“Sebenarnya kita mau kemana sih?”
“Ikut saja jangan banyak bertanya.”
Mila tidak suka dengan cara misterius Waldi yang seperti ini. Lelaki itu tiba-tiba saja datang dan langsung meminta Mila untuk bersiap, katanya mau diajak ke salah satu tempat, tapi lelaki itu tidak menjelaskan mau dibawa kemana dirinya.
“Tidak usah terlalu rapi,” kata Waldi, ketika melihat Mila masuk ke dalam kamar. Mila memutuskan untuk pisah kamar dengan Waldi, gadis itu masih merasa kecewa dengan suaminya itu.
Sekitar dua puluh menit lamanya Mila bersiap dan akhirnya gadis itu keluar dari kamar menggunakan flowery dress sage green dan tunik senada dijadikan outer dipadukan hijab berwarna putih membuat penampilan Mila yang sederhana terlihat sangat kece.
“Sudah, ayo kita berangkat.” Mila berdiri di belakang Waldi yang sejak tadi setia menunggu dirinya bersiap.
Perlahan Waldi memutar tubuhnya dan lelaki itu diam melihat kecantikan Mila yang terpancar. Seketika lelaki itu dibuat diam tidak bisa berkata-kata. Mila yang melihat diamnya Waldi pun bertanya-tanya.
“Kamu kenapa sih? Nggak ada yang salah kan sama penampilan aku?” tanya Mila dengan wajah bingung.
Waldi menggeleng kemudian menjawab, “Nggak kok. Ya sudah ayo kita berangkat.”
Ke duanya pun berangkat menggunakan mobil yang sudah dipesan melalui online.
***
Mila berdiri dengan perasaan ragu, sekarang di depannya terdapat sebuah rumah mewah dengan pilar-pilar besar dan sampai detik ini Waldi tidak menjelaskan sebenarnya mereka sedang berada di rumah siapa.
“Ayo Mila, sudah ada yang menunggumu di dalam,” kata Waldi.
Mila menepis rasa curiganya, wanita itu pun melangkah mengikuti Waldi. Lelaki itu sepertinya sudah terbiasa dengan rumah itu, karena ia bisa masuk begitu saja tanpa menunggu izin dari sang pemilik rumah terlebih dahulu.
Jeff sedang duduk di meja makan, bibirnya membentuk lengkungan bulan sabit saat melihat Waldi dan Mila menghampirinya. Lelaki itu sudah tahu gadis yang sedang berada di sisi putranya itu adalah Mila. Pertama kali melihat Mila, Jeff sudah menyukai gadis itu karena pakaiannya terlihat sangat sopan dan tertutup.
“Mila, ini adalah Papaku,” kata Waldi, yang langsung memperkenalkan Jeff kepada Mila.
Mila pun segera mencium punggung tangan Jeff sebagai rasa hormatnya kepada lelaki itu. Jantung Mila berdebar sangat kencang, ia tidak sanggup mendengar kata-kata menyakitkan yang akan keluar dari mulut orang tua Waldi nanti.
“Duduklah kalian berdua!” perintah Jeff, dengan suara lembut.
“Terima kasih Waldi kamu sudah membawa Mila ke rumah.” Jeff menatap putranya dengan senyuman. Jeff sangat berbeda sekali dengan istrinya yang terkesan judes dan jutek saat bertemu dengan Mila.
“Papa sudah tahu tentang hubungan kalian berdua dan Papa memberikan restu. Mila, maafkan Mamanya Waldi, sebenarnya dia adalah wanita yang baik, tapi entah mengapa berubah menjadi wanita yang sombong.”
Mendengar Jeff merestui Mila membuat gadis itu sedikit percaya diri. Rasa gugup yang melanda berangsur menghilang dengan sendirinya. Pembicaraan ringan menghiasi meja makan itu dan sesekali terdengar gelak tawa dari Waldi dan juga Jeff.
“Papa sangat merindukan momen seperti ini,” kata Jeff, ke dua mata lelaki itu berkaca-kaca karena akhirnya bisa merasakan kehangatan saat berada di meja makan.
“Sepertinya Waldi kembali seperti dulu karena kamu, Mila.” Jeff menatap Mila, gadis itu pun langsung menunduk karena tersipu malu. Tidak hanya Mila, Waldi juga ikut tersipu mendengar ucapan sang papa.
“Papa berharap rumah tangga kalian bisa bertahan sampai nanti.” Jeff menatap Waldi dan Mila penuh harap. Ketika melihat wajah Mila pertama kalinya Jeff merasakan bahwa gadis itu memiliki hati dan pikiran yang bersih. Ditambah lagi ketika melihat Waldi yang ceria seperti dulu membuat Jeff semakin yakin bahwa Mila adalah sumber kebahagiaan untuk putranya.
“Tapi bagaimana bisa mempertahankan rumah tangga kami jika ada dua ratu di dalamnya? Pasti salah satunya akan tersingkir dengan sendirinya,” kata Mila.
Jeff tersenyum, lelaki itu tahu betul apa maksud dari ucapan Mila. “Pernikahan Waldi dan Zoya tidak akan bertahan lama karena yang menginginkan pernikahan itu terjadi adalah Mamanya Waldi.”
Tidak ada percakapan lagi setelah itu, mereka bertiga menikmati makan malam yang sudah Jeff siapkan sebelumnya. Namun, dibalik diamnya Mila di dalam pikiran gadis itu ada banyak sekali pertanyaan yang belum sempat ia utarakan. Ia takut jika pertanyaannya akan menyinggung Jeff.
***
Setelah selesai makan malam di rumah orang tua Waldi, Mila pun langsung meminta untuk pulang ke rumah gadis itu tidak mau mengganggu jam istirahat Jeff karena ia tahu Jeff merupakan orang penting. Sepulang dari rumah orang tua Waldi, Mila tidak langsung pergi ke kamar untuk istirahat, gadis itu malah duduk di meja makan dengan segelas air dingin di depannya berharap bisa ikut mendinginkan pikirannya yang sedang panas.
“Belum tidur?” Waldi bertanya sambil berjalan menghampiri Mila yang sedang duduk melamun di kursi meja makan.
“Belum. Kamu sendiri kenapa belum tidur?” Mila menatap Waldi dengan malas, sesungguhnya gadis itu tidak ingin bertemu dengan Waldi, tapi mau bagaimana lagi mereka sekarang tinggal di atap yang sama.
“Mila, aku tahu kamu masih belum bisa menerima keputusanku. Aku mohon maafkan aku. Kamu boleh mencaci maki sepuasmu asal setelah itu kamu mau memaafkan aku.” Raut wajah Waldi tidak bisa berbohong, lelaki itu merasa sangat bersalah karena sudah membuat Mila bingung.
“Bagaimana jika Umi dan Abiku tahu?” tanya Mila tanpa menatap wajah Waldi padahal lelaki itu duduk tepat di sampingnya.
Mendengar pertanyaan Mila membuat Waldi diam seribu bahasa. Hal yang semakin membuat Waldi merasa bersalah adalah jika nanti ke dua orang tua Mila tahu dirinya akan menikah lagi.
“Tidak bisa menjawab?” Mila terkekeh pelan karena Waldi tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Mila menghela napasnya kasar, gadis itu menggeser gelas berisi air dingin di depannya. Berada di satu meja yang sama bersama dengan Waldi membuat Mila bosan karena menurut Mila, Waldi adalah laki-laki yang tidak memiliki pendirian yang kuat.
“Kenapa sejak awal kamu tidak menyetujui saja perjodohan itu?” tanya Mila.
“Aku tidak bisa,” jawab Waldi, lirih.
“Lantas, mengapa sekarang kamu bisa menerima perjodohan itu setelah kamu memutuskan untuk menikahiku?” pertanyaan Mila membuat Waldi lagi-lagi terdiam.
“Jika saja sejak awal kamu tahu sudah dijodohkan dengan perempuan lain, lantas mengapa waktu itu kamu tidak menjelaskan kepada semua orang bahwa tuduhan mereka tidak benar?”
“Stop Mila! Pertanyaan-pertanyaan kamu itu semakin membuatku pusing!” Waldi mengusap wajahnya frustasi akibat mendengar pertanyaan-pertanyaan Mila yang seolah sedang memojokkan dirinya.
Mila tersenyum miring mendengar ucapan Waldi. “Pertanyaanku bukan untuk menyudutkanmu, melainkan aku hanya ingin jawaban pasti dari seorang laki-laki yang katanya punya pendirian.”
Sejak kejadian semalam Mila dan Waldi masih saling diam, meskipun ke duanya sudah melewati sarapan bersama, tapi tetap saja masih ada rasa dingin di antara mereka berdua. “Aku tau kamu masih marah sama aku,” kata Waldi, mencoba memecah keheningan yang terjadi di antara mereka berdua. Waldi tidak mau terus seperti ini, ia ingin bisa lebih dekat dengan Mila agar bisa menebus kesalahannya karena sudah membawa Mila masuk ke dalam masalahnya. “Sampai detik ini aku nggak paham sama cara berpikir kamu,” kata Mila, masih terdengar dingin. Rasa kecewa tentu saja ada di dalam hati Mila, sebab ia harus membuang jauh cita-citanya hanya karena masuk ke dalam masalah orang lain. Sampai detik ini Mila masih bertanya-tanya, kesalahan apa yang sudah dia perbuat sehingga takdir hidupnya bisa rumit seperti sekarang. “Kalau kita tidak mencoba dekat bagaimana bisa memahami pola pikir masing-masing?” Waldi menggeser sedikit posisi duduknya agar lebih dekat dengan Mila. Namun, justru Mila yang menjauh t
Mila memutuskan keluar sebentar untuk menghilangkan beban pikirannya. Mila berada di salah satu café yang letaknya tidak jauh dari perumahan di mana ia tinggal. Mila merasa sepi setelah menikah dengan Waldi ada saja masalah yang harus dia hadapi. Menyendiri adalah cara terbaik agar Mila merasa lebih baik. “Mila.”Suara itu membuat Mila langsung menoleh ke belakang untuk mencari sumber suara. Setelah melihat sosoknya Mila pun langsung tersenyum dan mempersilahkan lelaki itu untuk duduk di mejanya.“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya Kevin karena lelaki itu tahu rumah Mila cukup jauh dari perumahan itu. “Sekarang aku tinggal di sini,” jawab Mila. “Wah, kebetulan sekali rumahku juga tidak jauh dari sini,” kata Kevin. “Benarkah?” tanya Mila guat senyum mulai terlihat di wajahnya. Mila dan Kevin pun berbincang ringan dan sesekali tertawa membahas masa kuliah mereka. Setidaknya pertemuan Mila dengan Kevin bisa membuat hati gadis itu sedikit membaik. “Suamimu tidak ikut?” tanya Kevin
Tiga hari sebelum pernikahan Waldi dan Zoya. Hubungan antara Waldi dan Mila semakin renggang, apa lagi semenjak Irana datang ke rumah dan menginginkan pernikahan itu dipercepat. Mila tidak melihat upaya Waldi membantah, lelaki itu nurut saja seperti tidak punya pendirian. Mila kesal sekaligus jengkel karena sudah dibawa ke dalam masalah Waldi. “Mila.” Waldi menahan Mila ketika gadis itu hendak pergi ketika dirinya ingin menghampiri. Wajah Waldi terlihat sedih karena beberapa hari ini Mila selalu menghindar darinya. “Duduk lah dulu, ada yang mau aku bicarakan,” kata Waldi, dengan lembut. Mila yang awalnya ingin pergi menghindar pun mengurungkan niatnya. Gadis itu kembali duduk di tempat semula menunggu Waldi berbicara. “Beberapa hari ini aku lihat kamu menghindar dari aku, apa yang salah?” tanya Waldi tatapannya memperlihatkan kesedihan yang selama ini Waldi pendam. “Kamu masih bertanya?” bukannya menjawab justru Mila melayangkan pertanyaan. Apakah lelaki itu tidak ada sedikit ra
Sejak pagi tadi sampai malam seperti ini Waldi masih berada di dalam kamar karena masih sering mengeluh kepalanya sakit. Makan malam kali ini cukup berbeda, yang biasanya makan di meja makan tapi kali ini Mila membawa makan malam ke kamar Waldi sesuai dengan perintah lelaki itu. Selama Mila berada di dapur untuk menyiapkan makan malam Waldi merenung di dalam kamar. Lelaki itu masih memikirkan mimpi yang ia alami selama tidur tadi. Mimpi yang begitu nyata seolah-olah akan terjadi dalam waktu dekat. Apa lagi pada saat mertuanya marah ketika mengetahui putri semata wayangnya akan dimadu. Waldi menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menghilangkan mimpi itu dari pikirannya. “Kenapa?” Suara dari arah pintu kamar membuat Waldi menoleh. Senyum lelaki itu langsung muncul ketika melihat Mila masuk ke kamar membawa nampan yang sudah terisi dengan makanan. “Nggak papa,” jawab Waldi masih dengan senyum yang sama. lelaki itu sedikit menggeser duduknya agar Mila bisa duduk di sampingnya, namun
Waldi kembali merasakan takut yang persis seperti di dalam mimpinya kemarin, namun kali ini benar-benar nyata. Sekarang Adra sedang duduk tepat di depan Waldi dengan mata merah. Sudah hampir sepuluh menit tidak ada percakapan di antara ke duanya, Waldi hanya bisa menunduk mempersiapkan diri untuk mendapatkan amukan dari Adra. “Jelaskan apa yang sedang Abi pegang ini, Waldi!” perintah Adra, sambil melemparkan selembaran kertas undangan yang sengaja dibawa dari rumah. Mila yang juga ikut duduk di ruang tamu pun hanya bisa diam melihat kemarahan sang abi. Selama Mila hidup, ia tidak pernah melihat abinya semarah ini. Karena Adra memang dikenal sebagai sosok laki-laki yang lemah lembut terhadap perempuan. “Apa yang Abi baca memang benar, itu nama saya dan perempuan yang dipilihkan oleh orang tua saya untuk saya,” jelas Waldi, dengan suara bergetar. “Lalu kamu ingin menikah untuk yang ke dua kalinya? Bagaimana dengan putriku?” Adra masih berusaha untuk sabar karena ia tidak ingin marah
“Waldi, apa kamu sudah gila?! Apa yang merasukimu sampai-sampai merusak undangan sebanyak ini?” Irana berteriak histeris melihat ratusan lembar undangan yang sudah terkoyak tidak berdaya di atas lantai keramik yang dingin. Mendengar jeritan sang mama, Waldi hanya melirik sekilas tanpa minat. Waldi benar-benar lelah dengan segala paksaan yang dialami setiap harinya. “Sudah berkal-kali Waldi katakan, Waldi tidak mau menikah dengan perempuan itu Ma!” kali ini Waldi berani membantah, untuk ke dua kalinya setelah lelaki itu pergi dari rumah. Masalah ancaman sang mama akan bunuh diri sudah tidak ia pedulikan lagi, demi kebahagiaan dan juga masa depan ada di tangannya sendiri. “Kamu sudah berani melawan Mama?!” Ke dua mata Irana melotot penuh emosi mendengar ucapan Waldi beberapa detik yang lalu. “Mama nggak mau tahu pokoknya kamu harus menikah dengan Zoya!” Irana memang sosok perempuan yang keinginannya tidak bisa dibantah. Waldi berdiri dari tempatnya duduk, lelaki itu berjalan pelan
Keesokan paginya. Waldi mengerjabkan matanya ketika ia merasakan ada sesuatu yang besar menimpa tubuhnya. Terakhir Waldi mengingat dirinya sedang berada di bar untuk pertama kalinya dan untuk pertama kalinya juga Waldi merasakan mabuk. Waldi memutuskan minum-minuman haram itu karena ia merasa tertekan dan stres yang yang sudah menumpuk cukup lama ditambah lagi kepergian Mila membuatnya semakin tidak karuan. Waldi melihat ada sebuah tangan mungil yang memegang handuk kecil berwarna putih. Lelaki itu semakin bertanya-tanya siapa sosok itu dan mengapa ia bisa bersama dengan sosok itu. Waldi langsung bersitighfar di dalam hati, semalam Waldi benar-benar tidak ingat apa yang sudah dilakukan. Tatapan mata Waldi jatuh pada sebuah kerudung yang menjuntai, lelaki itu memberanikan diri untuk melihat siapa sosok berhijab yang sedang berada di atasnya. “Mila.” Ke dua mata Waldi melotot ketika melihat Mila tidur di atas tubuhnya. Waldi mencoba untuk tidak banyak gerak karena ditakutkan Mila ak
Setelah selesai sarapan, Waldi dipanggil Adra ke depan, tepatnya di ruang tamu untuk bicara empat mata. “Bagaimana, apakah kamu sudah bisa memutuskan?” tanya Adra langsung pada intinya karena lelaki itu tidak mau berbelit-belit dalam masalah ini sebab kebahagiaan sang putri perlu dipertanyakan jika Waldi tetap berusaha ingin bersama Mila. “Sudah Abi, hanya saja Mama saya masih bersikeras untuk melangsungkan pernikahan itu,” kata Waldi, masih tetap tidak berani menatap mata sang mertua karena di sana terdapat tatapan tajam seperti busur panah yang siap membidik lawannya. Adra menganggukkan kepalanya paham, namun tetap saja Adra masih ragu dengan Waldi. “Semalam kamu kenapa?” tanya Adra. “Mabuk tidak menyelesaikan masalah, Waldi. Saya sempat meragukan kamu dalam urusan akhlak dan agama, tapi untung saja Umumu meyakinkan Abi,” sambung Adra berbicara tentang keraguannya terhadap Waldi. “Maafkan saya, Abi. Sungguh, demi Allah, yang semalam itu adalah pengalaman pertama dan terakhir sa