Waldi kembali merasakan takut yang persis seperti di dalam mimpinya kemarin, namun kali ini benar-benar nyata. Sekarang Adra sedang duduk tepat di depan Waldi dengan mata merah. Sudah hampir sepuluh menit tidak ada percakapan di antara ke duanya, Waldi hanya bisa menunduk mempersiapkan diri untuk mendapatkan amukan dari Adra. “Jelaskan apa yang sedang Abi pegang ini, Waldi!” perintah Adra, sambil melemparkan selembaran kertas undangan yang sengaja dibawa dari rumah. Mila yang juga ikut duduk di ruang tamu pun hanya bisa diam melihat kemarahan sang abi. Selama Mila hidup, ia tidak pernah melihat abinya semarah ini. Karena Adra memang dikenal sebagai sosok laki-laki yang lemah lembut terhadap perempuan. “Apa yang Abi baca memang benar, itu nama saya dan perempuan yang dipilihkan oleh orang tua saya untuk saya,” jelas Waldi, dengan suara bergetar. “Lalu kamu ingin menikah untuk yang ke dua kalinya? Bagaimana dengan putriku?” Adra masih berusaha untuk sabar karena ia tidak ingin marah
“Waldi, apa kamu sudah gila?! Apa yang merasukimu sampai-sampai merusak undangan sebanyak ini?” Irana berteriak histeris melihat ratusan lembar undangan yang sudah terkoyak tidak berdaya di atas lantai keramik yang dingin. Mendengar jeritan sang mama, Waldi hanya melirik sekilas tanpa minat. Waldi benar-benar lelah dengan segala paksaan yang dialami setiap harinya. “Sudah berkal-kali Waldi katakan, Waldi tidak mau menikah dengan perempuan itu Ma!” kali ini Waldi berani membantah, untuk ke dua kalinya setelah lelaki itu pergi dari rumah. Masalah ancaman sang mama akan bunuh diri sudah tidak ia pedulikan lagi, demi kebahagiaan dan juga masa depan ada di tangannya sendiri. “Kamu sudah berani melawan Mama?!” Ke dua mata Irana melotot penuh emosi mendengar ucapan Waldi beberapa detik yang lalu. “Mama nggak mau tahu pokoknya kamu harus menikah dengan Zoya!” Irana memang sosok perempuan yang keinginannya tidak bisa dibantah. Waldi berdiri dari tempatnya duduk, lelaki itu berjalan pelan
Keesokan paginya. Waldi mengerjabkan matanya ketika ia merasakan ada sesuatu yang besar menimpa tubuhnya. Terakhir Waldi mengingat dirinya sedang berada di bar untuk pertama kalinya dan untuk pertama kalinya juga Waldi merasakan mabuk. Waldi memutuskan minum-minuman haram itu karena ia merasa tertekan dan stres yang yang sudah menumpuk cukup lama ditambah lagi kepergian Mila membuatnya semakin tidak karuan. Waldi melihat ada sebuah tangan mungil yang memegang handuk kecil berwarna putih. Lelaki itu semakin bertanya-tanya siapa sosok itu dan mengapa ia bisa bersama dengan sosok itu. Waldi langsung bersitighfar di dalam hati, semalam Waldi benar-benar tidak ingat apa yang sudah dilakukan. Tatapan mata Waldi jatuh pada sebuah kerudung yang menjuntai, lelaki itu memberanikan diri untuk melihat siapa sosok berhijab yang sedang berada di atasnya. “Mila.” Ke dua mata Waldi melotot ketika melihat Mila tidur di atas tubuhnya. Waldi mencoba untuk tidak banyak gerak karena ditakutkan Mila ak
Setelah selesai sarapan, Waldi dipanggil Adra ke depan, tepatnya di ruang tamu untuk bicara empat mata. “Bagaimana, apakah kamu sudah bisa memutuskan?” tanya Adra langsung pada intinya karena lelaki itu tidak mau berbelit-belit dalam masalah ini sebab kebahagiaan sang putri perlu dipertanyakan jika Waldi tetap berusaha ingin bersama Mila. “Sudah Abi, hanya saja Mama saya masih bersikeras untuk melangsungkan pernikahan itu,” kata Waldi, masih tetap tidak berani menatap mata sang mertua karena di sana terdapat tatapan tajam seperti busur panah yang siap membidik lawannya. Adra menganggukkan kepalanya paham, namun tetap saja Adra masih ragu dengan Waldi. “Semalam kamu kenapa?” tanya Adra. “Mabuk tidak menyelesaikan masalah, Waldi. Saya sempat meragukan kamu dalam urusan akhlak dan agama, tapi untung saja Umumu meyakinkan Abi,” sambung Adra berbicara tentang keraguannya terhadap Waldi. “Maafkan saya, Abi. Sungguh, demi Allah, yang semalam itu adalah pengalaman pertama dan terakhir sa
Hari di mana seharusnya pernikahan itu terjadi.Pagi tadi Waldi sudah kembali ke rumahnya, seperti dugaannya rumahnya penuh dengan orang. Zoya juga sudah rapi memakai gaun pengantin beserta dengan riasannya.“Dari mana saja kamu Waldi, kenapa baru datang semua orang sudah menunggu kamu di dalam.” Irana menghampiri sang putra dengan raut wajah marah. Irana malu karena sudah membuat para tamu undangan menunggu. Acara yang sudah dibatalkan Waldi ternyata tetap tidak mempan.“Waldi sudah bilang tidak mau menikah dengan Zoya, Mah. Kenapa Mama masih memaksa? Jika Mama tetap memaksa kenapa tidak Maa sendiri saja yang menikah dengan Zoya? Waldi lelah Mah terus menerus dipaksa seperti ini,” kata Waldi, yang sudah lelah dengan semua tingkah sang mama yang sangat pemaksa. Waldi tidak peduli di sana banyak orang, justru malah disengaja supaya semua orang tahu yang sebenarnya.Banyak bisik-bisik tidak enak terdengar sampai ke telinga Irana, wanita itu sangat malu dan seperti tidak ada muka di hada
Mila dan Waldi sudah sampai di tempat yang sudah Waldi tentukan sejak awal. Untung saja mertuanya memberi tahu tempat kesukaan Mila.“Wah, kamu tahu tempat kesukaan aku dari mana?” tanya Mila nampak terkejut dan bahagia.“Dari Umi,” jawab Waldi diiringi kekehan pelan. Waldi semakin terpesona melihat wajah Mila ada binar bahagia.“Ih, Umi kenapa tidak bilang padaku? Tahu begitu aku bilang dari awal jangan beri tahu,” kata Mila, wajahnya terlihat kesal.“Maksudmu aku tidak boleh tahu tempat kesukaan kamu? Lalu nanti jika kamu lagi ngambek aku mau membawa kamu kemana? Pelit sekali tidak mau berbagi informasi.” Waldi pura-pura marah supaya dibujuk, namun dugaannya salah justru Mila meninggalkannya.“Aku lagi ngambek loh ini ceritanya.” Waldi menyusul Mila.“Lalu apa hubungannya denganku?” Mila hanya melirik sekilas lalu kemudian kembali berjalan untuk melihat ramainya pasar malam yang selalu menjadi tempat kesukaan Mila sejak kecil. Selain banyak mainan di sana juga banyak makanan bermici
Waldi berharap pulang dari pasar malam bisa membuat hubungannya dengan Mila menjadi semakin erat, namun sayangnya tidak sesuai dengan harapan. Waldi tidak menyangka Mila akan semarah itu ketika mengetahui fakta yang sebenarnya. Waldi menjadi menyesal sudah mengatakan yang sesungguhnya.“Kalian berdua ini ada apa pulang-pulang kok seperti orang musuhan?” tanya Adra yang tidak sengaja melihat anak dan menantunya pulang dari jalan-jalan, namun putri semata wayangnya justru berwajah masam.“Kita berdua nggak papa kok, Bi. Mila ke kamar dulu mau bersih-bersih.” Kemudian Mila melenggang pergi.“Ya sudah sana bersih-bersih dulu habis itu istirahat,” kata Adra.“Waldi, ikut Abi sebentar ke depan ada yang mau Abi bicarakan.” Kemudian Adra melenggang pergi ke teras depan rumah.“Baik, Abi, nanti saya akan menyusul ke depan,” kata Waldi, kemudian lelaki itu mengikuti Mila yang masuk ke kamar untuk membersihkan diri.“Mila.” Waldi memasuki kamar memanggil nama Mila dengan suara yang lembut. Waldi
Pagi harinya.“Loh, kok masih belum siap juga sih?” Waldi menghampiri Mila yang sedang duduk di kasur sibuk bermain ponsel.Waldi duduk di pinggiran ranjang menatap Mila sedikit kesal.“Memangnya kita mau pergi kemana?” tanya Mila wajahnya terlihat polos seperti bocah yang belum tahu apa-apa.“Semalam kan katanya mau ikut aku hapus tato,” jelas Waldi, wajahnya terlihat merajuk. Waldi tidak menyangka Mila bisa lupa dengan pembahasan semalam.“Oh, memangnya mau hapus sekarang?”“Bukankah jika dipercepat akan lebih baik?”“Oke, baiklah, aku akan bersiap dulu. Kamu keluar kamar dulu aku mau ganti baju.”“Kenapa aku harus keluar? Bukankah kita sudah suami istri?” Waldi menaik turunkan alisnya untuk menggoda ditambah lagi senyum lelaki yang sangat menyebalkan.“Boleh, tapi jangan harap bisa pergi hari ini,” ancam Mila berkacak pinggang.Waldi menghela napasnya kasar, niatnya mau modus, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Mila.“Baiklah aku akan segera keluar.” Waldi berdiri namun tidak k