"Kenapa Sayang? Aku kan juga ingin cium juga," rengek Yuksel."Jangan macam-macam," sergahnya dengan mata melotot marah.Yuksel justru tersenyum. "Noah, lihat ke sana sejenak."Mendengar hal itu Kimberly langsung memukul suaminya. Sementara Noah menurut dan menoleh. Yuksel menutup mata Alesha yang ada di pangkuannya. Kemudian meraih kepalanya dan mencium bibirnya. Meski kesal, tapi Kimberly meladeni suaminya sebentar kemudian langsung mendorong Yuksel yang tersenyum puas."Saat siang nanti aku sudah janji akan makan bersama Emma dan Aiden di taman, kau harus ikut," ujarnya mengingatkan."Iya Sayang, aku sudah mengerti."Kepala Noah mulai menoleh lagi dan menatap kedua orang tua yang terlihat mesra. Yuksel pun tetap saja bermanja padahal Kimberly sudah memarahi. Apalagi tangan Yuksel yang diam-diam mengusap pinggangnya."Kenapa Ibu selalu ingin makan dengan bibi Emma?" tanya Noah ingin tahu.Kimberly mengusap kepala putranya. "Ibu dengan bibi Emma sudah seperti saudara kandung. Kalau t
Keesokan harinya. Kimberly mengajak Emma pergi keluar istana untuk jalan-jalan sekaligus membeli sesuatu. Namun, mereka tidak hanya berdua saja. Ada Prisa dan Isabella yang merengek minta ikut.Serta beberapa pengawal dan pelayan yang senantiasa mengikuti. Madam Ane yang telah menjadi kepala pengurus kediaman, hanya berdiam diri untuk mengurus kediaman."Ibu! Aku ingin jalan ke arah sana," ujar Isabella tiba-tiba ingin berpisah."Tidak boleh. Tujuan kita kan ke toko nenek dan kakek," tolaknya.Namun, Isabella langsung menarik-narik tangannya. Membuat pergerakan mereka terpaksa berhenti. Sikap Isabella yang keras kepala membuatnya menghela napas."Baiklah, Prisa apa kau bisa menemani Isabella?" tanya Kimberly sembari melirik putri Emma.Ketika Prisa menoleh pada sang ibu, kepala Emma langsung mengangguk dan mengizinkan. "Baik Yang mulia.""Yeay!" seru Isabella kesenangan.Kemudian Kimberly menatap pada dua penjaga dan pelayan. Membuat mereka yang ditatap langsung mengangguk mengerti. K
Begitu kembali ke kediaman. Kimberly menyambut suaminya yang datang ke kamarnya sembari tersenyum. Yuksel pun mendekat dan mengusap kepalanya, juga memberikan satu senyuman untuknya."Pekerjaanmu selesai lebih awal, suamiku?" tanyanya.Yuksel duduk di sofa. "Iya Sayang."Kimberly pun mengikuti, duduk bersebelahan dengan suaminya. "Apa kau lelah?""Tidak karena aku sudah melihat wajahmu."Mendengarnya Kimberly tersenyum dan memeluk suaminya. Yuksel mengusap serta mengecup kepalanya. Tangan Kimberly memainkan kancing baju suaminya."Aku ingin bicara soal Isabella.""Hm, katakan saja Sayang," sahut Yuksel kembali mengecup keningnya."Bagaimana kalau kita carikan guru untuk Isabella?" tanyanya dengan mata memandang suaminya.Yuksel pun membalas tatapannya. "Tahun depan Isabella akan masuk akademi kan, aku rasa tidak membutuhkan guru lebih awal."Kimberly menghela napas. "Justru karena akan masuk akademi, jadi aku ingin mendidiknya lebih awal.""Bukan soal pelajaran, tapi lebih cara Isabel
"Apa yang perlu dibicarakan?" tanyanya dengan sedikit malas."Banyak," sahut Yuksel, "aku ingin membahas banyak hal.""Bagaimana?" tanya Yuksel menuntut jawaban.Kepala Kimberly mengangguk. Membuat Yuksel menggenggam tangannya dan Kimberly pun bangkit dari duduk. Berjalan mengikuti suami yang ingin bicara di balkon dengannya."Mau bilang apa?" begitu tiba di balkon, Kimberly langsung bertanya.Namun, Yuksel memeluknya dari belakang. Kimberly menjadi diam dengan mata menatap ke arah penjaga yang berpatroli di depan kediaman. Berarti mereka berdua tidak boleh bicara dengan lantang."Kau sangat marah padaku ya Sayang?""Ya," sahutnya singkat.Pelukan Yuksel semakin erat. "Maafkan aku ya. Aku tidak mendengarkanmu lebih dulu, seenaknya memutuskan begitu saja.""Memang jika kau mendengarkan, kau akan berubah pikiran?"Dapat Kimberly rasakan kepala Yuksel yang mengangguk. Karena pipinya dengan Yuksel saling bertemu dan beriringan. Yuksel sendiri mulai menggenggam tangannya."Sebenarnya apa y
Ketika sore harinya. Kimberly telah pulang dari tempat bisnis ibunya bersama ketiga anaknya. Sementara Yuksel duduk di dalam kamar dengan ekspresi serius.Harus dia menegur istri karena sampai membawa anak-anak. Hingga Noah melewatkan pelatihan pedang. Tapi, begitu pintu kamar itu terbuka. Yuksel langsung menoleh dengan menunjukkan ekspresi tersenyum."Sayang kau baru kembali?""Iya."Kemudian Kimberly mengusap kepala Noah dan Isabella. "Kembali ke kamar kalian dan mandilah dengan pelayan pribadi kalian masing-masing.""Baik Bu!" sahut Isabella antusias dan langsung berlari pergi."Sampai bertemu makan malam Bu," ujar Noah pelan dan mulai menyusul Isabella yang memukuli para pelayan ketika melintas.Sementara Kimberly menitipkan Alesha pada suaminya dan duduk di sebelah Yuksel dengan ekspresi lelah. Yuksel menatap dirinya begitu lekat. Seolah ada banyak pembicaraan yang ingin dibahas, namun mulut tetap terdiam."Ada apa?" tanya Kimberly karena menyadari tatapannya."Itu ... mengenai g
Malam itu. Yuksel menepati janji dengan menghadiri proses pembuatan hujan oleh para ahli sihir. Berdiri di tempat yang disediakan.Formasi yang dibuat oleh para ahli sihir membuat Yuksel diam. Mencoba mengingat apakah ada kesalahan atau tidak dalam proses pembuatan hujan. Jika salah sedikit saja, maka petir besar akan menyambar siapa pun yang melintas. Bahkan bisa jadi semua orang yang ada di tempat tersebut menjadi korban."Yang mulia," sebut asisten yang baru Yuksel rekrut."Apakah kita akan tetap di sini hingga hujan selesai?"Yuksel melirik. "Tidak. Setelah petir sudah hilang dan hanya menyisakan hujan saja, semua orang akan pergi.""Apakah seharian akan hujan?""Sepertinya begitu. Hanya saja turunnya hujan tidak begitu besar hingga menyebabkan banjir."Sang asisten yang bernama Teo mengangguk mengerti. Kemudian menatap ke depan lagi. Petir-petir mulai datang lebih dulu ketimbang hujan.Sementara itu, Kimberly di dalam kamarnya. Ia tak segera tertidur, karena menjaga Alesha yang t
Dahi Yuksel mengerut. "Surat apa? Aku tidak ingin melihatnya.""Kalau begitu saya akan membuangnya," sahut Aiden mulai berjalan ke arah tempat sampah."Buang saja. Dengan tidak ada balasan maka pria sialan itu tidak akan datang ke sini," ujar Yuksel.Mendengar hal itu, tangan Aiden langsung terhenti membuang surat. "Anu, Yang mulia.""Hm, katakan."Mata Aiden menatap serius. "Putra mahkota sedang dalam perjalanan, mungkin akan sampai sehari setelah surat ini tiba."Begitu mendengar hal itu. Yuksel langsung bangkit berdiri dengan raut kesal. Tamu tak diundang itu berani datang hampir bersamaan dengan surat yang sampai."Jadi, kita terpaksa harus menyambutnya kan?" singgung Yuksel terlihat kesal.Aiden mengangguk. "Benar sekali Yang mulia."Yuksel menghela napas kesal. Kemudian tangan menengadah, siap menerima dokumen tipis yang ternyata sebuah surat itu. Aiden pun melangkah mendekat dan menyerahkan kertas tersebut.Tanpa belas kasih. Yuksel membuka surat berbentuk buku tersebut, kemudi
Keesokan harinya. Yuksel dan Kimberly menyambut kedatangan Putra mahkota yang turun dari kereta. Pandangan pria itu langsung tertuju ke arah Kimberly.Meski sudah beranak tiga. Namun, Kimberly tetaplah wanita yang cantik. Apalagi tubuh masih terlihat bagus, membuat Yuksel menghalangi pandangan Putra mahkota dengan menggeser tubuhnya."Selamat datang di kerajaan Kairi, Putra mahkota," ujar Yuksel berusaha tersenyum.Putra mahkota juga tersenyum lebih lebar. "Terima kasih karena sudah mau menerima kehadiran saya Yang mulia Raja."Yuksel tersenyum, namun sorot mata terlihat jelas tidak menyukai pria ini. Orang yang datang secara paksa. tentu saja harus disambut dengan terpaksa juga."Kalau begitu Madam Ane, tolong tunjukkan jalan ke tempat Putra mahkota bisa beristirahat," pinta Yuksel pada Madam Ane yang langsung menunduk hormat."Baik Yang mulia."Madam Ane bertemu mata sejenak dengan Putra mahkota. Membuat pria itu terpaksa mengikuti Madam Ane. Meski Putra mahkota menatap dengan panda