Sekarang Mila sudah berada di kontrakan di mana Waldi tinggal membawa ikut serta baju dan barang-barangnya. Kontrakan yang luasnya tiga kali enam hanya memiliki satu kamar, kamar mandi, dan juga dapur. Hari itu juga setelah sah menjadi suami istri Waldi langsung membawa Mila ke kontrakannya. Tidak ada sedikitpun rasa gengsi menempatkan Mila di rumah yang hanya cukup untuk dua orang saja.
“Ini kamarnya cuma satu?”
“Iya. Cukup untuk kita berdua, tidak mungkin badan kamu yang kecil memakan tempat pada saat tidur,” jawab Waldi.
“Tapi aku tidak mau tidur sama kamu,” ujar Mila, raut wajahnya penuh protes. Jika saja Mila tahu kamar di kontrakan yang Waldi tinggali hanya satu Mila tidak akan pernah mau ikut.
Waldi berjalan ke arah Mila membuat gadis itu berjalan mundur sampai punggungnya membentur sebuah tembok. Waldi semakin mendekat sedangkan Mila sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa yang Mila lakukan hanya memejamkan mata saat dirinya dan Waldi hanya berjarak lima senti saja.
“Tau kan kewajiban Istri menurut islam itu apa?” tanya Waldi, semakin mendekatkan wajahnya sehingga mereka berdua semakin lebih dekat. Bahkan bisa merasakan hangatnya napas satu sama lain.
“M-menjauh lah sedikit, napasmu bau jengkol.” Mila mendorong Waldi agar menjauhinya. Sebenarnya Waldi tidak bau, hanya saja Mila sudah tidak bisa lagi mengontrol detak jantungnya yang menggila ketika berdekatan dengan lelaki itu.
“Tidak usah mengelak Mila, sekarang kita sudah resmi menjadi suami istri, jadi aku rasa kita berada di dalam satu kamar pun tidak masalah,” ujar Waldi, lalu setelah itu Waldi masuk ke kamar membawa ikut koper milik Mila.
Mila menghentakkan kakinya kesal, menggigit jarinya sendiri sampai tercetak gigi di sana, Mila jengkel dipertemukan dengan lelaki seperti Waldi. Apakah lelaki itu tidak tahu dirinya belum siap berada di dalam satu kamar bersama seorang pria? Nyaris Mila memukul dinding di belakangnya karena kesal dengan Waldi yang suka seenaknya sendiri.
“Kalau kamu mau tidur di luar sih aku tidak masalah, karena itu kemauan kamu, aku tidak bisa menolak, jadi aku tidak akan berdosa.” Waldi berucap dari dalam kamar.
“Ish, menyebalkan sekali lelaki itu.” Mila menggerutu kesal. Gadis itu menghela napasnya pelan sambil berucap istighfar di dalam hatinya untuk meredamkan amarahnya yang sedang bergejolak. Setelah dipastikan amarahnya reda barulah Mila masuk ke kamar Waldi.
“Apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir aku ini laki-laki yang jorok? Meskipun penampilan aku ini buruk, tapi aku juga tahu kebersihan adalah sebagian dari iman,” kata Waldi, disusul kekehan pelan.
“Jika sudah tahu kenapa masih ada anting-anting terpasang di telinga kamu?” Mila duduk di tepian ranjang sambil memperhatikan Waldi yang sedang mengeluarkan baju di dalam komper Mila.
“Oh ini.” Waldi melepaskan semua anting yang terpasang, kemudian dimasukkan ke dalam kotak yang ada di dalam lacil meja.
“Sudah ‘kan?” Waldi melirik Mila sekilas, kemudian lelaki itu kembali melanjutkan kegiatannya.
“Eh, berhenti!” Mila berteriak sambil berlari menghampiri Waldi yang hendak membuka resleting koper yang berisi baju dalamnya.
“Jangan asal buka-buka resleting koper milik perempuan,” kata Mila, merebut kopernya untuk mengamankan miliknya yang sangat berharga.
“Sudah sana pergi! biar sisanya aku saja yang membereskan baju-baju ini,” ujar Mila, sambil mengibas-ibaskan tangannya mengusir Waldi di sampingnya.
“Dasar perempuan.” Waldi bergumam lirih, kemudian lelaki itu memutuskan untuk rebahan di kasur.
Saat Mila sedang sibuk membereskan sisa bajunya tiba-tiba saja mendengar suara mobil berhenti di depan kos-kosan membuat Mila langsung membangunkan Waldi yang nyaris terlelap.
“Kenapa sih?” nada Waldi sedikit marah, karena lelaki itu kesal jika tidurnya terganggu.
“Ada suara mobil di depan, aku mau keluar takut,” jawab Mila.
Waldi berdecak kesal, kemudian keluar kamar untuk melihat siapa yang datang. Selang beberapa detik kemudian Mila mendengar suara keributan dari dalam kamar, Mila yang penasaran pun langsung keluar dari kamar untuk melihat keadaan di luar.
“Oh, jadi wanita ini yang sudah meracuni otak kamu untuk melawan sama orang tua?”
Seorang wanita berusia 55 tahun menunjuk ke arah Mila dengan raut wajah marah. Mila yang baru saja datang pun bingung dengan keadaan.
“Apaan sih Ma, dia sama sekali tidak ikut campur,” kata Waldi. Lelaki itu berdiri di depan Mila untuk melindungi gadis itu dari serangan mamanya.
“Ada apa ini?” Mila bertanya dengan suara lirih.
“Diam lah dan tetap di belakangku,” kata Waldi, dengan suara lirih juga.
“Oh, jadi ini gadis yang kamu maksud?” tanya wanita itu diiringi lirikan mata yang sangat tajam.
“Dasar gadis gatal, tidak tahu diri, anak saya ini satu bulan lagi akan menikah dengan gadis pilihan saya. Tentunya gadis yang memiliki ilmu yang tinggi, berasal dari keluarga terpandang, bukan wanita seperti kamu.”
Wanita itu bernama Irana Nuria Pratibha, berusia 55 tahun merupakan mama dari Waldi. Memiliki tatapan seram dan mulut tajam sudah menjadi ciri utamanya sejak dulu.
“Jika Mama datang hanya ingin menciptakan keributan, sebaiknya Mama pergi dari sini!” kata Waldi, tegas.
“Kamu mengusir Mama, Waldi? Durhaka kamu! Baiklah, Mama akan pergi, tapi Mama tidak pernah merestui dia menjadi menantu Mama.”
“Dan kamu gadis gatal, saya tidak akan sudi menerima kamu di tengah-tengah keluarga saya sebagai menantu meskipun kamu mencium ke dua kaki saya!”
Lalu wanita itu pun masuk ke dalam mobil dan pergi.
Waldi langsung masuk ke kamar dan Mila pun menyusul ingin mencari tahu atas pertanyaan yang ada di dalam otaknya.
“Jadi, kamu menyetujui pernikahan ini karena menghindari perjodohan yang sudah direncanakan sama keluarga kamu?” baru saja membuka pintu kamar Mila langsung mengajukan pertanyaan.
“Waktu itu katanya orang tuamu sudah meninggal. Dasar laki-laki pembohong!” Mila berucap dengan nada tinggi di depan Waldi meluapkan kekecewaannya karena merasa dibohongi oleh lelaki.
“Mila, tolong diam lah! Pikiranku sedang kacau,” ujar Waldi, sambil mengusap wajahnya yang terlihat frustasi.
“Hey, kamu sudah membawaku ke dalam masalahmu, lalu dengan mudahnya kamu tidak mau menjawab pertanyaanku?” Mila duduk di pinggiran ranjang berdekatan dengan Waldi.
“Oke, akan aku jawab pertanyaanmu.” Waldi menjeda ucapannya untuk beberapa detik.
“Maaf waktu itu aku sudah berbohong dengan keluargamu tentang orang tuaku yang sudah meninggal, semua itu aku lakukan karena aku terpaksa. Satu bulan lagi memang pernikahan itu akan berlangsung, tapi sudah beberapa bulan ini aku keluar dari rumah karena aku tidak tahan dengan tuntutan mereka yang mengharuskanku menikah dengan gadis yang tidak aku cintai.”
“Tapi kamu menikah denganku, lalu apa bedanya?” tanya Mila, memotong penjelasan Waldi.
“Tolong diam dulu, aku belum selesai menjelaskan semuanya.” Waldi memberi tatapan penuh peringatan meminta Mila untuk diam.
“Memang benar aku menikah denganmu tidak ada bedanya, tapi setidaknya aku tidak menikah dengan gadis itu. Orang tuanya sangat gila harta dan apa lagi anaknya yang suka sekali foya-foya. Aku tidak mau memiliki istri yang seperti itu, bukan karena aku tidak mau membiayai kebutuhan anak orang, jika seandainya aku jatuh pasti dia akan langsung meninggalkanku begitu saja,” jelas Waldi.
“Lalu, kenapa kamu tidak mempunyai pemikiran sama pada saat menikah denganku?”
“Aku tidak tahu mengapa kamu berbeda, Mila.”
“Lalu, bagaimana dengan masalah keluarga kamu? Aku yang tidak tahu apa-apa jadi ikut masuk.” Seluruh tubuh Mila terasa lemas, karena selama ia hidup tidak pernah mengalami konflik yang besar seperti ini.
“Aku akan selalu melindungi kamu,” kata Waldi.
“Bagaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Mila.
“Percayalah padaku, aku sedang berusaha menjadikan situasi yang runyam ini kembali baik-baik saja seperti sediakala.”
Mila terlihat sedang berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri koridor kampus yang sempat menjadi tempatnya menimba ilmu selama beberapa tahun. Mila datang ke kampus karena ada keperluan yang harus segera ia selesaikan. Namun, siapa sangka kedatangan Mila ke kampus malah bertemu dengan seorang laki-laki yang dulunya pernah menjadi ketua kelompok tugas kuliahnya. “Eh, kamu Mila ‘kan?” lelaki yang mempunyai paras tampan, putih, dan mempunyai lesung pipit itu menyapa Mila dengan ramah. Senyum yang terpancar selalu saja membuat hati para kaum hawa meleleh di saat itu juga. Mila menatap laki-laki di depannya dengan wajah bingung. Gadis itu mencoba untuk mengingat siapa sosok yang sedang berdiri di depannya. “Ya ampun, kamu Kevin ‘kan? Yang dulu pernah jadi ketua kelompok tugas kampus.” Lelaki bernama Kevin itu pun menganggukkan kepalanya. “Iya. Syukur lah kalau kamu masih ingat sama aku.” “Masya Allah, kita bisa bertemu lagi setelah beberapa tahun tidak berjumpa,” kata Mila. *** Pe
Mila merasa sifat Waldi berubah sejak perdebatan kemarin sekarang Mila menjadi merasa bersalah, namun ia sangat gengsi untuk meminta maaf yang terjadi di dalam rumah itu hanyalah dua orang yang saling diam. “Mila, aku ingin membicarakan sesuatu hal yang penting sama kamu.” Setelah lama diam akhirnya Waldi membuka suara. Mila yang sedang sibuk dengan ponselnya pun menatap Waldi yang sedang duduk tidak jauh dari tempat Mila duduk. Wanita itu meletakkan ponselnya untuk mendengarkan Waldi berbicara. “Besok kita harus pindah dari sini,” kata Waldi, masih dengan raut wajah yang sama datarnya. “Pidah? Tapi kenapa secepat ini?” Mila sangat terkejut dengan keputusan Waldi yang meminta pindah secara mendadak seperti ini padahal baru kemarin Mila menempati kos-kosan tersebut. Meskipun kecil, tapi Mila nyaman tinggal di sana. “Iya, karena dua minggu lagi aku akan menikah dengan Zoya,” ujar Waldi, tidak ada raut wajah lebih yang terlihat hanyalah raut wajah datar. “Apa?” dua kali Mila
“Sebenarnya kita mau kemana sih?”“Ikut saja jangan banyak bertanya.”Mila tidak suka dengan cara misterius Waldi yang seperti ini. Lelaki itu tiba-tiba saja datang dan langsung meminta Mila untuk bersiap, katanya mau diajak ke salah satu tempat, tapi lelaki itu tidak menjelaskan mau dibawa kemana dirinya. “Tidak usah terlalu rapi,” kata Waldi, ketika melihat Mila masuk ke dalam kamar. Mila memutuskan untuk pisah kamar dengan Waldi, gadis itu masih merasa kecewa dengan suaminya itu. Sekitar dua puluh menit lamanya Mila bersiap dan akhirnya gadis itu keluar dari kamar menggunakan flowery dress sage green dan tunik senada dijadikan outer dipadukan hijab berwarna putih membuat penampilan Mila yang sederhana terlihat sangat kece.“Sudah, ayo kita berangkat.” Mila berdiri di belakang Waldi yang sejak tadi setia menunggu dirinya bersiap. Perlahan Waldi memutar tubuhnya dan lelaki itu diam melihat kecantikan Mila yang terpancar. Seketika lelaki itu dibuat diam tidak bisa berkata-kata. Mi
Sejak kejadian semalam Mila dan Waldi masih saling diam, meskipun ke duanya sudah melewati sarapan bersama, tapi tetap saja masih ada rasa dingin di antara mereka berdua. “Aku tau kamu masih marah sama aku,” kata Waldi, mencoba memecah keheningan yang terjadi di antara mereka berdua. Waldi tidak mau terus seperti ini, ia ingin bisa lebih dekat dengan Mila agar bisa menebus kesalahannya karena sudah membawa Mila masuk ke dalam masalahnya. “Sampai detik ini aku nggak paham sama cara berpikir kamu,” kata Mila, masih terdengar dingin. Rasa kecewa tentu saja ada di dalam hati Mila, sebab ia harus membuang jauh cita-citanya hanya karena masuk ke dalam masalah orang lain. Sampai detik ini Mila masih bertanya-tanya, kesalahan apa yang sudah dia perbuat sehingga takdir hidupnya bisa rumit seperti sekarang. “Kalau kita tidak mencoba dekat bagaimana bisa memahami pola pikir masing-masing?” Waldi menggeser sedikit posisi duduknya agar lebih dekat dengan Mila. Namun, justru Mila yang menjauh t
Mila memutuskan keluar sebentar untuk menghilangkan beban pikirannya. Mila berada di salah satu café yang letaknya tidak jauh dari perumahan di mana ia tinggal. Mila merasa sepi setelah menikah dengan Waldi ada saja masalah yang harus dia hadapi. Menyendiri adalah cara terbaik agar Mila merasa lebih baik. “Mila.”Suara itu membuat Mila langsung menoleh ke belakang untuk mencari sumber suara. Setelah melihat sosoknya Mila pun langsung tersenyum dan mempersilahkan lelaki itu untuk duduk di mejanya.“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya Kevin karena lelaki itu tahu rumah Mila cukup jauh dari perumahan itu. “Sekarang aku tinggal di sini,” jawab Mila. “Wah, kebetulan sekali rumahku juga tidak jauh dari sini,” kata Kevin. “Benarkah?” tanya Mila guat senyum mulai terlihat di wajahnya. Mila dan Kevin pun berbincang ringan dan sesekali tertawa membahas masa kuliah mereka. Setidaknya pertemuan Mila dengan Kevin bisa membuat hati gadis itu sedikit membaik. “Suamimu tidak ikut?” tanya Kevin
Tiga hari sebelum pernikahan Waldi dan Zoya. Hubungan antara Waldi dan Mila semakin renggang, apa lagi semenjak Irana datang ke rumah dan menginginkan pernikahan itu dipercepat. Mila tidak melihat upaya Waldi membantah, lelaki itu nurut saja seperti tidak punya pendirian. Mila kesal sekaligus jengkel karena sudah dibawa ke dalam masalah Waldi. “Mila.” Waldi menahan Mila ketika gadis itu hendak pergi ketika dirinya ingin menghampiri. Wajah Waldi terlihat sedih karena beberapa hari ini Mila selalu menghindar darinya. “Duduk lah dulu, ada yang mau aku bicarakan,” kata Waldi, dengan lembut. Mila yang awalnya ingin pergi menghindar pun mengurungkan niatnya. Gadis itu kembali duduk di tempat semula menunggu Waldi berbicara. “Beberapa hari ini aku lihat kamu menghindar dari aku, apa yang salah?” tanya Waldi tatapannya memperlihatkan kesedihan yang selama ini Waldi pendam. “Kamu masih bertanya?” bukannya menjawab justru Mila melayangkan pertanyaan. Apakah lelaki itu tidak ada sedikit ra
Sejak pagi tadi sampai malam seperti ini Waldi masih berada di dalam kamar karena masih sering mengeluh kepalanya sakit. Makan malam kali ini cukup berbeda, yang biasanya makan di meja makan tapi kali ini Mila membawa makan malam ke kamar Waldi sesuai dengan perintah lelaki itu. Selama Mila berada di dapur untuk menyiapkan makan malam Waldi merenung di dalam kamar. Lelaki itu masih memikirkan mimpi yang ia alami selama tidur tadi. Mimpi yang begitu nyata seolah-olah akan terjadi dalam waktu dekat. Apa lagi pada saat mertuanya marah ketika mengetahui putri semata wayangnya akan dimadu. Waldi menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menghilangkan mimpi itu dari pikirannya. “Kenapa?” Suara dari arah pintu kamar membuat Waldi menoleh. Senyum lelaki itu langsung muncul ketika melihat Mila masuk ke kamar membawa nampan yang sudah terisi dengan makanan. “Nggak papa,” jawab Waldi masih dengan senyum yang sama. lelaki itu sedikit menggeser duduknya agar Mila bisa duduk di sampingnya, namun
Waldi kembali merasakan takut yang persis seperti di dalam mimpinya kemarin, namun kali ini benar-benar nyata. Sekarang Adra sedang duduk tepat di depan Waldi dengan mata merah. Sudah hampir sepuluh menit tidak ada percakapan di antara ke duanya, Waldi hanya bisa menunduk mempersiapkan diri untuk mendapatkan amukan dari Adra. “Jelaskan apa yang sedang Abi pegang ini, Waldi!” perintah Adra, sambil melemparkan selembaran kertas undangan yang sengaja dibawa dari rumah. Mila yang juga ikut duduk di ruang tamu pun hanya bisa diam melihat kemarahan sang abi. Selama Mila hidup, ia tidak pernah melihat abinya semarah ini. Karena Adra memang dikenal sebagai sosok laki-laki yang lemah lembut terhadap perempuan. “Apa yang Abi baca memang benar, itu nama saya dan perempuan yang dipilihkan oleh orang tua saya untuk saya,” jelas Waldi, dengan suara bergetar. “Lalu kamu ingin menikah untuk yang ke dua kalinya? Bagaimana dengan putriku?” Adra masih berusaha untuk sabar karena ia tidak ingin marah
“Kevin, lo kebiasaan banget sih taro handuk sembarangan kaya gini.” Pagi-pagi sekali rumah yang biasa sepi sekarang selalu dihiasi oleh teriakan melengking Zoya dengan permasalahan yang sama. setelah mandi Kevin kebiasaan menaruh handuk selalu di atas kasur sehingga membuat kasurnya basah.“Kenapa sih, sayang? Masih pagi ini marah-marah terus,” kata Kevin, berjalan sampai menghampiri Zoya seperti tidak ada dosa lelaki itu.“Udah berkali-kali aku bilang, handuk jangan taruh di kasur, nanti basah jadi jamuran.” Zoya berjalan ke kamar mandi untuk menaruh handuk itu pada tempatnya.“Marah-marah nih, nanti makin cantik gimana? Jangan-jangan kamu udah mau PMS ya, makanya moodnya naik turun gini?” Kevin menarik Zoya untuk duduk di pangkuannya. Masih dengan wajah yang ditekuk Zoya tidak mau menatap lelaki di depannya.“Wajahnya kok masih cemberut gitu sih, sayang?” Kevin mencoba membujuk Zoya supaya mau menatapnya, tapi hasilnya tetap gagal karena Zoya masih marah sama Kevin.“Lagian, harus b
Sebeluma akhirnya Mila memutuskan untuk menemui Waldi, ada banyak pertimbanga yang harus ia pikirkan. Setelah shalat dan berdoa meminta petunjuk kepada Allah, entah mengapa pikiran Mila langsung tertuju pada Waldi.“Aku ingin di posisi ini lebih lama sebelum kita ada di sidang perceraian besok,” kata Waldi, saat berada di dalam dekapan Mila yang selama ini ia rindukan. Waldi menangis di sana, ia tidak bisa menahan air matanya mengingat kebodohannya sampai membuat calon anak mereka tiada.Mila hanya diam. Tangan kanannya yang lembut dan mungil it uterus mengusap punggung suaminya yang lebar. Lagi-lagi Mila ingat besok adalah hari perceraian mereka. Keputusan terakhir sebelum berpisah secara agama dan negara.“Maafkan aku,” kata Waldi, lelaki itu tetap terus meminta maaf kepada Mila atas kesalahannya kemarin. Waldi sadar kesalahannya itu tidak bisa dimaafkan, tapi ia masih tetap berharap ada ruang kesempatan untuk dirinya memperbaiki semuanya.Mendengar kata maaf yang keluar dari mulut
Satu bulan telah berlalu, kondisi Mila yang semakin membaik setiap harinya membuat Yalina dan Adra senang dengan perkembangan itu. Sejak pulang dari rumah sakit, Mila sudah kembali tinggal bersama orang tuanya, sementara Waldi tinggal di rumah sendiri. Selama satu bulan itu Mila tidak tahu bagaimana kondisi Waldi dan tidak mau tahu juga. Rasa sakitnya masih terasa mendalam sampai saat ini.“Mila, besok adalah putusan sidang perceraian kalian. Apakah kamu yakin dengan keputusan ini?” tanya Adra kepada sang putri untuk mendapatkan jawaban sekali lagi yang lebih meyakinkan. Mila tetap memutuskan untuk berpisah dengan Waldi, karena ia merasa sudah tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.“Mila yakin, Abi. Mila tahu, perceraian tidak diajarkan dalam agama kita, tapi jika terus dipaksa bersama maka Mila yang terus mendapatkan dosa,” jelas Mila. Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat lagi.“Apakah kamu tahu bagaimana kondisi Waldi selama satu bulan terakhir ini?” tanya Adra lagi.Mila menggele
Pagi-pagi sekali ke dua orang tua Kevin berkunjung ke rumah, sebenarnya mereka berdua ingin berangkat ke kantor karena arah yang sama jadi mampir lebih dulu ke rumah anak mereka.“Wah, wah, ada apa gerangan ini kok pagi-pagi udah keramas aja, barengan lagi,” celetuk Heros pada saat melihat Zoya dan Kevin rambutnya sama-sama basah.Mendengar ucapan papa mertuanya membuat ke dua pipi Zoya merah merona karena malu.“Papa ini seperti tidak pernah merasakan jadi pengantin baru saja,” kata Anya, sambil menyenggol pelan siku sang suami.“Sepertinya sebentar lagi kita akan menimang cucu, Mah,” kata Heros, penuh semangat.“Apa sih, Pah,” ujar Kevin, meminta ke dua orang tuanya untuk berhenti menggodanya.Kevin tidak tahan melihat ke dua pipi Zoya yang sudah merah, ingin rasanya Kevin menangkup ke dua pipi itu menggunakan tangan besarnya lalu memberi sedikit cubitan. Namun, sayangnya ke dua orang tua mereka masih ada di sana.“Mama sama Papa tumben main ke sini nggak bilang-bilang dulu?” tanya
Malam ini untuk pertama kalinya Zoya dan Kevin menempati kamar utama yang sudah sejak lama Kevin siapkan untuk istrinya nanti. Kamar yang menjadi saksi pergulatan panas mereka tadi siang yang akhirnya membawa ke duanya pada hubungan rumah tangga yang semakin erat.“Vin, lampunya nggak akan lo matiin, ‘kan?” tanya Zoya wajahnya penuh rasa takut terakhir kali lampu kamar dimatikan saat tidur, paginya Zoya demam sampai di bawa ke rumah sakit.“Kalau pakai lampu tidur aja gimana?” tanya Kevin.Zoya nampak berpikir lalu pada akhirnya mengangguk. “Boleh. Tapi lo tidurnya jangan jauh-jauh dari gue ya, gue takut gelap.”Kevin terkekeh pelan. “Dengan senang hati aku akan memberikan pelukan hangat, sayang.”“Ih, aku kamu? Kok gue geli ya dengerinya,” kata Zoya wajahnya terlihat tidak nyaman dengan panggilan baru itu. Wajar saja Zoya belum terbiasa, karena memang keseharian mereka hanya memanggil lo dan gue.“Loh, kenapa harus geli? Kita kan sudah suami istri, emang kamu nggak mau kehidupan rum
Keluarga Waldi dan Mila sudah sampai di rumah sakit, ketika diberi tahu Mila mengalami kecelakaan tentunya mereka syok berat bahkan Yalina sempat tidak sadarkan diri di rumah. “Kamu keterlaluan, Waldi!” Jeff murka setelah Waldi menjelaskan semuanya. Menurut Jeff, apa yang dilakukan Waldi memang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia.Jeff memutuskan untuk duduk supaya emosinya reda dari pada ia menjadi pusat perhatian karena membuat keributan di rumah sakit.“Setelah anakku keluar dari rumah sakit, ceraikan dia!” perintah Adra. Lelaki itu juga naik pitam karena cinta putri semata wayangnya dikhianati oleh Waldi. Waldi yang sebelumnya sudah mendapatkan restu dari keluarga, tapi dengan mudahnya mengkhianati begitu saja.“Abi, Waldi mohon beri satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya. Semua yang kalian dengar tidak seperti yang kalian kira,” kata Waldi, lelaki itu mencoba untuk meluruskan masalah, tapi semuanya sudah terlanjur berantakan.“Apa lagi yang mau kamu perbaiki, Wa
Sekarang Kevin dan Zoya sudah berada di rumah sendiri. Akhirnya bisa lepas dari pertanyaan ‘kapan punya momongan?’ dari orang tuanya sendiri. Jika mendengar pertanyaan yang sama lagi dari orang tuanya, Zoya ingin menenggelamkan diri saja di sungai Amazon.“Woy, lagi ngelamun in apa?” tanya Kevin yang tiba-tiba saja membawa banyak cemilan di tangannya.“Ih, apa itu? Gue mau dong.” Zoya menatap penuh minat jajanan di tangan Kevin.“Dih, ambil sendiri lah,” kata Kevin, sambil menyembunyikan jajanan yang ia bawa tadi.“Nggak usah pelit sama istri sendiri.” Zoya merebut paksa jajanan yang ada di tangan Kevin. Raut wajah kemenangan Zoya langsung terpancar jelas.“Malah ngalah mengalah aja lo baru sadar udah punya suami. Tapi lo lupa tugas sebagai istri itu apa aja,” kata Kevin, sambil membersihkan sisa-sisa micin di tangannya.“Bodo.” Lalu Zoya meninggalkan Kevin dan tidak lupa membawa jajanan yang sudah berhasil ia rampas tadi.Kevin yang ditinggalkan begitu saja pun merasa kesal dan marah
“Halo.”Mila begitu tenang mengangkat telepon, meskipun itu dari seorang perempuan yang sudah menghancurkan keluarga kecilnya.“Maaf, ini siapa ya?” tanya seseorang di seberang sana.“Saya istrinya,” jawab Mila, nada bicaranya masih terdengar tenang.“Saya ingin bicara sama Pak Waldi, apakah beliau ada?”“Siapa?” tanya Waldi tanpa suara hanya melalui gerakan mulutnya.Tanpa menjawab, Mila langsung memberikan ponsel itu kepada Waldi supaya lelaki itu bisa tahu sendiri. Saat Waldi hendak pergi, Mila menahan meminta lelaki itu berbicara di depannya. Waldi tidak punya pilihan sekali menuruti keinginan Mila.“Iya, kenapa, Sonya?” tanya Waldi nadanya sangat ramah sekali.Mendengar nada bicara Waldi kepada perempuan itu membuat Mila tersenyum sinis. Meskipun hati Mila teramat sakit, tapi ia mencoba untuk menjadi perempuan yang tenang.“Apa, kran kamar mandi di apartemen kamu rusak?”“Sewa saja orang untuk membetulkannya,” kata Mila, pelan.“Em, saya tidak bisa ke sana sekarang, karena masih
Keesokan paginya, tepatnya pada jam setengah enam subuh, Zoya nyaris berteriak saat melihat Kevin sedang melaksanakan sholat subuh. Zoya pikir Kevin adalah sosok hantu yang sedang berdiri, sebab penerangan yang remang-remang membuatnya hampir salah sangka.“Udah bangun?” tanya Kevin sambil melipat kembali sajadah yang baru saja ia pakai shalat subuh. Setelah itu Kevin melepas peci dan juga baju koko. Dari mana lelaki itu mendapat baju koko?“Baju koko siapa yang lo pake?” tanya Zoya dengan suara serak.“Bajunya Papa,” jawab Kevin.Zoya menganggukkan kepalanya lalu kembali memejamkan mata ingin melanjutkan tidur.“Kenapa lo nggak bangunin gue buat shalat?” tanya Zoya dengan mata terpejam.“Gue nggak mau maksa lo. Gue tau lo belum terbiasa,” jawab Kevin, santai.Zoya merasa malu, karena selama ini memang jarang sekali shalat, bahkan dalam satu tahun bisa dihitung pakai jari.“Lain kali ajarin gue shalat, gue juga pengen belajar bisa shalat lima waktu dalam satu hari,” kata Zoya.“Lo ngg