"Oma, mama udah pulang?"Seorang bocah kecil berusia tujuh tahun menghampiri omanya yang tengah membaca majalah di ruang tengah."Mamamu belum pulang sayang."Bocah itu manggut-manggut. "Farel ganti baju dulu ya, nanti oma temani makan siangnya.""Iya, Oma."Farel Aditya Respati, nama bocah berusia tujuh tahun itu. Putra pertama Dara dan Dirga. Tumbuh dengan begitu baik. Wajahnya tampan menuruni papanya. Cerdas dan tak banyak bicara. Mirip Dirga sekali. Bahkan kadang Dara sampai bingung, anak itu semuanya plek ketiplek Dirga. Entah ramuan apa yang diracik Dirga sampai mempunyai anak yang sangat menuruni dirinya. Dan parahnya, yang menurun darinya hanyalah bentuk bibirnya. Bibir Farel tipis dan membentuk love saat tersenyum.Farel terbiasa mandiri. Dia bahkan menolak diantar jemput mamanya. Cukup supir pribadi saja yang menjemputnya pulang pergi sekolah. Ganti baju, memberesi kamar, dan keperluan pribadi, dia sendiri yang menangani. Sungguh, sifat in
Dara menggeleng. Rautnya suram sekali. Sudah cukup banyak air mata yang dia keluarkan untuk pria itu. Dan bahkan hingga kini. Malam-malam, ketika dia sendiri. Dia sangat merindukan pria itu. "Tidak. Mungkin dia sudah paham. Dia sama sekali tak pernah membahas papanya. Hanya saja, saat aku mengunjungi kamarnya, poto papanya berada di atas ranjangnya. Dia peluk. Ah, rasanya menyesakkan Ly. Egois saat itu aku merasa paling terpuruk sampai mengabaikan Farel. Padahal Farel tentu yang lebih membutuhkan papanya."Dara mengusap air matanya yang sempat turun. Lily menarik napas pelan. Dia juga tak menyangka keluarga bahagia itu akan mengalami kejadian yang sangat menyakitkan. Karena itulah, Lily sering was-was dan khawatir saat Doni bepergian jauh. Bukan mendoakan yang buruk. Tapi dia takut terjadi sesuatu buruk yang menimpa suami berondongnya itu."Yang sabar ya mbak. Aku yakin dimanapun keberadaan mas Dirga, dia akan merindukan mbak Dara dan Farel.""Makasih, Ly. Tapi
Seperti biasa. Malam hari, Dara akan menemani Farel belajar. Lalu setelahnya menemani sampai Farel tertidur. Meski usia Farel sebenarnya sudah cukup dikatakan besar, tetap saja Dara tak mau melewatkan kebersamaan dengan putra tunggalnya itu. Ah, Dirga, kalaupun mau pergi, setidaknya berilah Farel adik supaya tidak kesepian seperti ini.Dengan telaten Dara mengajari bocah itu. Sesekali menggaruk kepala karena pertanyaan Farel yang kadang diluar jangkauannya. Anak itu kelewat cerdas. Andai saja ada Dirga, sudah pasti pertanyaan Farel sudah terjawab. Beda dengan Dara yang belibet. Otaknya tak terlalu pandai dalam bidang akademik. Jadilah dia menjawab sebisanya, atau kadang mengalihkan dengan materi lain. Dan sisanya, bisa di duga, Farel hanya diam dengan pertanyaan yang masih menggelayut di otaknya."Sudah selesai pr nya sayang?"Dara dari dapur, membawakan susu untuk Farel."Udah, Ma.""Ya udah. Diberesi bukunya. Terus diminum susunya ya?"Farel
"Kamu baik-baik saja, Ra?"Mama sedari tadi memperhatikan raut kuyu Dara. Ditambah matanya yang bengkak. Meski telah dia turupi make up, tetap saja di mata mama terlihat jelas.Wanita itu tersenyum tipis. Duduk di salah satu kursi. Meletakkan susu di atas meja. "Dara gak papa, Ma."Mama menatapnya khawatir. Tapi beliau tak bertanya lagi. Ingat rumusnya, jangan menanyai wanita yang tengah memendam kesedihan. Karena justru akan membuatnya menangis. Perhatikan dia, hingga dia akan nyaman sendiri mengeluarkan unek-uneknya.Hela napas mama terdengar berat."Mama nanti ada acara sama teman-teman mama. Kamu gak papa kan kalau mama tinggal?"Dara menggeleng."Nanti Dara kan pulang cepet. Mungkin nanti malah Dara yang jemput Farel. Udah lama, Ma. Membiarkan dia pulang sama pak Ali terus.""Ya kalau kamu gak sibuk itu malah lebih baik. Semandiri-mandirinya anak, dia pasti lebih senang kalau orang tuanya memperhatikannya,
"Eh! Kok aku ditinggal. Tunggu dong!"Farel hirau saja. Hingga satu suara membuat langkahnya terhenti mendadak. Membuat Deni yang bertubuh gempal kaget. Dia sulit mengerem langkahnya dan menabrak punggung Farel. Membuatnya sedikit terhuyung."Aduh!" Tapi yang mengaduh Deni. Syukur Farel bisa mengendalikan keseimbangan. "Kok berhenti dadakan sih. Ngegetin tahu."Farel tak menjawab. Melirik Deni sekilas dan kembali mengarahkan pandangan ke gadis kecil yang mengobrol riang dengan temannya. Ekspresif sekali."Kak Hana!" Panggilnya. Yang dipanggil menoleh. Rautnya berubah. Berbeda dengan Farel yang tersenyum lebar. Menghampiri Hana."Apa!" Sahutnya jutek. "Gak papa sih. Bareng aja.""Aku udah sama Mira kok. Weeek!" Menjulurkan lidahnya."Kan sekalian sih kak. Kelasnya juga sampingan.""Eh, kalian ini masih kecil udah pacar-pacaran," sungut Deni yang ditinggal Farel. "Siapa yang pacaran, ih!" Sungut Hana. Wajahny
Hana dan Farel duduk di kursi yang disediakan pihak sekolah untuk menunggui jemputan. "Tumben. Biasanya supirmu udah datang," tukas Hana. Ya karena pak Ali selalu databg sebelum jam pulang Farel. Membuat tuan muda kecilnya itu tak perlu menunggui kedatangannya."Mama yang mau jemput kak.""Oh."Hana membuang pandangan. Entah kenapa dia sering kesal dengan Farel. Padahal pas Farel bayi saja dia senang bermain-main dengan bocah itu. Mungkin karena Farel sering mengintilinya, dan kadang Farel kecil merebut mainannya. Jadi dia mulai tak suka. Tapi ya begitulah, saat Farel tak ada dia malah mencarinya.Tanpa mereka sadari ada pria misterius yang terus-terusan memperhatikan ke arah mereka. Dan kini dia mulai melangkah mendekati dua anak kecil itu. Farel langsung menatapnya curiga. Sedang Hana masih tak menyadari."Hai, boleh paman duduk disini?"Hana langsung menoleh. Pria dewasa dengan kumis yang agak tebal. Rambutnya juga gondrong. Hana m
Di taman samping.Farel tengah duduk dan mengawasi dua gadis yang sedang bermain perosotan itu. Hana dan Maura. Untung saja taman tak terlalu ramai. Jadi dia tak perlu khawatir dua gadis itu menghilang. Farel kini tengah menimang-nimang. Haruskah dia mengatakan pada mama tentang orang aneh itu? Dia rasa orang itu tidak sembarangan bicara, seperti yang dikatakannya pada Hana tadi. Sampai dia tak sadar malah melamun.Tangis Maura membuat lamunannya buyar. Disana, Maura ngelesot menangis. Sementara Hana tengah adu mulut dengan anak yang perempuan yang seumuran dengannya. Gegas Farel menghampiri mereka. Berjongkok menenangkan Maura."Ada apa, kak?" tanyanya di selai menenangkan Maura. "Dia tuh! Jongkrokin Maura. Nakal!" Farel menatap tajam pada bocah perempuan yang rambutnya dibiarkan tergerai."Eh, enak aja nuduh. Dia jatuh sendiri kali," elaknya."Dorong gitu bilang jatuh sendiri? Emang aku gak lihat apa?" tukas Hana tak mau kalah
Hari ulang tahun sekolah sebentar lagi. Dan seperti biasa, sekolah akan mengadakan berbagai pertunjukan dan acara karnaval. Hana dan Farel kebetulan di pasangkan untuk memakai seragam dokter dan suster. (Masih sekolah dasar ya, jadi jangan harap memakai gaun nikah. Gak baik. Hehe). Mereka berlatih cara berjalan di panggung, lalu kemudian arak-arakan memutari area sekolah yang memang agak jauh dari jalan raya. Jadi masih bisa di kondisikan. Dari semua perwakilan, ada dua puluh lima pasang siswa siswi yang akan memakai seragam sesuai dengan bagiaannya."Aduh Farel jangan cepet-cepet!" sergah Hana karena langkahnya yang terbilang lebih kecil daripada Farel. Seperti biasa, Farel ngalah."Jangan lambat-lambat kenapa? Ketinggalan yang lain nanti."Duh, salah lagi. Guru yang melatih saja sampai geleng-geleng kepala. Mereka terpilih karena paling berprestasi di kelas. Jadi sekolah mengapresiasi dengan menjadikan perwakilan. "Baik anak-anak, untuk hari in