Mila mengetuk pelan pintu kamar sang mama mertua. “Mah, waktunya makan siang bersama, yuk.”“Makan saja sendiri saya nggak minat,” kata Irana, ketus.“Tapi Mama kan harus minum obat biar cepet sembuh.” Mila tidak menyerah untuk membujuk mama mertuanya.“Saya bilang tidak, ya tidak!”Mila hanya bisa menghela napasnya pelan pada saat mendapatkan penolakan berkali-kali dari mama mertuanya.“Ada apa?” tanya Waldi yang tiba-tiba saja datang dengan wajah bingung. Sebab Waldi melihat Mila yang hanya berdiri di depan pintu kamar saja.“Mama nggak mau makan,” jelas Mila wajahnya terlihat sedih.“Mah, ayo makan dong, Mila sudah masak banyak untuk makan siang kita.” Waldi ikut serta membujuk sang mama supaya mau makan siang bersama.Irana hanya diam, wanita itu tidur miring membelakangi pintu.“Mah.” Waldi masih terus sabar membujuk sang mama agar tetap mau makan karena Mila sudah susah payah memasak makan siang hari ini.“Mila sudah masak banyak, Mah, Mama harus makan.”“Mama tidak mau makan Wa
Pagi-pagi sekali Mila sudah tidak mendapati Waldi di tempat tidur. Kemana perginya lelaki itu? Begitulah hati Mila bertanya. Tanpa menunggu lama Mila pun pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.“Kemana sih dia?” gumam Mila, setelah selesai sholat subuh. Mila bergegas membereskan mukena dan sajadahnya.Mila keluar dari kamar, namun tidak mendapati Waldi. Rumahnya sepi seperti hanya dirinya yang menempati rumah itu.“Apa mungkin di dapur?” Mila bergegas ke dapur, tapi tidak mendapati Waldi di sana.“Sudah bangun sayang?”Suara itu membuat Mila menoleh ke belakang sudah Mila persiapkan rentetan pertanyaan untuk suaminya.“Dari mana saja sih? Kenapa tidak membangunkan aku? Hampir saja aku terlambat shalat subuh.”“Shut.” Waldi menempelkan jari telunjuknya tepat di bibir Mila meminta dengan halus supaya istrinya itu diam.“Ayo mandi dan kita langsung berangkat,” kata Waldi.Seketika kening Mila mengkerut, wajahnya kebingungan. “Berangkat? Memangnya kita mau kemana?”“Kamu lupa saya
Setelah kurang lebih tujuh jam menempuh perjalanan di udara akhirnya Waldi dan Mila sampai di Tokyo Jepang.“Jadi, kita pergi ke Jepang?” tanya Mila penuh rasa terkejut karena memang sebelumnya Waldi tidak bilang mau pergi ke mana.Waldi mengangguk penuh rasa bahagia. “Iya. Gimana, suka nggak?”Mila tersenyum lebar. “Aku suka banget. Makasih suamiku.”Secara spontan Mila memeluk Waldi membuat lelaki itu terkejut sekaligus bahagia karena Mila sudah semakin mau bersentuhan fisik dengannya.“Eh, maaf.” Mila langsung melepaskan pelukannya setelah sadar memeluk Waldi sebegitu eratnya.Waldi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mereka berdua sama-sama canggung seperti remaja yang baru saja merasakan jatuh cinta.“Sebenarnya nggak papa sih, aku malah seneng,” kata Waldi.“Ish, apa sih.” Mila mencubit pinggang Waldi karena salah tingkah.“Kita mau di sini sampai berapa hari?” tanya Mila karena lagi-lagi Waldi tidak memberitahunya.“Sampai kamu merasa bosan dan ingin pulang ke Indonesia,” ja
Esok paginya ….Mila masih meringkuk di atas kasur dibalut selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya. Tubuh yang masih polos tanpa sehelai benangpun itu merasakan kelembutan dan kehangatan sepasang tangan yang begitu erat memeluknya dari belakang.Salju di kota Jepang semakin lebat, bahkan butiran putih bersih itu sudah menutupi sebagian jalanan kota. Udara dingin yang begitu mendukung membuat Mila dan Waldi masih tertidur pulas setelah semalam penuh terjadi pertempuran di atas ranjang.Bunyi alarm ponsel membuat tidur Mila terganggu, ia membuka kelopak matanya yang terasa berat, tangannya mencoba mencari-cari dimana ponsel itu berada untuk mematikan alarm.“Jam berapa sayang?” tanya Waldi dengan suara parau khas orang bangun tidur. Lelaki itu mengerjapkan matanya pelan untuk menyesuaikan cahaya ponsel milik istrinya.“Sudah jam lima, bangun dulu abis itu shalat subuh,” ujar Mila, kembali meletakkan ponsel di atas nakas.“Memangnya kamu lupa?” tanya Waldi.“Lupa apa?” kening Mila mengke
Waldi membawa Mila ke salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar berada di kota Jepang. “Kenapa kita ke sini?” tanya Mila menatap suaminya penuh kebingungan. “Kita membutuhkan banyak baju hangat di sini,” jawab Waldi. “Memangnya mau selama apa kita berada di sini?” “Kalau kamu sudah bosan di sini maka kita akan pulang,” jawab Waldi enteng tanpa ada beban. Mendengar ucapan suaminya, Mila hanya bisa menghela napas kasar. begitulah Waldi, tidak bisa diprediksi jika sudah membuat sebuah rencana. “Ya sudah, ayo kita cari baju hangatnya.” Waldi menarik Mila ke salah satu tempat yang menjual baju-baju musim dingin merek ternama yang tentunya dengan harga tinggi. “Kenapa dari sekian banyak toko yang menjual baju hangat, kamu mengajak aku ke tempat ini? Aku tahu ini merek yang sangat terkenal dengan harga yang sudah pasti tidak main-main,” omel Mila, kesal. Mila kesal karena Waldi langsung membawanya ke tempat yang mahal. “Aku ingin memberikan yang terbaik untuk istriku, memangnya s
“Kamu lagi kemana sih, Waldi? Kenapa pagi-pagi sekali sudah tidak ada di rumah? istri kamu juga kemana?”Rentetan pertanyaan itu Waldi dapatkan dari sebuah sambungan telepon siapa lagi kalau bukan sang mama.“Waldi sama Mila lagi pergi bulan madu ke Jepang, Mah,” jawab Waldi, dengan santainya lelaki itu pergi ke dapur memeluk Mila dari belakang yang sedang sibuk memasak untuk makan malam mereka nanti.“Pergi bulan madu? Kenapa tidak bilang sama Mama sih?” nada bicara Irana sedikit tinggi karena marah bercampur kesal tidak diberi kabar.“Mendadak, Mah,” jawab Waldi, lagi-lagi dengan santainya.“Pasti istri kamu itu kan yang menghasut kamu supaya tidak bilang ke Mama? Sudah Mama duga dia itu wanita tidak baik, untuk apa gamis dan jilbab panjangnya itu nyatanya hatinya busuk.”“Mama ini kenapa sih selalu saja menyalahkan Mila? Dia tidak tahu apa-apa.”Mila yang disebut namanya tidak tahu apa-apa hanya bisa menatap Waldi dengan tatapan polos.“Kenapa?” tanya Mila melalui gerak bibirnya. W
Sesuai janji Waldi pada saat makan malam, siang hari ini Waldi mengajak Mila untuk mencari kulineran di Jepang tentu dengan cuaca yang masih saja dingin.“Capek ya?” tanya Waldi pada saat melihat wajah Mila seperti kelelahan akibat berjalan cukup jauh.“Lumayan,” jawab Mila, disertai senyum manis di wajahnya. Udara yang cukup dingin membuat pipi Mila terlihat kemerahan.“Pipi kamu merah,” jawab Waldi. “Pasti karena suhu yang cukup dingin,” sambung Waldi.“Tidak apa, sedikit perih sih sebenarnya, tapi nggak mungkin kita pulang kan sudah berjalan sejauh ini,” ujar Mila.“Ya sudah, kita masuk saja ke dalam kedai supaya tidak terlalu dingin.” Waldi menarik pelan pergelangan tangan Mila dibawa masuk ke dalam kedai yang akan mereka cicipi dagangannya.Waldi memilih tempat duduk di dekat jendela yang memperlihatkan pemandangan jalan dengan gundukan salju yang cukup tebal.“Sepertinya Nabemono ini enak,” kata Mila, sambil menunjuk salah satu gambar di buku menu.“Membayangkan kuahnya masuk ke
“Sayang, diminum dulu teh hangatnya,” ujar Waldi, sambil meletakkan secangkir teh hangat di depan Mila yang sedang duduk di meja makan.Beberapa saat setelah mereka sampai di rumah, Waldi dan Mila langsung menuju dapur karena Waldi memaksa Mila untuk minum yang hangat-hangat dulu karena Mila sedikit demam akibat perubahan cuaca yang sangat drastis.“Sebelum tidur minum obat dulu ya supaya demamnya turun,” kata Waldi, sambil menarik kursi supaya duduknya berdekatan dengan Mila.“Ini hanya demam biasa, setelah minum teh hangat ini pasti akan membaik.”“Kamu itu dibilangin jangan ngeyel, pokoknya harus minum obat sebelum tidur!” Waldi berucap tegas membuat Mila tidak bisa mencari alasan.Mila menghela napas kasar. “Baiklah.”Nada bicara Mila yang berubah membuat Waldi mengerutkan kening. “Kamu marah?”Mila hanya menjawab dengan gelengan kepala.“Apa salah aku khawatir sama kondisi istri sendiri?” tanya Waldi.Mila kembali menggeleng lalu menjawab dengan suara lirih. “Tidak.”“Lalu kenapa