Setelah selesai sarapan, Waldi dipanggil Adra ke depan, tepatnya di ruang tamu untuk bicara empat mata. “Bagaimana, apakah kamu sudah bisa memutuskan?” tanya Adra langsung pada intinya karena lelaki itu tidak mau berbelit-belit dalam masalah ini sebab kebahagiaan sang putri perlu dipertanyakan jika Waldi tetap berusaha ingin bersama Mila. “Sudah Abi, hanya saja Mama saya masih bersikeras untuk melangsungkan pernikahan itu,” kata Waldi, masih tetap tidak berani menatap mata sang mertua karena di sana terdapat tatapan tajam seperti busur panah yang siap membidik lawannya. Adra menganggukkan kepalanya paham, namun tetap saja Adra masih ragu dengan Waldi. “Semalam kamu kenapa?” tanya Adra. “Mabuk tidak menyelesaikan masalah, Waldi. Saya sempat meragukan kamu dalam urusan akhlak dan agama, tapi untung saja Umumu meyakinkan Abi,” sambung Adra berbicara tentang keraguannya terhadap Waldi. “Maafkan saya, Abi. Sungguh, demi Allah, yang semalam itu adalah pengalaman pertama dan terakhir sa
Hari di mana seharusnya pernikahan itu terjadi.Pagi tadi Waldi sudah kembali ke rumahnya, seperti dugaannya rumahnya penuh dengan orang. Zoya juga sudah rapi memakai gaun pengantin beserta dengan riasannya.“Dari mana saja kamu Waldi, kenapa baru datang semua orang sudah menunggu kamu di dalam.” Irana menghampiri sang putra dengan raut wajah marah. Irana malu karena sudah membuat para tamu undangan menunggu. Acara yang sudah dibatalkan Waldi ternyata tetap tidak mempan.“Waldi sudah bilang tidak mau menikah dengan Zoya, Mah. Kenapa Mama masih memaksa? Jika Mama tetap memaksa kenapa tidak Maa sendiri saja yang menikah dengan Zoya? Waldi lelah Mah terus menerus dipaksa seperti ini,” kata Waldi, yang sudah lelah dengan semua tingkah sang mama yang sangat pemaksa. Waldi tidak peduli di sana banyak orang, justru malah disengaja supaya semua orang tahu yang sebenarnya.Banyak bisik-bisik tidak enak terdengar sampai ke telinga Irana, wanita itu sangat malu dan seperti tidak ada muka di hada
Mila dan Waldi sudah sampai di tempat yang sudah Waldi tentukan sejak awal. Untung saja mertuanya memberi tahu tempat kesukaan Mila.“Wah, kamu tahu tempat kesukaan aku dari mana?” tanya Mila nampak terkejut dan bahagia.“Dari Umi,” jawab Waldi diiringi kekehan pelan. Waldi semakin terpesona melihat wajah Mila ada binar bahagia.“Ih, Umi kenapa tidak bilang padaku? Tahu begitu aku bilang dari awal jangan beri tahu,” kata Mila, wajahnya terlihat kesal.“Maksudmu aku tidak boleh tahu tempat kesukaan kamu? Lalu nanti jika kamu lagi ngambek aku mau membawa kamu kemana? Pelit sekali tidak mau berbagi informasi.” Waldi pura-pura marah supaya dibujuk, namun dugaannya salah justru Mila meninggalkannya.“Aku lagi ngambek loh ini ceritanya.” Waldi menyusul Mila.“Lalu apa hubungannya denganku?” Mila hanya melirik sekilas lalu kemudian kembali berjalan untuk melihat ramainya pasar malam yang selalu menjadi tempat kesukaan Mila sejak kecil. Selain banyak mainan di sana juga banyak makanan bermici
Waldi berharap pulang dari pasar malam bisa membuat hubungannya dengan Mila menjadi semakin erat, namun sayangnya tidak sesuai dengan harapan. Waldi tidak menyangka Mila akan semarah itu ketika mengetahui fakta yang sebenarnya. Waldi menjadi menyesal sudah mengatakan yang sesungguhnya.“Kalian berdua ini ada apa pulang-pulang kok seperti orang musuhan?” tanya Adra yang tidak sengaja melihat anak dan menantunya pulang dari jalan-jalan, namun putri semata wayangnya justru berwajah masam.“Kita berdua nggak papa kok, Bi. Mila ke kamar dulu mau bersih-bersih.” Kemudian Mila melenggang pergi.“Ya sudah sana bersih-bersih dulu habis itu istirahat,” kata Adra.“Waldi, ikut Abi sebentar ke depan ada yang mau Abi bicarakan.” Kemudian Adra melenggang pergi ke teras depan rumah.“Baik, Abi, nanti saya akan menyusul ke depan,” kata Waldi, kemudian lelaki itu mengikuti Mila yang masuk ke kamar untuk membersihkan diri.“Mila.” Waldi memasuki kamar memanggil nama Mila dengan suara yang lembut. Waldi
Pagi harinya.“Loh, kok masih belum siap juga sih?” Waldi menghampiri Mila yang sedang duduk di kasur sibuk bermain ponsel.Waldi duduk di pinggiran ranjang menatap Mila sedikit kesal.“Memangnya kita mau pergi kemana?” tanya Mila wajahnya terlihat polos seperti bocah yang belum tahu apa-apa.“Semalam kan katanya mau ikut aku hapus tato,” jelas Waldi, wajahnya terlihat merajuk. Waldi tidak menyangka Mila bisa lupa dengan pembahasan semalam.“Oh, memangnya mau hapus sekarang?”“Bukankah jika dipercepat akan lebih baik?”“Oke, baiklah, aku akan bersiap dulu. Kamu keluar kamar dulu aku mau ganti baju.”“Kenapa aku harus keluar? Bukankah kita sudah suami istri?” Waldi menaik turunkan alisnya untuk menggoda ditambah lagi senyum lelaki yang sangat menyebalkan.“Boleh, tapi jangan harap bisa pergi hari ini,” ancam Mila berkacak pinggang.Waldi menghela napasnya kasar, niatnya mau modus, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Mila.“Baiklah aku akan segera keluar.” Waldi berdiri namun tidak k
“Sakit ya?” tanya Mila wajahnya meringis seolah ikut merasakan perih. Waldi terkekeh pelan. “Sakitnya tidak seberapa kok, aku kan lelaki kuat.” Wajah Mila langsung berubah datar. “Tapi tadi buktinya teriak-teriak kesakitan.” “Aku menyesal sudah mentato tubuhku. Menghilangkan tatonya lebih sakit dari pada saat mentato,” ujar Waldi, nampak ada rasa penyesalan. “Dan untuk bisa hilang sempurna itu membutuhkan waktu lama,” sambung Waldi. “Sudah dibilang tato itu tidak boleh, tapi tetap saja masih ada yang ngeyel. Aku bingung apa sih sebenarnya yang mereka cari dari buat tato di tubuh mereka? Padahal proses pembuatannya saja sangat sakit, bayangkan saja kulit sehat ditusuk-tusuk menggunakan jarum yang berisi tinta,” ujar Mila. “Ada yang sebagai seni dan ada juga sebagai pengalihan rasa sakit dari sini.” Waldi memegang tepat di mana jantungnya berada. “Mau langsung pulang atau makan siang dulu?” tanya Waldi saat memasuki mobil. “Makan siang dulu saja yuk, sepertinya bakso enak d
Wadi berhasil meminta izin Adra ingin membawa Mila kembali. hanya satu pesan Adra dan Yalina, mereka minta Waldi harus menjaga Mila sepenuh hati. Sekarang Waldi dan Mila sudah berada di rumah mereka sendiri. “Mau makan apa untuk makan malam nanti?” tanya Mila kepada Waldi yang sedang sibuk dengan laptopnya di meja makan. “Apa saja asal itu masakan kamu, sayang,” jawab Waldi, menatap Mila sambil mengedipkan sebelah matanya genit. “Dih, memang bisa begitu?” Mila mencoba menutupi salah tingkahnya supaya Waldi tidak terlalu percaya diri. “Iya, makan apa saja yang penting masakan istri sendiri.” “Berarti kalau aku masak ayam tiren kamu mau?” “Tidak ayam tiren juga, kamu mau buat aku diare?” Mila terkekeh kecil mendengar ucapan Waldi. Candaan-candaan ringan yang sering mereka layangkan satu sama lain membuat hubungan keduanya semakin dekat. “Umi sama Abi sedang apa ya di rumah?” Mila mencoba mengajak Waldi ngobrol saat dirinya sedang sibuk menyiapkan makan malam. “Lagi bikin adek ba
Malam harinya. Mila melihat Waldi nampak sibuk dengan laptop, sejak selesai sholat isya sampai jam sepuluh malam suaminya itu belum beranjak dari tempat duduk. Mila berinisiatif membuatkan teh sebagai teman supaya tidak terlalu suntuk saat mengerjakan pekerjaan. “Teh hangatnya,” kata Mila, sambil meletakkan secangkir teh hangat itu di meja kerja Waldi. Waldi menoleh lalu tersenyum kearah Mila yang sedang memakai bergo berwarna merah maroon. “Terima kasih, istriku tercinta,” ujar Waldi, masih dengan senyum manis yang sama. Mila menarik kursi yang ada di dekat Waldi, wanita itu duduk di samping suaminya hanya sekadar ingin tahu apa yang sebenarnya sedang Waldi kerjakan. “Kenapa?” tanya Waldi penasaran. Mila menggelengkan kepalanya. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hati Mila, ia ingin bekerja kantoran seperti teman-temannya yang sudah lulus kuliah, namun Mila sadar sekarang ia sudah menjadi seorang istri. “Kamu mau ikut kerja?” tanya Waldi. Kedua mata Mila langsung melebar. Bagaima