Begitu kembali ke kediaman. Kimberly menyambut suaminya yang datang ke kamarnya sembari tersenyum. Yuksel pun mendekat dan mengusap kepalanya, juga memberikan satu senyuman untuknya."Pekerjaanmu selesai lebih awal, suamiku?" tanyanya.Yuksel duduk di sofa. "Iya Sayang."Kimberly pun mengikuti, duduk bersebelahan dengan suaminya. "Apa kau lelah?""Tidak karena aku sudah melihat wajahmu."Mendengarnya Kimberly tersenyum dan memeluk suaminya. Yuksel mengusap serta mengecup kepalanya. Tangan Kimberly memainkan kancing baju suaminya."Aku ingin bicara soal Isabella.""Hm, katakan saja Sayang," sahut Yuksel kembali mengecup keningnya."Bagaimana kalau kita carikan guru untuk Isabella?" tanyanya dengan mata memandang suaminya.Yuksel pun membalas tatapannya. "Tahun depan Isabella akan masuk akademi kan, aku rasa tidak membutuhkan guru lebih awal."Kimberly menghela napas. "Justru karena akan masuk akademi, jadi aku ingin mendidiknya lebih awal.""Bukan soal pelajaran, tapi lebih cara Isabel
"Apa yang perlu dibicarakan?" tanyanya dengan sedikit malas."Banyak," sahut Yuksel, "aku ingin membahas banyak hal.""Bagaimana?" tanya Yuksel menuntut jawaban.Kepala Kimberly mengangguk. Membuat Yuksel menggenggam tangannya dan Kimberly pun bangkit dari duduk. Berjalan mengikuti suami yang ingin bicara di balkon dengannya."Mau bilang apa?" begitu tiba di balkon, Kimberly langsung bertanya.Namun, Yuksel memeluknya dari belakang. Kimberly menjadi diam dengan mata menatap ke arah penjaga yang berpatroli di depan kediaman. Berarti mereka berdua tidak boleh bicara dengan lantang."Kau sangat marah padaku ya Sayang?""Ya," sahutnya singkat.Pelukan Yuksel semakin erat. "Maafkan aku ya. Aku tidak mendengarkanmu lebih dulu, seenaknya memutuskan begitu saja.""Memang jika kau mendengarkan, kau akan berubah pikiran?"Dapat Kimberly rasakan kepala Yuksel yang mengangguk. Karena pipinya dengan Yuksel saling bertemu dan beriringan. Yuksel sendiri mulai menggenggam tangannya."Sebenarnya apa y
Ketika sore harinya. Kimberly telah pulang dari tempat bisnis ibunya bersama ketiga anaknya. Sementara Yuksel duduk di dalam kamar dengan ekspresi serius.Harus dia menegur istri karena sampai membawa anak-anak. Hingga Noah melewatkan pelatihan pedang. Tapi, begitu pintu kamar itu terbuka. Yuksel langsung menoleh dengan menunjukkan ekspresi tersenyum."Sayang kau baru kembali?""Iya."Kemudian Kimberly mengusap kepala Noah dan Isabella. "Kembali ke kamar kalian dan mandilah dengan pelayan pribadi kalian masing-masing.""Baik Bu!" sahut Isabella antusias dan langsung berlari pergi."Sampai bertemu makan malam Bu," ujar Noah pelan dan mulai menyusul Isabella yang memukuli para pelayan ketika melintas.Sementara Kimberly menitipkan Alesha pada suaminya dan duduk di sebelah Yuksel dengan ekspresi lelah. Yuksel menatap dirinya begitu lekat. Seolah ada banyak pembicaraan yang ingin dibahas, namun mulut tetap terdiam."Ada apa?" tanya Kimberly karena menyadari tatapannya."Itu ... mengenai g
Malam itu. Yuksel menepati janji dengan menghadiri proses pembuatan hujan oleh para ahli sihir. Berdiri di tempat yang disediakan.Formasi yang dibuat oleh para ahli sihir membuat Yuksel diam. Mencoba mengingat apakah ada kesalahan atau tidak dalam proses pembuatan hujan. Jika salah sedikit saja, maka petir besar akan menyambar siapa pun yang melintas. Bahkan bisa jadi semua orang yang ada di tempat tersebut menjadi korban."Yang mulia," sebut asisten yang baru Yuksel rekrut."Apakah kita akan tetap di sini hingga hujan selesai?"Yuksel melirik. "Tidak. Setelah petir sudah hilang dan hanya menyisakan hujan saja, semua orang akan pergi.""Apakah seharian akan hujan?""Sepertinya begitu. Hanya saja turunnya hujan tidak begitu besar hingga menyebabkan banjir."Sang asisten yang bernama Teo mengangguk mengerti. Kemudian menatap ke depan lagi. Petir-petir mulai datang lebih dulu ketimbang hujan.Sementara itu, Kimberly di dalam kamarnya. Ia tak segera tertidur, karena menjaga Alesha yang t
Dahi Yuksel mengerut. "Surat apa? Aku tidak ingin melihatnya.""Kalau begitu saya akan membuangnya," sahut Aiden mulai berjalan ke arah tempat sampah."Buang saja. Dengan tidak ada balasan maka pria sialan itu tidak akan datang ke sini," ujar Yuksel.Mendengar hal itu, tangan Aiden langsung terhenti membuang surat. "Anu, Yang mulia.""Hm, katakan."Mata Aiden menatap serius. "Putra mahkota sedang dalam perjalanan, mungkin akan sampai sehari setelah surat ini tiba."Begitu mendengar hal itu. Yuksel langsung bangkit berdiri dengan raut kesal. Tamu tak diundang itu berani datang hampir bersamaan dengan surat yang sampai."Jadi, kita terpaksa harus menyambutnya kan?" singgung Yuksel terlihat kesal.Aiden mengangguk. "Benar sekali Yang mulia."Yuksel menghela napas kesal. Kemudian tangan menengadah, siap menerima dokumen tipis yang ternyata sebuah surat itu. Aiden pun melangkah mendekat dan menyerahkan kertas tersebut.Tanpa belas kasih. Yuksel membuka surat berbentuk buku tersebut, kemudi
Keesokan harinya. Yuksel dan Kimberly menyambut kedatangan Putra mahkota yang turun dari kereta. Pandangan pria itu langsung tertuju ke arah Kimberly.Meski sudah beranak tiga. Namun, Kimberly tetaplah wanita yang cantik. Apalagi tubuh masih terlihat bagus, membuat Yuksel menghalangi pandangan Putra mahkota dengan menggeser tubuhnya."Selamat datang di kerajaan Kairi, Putra mahkota," ujar Yuksel berusaha tersenyum.Putra mahkota juga tersenyum lebih lebar. "Terima kasih karena sudah mau menerima kehadiran saya Yang mulia Raja."Yuksel tersenyum, namun sorot mata terlihat jelas tidak menyukai pria ini. Orang yang datang secara paksa. tentu saja harus disambut dengan terpaksa juga."Kalau begitu Madam Ane, tolong tunjukkan jalan ke tempat Putra mahkota bisa beristirahat," pinta Yuksel pada Madam Ane yang langsung menunduk hormat."Baik Yang mulia."Madam Ane bertemu mata sejenak dengan Putra mahkota. Membuat pria itu terpaksa mengikuti Madam Ane. Meski Putra mahkota menatap dengan panda
Yuksel menatap serius. "Buat lagi gerbang kota Lefan."Putra mahkota menarik napas. "Lalu biaya pembangunan gerbang bagaimana? Pembuatannya bukan hanya satu atau dua meter."Kimberly menyadari hal itu. Gerbang itu harus dibangun mengikuti wilayah yang diputus. Itu artinya mencapai puluhan kilometer. "Kalau begitu lakukan dengan perlahan. Lagi pula, bukankah setelah kekeringan berhenti. Kota Lefan akan bangkit kembali dan bisa membuat gerbang," singgung Yuksel."Yang mulia, apa Anda meminta peniadaan gerbang kota untuk beberapa waktu hanya demi hujan ini?" Putra mahkota benar-benar tersinggung.Yuksel menyeringai. "Permintaanku itu masih bagus, kalau aku sangat serakah. Maka, aku akan meminta kedua wilayah digabung dan salah satu kerajaan dibuang.""Bukankah aku masih punya rasa belas kasih?" lanjut Yuksel.Kimberly menatap suaminya yang memang sudah dibilang serakah. Membangun sebuah gerbang yang kokoh dan anti penyerangan itu membutuhkan waktu serta uang yang banyak."Menerima pajak
Siang harinya. Noah yang sudah kembali ia ajak bermain di luar dengan Isabella dan Alesha. Tentunya mereka ditemani para pelayan dan Tapi, begitu melewati kediaman tempat Putra mahkota tinggal sementara. Kimberly justru bertemu dengan pria itu yang kebetulan melintas. Putra mahkota pun ditemani oleh pelayan serta penjaga."Yang mulia Ratu," sebut Putra mahkota Lefan tersenyum manis."Ah Putra mahkota.""Anda mau pergi ke mana?"Kimberly menunjuk ke arah gerbang yang akan muncul setelah melewati jembatan kecil dan terhalang dinding. Putra mahkota menatap ke sana dan mengangguk. "Saya juga akan pergi ke sana, ingin jalan-jalan. Bagaimana jika kita pergi bersama?"Kimberly menggeleng. "Tidak. Hari ini aku membawa ketiga anakku, jadi itu kurang pantas jika pergi bersama seorang pria.""Bukankah Putra mahkota juga pria?" sindir Kimberly membuat pria ini mengangguk dan tersenyum.Kemudian mata menatap pada ketiga anaknya dengan pandangan sendu. Seolah pria ini memiliki kesedihan yang tak