Pagi harinya.“Loh, kok masih belum siap juga sih?” Waldi menghampiri Mila yang sedang duduk di kasur sibuk bermain ponsel.Waldi duduk di pinggiran ranjang menatap Mila sedikit kesal.“Memangnya kita mau pergi kemana?” tanya Mila wajahnya terlihat polos seperti bocah yang belum tahu apa-apa.“Semalam kan katanya mau ikut aku hapus tato,” jelas Waldi, wajahnya terlihat merajuk. Waldi tidak menyangka Mila bisa lupa dengan pembahasan semalam.“Oh, memangnya mau hapus sekarang?”“Bukankah jika dipercepat akan lebih baik?”“Oke, baiklah, aku akan bersiap dulu. Kamu keluar kamar dulu aku mau ganti baju.”“Kenapa aku harus keluar? Bukankah kita sudah suami istri?” Waldi menaik turunkan alisnya untuk menggoda ditambah lagi senyum lelaki yang sangat menyebalkan.“Boleh, tapi jangan harap bisa pergi hari ini,” ancam Mila berkacak pinggang.Waldi menghela napasnya kasar, niatnya mau modus, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Mila.“Baiklah aku akan segera keluar.” Waldi berdiri namun tidak k
“Sakit ya?” tanya Mila wajahnya meringis seolah ikut merasakan perih. Waldi terkekeh pelan. “Sakitnya tidak seberapa kok, aku kan lelaki kuat.” Wajah Mila langsung berubah datar. “Tapi tadi buktinya teriak-teriak kesakitan.” “Aku menyesal sudah mentato tubuhku. Menghilangkan tatonya lebih sakit dari pada saat mentato,” ujar Waldi, nampak ada rasa penyesalan. “Dan untuk bisa hilang sempurna itu membutuhkan waktu lama,” sambung Waldi. “Sudah dibilang tato itu tidak boleh, tapi tetap saja masih ada yang ngeyel. Aku bingung apa sih sebenarnya yang mereka cari dari buat tato di tubuh mereka? Padahal proses pembuatannya saja sangat sakit, bayangkan saja kulit sehat ditusuk-tusuk menggunakan jarum yang berisi tinta,” ujar Mila. “Ada yang sebagai seni dan ada juga sebagai pengalihan rasa sakit dari sini.” Waldi memegang tepat di mana jantungnya berada. “Mau langsung pulang atau makan siang dulu?” tanya Waldi saat memasuki mobil. “Makan siang dulu saja yuk, sepertinya bakso enak d
Wadi berhasil meminta izin Adra ingin membawa Mila kembali. hanya satu pesan Adra dan Yalina, mereka minta Waldi harus menjaga Mila sepenuh hati. Sekarang Waldi dan Mila sudah berada di rumah mereka sendiri. “Mau makan apa untuk makan malam nanti?” tanya Mila kepada Waldi yang sedang sibuk dengan laptopnya di meja makan. “Apa saja asal itu masakan kamu, sayang,” jawab Waldi, menatap Mila sambil mengedipkan sebelah matanya genit. “Dih, memang bisa begitu?” Mila mencoba menutupi salah tingkahnya supaya Waldi tidak terlalu percaya diri. “Iya, makan apa saja yang penting masakan istri sendiri.” “Berarti kalau aku masak ayam tiren kamu mau?” “Tidak ayam tiren juga, kamu mau buat aku diare?” Mila terkekeh kecil mendengar ucapan Waldi. Candaan-candaan ringan yang sering mereka layangkan satu sama lain membuat hubungan keduanya semakin dekat. “Umi sama Abi sedang apa ya di rumah?” Mila mencoba mengajak Waldi ngobrol saat dirinya sedang sibuk menyiapkan makan malam. “Lagi bikin adek ba
Malam harinya. Mila melihat Waldi nampak sibuk dengan laptop, sejak selesai sholat isya sampai jam sepuluh malam suaminya itu belum beranjak dari tempat duduk. Mila berinisiatif membuatkan teh sebagai teman supaya tidak terlalu suntuk saat mengerjakan pekerjaan. “Teh hangatnya,” kata Mila, sambil meletakkan secangkir teh hangat itu di meja kerja Waldi. Waldi menoleh lalu tersenyum kearah Mila yang sedang memakai bergo berwarna merah maroon. “Terima kasih, istriku tercinta,” ujar Waldi, masih dengan senyum manis yang sama. Mila menarik kursi yang ada di dekat Waldi, wanita itu duduk di samping suaminya hanya sekadar ingin tahu apa yang sebenarnya sedang Waldi kerjakan. “Kenapa?” tanya Waldi penasaran. Mila menggelengkan kepalanya. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hati Mila, ia ingin bekerja kantoran seperti teman-temannya yang sudah lulus kuliah, namun Mila sadar sekarang ia sudah menjadi seorang istri. “Kamu mau ikut kerja?” tanya Waldi. Kedua mata Mila langsung melebar. Bagaima
Sesampainya Mila dan Waldi di kantor, semua pegawai menunduk saat keduanya melewati lobby kantor. Mila syok karena melihat wajah Waldi ketika berada di rumah dan di kantor sangat beda. Jika di kantor auranya lebih mengerikan, tapi jika di rumah tengilnya minta ampun.“Selamat pagi, Pak Waldi, selamat datang kembali di kantor ini,” kata sekretaris Waldi, menyambut dengan gagah dan berani. Waldi sengaja mengganti sekretaris yang awalnya perempuan menjadi laki-laki karena Waldi tidak ingin Mila tenggelam dalam kesalahpahaman.“Selamat pagi, siapkan berkas untuk rapat nanti,” kata Waldi, lalu lelaki itu masuk ke dalam lift.“Selamat pagi, Bu Mila, senang bisa bertemu dengan anda hari ini,” kata sekretaris Waldi, tidak lupa menyapa Mila.“Selamat pagi, senang bertemu denganmu hari ini.” Mila pun menyusul Waldi masuk ke dalam lift.“Lain kali jangan tebar senyum ke sembarang lelaki di sini.” Waldi berucap dengan wajah dan suara yang datar membuat Mila bertanya-tanya.“Memangnya kenapa?” ta
Seperti orang-orang pada umumnya, setelah pulang kerja Waldi dan Mila langsung menuju ke rumah untuk istirahat, meskipun Mila tidak bekerja keras hari ini, tapi ia tetap saja lelah, lelah menghadapi Waldi yang seketika berubah menjadi bayi besar.“Besok tidak usah lagi ikut aku ke kantor ya,” kata Waldi, sambil memasang wajah memelasnya di depan Mila. Raut wajah itu sejak tadi Waldi tunjukkan supaya Mila luluh.“Memangnya kenapa?” tanya Mila sedikit ada raut wajah kecewa karena sebelumnya Waldi sudah mengizinkan Mila untuk bekerja.“Aku nggak tega liat wajah kamu kelelahan seperti ini. Kamu pasti ngantuk,’kan?”Waldi melihat wajah Mila memang terlihat sangat lelah hari ini, namun apa yang Waldi lihat tidak seperti yang Mila rasakan.“Tidak kok,” bantah Mila tegas. “Justru aku bahagia bisa bertemu banyak orang di kantor. Aku bisa punya teman dari berbagai usia dan kalangan.”“Hmm, baiklah.” Waldi pun menyerah karena Mila terlihat sangat antusias.Saat Mila dan Waldi masuk ke rumah, tib
Mila dan Waldi kembali dan membawa pesanan Irana.“Dari mana saja sih? Sudah lapar ini.” Irana menatap Mila tidak suka karena terlalu lama membelikan bubur untuknya.“Maaf, Mah, tadi makan dulu,” kata Mila, dengan suara lembut. meskipun sambutan Irana tidak baik, tapi Mila masih mau menyiapkan bubur di mangkuk untuk mama mertuanya.“Biar aku bantu,” kata Waldi, lelaki itu ikut membantu Mila menyiapkan bubur.“Mah, tidak baik bicara seperti itu. Mila sudah baik hati membelikan Mama bubur seharusnya berterima kasih bukannya protes seperti itu.” Jeff memberi nasehat supaya istrinya tidak kelewat batas.Irana hanya memberi tatapan tidak suka ke arah suaminya. Irana semakin tidak suka dengan keberadaan Mila, karena semenjak ada Mila semua orang di sekitarnya menjadi tidak membelanya.“Biar Mila suapin ya Ma.” Mila duduk di tepian ranjang, Irana justru sedikit bergeser karena tidak mau dekat-dekat menantunya.Mila hanya bisa tersenyum dan menguatkan hatinya untuk terus bersabar. Waldi melih
Pagi harinya.Waldi berangkat kerja sendiri sementara Mila berada di rumah sedang menyiapkan masakan untuk ia bawa ke rumah sakit. sejak semalam pada saat Waldi meminta agar hubungan rumah tangganya seperti orang pada umunya, sejak saat itu juga Mila mendiaminya.“Masih marah?” tanya Waldi menghampiri Mila yang sedang bergelut dengan peralatan masak.Mila hanya diam seperti tidak mendengar pertanyaan Waldi. Bahkan Mila mengacuhkan Waldi seolah tidak ada orang selain dirinya di dapur.“Aku minta maaf kalau ucapan aku semalam bikin kamu kesel,” kata Waldi, masih berusaha membujuk Mila supaya kembali seperti semula.Waldi tidak kunjung mendapat respon lelaki itu hanya menghela napasnya kasar memilih pergi dari pada harus marah-marah di dekat Mila. Waldi duduk di kursi meja makan menunggu sarapan yang sedang Mila siapkan untuknya.Secangkir teh panas dan dua helai roti panggang Mila taruh di depan Waldi. Masih tidak ada percakapan Mila pergi begitu saja. lagi-lagi Waldi hanya bisa menghel