Tak terasa waktu terus bergulir. Kini usia kandungan Dara sudah tujuh bulan. Perut ratanya kini sudah membuncit. Tapi jangan ditanya manjanya, semakin menjadi. Untung saja Dirga suami yang sabar dan baik hati. Telaten saja menuruti permintaan Dara yang aneh-aneh. Dari mencarikan katak dan harus Dirga sendiri yang menangkapnya. Meletakkan di sebuah akurium kosong, lalu di telatakkan di kamar mereka. Dirga yang sebenarnya jijik hanya bisa menelan saliva. Mau tak mau dia mengabaikan rasa jijiknya. Bahkan dia sampai ke dokter kulit gara-gara tangannya dikencingi katak yang berhasil di tangkapnya.
Dara juga pernah minta seisi kantor memakai aksesoris ala-ala ospek. Memakai tali rafia sebagai pengganti gantungan name tag mereka. Lalu memakai topi kertas karton dibuat kerucut untuk topi mereka. Pokoknya ada-ada saja keinginan Dara yang membuat Dirga tak habis pikir. Tapi demi tak ingin anaknya ileran, Dirga menuruti semuanya.Tapi syukurlah diluar permintaannya yang anehAkhirnya hari esok itupun tiba. Dirga siap dengan style rapinya. Jas hitam dan stelan celana hitam. Di dalamnya tersemat kemeja maroon. Dan juga tak lupa sepatu hitam pantofel. Pria itu bersidekap memandangi wanitanya yang tak kunjung selesai dandan. Berkali-kali mematut badannya di cermin."Sudah cantik sayang. Ayo, berangkat. Keburu ditungguin Nana loh kamu.""Ah, badanku sekarang gemukan. Lihat nih, bahkan gaun pesanan khusus ini aja masih terlihat aneh di tubuhku," keluhnya. Bibir mengerucut. Sungguh, dia sebenarnya merasa sedih, tubuh langsingnya kini mengembang pesat. Dirga memandangi Dara dari atas ke bawah. Gaun putih selutut dengan garis bunga di bagian dada itu sebenarnya cantik. Tapi memang keadaan Dara sedang hamil, jadi membuatnya gemukan. Dirga menghampiri istrinya itu, memeluk dan mengecup dahinya."Enggak. Kamu tetap cantik. Bahkan paling cantik dari semua wanita di dunia ini.""Ih! Bohong.""Enggak sayang. Bagiku kamu ada
"Ah, maaf mbak," ucap seseorang. Dara mendongak, lalu mengambil dot itu dan menyerahkan pada perempuan muda yang tengah menggendong anaknya."Tidak apa. Uh, lucunyaa..." Dara tersenyum gemas. Memberikan dot itu pada bocah kecil dalam gendongan perempuan itu. Tapi bocah itu malah menggerak-gerakkan tangannya minta digendong."Aduh, jangan nakal sayang... kasihan tante lagi hamil," ucap perempuan itu."Tidak apa. Sekalian latihan," ucap Dara tersenyum. "Beneran mbak? Aduh, Hana tumben banget loh minta digendong orang asing. Hana... Hana."Akhirnya bocah itu dalam gendongan Dara. Dilihat dari telinganya yang ditindik, dia perempuan. Ah, lupa, bahkan namanya Hana. "Lucu sekali sih."Hana menatap Dara tak berkedip. Tangannya mencoba memegang wajah Dara. Perempuan tadi duduk disamping Dara."Maaf ya mbak, ngerepotin.""Gak papa. Saya malah suka kok. Gemesin tahu. Berapa tahun, nih?""Baru mau satu tahun mbak. Mbak sendiri, sudah berapa bulan?
"Oma, mama udah pulang?"Seorang bocah kecil berusia tujuh tahun menghampiri omanya yang tengah membaca majalah di ruang tengah."Mamamu belum pulang sayang."Bocah itu manggut-manggut. "Farel ganti baju dulu ya, nanti oma temani makan siangnya.""Iya, Oma."Farel Aditya Respati, nama bocah berusia tujuh tahun itu. Putra pertama Dara dan Dirga. Tumbuh dengan begitu baik. Wajahnya tampan menuruni papanya. Cerdas dan tak banyak bicara. Mirip Dirga sekali. Bahkan kadang Dara sampai bingung, anak itu semuanya plek ketiplek Dirga. Entah ramuan apa yang diracik Dirga sampai mempunyai anak yang sangat menuruni dirinya. Dan parahnya, yang menurun darinya hanyalah bentuk bibirnya. Bibir Farel tipis dan membentuk love saat tersenyum.Farel terbiasa mandiri. Dia bahkan menolak diantar jemput mamanya. Cukup supir pribadi saja yang menjemputnya pulang pergi sekolah. Ganti baju, memberesi kamar, dan keperluan pribadi, dia sendiri yang menangani. Sungguh, sifat in
Dara menggeleng. Rautnya suram sekali. Sudah cukup banyak air mata yang dia keluarkan untuk pria itu. Dan bahkan hingga kini. Malam-malam, ketika dia sendiri. Dia sangat merindukan pria itu. "Tidak. Mungkin dia sudah paham. Dia sama sekali tak pernah membahas papanya. Hanya saja, saat aku mengunjungi kamarnya, poto papanya berada di atas ranjangnya. Dia peluk. Ah, rasanya menyesakkan Ly. Egois saat itu aku merasa paling terpuruk sampai mengabaikan Farel. Padahal Farel tentu yang lebih membutuhkan papanya."Dara mengusap air matanya yang sempat turun. Lily menarik napas pelan. Dia juga tak menyangka keluarga bahagia itu akan mengalami kejadian yang sangat menyakitkan. Karena itulah, Lily sering was-was dan khawatir saat Doni bepergian jauh. Bukan mendoakan yang buruk. Tapi dia takut terjadi sesuatu buruk yang menimpa suami berondongnya itu."Yang sabar ya mbak. Aku yakin dimanapun keberadaan mas Dirga, dia akan merindukan mbak Dara dan Farel.""Makasih, Ly. Tapi
Seperti biasa. Malam hari, Dara akan menemani Farel belajar. Lalu setelahnya menemani sampai Farel tertidur. Meski usia Farel sebenarnya sudah cukup dikatakan besar, tetap saja Dara tak mau melewatkan kebersamaan dengan putra tunggalnya itu. Ah, Dirga, kalaupun mau pergi, setidaknya berilah Farel adik supaya tidak kesepian seperti ini.Dengan telaten Dara mengajari bocah itu. Sesekali menggaruk kepala karena pertanyaan Farel yang kadang diluar jangkauannya. Anak itu kelewat cerdas. Andai saja ada Dirga, sudah pasti pertanyaan Farel sudah terjawab. Beda dengan Dara yang belibet. Otaknya tak terlalu pandai dalam bidang akademik. Jadilah dia menjawab sebisanya, atau kadang mengalihkan dengan materi lain. Dan sisanya, bisa di duga, Farel hanya diam dengan pertanyaan yang masih menggelayut di otaknya."Sudah selesai pr nya sayang?"Dara dari dapur, membawakan susu untuk Farel."Udah, Ma.""Ya udah. Diberesi bukunya. Terus diminum susunya ya?"Farel
"Kamu baik-baik saja, Ra?"Mama sedari tadi memperhatikan raut kuyu Dara. Ditambah matanya yang bengkak. Meski telah dia turupi make up, tetap saja di mata mama terlihat jelas.Wanita itu tersenyum tipis. Duduk di salah satu kursi. Meletakkan susu di atas meja. "Dara gak papa, Ma."Mama menatapnya khawatir. Tapi beliau tak bertanya lagi. Ingat rumusnya, jangan menanyai wanita yang tengah memendam kesedihan. Karena justru akan membuatnya menangis. Perhatikan dia, hingga dia akan nyaman sendiri mengeluarkan unek-uneknya.Hela napas mama terdengar berat."Mama nanti ada acara sama teman-teman mama. Kamu gak papa kan kalau mama tinggal?"Dara menggeleng."Nanti Dara kan pulang cepet. Mungkin nanti malah Dara yang jemput Farel. Udah lama, Ma. Membiarkan dia pulang sama pak Ali terus.""Ya kalau kamu gak sibuk itu malah lebih baik. Semandiri-mandirinya anak, dia pasti lebih senang kalau orang tuanya memperhatikannya,
"Eh! Kok aku ditinggal. Tunggu dong!"Farel hirau saja. Hingga satu suara membuat langkahnya terhenti mendadak. Membuat Deni yang bertubuh gempal kaget. Dia sulit mengerem langkahnya dan menabrak punggung Farel. Membuatnya sedikit terhuyung."Aduh!" Tapi yang mengaduh Deni. Syukur Farel bisa mengendalikan keseimbangan. "Kok berhenti dadakan sih. Ngegetin tahu."Farel tak menjawab. Melirik Deni sekilas dan kembali mengarahkan pandangan ke gadis kecil yang mengobrol riang dengan temannya. Ekspresif sekali."Kak Hana!" Panggilnya. Yang dipanggil menoleh. Rautnya berubah. Berbeda dengan Farel yang tersenyum lebar. Menghampiri Hana."Apa!" Sahutnya jutek. "Gak papa sih. Bareng aja.""Aku udah sama Mira kok. Weeek!" Menjulurkan lidahnya."Kan sekalian sih kak. Kelasnya juga sampingan.""Eh, kalian ini masih kecil udah pacar-pacaran," sungut Deni yang ditinggal Farel. "Siapa yang pacaran, ih!" Sungut Hana. Wajahny
Hana dan Farel duduk di kursi yang disediakan pihak sekolah untuk menunggui jemputan. "Tumben. Biasanya supirmu udah datang," tukas Hana. Ya karena pak Ali selalu databg sebelum jam pulang Farel. Membuat tuan muda kecilnya itu tak perlu menunggui kedatangannya."Mama yang mau jemput kak.""Oh."Hana membuang pandangan. Entah kenapa dia sering kesal dengan Farel. Padahal pas Farel bayi saja dia senang bermain-main dengan bocah itu. Mungkin karena Farel sering mengintilinya, dan kadang Farel kecil merebut mainannya. Jadi dia mulai tak suka. Tapi ya begitulah, saat Farel tak ada dia malah mencarinya.Tanpa mereka sadari ada pria misterius yang terus-terusan memperhatikan ke arah mereka. Dan kini dia mulai melangkah mendekati dua anak kecil itu. Farel langsung menatapnya curiga. Sedang Hana masih tak menyadari."Hai, boleh paman duduk disini?"Hana langsung menoleh. Pria dewasa dengan kumis yang agak tebal. Rambutnya juga gondrong. Hana m