"Kamu baik-baik saja, Ra?"
Mama sedari tadi memperhatikan raut kuyu Dara. Ditambah matanya yang bengkak. Meski telah dia turupi make up, tetap saja di mata mama terlihat jelas.Wanita itu tersenyum tipis. Duduk di salah satu kursi. Meletakkan susu di atas meja."Dara gak papa, Ma."Mama menatapnya khawatir. Tapi beliau tak bertanya lagi. Ingat rumusnya, jangan menanyai wanita yang tengah memendam kesedihan. Karena justru akan membuatnya menangis. Perhatikan dia, hingga dia akan nyaman sendiri mengeluarkan unek-uneknya.Hela napas mama terdengar berat."Mama nanti ada acara sama teman-teman mama. Kamu gak papa kan kalau mama tinggal?"Dara menggeleng."Nanti Dara kan pulang cepet. Mungkin nanti malah Dara yang jemput Farel. Udah lama, Ma. Membiarkan dia pulang sama pak Ali terus.""Ya kalau kamu gak sibuk itu malah lebih baik. Semandiri-mandirinya anak, dia pasti lebih senang kalau orang tuanya memperhatikannya,"Eh! Kok aku ditinggal. Tunggu dong!"Farel hirau saja. Hingga satu suara membuat langkahnya terhenti mendadak. Membuat Deni yang bertubuh gempal kaget. Dia sulit mengerem langkahnya dan menabrak punggung Farel. Membuatnya sedikit terhuyung."Aduh!" Tapi yang mengaduh Deni. Syukur Farel bisa mengendalikan keseimbangan. "Kok berhenti dadakan sih. Ngegetin tahu."Farel tak menjawab. Melirik Deni sekilas dan kembali mengarahkan pandangan ke gadis kecil yang mengobrol riang dengan temannya. Ekspresif sekali."Kak Hana!" Panggilnya. Yang dipanggil menoleh. Rautnya berubah. Berbeda dengan Farel yang tersenyum lebar. Menghampiri Hana."Apa!" Sahutnya jutek. "Gak papa sih. Bareng aja.""Aku udah sama Mira kok. Weeek!" Menjulurkan lidahnya."Kan sekalian sih kak. Kelasnya juga sampingan.""Eh, kalian ini masih kecil udah pacar-pacaran," sungut Deni yang ditinggal Farel. "Siapa yang pacaran, ih!" Sungut Hana. Wajahny
Hana dan Farel duduk di kursi yang disediakan pihak sekolah untuk menunggui jemputan. "Tumben. Biasanya supirmu udah datang," tukas Hana. Ya karena pak Ali selalu databg sebelum jam pulang Farel. Membuat tuan muda kecilnya itu tak perlu menunggui kedatangannya."Mama yang mau jemput kak.""Oh."Hana membuang pandangan. Entah kenapa dia sering kesal dengan Farel. Padahal pas Farel bayi saja dia senang bermain-main dengan bocah itu. Mungkin karena Farel sering mengintilinya, dan kadang Farel kecil merebut mainannya. Jadi dia mulai tak suka. Tapi ya begitulah, saat Farel tak ada dia malah mencarinya.Tanpa mereka sadari ada pria misterius yang terus-terusan memperhatikan ke arah mereka. Dan kini dia mulai melangkah mendekati dua anak kecil itu. Farel langsung menatapnya curiga. Sedang Hana masih tak menyadari."Hai, boleh paman duduk disini?"Hana langsung menoleh. Pria dewasa dengan kumis yang agak tebal. Rambutnya juga gondrong. Hana m
Di taman samping.Farel tengah duduk dan mengawasi dua gadis yang sedang bermain perosotan itu. Hana dan Maura. Untung saja taman tak terlalu ramai. Jadi dia tak perlu khawatir dua gadis itu menghilang. Farel kini tengah menimang-nimang. Haruskah dia mengatakan pada mama tentang orang aneh itu? Dia rasa orang itu tidak sembarangan bicara, seperti yang dikatakannya pada Hana tadi. Sampai dia tak sadar malah melamun.Tangis Maura membuat lamunannya buyar. Disana, Maura ngelesot menangis. Sementara Hana tengah adu mulut dengan anak yang perempuan yang seumuran dengannya. Gegas Farel menghampiri mereka. Berjongkok menenangkan Maura."Ada apa, kak?" tanyanya di selai menenangkan Maura. "Dia tuh! Jongkrokin Maura. Nakal!" Farel menatap tajam pada bocah perempuan yang rambutnya dibiarkan tergerai."Eh, enak aja nuduh. Dia jatuh sendiri kali," elaknya."Dorong gitu bilang jatuh sendiri? Emang aku gak lihat apa?" tukas Hana tak mau kalah
Hari ulang tahun sekolah sebentar lagi. Dan seperti biasa, sekolah akan mengadakan berbagai pertunjukan dan acara karnaval. Hana dan Farel kebetulan di pasangkan untuk memakai seragam dokter dan suster. (Masih sekolah dasar ya, jadi jangan harap memakai gaun nikah. Gak baik. Hehe). Mereka berlatih cara berjalan di panggung, lalu kemudian arak-arakan memutari area sekolah yang memang agak jauh dari jalan raya. Jadi masih bisa di kondisikan. Dari semua perwakilan, ada dua puluh lima pasang siswa siswi yang akan memakai seragam sesuai dengan bagiaannya."Aduh Farel jangan cepet-cepet!" sergah Hana karena langkahnya yang terbilang lebih kecil daripada Farel. Seperti biasa, Farel ngalah."Jangan lambat-lambat kenapa? Ketinggalan yang lain nanti."Duh, salah lagi. Guru yang melatih saja sampai geleng-geleng kepala. Mereka terpilih karena paling berprestasi di kelas. Jadi sekolah mengapresiasi dengan menjadikan perwakilan. "Baik anak-anak, untuk hari in
Dara menepati janjinya. Kini dia yang menjemput Farel. Benar apa yang dikatakan mamanya. Farel terlihat lebih ceria dari biasanya. Mungkin dia harus memberi perhatian yang lebih lagi. Terkadang orang tua menganggap sepele diamnya anak mereka sebagai aksi menerima. Padahal bisa saja mereka sedang menyimpan keinginan terpendam, atau malah sebuah masalah."Ma, berhenti dulu.""Hm? Kenapa sayang?" Dara meminggirkan mobilnya di pinggir jalan."Farel mau ke toko itu dulu.""Hah? Emang mau beli apa?""Emmm...."Farel mengarahkan pandangannya ke bawah. Menggaruk pipinya seperti sedang menyembunyikan sesuatu."Ah, ya udah. Mama belokkan mobil. Sekalian mama mau cari sesuatu."Mencari sela di tengah keramaian jalan, memang tak mudah. Apalagi tadi Dara terlanjur meminggirkan mobil di tempat yang berseberangan dengan supermarket. Setelah usaha yang lumayan, mereka sampai juga di supermarket."Emm, Ma. Farel mau kesana ya?" "Hem. Nanti kalau uda
Bangun tidur, Farel kaget. Karena melihat kadonya sudah terbungkus. Matanya yang tadinya kuyu sisa kantuk, tiba-tiba jadi melebar. Menggaruk kepalanya yang tak gatal. Malu, karena ada surat di dalamnya. "Kak Hana ulang tahun kah, sayang?"Farel terkejut. Sejak kapan mamanya masuk?"Eng... enggak, Ma.""Terus, kadonya?"Netra Farel bergerak ke kiri dan kanan."Itu... pengen ngasih aja."Dara tertawa kecil."Oh, gitu."Farel mengangguk."Kata Deni, kalau sayang itu kasih kado. Farel kan sayang sama kak Hana, Ma."Dara terkekeh. Mengusak surai Farel. Untung saja kecerdasan Farel di pelajaran. Bukan pada masalah cinta monyet yang seharusnya belum masanya."Iya. Mau ke rumah kak Hana kapan? Apa mau dikasih di sekolah?""Gak mau, Ma. Gede. Mama aja ya yang kasih kak Hana.""Lo, kenapa?""Malu.""Kenapa malu? Kan cuma ngasih hadiah.""Nanti kak Hana gak suka gimana, Ma?"Dara menunduk, memegan
Dara menutup album tersebut. Mengusap genangan di sudut matanya dan juga di pipinya. Menyimpan album tersebut di rak buku bersama dengan buku-buku milik Dirga. Ponselnya menyala. Berkedip-kedip ada panggilan. Gegas Dara meengangkatnya."Ya, Ly?""Mbak di rumah?""Em, iya.""Ya udah, mbak. Kita mau kesana.""Oke-oke. Aku tunggu kedatangan kalian."Pucuk dicinta ulampun tiba. Tak jadi kesana, justru mereka yang mau datang."Emm, mbak--""Iya, Ly?" Hening sejenak."Eng... gak jadi ding.""Iihh... kamu mah. Bikin penasaran."Terdengar kekehan Lily dari seberang."Ya udah, mbak. Mau siap-siap dulu.""Oke. Hati-hati. Bilang Doni jangan ngebut-ngebut."Lily hanya tertawa. Tahu saja suaminya mantan berandal."Haha. Iya mbak. Ya udah ya mbak.""Oke. Sip."Begitu sambungan dimatikan, Dara bergegas memesan makanan. Tak mungkin kan ada tamu hanya dibiarkan tanpa jamuan?*****Dua puluh lima
Hari-haripun berlalu. Pagi ini, acara ulang tahun sekolah Farel dan Hana. Mereka sudah berdandan layaknya dokter dan suster. Kalau Farel mah gampang. Tak perlu memberinya polesan make up. Tapi beda dengan Hana, dia terlihat cantik dengan rambut di gelung atas dan topi susternya. Mereka terlihat serasi dengan seragam putih khas dokter dan suster itu. Farel, dia memang tampan. Dan Hana, ya, dia juga cantik. Dan untung saja hari ini mereka akur.Dara datang dan duduk di kursi yang berdekatan dengan Lily dan Doni. Sebenarnya pihak sekolah memintanya duduk di depan karena menghormati orang berpengaruh sepertinya. Tapi dia menolak halus, dan lebih memilih layaknya orang tua murid yang lain.Iring-iringan karnaval sudah berangkat sejak tadi. Tapi orang tua tidak mendampingi dan menunggu di aula sekolah. Menunggu untuk penampilan kreasi siswa. Sembari menunggu, sambil mengobrol dengan yang lain. Menambah kenalan dan relasi."Dan inilah putra putri Seko
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik