demam akibat perubahan cuaca yang sangat drastis.“Sebelum tidur minum obat dulu ya supaya demamnya turun,” kata Waldi, sambil menarik kursi supaya duduknya berdekatan dengan Mila.“Ini hanya demam biasa, setelah minum teh hangat ini pasti akan membaik.”“Kamu itu dibilangin jangan ngeyel, pokoknya harus minum obat sebelum tidur!” Waldi berucap tegas membuat Mila tidak bisa mencari alasan.Mila menghela napas kasar. “Baiklah.”Nada bicara Mila yang berubah membuat Waldi mengerutkan kening. “Kamu marah?”Mila hanya menjawab dengan gelengan kepala.“Apa salah aku khawatir sama kondisi istri sendiri?” tanya Waldi.Mila kembali menggeleng lalu menjawab dengan suara lirih. “Tidak.”“Lalu kenapa
Setelah selesai shalat subuh, Mila memutuskan membuat teh hangat untuk Waldi sementara suaminya itu berada di kamar membereskan tempat tidur. Mila yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, tiba-tiba saja berhenti karena mendengar suara Waldi yang semakin dekat, terdengar lelaki itu sedang berbicara dengan seseorang.Mila menatap ke depan, di sana ada Waldi yang baru saja duduk di kursi meja makan sambil memegang telepon yang diletakkan di telinga. Buru-buru Mila membawa teh buatannya ke meja makan dan beberapa cemilan untuk sarapan.“Papa kan tahu sendiri Waldi sama Mila lagi bulan madu di sini,” ujar Waldi.“Nggak bisa cepet dong, Pah. Ya sudah, akan Waldi bicarakan sama Mila. Wassalamualaikum.” Sambungan telepon pun tertutup dan Waldi meletakkan ponselnya tepat di samping kanan di mana gelas teh berada.“Ada apa?” tanya Mila dengan penuh rasa penasaran. Sebab melihat wajah Waldi yang tidak enak dipandang membuat banyak pertanyaan muncul di dalam pikiran Mila.“Mama masuk rumah sakit la
Sesampainya Waldi dan Mila di Indonesia, keduanya langsung menuju kediaman orang tua Waldi.“Bagaimana keadaan Mama, Pah?” tanya Waldi kepada sang papa. dua lelaki itu sedang duduk di meja makan membicarakan kesehatan Irana yang akhir-akhir ini sedikit bermasalah.“Kata dokter sudah cukup membaik. Sepertinya akhir-akhir ini Mamamu sedang banyak pikiran, Waldi. Bisakah kamu memberinya sedikit perhatian saja?”“Pah, harus bagaimana lagi Waldi memberi perhatian kepada Mama? Mila juga sudah memberi perhatian, tapi sampai detik ini Waldi tidak melihat Mama bersyukur mendapatkan semua itu.”“Bukan Waldi tidak mau memberikan Mama perhatian, tapi sikap Mama yang kasar kepada Mila membuat Waldi geram. Suami mana yang tidak marah ketika istrinya di perlakukan seperti itu oleh mertua sendiri yang tidak lain adalah Mama Waldi sendiri, Pah?”“Papa mengerti dan Papa juga paham betul bagaimana Mila mencoba mendekatkan diri sama Mamamu, tapi kamu tahu sendiri bagaimana dia yang sangat keras kepala.”
“Mas ….”“Oh, jadi perubahan sikap kamu ke aku karena dia? Ada hubungan spesial apa kamu sama dia sampai-sampai berubah begini?”“Waldi, tenangkan dirimu dan dengarkan penjelasan kita dulu,” ujar Kevin, yang mencoba menenangkan Waldi supaya tidak marah kepada Mila.“Penjelasan apa lagi? kalian berdua sudah tertangkap basah masih mau membela diri?” Waldi terkekeh mengejek. Hati Waldi sangat sakit karena merasa terkhianati, ternyata sampai kapan pun Mila tidak akan pernah mencintainya. Apalah dirinya hanya seorang laki-laki yang pernah terjun ke dunia malam berharap mendapatkan sosok perempuan yang sholihah? Mustahil! Sekarang Waldi sedang menertawakan dirinya sendiri.“Aku dan Kevin tidak sengaja bertemu di sini,” kata Mila.“Tidak sengaja bertemu? Sangat kebetulan sekali bukan? Kamu pikir aku percaya. Mila, aku memang mencintaimu, tapi bukan berarti aku bodoh. Kamu dan dia saling mencintai bukan? Jangan katakan ‘tidak’ sejak awal aku sudah menduga dan bodohnya aku berharap kamu bisa m
“Mila, kok mata kamu sembab? Kamu habis nangis?” tanya Yalina yang tiba-tiba saja datang ke rumah Mila karena mengetahui putrid an menantunya sudah kembali dari Jepang.“Masa sih, Umi? Mungkin karena Mila baru bangun tidur,” ujar Mila, sengaja menutupi semuanya karena tidak mau membuat suasana semakin runyam. Jika Yalina dan Adra tahu Mila menangis karena Waldi, sudah pasti tidak akan terima.“Kamu benar baik-baik saja? kalian sedang tidak ada masalah, ‘kan?” tanya Adra yang ikut khawatir dengan kondisi putrinya.Mila tersenyum. “Alhamdulillah hubungan kami baik-baik saja kok, Umi, Abi.”“Syukurlah.” Adra sedikit lega, namun sembab di kedua mata putrinya belum membuat hatinya tenang. sebab Adra tidak pernah melihat wajah Mila yang sangat sembab seperti pagi ini.“Jadi bagaimana? Apa cucu Umi dan Abi sedang dalam proses?” Yalin menggoda putri tercintanya untuk membuat suasana mencair.“Umi.” Mila bernada manja, masih menyembunyikan rasa sakit di hatinya akibat kejadian semalam.“Waldi
Setelah melihat semua rekaman CCTV sejak awal Zoya masuk sampai terjadi insiden, Mila pun akhirnya mengerti dan sudah tidak salah paham lagi.“Bagaimana?” tanya Waldi, kepada Mila yang sedang menatap layar komputer CCTV.Mila mengangguk samar. “Iya, aku percaya.”Mila menatap Zoya dengan tajam, penuh rasa tidak suka. Apa maksud kedatangan Zoya ke kantor pada saat Waldi sedang sendiri di ruangan? Apakah Zoya kurang puas hampir membuat rumah tangganya berantakan?“Kenapa masih di sini? Belum cukup malu setelah melihat rekaman CCTV tadi?” sindir Mila, tajam.Zoya langsung mengambil tas kecilnya. “Ingat, kalian berdua tidak akan pernah bahagia! Tuhan pasti akan mengutuk kalian karena telah bahagia di atas penderitaan orang lain!”“Kita lihat saja nanti siapa yang akan hancur lebih dulu,” kata Waldi.Zoya melirik Waldi dan Mila secara bergantian, lalu wanita itu pergi dengan dendam yang semakin menguasai diri.Di dalam ruangan itu sekarang hanya ada Waldi dan Mila. Keduanya saling diam mes
“Bagaimana kondisi istri saya, Dok?” tanya Waldi dengan raut wajah khawatir. Mila sudah selesai diperiksa oleh dokter.“Hanya kelelahan, Pak. Sepertinya Ibu Mila terlalu banyak pikiran, darahnya juga rendah, nanti akan saya resepkan obat penambah darah,” jelas sang dokter sambil duduk di tempatnya dan kemudian menuliskan beberapa resep yang nantinya akan Waldi tebus di apotek.“Makanan yang masuk juga harus lebih diperhatikan lagi ya, Pak, sepertinya istri Pak Waldi kalau sedang banyak pikiran pola makannya tidak teratur,” sambung dokter itu sambil memberikan resep yang sudah selesai ditulis.“Baik, Dok, saya akan lebih memperhatikan pola makan istri saya,” kata Waldi.“Ada lagi yang mau ditanyakan, Pak?” tanya dokter.“Tidak ada, Dok. Terima kasih.” Waldi menjabat tangan sang dokter lalu kemudian keluar dari ruangan itu bersama dengan Mila.“Dengar kana pa kata dokter tadi?” tanya Waldi.“Iya,” jawab Mila, singkat.“Sebenarnya kamu lagi banyak pikiran apa sih? Kenapa nggak cerita ke