Mila merasa sifat Waldi berubah sejak perdebatan kemarin sekarang Mila menjadi merasa bersalah, namun ia sangat gengsi untuk meminta maaf yang terjadi di dalam rumah itu hanyalah dua orang yang saling diam.
“Mila, aku ingin membicarakan sesuatu hal yang penting sama kamu.” Setelah lama diam akhirnya Waldi membuka suara.Mila yang sedang sibuk dengan ponselnya pun menatap Waldi yang sedang duduk tidak jauh dari tempat Mila duduk. Wanita itu meletakkan ponselnya untuk mendengarkan Waldi berbicara.“Besok kita harus pindah dari sini,” kata Waldi, masih dengan raut wajah yang sama datarnya.“Pidah? Tapi kenapa secepat ini?” Mila sangat terkejut dengan keputusan Waldi yang meminta pindah secara mendadak seperti ini padahal baru kemarin Mila menempati kos-kosan tersebut. Meskipun kecil, tapi Mila nyaman tinggal di sana.“Iya, karena dua minggu lagi aku akan menikah dengan Zoya,” ujar Waldi, tidak ada raut wajah lebih yang terlihat hanyalah raut wajah datar.“Apa?” dua kali Mila dibuat terkejut oleh lelaki itu. Mengapa mendadak seperti ini? Mila benar-benar tidak tahu dengan jalan pikiran lelaki yang sedang duduk bersamanya saat ini. Menikahinya dan menikah dengan gadis pilihan mamanya tanpa mau melepaskan salah satunya, lelaki itu sangat egois.“Aku minta maaf karena ini sangat tidak mungkin aku tolak. Mama sakit dan meminta agar aku menikah dengan Zoya.” Kali ini ada perubahan di wajah lelaki itu, ada sedikit gurat kesedihan di sana, tapi tidak membuat Mila luluh.“Aku tidak mau dimadu, jika kamu tetap pada keputusan orang tua kamu, maka tolong lepaskan aku.” Mila tidak tahu rasa apa yang sedang ia alami saat ini, Mila hanya merasakan sesak di dalam sana. Seumur hidupnya Mila tidak pernah mempunyai mimpi dimadu oleh suaminya.“Aku tidak bisa melepasmu dan aku juga tidak bisa menolak permintaan Mamaku, Mila. Aku mohon mengertilah, aku sedang bingung sekarang.” Waldi mengusap wajahnya frustasi, lelaki itu benar-benar bingung karena tidak bisa memilih.“Kamu adalah laki-laki egois yang hanya ingin menangnya sendiri!” ke dua mata Mila sudah merah sebentar lagi akan ada cairan bening yang keluar, tapi gadis itu mencoba menahannya agar tetap terlihat tegar di depan Waldi.“Aku minta maaf Mila, caci aku sepuasnya agar kamu lega dan memaafkan aku.”“Sampai kapan pun aku tidak akan memaafkan kamu. Pertemuan kita sudah salah, tapi sekarang kamu malah memasukkanku ke dalam masalahmu yang aku sendiri tidak tahu bagaimana awal ceritanya.” Misya membaringkan tubuhnya membelakangi Waldi. Wanita itu kecewa dengan keputusan yang Waldi ambil.Sudah Waldi duga reaksi Mila akan seperti ini, lelaki itu hanya bisa menghela napasnya kasar membuang rasa sesak yang sejak tadi bersemayam di dalam dirinya. Kali ini Waldi tidak bisa menolak, lelaki itu benar-benar terjebak dalam situasi yang cukup rumit.***Keesokan harinya, seperti yang dikatakan Waldi pada malam itu kini mereka berdua sudah pindah rumah. Sampai detik ini antara Waldi dan Mila tidak ada percakapan, ke duanya masih sama-sama diam.Rumah yang akan menjadi tempat singgah Mila memang lebih besar dari rumah sebelumnya, tapi Mila merasa hidupnya akan semakin sengsara ketika berada di dalamnya. Apa artinya hidup dikelilingi dengan harta, tapi tidak membuat hati tenang?“Ayo masuk,” kata Waldi, lelaki itu melangkahkan kakinya untuk memasuki rumah yang akan menjadi tempat tinggal mereka.Waldi memang sengaja memilih rumah sendiri dan sang mama pun menyetujui asalkan Waldi mau menikah dengan Zoya secepat mungkin.“Di sini ada beberapa kamar ….”“Aku ingin memilih kamarku sendiri.” Mila memotong ucapan Waldi cepat.Waldi menganggukkan kepalanya setuju. “Baiklah, kamu bebas memilih kamar yang ada di mana saja.”’Waldi menghela napas kasar, berpisah ranjang bukan lah keinginan Waldi, ia mau dirinya dan Mila tetap berada di dalam kamar yang sama, tapi Mila malah memilih kamar yang berbeda. Mila masih kecewa dengan Waldi dan belum bisa menerima keadaan sekarang.“Aku mau langsung ke rumah sakit, tidak apa kan kalau aku tinggal dulu?” Waldi bertanya dengan mata terus menatap Mila.“Tidak apa, pergi lah.” Mila menjawabnya tanpa menatap sang suami yang sejak tadi menatapnya.“Kamu tidak ingin ikut?” Waldi berharap Mila ikut bersamanya ke rumah sakit untuk menjenguk sang mama.“Tidak.”Mendengar jawaban singkat Mila membuat Waldi paham, wanita itu sedang tidak ingin diganggu. Waldi pun bergegas berangkat ke rumah sakit untuk menjenguk sang mama yang sejak tadi menghubunginya meminta Waldi untuk ke rumah sakit.***Sesampainya di rumah sakit Waldi langsung disambut penuh bahagia oleh Zoya. Ternyata yang sejak tadi menunggu adalah Zoya bukan Irana, tipu daya wanita itu memang sangat hebat.“Dari mana saja sih kamu? Dari tadi Zoya sudah menunggu,” kata Irana, ketika sang putra datang langsung melayangkan pertanyaan.“Ada perlu sebentar tadi Ma,” jawab Waldi wajahnya terlihat malas.“Waldi, aku sudah menyiapkan baju untuk pernikahan kita dan kamu juga tidak perlu khawatir mulai dari gedung sampai souvenir sudah aku persiapkan.” Zoya sangat antusias menceritakan persiapan pernikahan mereka berdua, tapi tidak dengan Waldi yang sebenarnya muak dengan Zoya dan situasi yang sedang terjadi sekarang. Akibat keputusan sebelah pihak dari sang mama membuat hubungan Waldi dan Mila menjadi semakin jauh.“Diamlah Zoya! Kepalaku semakin bertambah pusing mendengar suaramu.” Waldi berbicara dengan tegas meminta agar Zoya diam dan tidak membahas masalah pernikahan. Sampai detik ini Waldi masih mencari cara agar pernikahannya dengan Zoya batal, tapi sayangnya kali ini Waldi tidak menemukan cara karena sang mama sedang sakit.Zoya langsung mengerucutkan bibirnya, padahal tadi ia sangat bahagia menunggu kedatangan Waldi berharap lelaki itu juga akan bahagia mendengar kabar yang disampaikan terkait persiapan pernikahan mereka.“Waldi, kamu tidak boleh bersikap seperti itu sama Zoya, dia kan calon istri kamu.” Irana mencoba menasehati sang putra jangan terlalu keras dengan Zoya karena Irana tahu betul bagaimana calon menantunya itu.Waldi hanya diam, dia sangat malas berada di satu ruangan bersama Zoya, tapi untung saja sang papa yang bernama Jeff datang.“Ada apa sih ribut-ribut? Ini kan di rumah sakit tidak enak didengar sama yang lain,” kata Jeff, keributan yang terjadi di dalam ruang rawat istrinya itu terdengar sampai luar.“Ini loh Pa, Waldi nadanya ketus banget sama Zoya.” Irana mengadu kepada sang suami mengenai perilaku Waldi kepada Zoya.Jeff hanya menghela napas pelan, entah sampai kapan keluarganya terasa dingin seperti ini. Padahal dulu keluarganya terlihat ceria dan harmonis.“Mungkin Waldi sedang kelelahan Ma,” kata Jeff, lelaki itu mencoba untuk membuat situasi tenang agar tidak ada keributan yang terjadi.“Waldi ayo ikut Papa, ada yang ingin Papa bicarakan sama kamu.”“Sebenarnya kita mau kemana sih?”“Ikut saja jangan banyak bertanya.”Mila tidak suka dengan cara misterius Waldi yang seperti ini. Lelaki itu tiba-tiba saja datang dan langsung meminta Mila untuk bersiap, katanya mau diajak ke salah satu tempat, tapi lelaki itu tidak menjelaskan mau dibawa kemana dirinya. “Tidak usah terlalu rapi,” kata Waldi, ketika melihat Mila masuk ke dalam kamar. Mila memutuskan untuk pisah kamar dengan Waldi, gadis itu masih merasa kecewa dengan suaminya itu. Sekitar dua puluh menit lamanya Mila bersiap dan akhirnya gadis itu keluar dari kamar menggunakan flowery dress sage green dan tunik senada dijadikan outer dipadukan hijab berwarna putih membuat penampilan Mila yang sederhana terlihat sangat kece.“Sudah, ayo kita berangkat.” Mila berdiri di belakang Waldi yang sejak tadi setia menunggu dirinya bersiap. Perlahan Waldi memutar tubuhnya dan lelaki itu diam melihat kecantikan Mila yang terpancar. Seketika lelaki itu dibuat diam tidak bisa berkata-kata. Mi
Sejak kejadian semalam Mila dan Waldi masih saling diam, meskipun ke duanya sudah melewati sarapan bersama, tapi tetap saja masih ada rasa dingin di antara mereka berdua. “Aku tau kamu masih marah sama aku,” kata Waldi, mencoba memecah keheningan yang terjadi di antara mereka berdua. Waldi tidak mau terus seperti ini, ia ingin bisa lebih dekat dengan Mila agar bisa menebus kesalahannya karena sudah membawa Mila masuk ke dalam masalahnya. “Sampai detik ini aku nggak paham sama cara berpikir kamu,” kata Mila, masih terdengar dingin. Rasa kecewa tentu saja ada di dalam hati Mila, sebab ia harus membuang jauh cita-citanya hanya karena masuk ke dalam masalah orang lain. Sampai detik ini Mila masih bertanya-tanya, kesalahan apa yang sudah dia perbuat sehingga takdir hidupnya bisa rumit seperti sekarang. “Kalau kita tidak mencoba dekat bagaimana bisa memahami pola pikir masing-masing?” Waldi menggeser sedikit posisi duduknya agar lebih dekat dengan Mila. Namun, justru Mila yang menjauh t
Mila memutuskan keluar sebentar untuk menghilangkan beban pikirannya. Mila berada di salah satu café yang letaknya tidak jauh dari perumahan di mana ia tinggal. Mila merasa sepi setelah menikah dengan Waldi ada saja masalah yang harus dia hadapi. Menyendiri adalah cara terbaik agar Mila merasa lebih baik. “Mila.”Suara itu membuat Mila langsung menoleh ke belakang untuk mencari sumber suara. Setelah melihat sosoknya Mila pun langsung tersenyum dan mempersilahkan lelaki itu untuk duduk di mejanya.“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya Kevin karena lelaki itu tahu rumah Mila cukup jauh dari perumahan itu. “Sekarang aku tinggal di sini,” jawab Mila. “Wah, kebetulan sekali rumahku juga tidak jauh dari sini,” kata Kevin. “Benarkah?” tanya Mila guat senyum mulai terlihat di wajahnya. Mila dan Kevin pun berbincang ringan dan sesekali tertawa membahas masa kuliah mereka. Setidaknya pertemuan Mila dengan Kevin bisa membuat hati gadis itu sedikit membaik. “Suamimu tidak ikut?” tanya Kevin
Tiga hari sebelum pernikahan Waldi dan Zoya. Hubungan antara Waldi dan Mila semakin renggang, apa lagi semenjak Irana datang ke rumah dan menginginkan pernikahan itu dipercepat. Mila tidak melihat upaya Waldi membantah, lelaki itu nurut saja seperti tidak punya pendirian. Mila kesal sekaligus jengkel karena sudah dibawa ke dalam masalah Waldi. “Mila.” Waldi menahan Mila ketika gadis itu hendak pergi ketika dirinya ingin menghampiri. Wajah Waldi terlihat sedih karena beberapa hari ini Mila selalu menghindar darinya. “Duduk lah dulu, ada yang mau aku bicarakan,” kata Waldi, dengan lembut. Mila yang awalnya ingin pergi menghindar pun mengurungkan niatnya. Gadis itu kembali duduk di tempat semula menunggu Waldi berbicara. “Beberapa hari ini aku lihat kamu menghindar dari aku, apa yang salah?” tanya Waldi tatapannya memperlihatkan kesedihan yang selama ini Waldi pendam. “Kamu masih bertanya?” bukannya menjawab justru Mila melayangkan pertanyaan. Apakah lelaki itu tidak ada sedikit ra
Sejak pagi tadi sampai malam seperti ini Waldi masih berada di dalam kamar karena masih sering mengeluh kepalanya sakit. Makan malam kali ini cukup berbeda, yang biasanya makan di meja makan tapi kali ini Mila membawa makan malam ke kamar Waldi sesuai dengan perintah lelaki itu. Selama Mila berada di dapur untuk menyiapkan makan malam Waldi merenung di dalam kamar. Lelaki itu masih memikirkan mimpi yang ia alami selama tidur tadi. Mimpi yang begitu nyata seolah-olah akan terjadi dalam waktu dekat. Apa lagi pada saat mertuanya marah ketika mengetahui putri semata wayangnya akan dimadu. Waldi menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menghilangkan mimpi itu dari pikirannya. “Kenapa?” Suara dari arah pintu kamar membuat Waldi menoleh. Senyum lelaki itu langsung muncul ketika melihat Mila masuk ke kamar membawa nampan yang sudah terisi dengan makanan. “Nggak papa,” jawab Waldi masih dengan senyum yang sama. lelaki itu sedikit menggeser duduknya agar Mila bisa duduk di sampingnya, namun
Waldi kembali merasakan takut yang persis seperti di dalam mimpinya kemarin, namun kali ini benar-benar nyata. Sekarang Adra sedang duduk tepat di depan Waldi dengan mata merah. Sudah hampir sepuluh menit tidak ada percakapan di antara ke duanya, Waldi hanya bisa menunduk mempersiapkan diri untuk mendapatkan amukan dari Adra. “Jelaskan apa yang sedang Abi pegang ini, Waldi!” perintah Adra, sambil melemparkan selembaran kertas undangan yang sengaja dibawa dari rumah. Mila yang juga ikut duduk di ruang tamu pun hanya bisa diam melihat kemarahan sang abi. Selama Mila hidup, ia tidak pernah melihat abinya semarah ini. Karena Adra memang dikenal sebagai sosok laki-laki yang lemah lembut terhadap perempuan. “Apa yang Abi baca memang benar, itu nama saya dan perempuan yang dipilihkan oleh orang tua saya untuk saya,” jelas Waldi, dengan suara bergetar. “Lalu kamu ingin menikah untuk yang ke dua kalinya? Bagaimana dengan putriku?” Adra masih berusaha untuk sabar karena ia tidak ingin marah
“Waldi, apa kamu sudah gila?! Apa yang merasukimu sampai-sampai merusak undangan sebanyak ini?” Irana berteriak histeris melihat ratusan lembar undangan yang sudah terkoyak tidak berdaya di atas lantai keramik yang dingin. Mendengar jeritan sang mama, Waldi hanya melirik sekilas tanpa minat. Waldi benar-benar lelah dengan segala paksaan yang dialami setiap harinya. “Sudah berkal-kali Waldi katakan, Waldi tidak mau menikah dengan perempuan itu Ma!” kali ini Waldi berani membantah, untuk ke dua kalinya setelah lelaki itu pergi dari rumah. Masalah ancaman sang mama akan bunuh diri sudah tidak ia pedulikan lagi, demi kebahagiaan dan juga masa depan ada di tangannya sendiri. “Kamu sudah berani melawan Mama?!” Ke dua mata Irana melotot penuh emosi mendengar ucapan Waldi beberapa detik yang lalu. “Mama nggak mau tahu pokoknya kamu harus menikah dengan Zoya!” Irana memang sosok perempuan yang keinginannya tidak bisa dibantah. Waldi berdiri dari tempatnya duduk, lelaki itu berjalan pelan
Keesokan paginya. Waldi mengerjabkan matanya ketika ia merasakan ada sesuatu yang besar menimpa tubuhnya. Terakhir Waldi mengingat dirinya sedang berada di bar untuk pertama kalinya dan untuk pertama kalinya juga Waldi merasakan mabuk. Waldi memutuskan minum-minuman haram itu karena ia merasa tertekan dan stres yang yang sudah menumpuk cukup lama ditambah lagi kepergian Mila membuatnya semakin tidak karuan. Waldi melihat ada sebuah tangan mungil yang memegang handuk kecil berwarna putih. Lelaki itu semakin bertanya-tanya siapa sosok itu dan mengapa ia bisa bersama dengan sosok itu. Waldi langsung bersitighfar di dalam hati, semalam Waldi benar-benar tidak ingat apa yang sudah dilakukan. Tatapan mata Waldi jatuh pada sebuah kerudung yang menjuntai, lelaki itu memberanikan diri untuk melihat siapa sosok berhijab yang sedang berada di atasnya. “Mila.” Ke dua mata Waldi melotot ketika melihat Mila tidur di atas tubuhnya. Waldi mencoba untuk tidak banyak gerak karena ditakutkan Mila ak