Seperti orang-orang pada umumnya, setelah pulang kerja Waldi dan Mila langsung menuju ke rumah untuk istirahat, meskipun Mila tidak bekerja keras hari ini, tapi ia tetap saja lelah, lelah menghadapi Waldi yang seketika berubah menjadi bayi besar.“Besok tidak usah lagi ikut aku ke kantor ya,” kata Waldi, sambil memasang wajah memelasnya di depan Mila. Raut wajah itu sejak tadi Waldi tunjukkan supaya Mila luluh.“Memangnya kenapa?” tanya Mila sedikit ada raut wajah kecewa karena sebelumnya Waldi sudah mengizinkan Mila untuk bekerja.“Aku nggak tega liat wajah kamu kelelahan seperti ini. Kamu pasti ngantuk,’kan?”Waldi melihat wajah Mila memang terlihat sangat lelah hari ini, namun apa yang Waldi lihat tidak seperti yang Mila rasakan.“Tidak kok,” bantah Mila tegas. “Justru aku bahagia bisa bertemu banyak orang di kantor. Aku bisa punya teman dari berbagai usia dan kalangan.”“Hmm, baiklah.” Waldi pun menyerah karena Mila terlihat sangat antusias.Saat Mila dan Waldi masuk ke rumah, tib
Mila dan Waldi kembali dan membawa pesanan Irana.“Dari mana saja sih? Sudah lapar ini.” Irana menatap Mila tidak suka karena terlalu lama membelikan bubur untuknya.“Maaf, Mah, tadi makan dulu,” kata Mila, dengan suara lembut. meskipun sambutan Irana tidak baik, tapi Mila masih mau menyiapkan bubur di mangkuk untuk mama mertuanya.“Biar aku bantu,” kata Waldi, lelaki itu ikut membantu Mila menyiapkan bubur.“Mah, tidak baik bicara seperti itu. Mila sudah baik hati membelikan Mama bubur seharusnya berterima kasih bukannya protes seperti itu.” Jeff memberi nasehat supaya istrinya tidak kelewat batas.Irana hanya memberi tatapan tidak suka ke arah suaminya. Irana semakin tidak suka dengan keberadaan Mila, karena semenjak ada Mila semua orang di sekitarnya menjadi tidak membelanya.“Biar Mila suapin ya Ma.” Mila duduk di tepian ranjang, Irana justru sedikit bergeser karena tidak mau dekat-dekat menantunya.Mila hanya bisa tersenyum dan menguatkan hatinya untuk terus bersabar. Waldi melih
Pagi harinya.Waldi berangkat kerja sendiri sementara Mila berada di rumah sedang menyiapkan masakan untuk ia bawa ke rumah sakit. sejak semalam pada saat Waldi meminta agar hubungan rumah tangganya seperti orang pada umunya, sejak saat itu juga Mila mendiaminya.“Masih marah?” tanya Waldi menghampiri Mila yang sedang bergelut dengan peralatan masak.Mila hanya diam seperti tidak mendengar pertanyaan Waldi. Bahkan Mila mengacuhkan Waldi seolah tidak ada orang selain dirinya di dapur.“Aku minta maaf kalau ucapan aku semalam bikin kamu kesel,” kata Waldi, masih berusaha membujuk Mila supaya kembali seperti semula.Waldi tidak kunjung mendapat respon lelaki itu hanya menghela napasnya kasar memilih pergi dari pada harus marah-marah di dekat Mila. Waldi duduk di kursi meja makan menunggu sarapan yang sedang Mila siapkan untuknya.Secangkir teh panas dan dua helai roti panggang Mila taruh di depan Waldi. Masih tidak ada percakapan Mila pergi begitu saja. lagi-lagi Waldi hanya bisa menghel
Sesampainya di rumah, Waldi tidak langsung mandi melainkan pergi ke dapur membuat teh hangat untuk Mila karena sejak berada di dalam mobil Waldi melihat Mila hanya diam saja tidak seperti biasa. Sementara Mila membersihkan diri bersiap untuk tidur. Setelah selesai membuat teh Waldi pun ke kamar.“Mila, sudah selesai belum?” tanya Waldi pada saat mau masuk ke kamar. Pertanyaan seperti itu sudah sering terdengar pada saat Mila sedang selesai mandi atau ganti baju, karena Mila belum mengizinkan Waldi untuk melihatnya keseluruhan.“Sebentar lagi,” kata Mila, sedikit berteriak dari dalam kamar.Tidak berselang lama pintu kamar terbuka memperlihatkan Mila sudah siap dengan baju tidur dan kerudungnya.“Sudah selesai,” kata Mila, lalu mempersilahkan Waldi masuk.“Diminum tehnya supaya badannya jauh lebih baik. aku mau mandi dulu.” lalu Waldi masuk ke kamar mandi sementara Mila duduk di tepian kasur menatap secangkir teh buatan suaminya.Dari tatapan mata Mila, gadis itu merasa beruntung karen
“Selamat pagi.”Mila dikejutkan dengan suara yang sangat familiar, namun kali ini suaranya sedikit berbeda. Mila menoleh ke belakang dan mendapati Waldi sedang berada di belakangnya masih memakai piama semalam.“Kok belum mandi sih?” tanya Mila nada dan raut wajahnya terkejut.“Aku lagi males ke kantor,” jawab Waldi, enteng.“Kok males sih? Pekerjaan kamu kan banyak. Sudah sana mandi!” Mila mengusir Waldi, namun Waldi tetaplah Waldi yang sangat keras kepala.“Tidak mau.” Waldi mencomot tahu goreng yang sudah tertata rapi di piring.“Gosok gigi dulu kalau mau makan,” ucap Mila, menatap Waldi tajam. Lagi-lagi Waldi tidak mengindahkan ucapan Mila. Waldi ini sangat bandal seperti bocah berusia lima tahun.Mila menghela napasnya kasar, lalu kembali bersikap acuh memilih menyelesaikan masakannya.“Hehe, iya sayang, iya aku mandi nih.” Lalu Waldi berlalu pergi sebelum Mila mendiamkannya lebih lama.“Nah gitu dong,” gumam Mila.Mila sudah hampir selesai menata makanan untuk sarapan hari ini,
Sesampainya di mall, Mila dan Waldi langsung menuju bioskop karena Mila bilang pengen nonton.“Kamu yakin mau nonton film horror?” tanya Waldi mencoba memastikan. Bayangkan saja Mila memilih menonton film horor sementara Waldi tidak pernah menonton karena takut.“Kamu takut?” tanya Mila.Waldi langsung menggeleng. “Tidak.” Waldi bohong karena tidak mau dicap sebagai lelaki penakut.“Aku berani kok,” kata Waldi, mencoba meyakinkan.“Kalau berani ya sudah, mukanya biasa saja dong jangan ketakutan seperti itu.” Mila terkekeh pelan saat melihat wajah Waldi seperti ketakutan.Waldi langsung mengusap wajahnya. “Tidak kok, aku tidak takut.”Mila hanya terkekeh pelan lalu keduanya masuk ke ruang bioskop yang cukup ramai karena film yang Mila pilih sedang populer di kalangan anak remaja dan dewasa. Baru masuk saja sudah membuat bulu kuduk Waldi merinding. Waldi dan Mila duduk di tempat yang sudah dipilih.“Yakin mau nonton?” tanya Waldi sekali lagi masih memastikan.“Iya masih, kenapa sih?” Mi
“Tidak seharusnya kamu bicara seperti tadi sama Mama,” kata Mila, ada rasa tidak terima di dalam hatinya ketika Waldi bersikap kasar pada Irana. “Harga diri kamu dijatuhkan, Mila, mana mungkin aku bisa diam saja?” “Tapi tidak dengan bicara seperti tadi.” Waldi menghela nepas kasar mengusap wajahnya frustasi. Di satu sisi ia tidak mau Mila selalu direndahkan, tapi di satu sisi Mila juga tidak ingin dirinya menjadi anak pembangkang. “Lalu aku harus bagaimana? Aku merasa menjadi suami tidak berguna jika kamu direndahkan seperti itu di depanku.”’ “Kamu tidak perlu berbuat apa-apa, karena semuanya pasti akan berlalu. Kita ada Allah yang selalu melindungi kita. Aku di beri ujian seperti ini sudah pasti bisa melewatinya, karena Allah percaya aku bisa melewatinya dengan baik.” Waldi menghela napas kasar. “Maafkan atas sikapku yang tadi. Kamu benar, setiap ujian pasti bisa diselesaikan dan memberikan pelajaran luar biasa. Terima kasih kamu sudah membatku sadar.” Mila tersenyum dan mengan
Hari ini Irana sudah diperbolehkan pulang. Waldi yang seharusnya masuk ke kantor pun izin terlebih dahulu untuk memenuhi permintaan sang mama untuk menjemputnya di rumah sakit tentu saja bersama Mila yang selalu di sisinya.“Ih, kamu saja yang di belakang, aku ingin di depan bersama anakku,” kata Irana, sambil menarik Mila untuk mundur.Mila yang hendak masuk ke mobil pun mengurungkan niatnya. Gadis itu hanya bisa tersenyum mendapatkan perlakuan kurang baik dari mama mertuanya.“Mah, jangan seperti itu, Mila memang harus di depan menemani Waldi,” kata Jeff.“Apa sih Papa ini, Mama ingin duduk di depan bersama Waldi, memangnya salah? Lagian dia juga sudah sering bersama anak kita kan?” Irana dengan keras kepalanya langsung duduk di kursi depan bersama Waldi.“Sayang, tidak apa ya duduk di belakang dulu sama Papa,” kata Waldi, lelaki itu masih berusaha bersabar menghadapi sikap sang mama yang selalu saja semena-mena.“Iya tidak apa.” Lalu Mila membuka pintu belakang dan duduk di sana be