Dirga terbahak saat Dara kembali ke kamar. Dia bergegas melihat wajahnya di cermin. Lalu menatap Dirga kesal, tapi yang di pelototinya santai saja menghapus make up plontengannya dengan miceller water. Sebelah tangannya mengangkat dua jari ke atas.
"Satu sama sayang..."Dara mendengkus. Mengambil kapas dan menuang cairan penghapus lipstik mengusap ke bibirnya dan juga bagian dekat bibirnya yang belepotan lipstik.******Dirga sudah menduga, akan terjadi seperti ini. Ya, gara-gara poto yang diposting Dara kemarin, hari ini dia menjadi bahan gosip karyawannya. Meski mereka tak menunjukkan raut ketawa mereka, tapi dia tahu, pasti para karyawan menertawakan dirinya. Huft, dasar ibu hamil. Tak pernah upload poto berdua, sekalinya upload bikin geger.Pun Linda, dia juga terlihat sekali menahan senyumnya. Dirga sampai kesal sendiri. Hingga setelah Linda keluar, Dirga menguatkan diri memeriksa akun instagram Dara. Dann...Yah, dia langsung kena seBerdiri di hadapannya kini, lapas khusus untuk wanita. Para polisi berseragam hilir mudik memasuki area lapas. Ada juga masyarakat biasa, yang mungkin sama seperti dirinya. Mengunjungi kerabat atau teman yang kebetulan ada disini juga.Sebuah tangan menjangkau jemarinya. Tanpa menoleh pun Dara tahu tangan ini milik siapa. Jemari lentik nan panjang dengan telapak lebar milik Dirga."Mau disini saja atau masuk?" Dara sedikit mendongak, lalu mengangguk. Keduanya melangkah bersama menuju gedung depan.******Terkejut dan tak menyangka. Itulah yang sempat dirasakan Dita. Bahkan dia sampai menangis melihat keberadaan Dara disini. Tapi kini tangisnya perlahan mereda. Dara sedari tadi hanya melihatnya. Tanpa sepatah katapun terucap.Sedang Dara menatap miris gadis di depannya. Gadis atau wanita? Entahlah. Keadaan Dita banyak berubah. Tak serapi dan terurus seperti dulu. Rambutnya pun hanya dia cempol asal. Miris sekali keadaannya. Kantong matanya terlihat jelas. Kul
Tak terasa waktu terus bergulir. Kini usia kandungan Dara sudah tujuh bulan. Perut ratanya kini sudah membuncit. Tapi jangan ditanya manjanya, semakin menjadi. Untung saja Dirga suami yang sabar dan baik hati. Telaten saja menuruti permintaan Dara yang aneh-aneh. Dari mencarikan katak dan harus Dirga sendiri yang menangkapnya. Meletakkan di sebuah akurium kosong, lalu di telatakkan di kamar mereka. Dirga yang sebenarnya jijik hanya bisa menelan saliva. Mau tak mau dia mengabaikan rasa jijiknya. Bahkan dia sampai ke dokter kulit gara-gara tangannya dikencingi katak yang berhasil di tangkapnya.Dara juga pernah minta seisi kantor memakai aksesoris ala-ala ospek. Memakai tali rafia sebagai pengganti gantungan name tag mereka. Lalu memakai topi kertas karton dibuat kerucut untuk topi mereka. Pokoknya ada-ada saja keinginan Dara yang membuat Dirga tak habis pikir. Tapi demi tak ingin anaknya ileran, Dirga menuruti semuanya. Tapi syukurlah diluar permintaannya yang aneh
Akhirnya hari esok itupun tiba. Dirga siap dengan style rapinya. Jas hitam dan stelan celana hitam. Di dalamnya tersemat kemeja maroon. Dan juga tak lupa sepatu hitam pantofel. Pria itu bersidekap memandangi wanitanya yang tak kunjung selesai dandan. Berkali-kali mematut badannya di cermin."Sudah cantik sayang. Ayo, berangkat. Keburu ditungguin Nana loh kamu.""Ah, badanku sekarang gemukan. Lihat nih, bahkan gaun pesanan khusus ini aja masih terlihat aneh di tubuhku," keluhnya. Bibir mengerucut. Sungguh, dia sebenarnya merasa sedih, tubuh langsingnya kini mengembang pesat. Dirga memandangi Dara dari atas ke bawah. Gaun putih selutut dengan garis bunga di bagian dada itu sebenarnya cantik. Tapi memang keadaan Dara sedang hamil, jadi membuatnya gemukan. Dirga menghampiri istrinya itu, memeluk dan mengecup dahinya."Enggak. Kamu tetap cantik. Bahkan paling cantik dari semua wanita di dunia ini.""Ih! Bohong.""Enggak sayang. Bagiku kamu ada
"Ah, maaf mbak," ucap seseorang. Dara mendongak, lalu mengambil dot itu dan menyerahkan pada perempuan muda yang tengah menggendong anaknya."Tidak apa. Uh, lucunyaa..." Dara tersenyum gemas. Memberikan dot itu pada bocah kecil dalam gendongan perempuan itu. Tapi bocah itu malah menggerak-gerakkan tangannya minta digendong."Aduh, jangan nakal sayang... kasihan tante lagi hamil," ucap perempuan itu."Tidak apa. Sekalian latihan," ucap Dara tersenyum. "Beneran mbak? Aduh, Hana tumben banget loh minta digendong orang asing. Hana... Hana."Akhirnya bocah itu dalam gendongan Dara. Dilihat dari telinganya yang ditindik, dia perempuan. Ah, lupa, bahkan namanya Hana. "Lucu sekali sih."Hana menatap Dara tak berkedip. Tangannya mencoba memegang wajah Dara. Perempuan tadi duduk disamping Dara."Maaf ya mbak, ngerepotin.""Gak papa. Saya malah suka kok. Gemesin tahu. Berapa tahun, nih?""Baru mau satu tahun mbak. Mbak sendiri, sudah berapa bulan?
"Oma, mama udah pulang?"Seorang bocah kecil berusia tujuh tahun menghampiri omanya yang tengah membaca majalah di ruang tengah."Mamamu belum pulang sayang."Bocah itu manggut-manggut. "Farel ganti baju dulu ya, nanti oma temani makan siangnya.""Iya, Oma."Farel Aditya Respati, nama bocah berusia tujuh tahun itu. Putra pertama Dara dan Dirga. Tumbuh dengan begitu baik. Wajahnya tampan menuruni papanya. Cerdas dan tak banyak bicara. Mirip Dirga sekali. Bahkan kadang Dara sampai bingung, anak itu semuanya plek ketiplek Dirga. Entah ramuan apa yang diracik Dirga sampai mempunyai anak yang sangat menuruni dirinya. Dan parahnya, yang menurun darinya hanyalah bentuk bibirnya. Bibir Farel tipis dan membentuk love saat tersenyum.Farel terbiasa mandiri. Dia bahkan menolak diantar jemput mamanya. Cukup supir pribadi saja yang menjemputnya pulang pergi sekolah. Ganti baju, memberesi kamar, dan keperluan pribadi, dia sendiri yang menangani. Sungguh, sifat in
Dara menggeleng. Rautnya suram sekali. Sudah cukup banyak air mata yang dia keluarkan untuk pria itu. Dan bahkan hingga kini. Malam-malam, ketika dia sendiri. Dia sangat merindukan pria itu. "Tidak. Mungkin dia sudah paham. Dia sama sekali tak pernah membahas papanya. Hanya saja, saat aku mengunjungi kamarnya, poto papanya berada di atas ranjangnya. Dia peluk. Ah, rasanya menyesakkan Ly. Egois saat itu aku merasa paling terpuruk sampai mengabaikan Farel. Padahal Farel tentu yang lebih membutuhkan papanya."Dara mengusap air matanya yang sempat turun. Lily menarik napas pelan. Dia juga tak menyangka keluarga bahagia itu akan mengalami kejadian yang sangat menyakitkan. Karena itulah, Lily sering was-was dan khawatir saat Doni bepergian jauh. Bukan mendoakan yang buruk. Tapi dia takut terjadi sesuatu buruk yang menimpa suami berondongnya itu."Yang sabar ya mbak. Aku yakin dimanapun keberadaan mas Dirga, dia akan merindukan mbak Dara dan Farel.""Makasih, Ly. Tapi
Seperti biasa. Malam hari, Dara akan menemani Farel belajar. Lalu setelahnya menemani sampai Farel tertidur. Meski usia Farel sebenarnya sudah cukup dikatakan besar, tetap saja Dara tak mau melewatkan kebersamaan dengan putra tunggalnya itu. Ah, Dirga, kalaupun mau pergi, setidaknya berilah Farel adik supaya tidak kesepian seperti ini.Dengan telaten Dara mengajari bocah itu. Sesekali menggaruk kepala karena pertanyaan Farel yang kadang diluar jangkauannya. Anak itu kelewat cerdas. Andai saja ada Dirga, sudah pasti pertanyaan Farel sudah terjawab. Beda dengan Dara yang belibet. Otaknya tak terlalu pandai dalam bidang akademik. Jadilah dia menjawab sebisanya, atau kadang mengalihkan dengan materi lain. Dan sisanya, bisa di duga, Farel hanya diam dengan pertanyaan yang masih menggelayut di otaknya."Sudah selesai pr nya sayang?"Dara dari dapur, membawakan susu untuk Farel."Udah, Ma.""Ya udah. Diberesi bukunya. Terus diminum susunya ya?"Farel
"Kamu baik-baik saja, Ra?"Mama sedari tadi memperhatikan raut kuyu Dara. Ditambah matanya yang bengkak. Meski telah dia turupi make up, tetap saja di mata mama terlihat jelas.Wanita itu tersenyum tipis. Duduk di salah satu kursi. Meletakkan susu di atas meja. "Dara gak papa, Ma."Mama menatapnya khawatir. Tapi beliau tak bertanya lagi. Ingat rumusnya, jangan menanyai wanita yang tengah memendam kesedihan. Karena justru akan membuatnya menangis. Perhatikan dia, hingga dia akan nyaman sendiri mengeluarkan unek-uneknya.Hela napas mama terdengar berat."Mama nanti ada acara sama teman-teman mama. Kamu gak papa kan kalau mama tinggal?"Dara menggeleng."Nanti Dara kan pulang cepet. Mungkin nanti malah Dara yang jemput Farel. Udah lama, Ma. Membiarkan dia pulang sama pak Ali terus.""Ya kalau kamu gak sibuk itu malah lebih baik. Semandiri-mandirinya anak, dia pasti lebih senang kalau orang tuanya memperhatikannya,
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik